Musibah, Muhasabah, dan Mahabbah

Tak ada manusia yang tak membutuhkan rasa aman. Namun dalam realitas kehidupan, kesulitan, musibah, atau kondisi tak aman mustahil dihindari. Manusia memang hidup dalam serba-dua kemungkinan: siang dan malam, sehat dan sakit, hidup dan mati, aman dan taka man, dan sebagainya. 

Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan, ayat tersebut bermakna bahwa pencipta segala yang berpasangan adalah satu, yakni Allah, maka sembahlah Allah (Syekh Jalaluddin, h. 377). Artinya, di balik keberpasangan setiap kondisi tersebut ada Dzat Tunggal yang perlu disadari. Allah subhanahu wata’ala adalah satu-satunya tempat bergantung, kembali, dan berserah diri.   Bersamaan dengan datangnya tahun baru, Indonesia mengalami berbagai musibah, mulai dari angin besar, banjir, tanah longsor, kecelakaan, dan lainnya. Yang perlu disikapi dari musibah ini adalah mengembalikan semuanya kepada Yang Maha Memiliki, Allah subahanhu wata’ala.

Baca: Tingkatan Orang Yang Berpuasa

Bumi, langit, dan seisinya adalah milik Allah maka Allah berhak mau menjadikannya seperti apa. Bahkan seandainya seluruhnya diluluhlantakkan manusia tidak akan bisa berbuat apa-apa. Namun demikian, manusia juga harus bermuhasabah (introspeksi), apakah musibah yang ia terima merupakan bentuk ujian, peringatan, atau yang lain. Sehingga, manusia lebih berhati-hati dalam menjaga amanah alam ini.

Imam Jalaludin dalam Tafsir Jalalain menjelaskan lafal بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ (karena perbuatan tangan manusia) dengan arti مِنَ الْمَعَاصِى, yang berarti “karena maksiat”.   Artinya bahwa kerusakan di bumi ataupun di langit timbul karena ulah manusia, persisnya sebab kemaksiatan yang mereka lakukan. Kemaksiatan di sini tentu bukan hanya berbentuk pelanggaran atas norma “halal-haram” yang biasa kita dengar, seperti minuman keras, berjudi, zina, atau sejenisnya. Selain berkenaan dengan urusan privat, kemaksiatan juga bisa berupa dosa yang berkaitan dengan masyarakat dan lingkungan. Segala bentuk perbuatan merusak alam adalah kemaksiatan.

Karena dengan merusak alam secara tidak langsung telah mengurangi keseimbangan alam, sehingga akan menyebabkan masalah pada hari ini dan masa-masa yang akan datang.   Tanah longsor terjadi bisa jadi sebab adanya penebangan pohon secara brutal. Banjir dating karena dipicu perilaku buang sampah sembarangan, sungai-sungai menyempit karena bangunan pemukiman, area resapan air berkurang drastis akibat kian meluasnya aspal dan beton, dan lain sebagainya.

Segala musibah yang menimpa menjadi alat untuk berdzikir dan muhasabah diri, sehingga manusia dapat mengambil sisi positif terutama dalam meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah subhanahu wata’ala. Bukan sebaliknya: saling menghujat, saling menyalahkan antarsesama, rakyat dengan pemerintahnya, atasan dengan bawahannya, dan sebagainya. Namun benar-benar menjadikan musibah sebagai pembenahan terhadap diri dan lingkungan agar tercipta kehidupan yang lebih baik, aman, dan tenteram.  

Sebagaimana kisah Rabiah Al-Adawiyah yang selama hidupnya mengalami kesulitan demi kesulitan, dengan dasar iman maka diraihlah ahwal hubb atau kecintaan kepada Allah yang tiada tara. Hal ini membuktikan bahwa di setiap musibah atau kesulitan ada kebaikan yang Allah selipkan di dalamnya. Hanya orang-orang yang sadar dan sabarlah yang akan meraih kebaikan tersebut. Dengan bahasa lain, musibah pun bisa memicu mahabbah (rasa cinta).   Selain dari kebaikan-kebaikan yang bersifat relatif, kesabaran dalam menerima musibah adalah cara Allah menghapuskan dosa-dosa.

Yang ditekankan dalam konteks musibah adalah kesabaran menghadapinya. Memang, di kalangan ulama berbeda pendapat apakah kesabaran atau musibah itu sendiri yang menyebabkan terhapusnya dosa-dosa.   Menurut Syekh Izuddin bin Salam sebagaimana dijelaskan dalam kitab Irsyadul Ibad, sesungguhnya musibah yang menimpa orang mukmin tidak mengandung pahala, sebab musibah bukanlah atas usahanya. Akan tetapi, pahala itu terletak pada kesabaran atas musibah tersebut. Namun, dijelaskan berikutnya bahwa musibah adalah pelebur dosa sekalipun orang mukmin yang ditimpanya tidak sabar, sebab tidak ada syarat bagi pelebur dosa untuk diusahakan oleh seorang mukmin.  

Baca: Empat Tingkatan Manusia

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa apa pun bentuknya musibah adalah sebuah cobaan dari Allah untuk makhluknya yang di dalamnya mengandung maksud dan tujuan baik bagi yang menerimanya. Tinggal bagaimana menyikapinya: sabar atau justru ingkar.   Dengan demikian, musibah adalah sarana untuk mengingat sang pemberi musibah, upaya untuk meningkatkan kualitas keimanan, yang pada akhirnya menumbuhkan rasa cinta yang mendalam kepada Allah setelah merasakan kenikmatan di balik musibah yang menimpanya. Mahasuci Allah yang senantiasa memberikan yang terbaik untuk makhluk-Nya.   Semoga kita semua senantiasa dijadikan orang-orang yang mampu menyikapi segala musibah sebagai sarana peningkatan iman dan takwa. Sehingga hilangnya musibah berbekas kebahagiaan baik untuk dunia maupun akhirat.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: nu.or.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *