Perjumpaan Nabi Musa AS dengan Nabi Khidir AS

Oleh: Rizaldi Rais Handayani

Musa As dikenal sebagai salah satu jajaran rasul papan atas. Iya benar, rasul ulul azmi. Beliau merupakan anak angkat Fir’aun dan Asiyah, istrinya. Hidup kira-kira 1393 tahun sebelum masehi.

Kisah ini bermula tatkala seorang kaumnya bertanya kepada Musa As : “Wahai Nabiyullah, adakah hamba lain yang lebih alim darimu?”

“Tidak ada” jawab Musa dengan percaya diri.           

Nampaknya suara Musa As ini menggema ke seluruh penjuru langit. Ke-Aku-an Musa As ini membuat Tuhan pun menegurnya, lantas mengutus Jibril untuk memberitahunya.

“Wahai Musa, tidakkah engkau mengetahui di mana Allah meletakkan ilmu-Nya?”

“Sesungguhnya Allah mempunyai seorang hamba di majma’al bahrain (pertemuan dua laut) yang lebih alim darimu”.

Hal ini sontak membuat Musa As tersadar. Ia pun bertekad menemui hamba Allah lain yang lebih alim tadi. Musa As lantas bertanya kepada Jibril. Bagaimana bisa aku menemuinya, wahai Jibril? Kemudian Allah memberikan mandat kepadanya untuk membawa seekor ikan. Ketika ikan itu hidup dan berjalan ke lautan, maka dia akan menemukan hamba lain tersebut.

Musa As ditemani santri muda nya, bergegas pergi dengan membawa ikan seperti yang diperintahkan Allah. Menurut beberapa catatan, santri muda itu bernama Yusya’ bin Nun, yang kelak di suatu hari juga akan menjadi nabi.

Singkat cerita, ikan tadi mulai hidup dan bergerak menuju lautan ketika keduanya sedang beristirahat. Yusya yang melihat kejadian itu lupa untuk memberitahu Musa As. Setelahnya, mereka melanjutkan perjalanan.

Ketika Musa As bertanya kepada Yusya perihal menghilangnya ikan yang mereka bawa, barulah Yusya bercerita. Mereka pun berbalik arah, dan menuju tempat peristirahatan tadi.

Benar saja, disana mereka bisa menemui hamba yang disebutkan oleh Allah. Hamba itu tidak lain adalah Khidir As. Kisah ini diabadikan dengan epic dalam Surah Kahfi ayat 65:

“Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami”

Lantas terjadi dialog diantara Musa As dan Khidir As, antaralain permohonan Musa As untuk menjadi murid dari Khidir As dan ikut menemaninya kemanapun pergi.

Beliau, Khidir As, sempat menolak dan mengatakan bahwa Musa As tidak akan bersabar dengannya. Namun Musa As kembali memohon kepada khidir As. Permohonan Musa As meluluhkan hati Khidir As, beliaupun menerimanya.

Perjalanan mereka pun dimulai. Kala itu, Khidir As melakukan perbuatan-perbuatan nyeleneh (istilah kerennya Khawariqul Adat), yang menurut Musa As menyalahi syariat.

Mulai dari melubangi kapal yang ditumpanginya bersama Musa As, kemudian membunuh anak kecil, serta menegakkan kembali tembok rumah yang akan runtuh. Memang menjadi tabiat Musa a.s, beliau banyak berkomentar tiap kali Khidir as melakukan Khowariqul Adat.

Perkataan Khidir As ketika pertama kali bertemu dengan Musa As terbukti benar, bahwa Musa tidak akan bersabar dengannya.

Barulah di akhir perjumpaan diterangkan oleh Khidir As, hikmah-hikmah dibalik perbuatannya itu, dan membuat Musa As lagi-lagi tersadar.

Mas Antok Agusta, penulis di alif.id, berkomentar mengenai kisah epic yang dipenuhi hal-hal di luar nalar ini :

“Kisah perjumpaan Musa As dan Khidir As berhubungan dengan suatu ilmu yang tidak kita miliki, karena biasanya ilmu yang kita kuasai berkaitan dengan sebab-sebab tertentu. Tidak juga ia berkaitan dengan ilmu para nabi karena biasanya ilmu para nabi berdasarkan wahyu. Kita sekarang berhadapan dengan suatu ilmu dari suatu hakikat yang samar; ilmu yang berkaitan dengan takdir yang sangat tinggi; ilmu yang dipenuhi dengan rangkaian tabir yang tebal.”

“Ilmu Musa yang berlandaskan syariat, sehingga menjadi bingung ketika menghadapi ilmu Khidir yang berlandaskan hakikat. Syariat merupakan bagian dari hakikat. Terkadang hakikat menjadi hal yang sangat samar sehingga para nabi pun sulit memahaminya. Awan tebal yang menyelimuti kisah ini dalam Alquran telah menurunkan hujan lebat yang darinya mazhab-mazhab sufi di dalam Islam menjadi segar dan tumbuh. Bahkan terdapat keyakinan yang menyatakan adanya hamba-hamba Allah yang bukan termasuk nabi dan syuhada namun para nabi dan para syuhada “cemburu” dengan ilmu mereka. Keyakinan demikian ini timbul karena pengaruh kisah ini.”

Walllahu a’lam bi al-shawab

Sumber gambar: Islami.co

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *