Kabar Yang Selalu Dibawa Oleh Para Nabi

Matahari kita masih sama, bulan kita sama, bumi kita sama dan kita masih manusia yang sama. Mempunyai harapan, mempunyai mimpi, mempunyai rasa khawatir juga mempunyai rasa takut. Bagaimana kalau dunia ini berakhir? Belum berbenah diri, belum sempat berbakti kepada orang tua, bangsa dan negara?

Rasa khawatir dan takut itu menurut perasaan saya singgah di batin ini setelah ada informasi bahwa dunia akan berakhir. Kalau saja informasi ini tidak pernah ada, saya yakin, jangankan sampai mampir, muncul ke permukaan pun tidak. Terserah bagaimana tafsirnya, yang jelas tak akan ada asap sebelum ada baranya. Bara itu saya pahami sebagai berita akhir dunia yang dibawa oleh para utusan Tuhan. Dari sabda Nabi Nuh As sampai Nabi Muhammad Saw, dalam rentang waktu puluhan ribu tahun lebih dan sebatas tahu saya jumlah Nabi itu tidak terbatas dan lebih banyak daripada Rasul, bahwa jumlah Rasul itu 313 yang 25 diantaranya dikisahkan dalam al-Qur’an.

Masing-masing dikirimkan ke tempat dan pada zaman tertentu, masing-masing menyampaikan tugas risalah kepada umat manusia dan menu risalah yang tak pernah ketinggalan ialah menyampaikan perihal akan datangnya Hari Kiamat. Manusia yang sudah mati dihidupkan kembali untuk diinterogasi, disortir lalu dipilah dan dipilih sesuai amalnya. Jika Nabi diberi kewajiban untuk menyampaikan ajarannya, maka bisa diartikan bahwa kabar Kiamat sudah disampaikan sebanyak 313 kali oleh para Rasul. Ada manusia yang percaya, ada juga yang tak percaya. Yang percaya karena ketakutan dan mengharap perlindungan, yak tak percaya enyah dan membangun argumen bahwa hari itu tak akan datang, hanya dongeng belaka.

Baca: Pandangan Medis Tentang Air

Dari Nabi Nuh As, kabar itu tak ada faktanya, orang yang mati tetap mati. Ya, sepanjang zaman itu, yang sudah menjadi tanah tak akan pernah kembali raga dan nyawanya. Justru yang terjadi adalah setelah generasi kemarin musnah, generasi-generasi sekarang tumbuh juga akan musnah pula. Dan besok adalah giliran generasi besok. Banjir Nabi Nuh As, hujan batu, tanah dibalik pada kaum Nabi Luth, topan-dingin pada kaum ‘Ad dan Tsamud dan bencana-bencana alam super besar yang tak pernah membinasakan umat-umat terdahulu, itu bukan Kiamat, namun lebih kepada cara naturalis-dialektis Allah menggantikan suatu generasi dengan generasi berikutnya. Selalu begitu sampai detik ini, entah esok.

Sepanjang zaman itu kabar Kiamat tidak ada buktinya, sampai pada zaman Nabi Isa As, Tuhan menyatakan kemungkinan terjadinya lewat mukjizat Nabi Isa As. Bisa merubah tanah liat menjadi burung bernyawa juga bisa terbang, bisa menyembuhkan mata yang buta sejak lahir, bisa menormalkan kulit seseorang yang terjangkit sopak (penyakit kulit). Dan terakhir ini yang inti bisa menghidupkan orang yang sudah mati. Secara akal-akalan jika ciptaan saja mampu menghidupkan orang yang sudah mati tentu pencipta lebih mampu, pastinya. Jikalau Nabi Isa As yang hanya ciptaan saja bisa, apalagi Tuhan yang bukan hanya Pencipta tapi juga Maha. “Kiamat itu soal kecil, sekejap mata atau bahkan lebih cepat lagi” kata-Nya dalam salah satu surah di al-Qur’an.

Manusia yang hidup di waktu itu dan menyaksikan bagaimana Nabi Isa As menghidupkan orang yang sudah mati mungkin langsung percaya, tetapi manusia yang lain yang tidak menyaksikan sendiri, yang hanya mendengar-dengar tidak percaya dan bertanya-tanya apakah cerita tentang Nabi Isa As itu ada faktanya? Atau jangan-jangan cuma cerita belaka? Sebab kabar tetaplah kabar hingga ada faktanya, maka hadirlah kisah 7 orang yang tidur dalam goa selama 300 tahun bersama seekor anjing. Kisah yang dipanggungkan sebagai bukti bahwa Tuhan mampu menghidupkan orang mati, tidur selama 300 tahun itu sama dengan mati. Lalu kemudian Tuhan membangunkan mereka dalam kondisi fisik yang utuh tidak kurang suatu apa pun, sungguh sesuatu yang tidak mungkin terjadi.

“Itu ceritanya, mana buktinya? Mana faktanya?” kata nasib manusia yang haus akan bukti pun harus jelas, harus nyata, harus konkret, tidak boleh abstrak! Memang informasi yang sudah saya sampaikan diperoleh dari al-Qur’an, namun tetap merupakan kabar yang menuntut bukti, bukankah begitu? Hanya saja saya mengandaikan sebaliknya: bagaimana jika saya percaya sekali pun tidak ada bukti dan tidak ada faktanya? Apakah rasa percaya saya itu naif karena tidak berdasar? Bukankah ayat yang saya kutip pun masih bergantung kepada bagaimana saya memahaminya? Bukankah dari itu saya bisa salah paham?

Bukankah kesalahpahaman itu justru bisa mementahkan rasa percaya saya sendiri yang tidak berdasarkan bukti itu terhadap kabar diatas? Misalnya, ketika saya memahami kabar akan datangnya hari Kiamat sebagai cara Tuhan menakut-nakuti orang. Wah, ini sungguh konyol! Saya jelas saja tidak mau dianak-kecilkan oleh-Nya. Apa motivasi Dia menakut-nakuti saya? Hal inilah yang mungkin ditolak oleh Abu Jahal dan orang-orang yang sepaham.

Baca: Santri Dan Polisi

“Loh sudah puluhan tahun saya hidup tapi tidak ada Kiamat, sudah sejak dulu kabar itu tapi kenyataannya tidak ada. Nenek moyangku tetap di alam baka, sampai detik ini. Engkau jangan menakut-nakuti orang tua macam aku” kira-kira begitulah sanggah Abu Jahal kepada Nabi Muhammad Saw.

“Aku tidak punya kuasa atas Kiamat, semua sudah ada waktunya, setiap umat ada ajalnya. Mungkin sudah hampir tiba, kalian juga ada waktunya, tidak maju tidak mundur. Seujung rambut pun tidak, waktu tepatnya hanya Allah yang Maha Tahu. Aku kan cuman menyampaikan, cuman mengingatkan” jawab Nabi Muhammad Saw atas perintahnya.

1.400 tahun lebih sejak kabar itu dikabarkan oleh Nabi Muhammad Saw, seorang Nabi yang bukan hanya sebagai manusia paling dekat dengan Allah Swt tapi juga sebagai Tuan seluruh Rasul saja masih meyatakan ‘mungkin’ bukan ‘hari ini, tanggal sekian dan tahun sekian’.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Buku Islam Musiman

Picture by pinterest.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *