Oleh: Chanif Ainun Naim
Hadits tersebut tentu sudah sangat familiar bagi kita. Saya pun yakin, sebagian besar dari kita pasti menjadikan hadist tersebut sebagai Iandasan dalil dalam bertindak, khususnya dalam mengupayakan kebermanfaatan yang luas. Secara umum, kita sering mengartikan hadits tersebut dengan: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
Namun, dengan memahami hadits tersebut dengan makna yang hanya sebatas itu saja, untuk menjadi manusia terbaik, beberapa dari kita justru jatuh pada pemaksaan diri untuk memberikan kebermanfaatan umum. Sedangkan kita tahu, tidak semua orang memiliki kapasitas untuk itu.
Bila benar yang terjadi adalah demikian, maka banyak orang yang sungguh ingin jadi yang terbaik dan bermanfaat bagi banyak orang, tapi ia tidak punya seperangkat modal yang mampu membantunya untuk itu, menjadi frustasi, hilang arah (disorientasi) dan akhirnya merasa tidak berguna. Seakan-akan bukanlah orang yang terbaik sebelum ia mampu berbuat banyak untuk banyak orang.
Namun, saya di sini hanya menyuguhkan adanya pemaknaan Iain yang sering tidak dimunculkan dalam memaknai Hadits tersebut. Dari redaksi hadits tersebut, Kanjeng Nabi menggunakan kata خير الناس: sebaik-baik manusia, انفعهم للناس: “yang paling bermanfaat bagi manusia”. Nabi menggunakan kata الناس yang pertama menggunakan isim (kata) makrifah (khusus), begitupun dengan kata الناس yang kedua.
Dari sini, dipahami bahwa الناس yang pertama dan yg kedua adalah sama-sama merujuk pada kategori manusia yang sama. Kalau Nabi hanya menghendaki bahwa makna teks hadits tersebut adalah “bermanfaat bagi manusia lain” saja, tentu penggunaan redaksinya adalah خير الناس انفعهم لكل ناس dengan menggunakan kata nakirah (umum) pada الناس yang kedua. Dengan ini, implikasi teks terhadap makna hadits tersebut adalah bahwa sebaik-baik manusia (tertentu) adalah yang lebih bermanfaat bagi manusia (tertentu). Artinya, bahwa kita pun juga bagian dari manusia.
Oleh: Chanif Ainun Naim
Photo by freepik.com