Teman-teman santri dimanapun anda berada, yang mudah-mudahan sekarang berada dalam lindungan Allah SWT. Semoga kita semua dianggap santri oleh guru-guru kita, karena bagi saya itu penting. Untuk apa mengklaim diri sebagai santri, tapi kyai kita saja tidak mengakui ke-santri-an kita, bukan begitu teman?
For your information, santri bukan hanya sekedar status, apalagi profesi. Santri dalam pandangan saya adalah the real of man. Kita adalah pejantan tangguh. Kata orang-orang milenial santri adalah agen of change. Meskipun sebenarnya saya tidak tahu apa lagi yang harus diubah. Mengubah diri untuk going to path of god (menuju jalan Tuhan) saja berat, apalagi mengubah peradaban? Mudah-mudahan (yang saya lakukan ini) tergolong sebagai halu yang menjelma sebagai do’a, sebab katanya ‘ucapan adalah doa’.
Mari kita mengupas sedikit tentang ‘santri’, tapi inget, bukan definisinya loh, sebab saya kira teman semua sudah hapal nglotok terkait apa yang dimaksud santri, apa itu pesantren, dan siapa kyai. Itu semua adalah materi buat para santri unyuk yang kalo ditanya cita-citanya apa, jawabnya adalah ingin membahagiakan orang tua. Subhanallah saya rindu masa-masa itu.
Baik, disini saya akan serius. Terlintas sebuah istilah, “being revolution”. Saya kira istilah itu sangat pantas jika disematkan untuk santri. Sejarah mencatat, bagaimana seorang santri menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, menegakkan keadilan dan menjaga hak serta martabat bangsa melawan kedzaliman para penjajah kafir, eh maksud saya non-muslim. yang sekarang kita mengenangnya sebagai hari pahlawan, tepatnya pada tanggal 10 November.
Entah mengapa saya menulis ini dengan hati yang sangat menggebu-gebu bagaikan sedang berorasi menyerukan jihad. Tapi bukan jihad sebagaimana yang dipahami para kaum şālih tetangga kita loh, karena kita bisa berdebat panjang tentang makna jihad itu sendiri, dan saya tidak akan membahas itu untuk kali ini.
Baiklah, kita kembali pada tema pembahasan. Mungkin sebagian dari pembaca yang terhormat, ketika membaca judul ini akan muncul sebuah pra-asumsi, bahwa “si penulis tidak pro peraturan satgas nih”, atau “tidak syariat-is nih”. Begini, saya jelaskan, sebetulnya apa hubungan antara santuy-santri-Covid 19.
Saya harap teman membaca part ini dengan serius, supaya tidak ada mis understanding di antara kita, karena ini adalah part terpenting dari tulisan yang tidak penting ini. Sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa santri berperan penting bagi kehidupan umat manusia, terlebih lagi kita sedang memasuki era pasca-modern, bahkan sebagian para researchers of civilization (peneliti peradaban) mengatakan bahwa sekarang adalah era Post-Truth (pasca kebenaran), sebuah era dimana sebuah kebenaran sudah sangat sulit untuk didapat. Setiap orang berhak ber argumen dan bercerita tentang apa saja termasuk saya ini. Hoax bertebaran di mana-mana, bagaikan sampah-sampah asrama pondok yang berserakan karena tidak di–ro’an-in.
Terlebih lagi, dunia sekarang ini sedang menanggung beban yang begitu berat, yaitu wabah Covid-19. Beliau (Covid-19) ini tidak pandang bulu, seluruh penjuru dunia dilibas tanpa batas. Mulai dari presiden, gubernur, wali kota, bupati, pak RW, pak RT, bahkan marbot masjid plus muadzin-nya pun berpotensi terjangkit olehnya.
Imbasnya, sistem perekonomian, sistem tatanan sosial dan sistem pindidikan pun terganggu. Bagaimana tidak, para siswa setiap hari dijejali link Zoom, link Google Meet hingga hampir muntah dibuatnya, masih mendingnya bukan ‘link pemersatu umat’. Kinerja para siswa menjadi ganda, tugas pun diperbanyak, alih-alih sebagai sarana pembelajaran mandiri di rumah masing-masing. Maka tidak heran jika kita digegerkan dengan berita beberapa siswa yang bunuh diri karena menanggung beban berat ini.
Namun masalah yang lebih vital lagi adalah berkaitan dengan akidah kita, bagiamana kemudian kita tidak ‘menuhankan Covid-19’. Dalam kondisi ini, akidah santri dengan segala ke–njuleg-annya dalam mempelajari ‘aqīdatul ‘awam, Tijān al-Durori, Kifāyatul ‘Awam dsb sangat dipertaruhkan.
Santri dengan kekayaan modal akan akidahnya, seharusnya menjadi garda terdepan yang mengampanyekan kebenaran dalam berakidah. Disisi lain, santri juga mempu menjelma sebagai being protection, guna menjaga masuknya pemahaman-pemahaman yang menyimpang dikalangan umat Muslim. Berkat beberapa refleksi dan penghayatan atas segala fenomena ini, setidaknya ada beberapa tahapan yang penting guna menjaga status dualisme antara syari’at-hakikat kita sebagai santri yang berbahagia.
Bagian pertama: sebuah pandangan yang gemilang dari kyai idola sejuta umat, yaitu Kyai Bahaudin Nursalim (Gus Baha). Berangkat dari upaya dalam merefleksinya, setidaknya ada beberapa poin penting yang dapat saya cerna. Pertama, adanya pandemi ini menjadi keniscayaan bagi manusia yang mempunyai hati untuk terbesit rasa takut olehnya, namun ketakutan tersebut seharusnya tidak menjerumsukan manusia kepada jalan kesesatan.
Beliau kemudian menuturkan, yang kurang lebih intinya begini, kita harus benar-benar menanamkannya di dalam lubuk hati yang paling dalam, bahwa ketakutan ini seharusnya berorientasi kepada Allah. Kita takut jika terkena wabah ini mengganggu sujud kita kepada-Nya, kita takut jika terkena wabah ini mengganggu ibadah kepada-Nya, kita takut jika terkena wabah ini nyusahin orang-orang di sekitar kita.
Bukan malah sebaliknya, ketakutan yang berorientasikan kepada ghoirullāh. Jangan-jangan, kita takut terkna wabah ini menjadikan penghambat dalam menikmati gemerlapnya dunia, kita takut terkena wabah ini menghambat aktivitas non-bermanfaat kita, traveling bareng Gal Gadot misalnya, eh.
Berikutnya, ketika hati sudah dibenahi kepada kebeneran, maka dengan mengikuti peraturan pemerintah adalah sebagai salah satu upaya dalam berikhtiar untuk menghidari wabah ini. Maka menjadi sah (legitimasi teologis) bagi kita dalam menjalankan himbauan-himbauan para satgas Covid-19 yang terhormat.
Bagian kedua: lagi-lagi adalah sekedar sebuah refleksi. Sebuah untaian penjelasan yang menghangatkan dan menghanyutkan dari beliau Romo Yai Munawwar Ahmad dalam pengajian bandongan kitab Minhāj Al-‘Ābidīn, karya Imam Ghazali. Tepatnya pada bagian al-tafwīdu ilallah. Beberapa hal penting yang masih teringat dalam kepala yang terbatas ini, agaknya dapat melengkapi bagaimana sikap santri dalam merespon pandemi.
Yang saya pahami, bahwa sebagai hamba yang mengenal Allah (dengan sebenar-benarnya), tidak sepantasnya untuk melupakan sisi kekuasaan-Nya. Kita banyak disodori dalam teks al-Qur’an terkait ujaran-ujaran berupa sebuah klaim bahwa Allah adalah dzāt Yang Maha Segala-galanya. Maka konsekuensi logisnya adalah, seorang hamba harus memercayai akan takdir dan segala urusan manusia yang pasti akan diurus oleh-Nya juga. Kita banyak mendengar tentang ungkapan yang berbunyi: “bahkan satu daun yang jatuh dari pohon pun tidak akan terlepas dari kuasa Allah”, sebagaimana yang di amini dalam kitab Minhāj Al-‘Ābidīn.
.فلا يستحق اذن احد ان يكون له الاختيار وتدبير الاالله وحده لاشريكله
Adapun usaha (ikhtiyar) seorang hamba adalah jalan yang harus ditempuh sebagai syarat penghambaan bahwa manusia adalah lemah, sedangkan segala hal yang berhubungan dengan hasil adalah berada pada kuasa Allah. Berpasrah diri kepada-Nya bukan hanya tentang mengikuti perintah saja, namun makna terpenting di sini adalah adanya pengakuan penghambaan diri kepada Allah serta kuasa-Nya.
Pada akhirnya, ulasan yang bertele-tele dan miskin akan pengetahuan di atas dapat saya simpulkan, bahwa santri dalam merespon pandemi menjadi keniscayaan untuk menyeimbangkan dualisme syari’at-hakikat. Orientasinya tidak lain, adalah untuk menjadi jiwa yang “bijak sejak dalam hati dan pikiran”. dan ingat! “ Stay save stay humble and always keep santuy” (Yi-Sun-Sin, Ml’s Hero)
Wallahua’lam []:
Sumber Gambar: Detik.com.