Soal Toa Masjid Yang Harusnya Tak Perlu Disoal

Kemajuan teknologi zaman membawa manusia kepada keadaan yang serba praktis. Banyak kebutuhan-kebutuhan manusia yang dimudahkan oleh teknologi. Jika dulu orang-orang bepergian ke sebuah menaiki kuda dengan waktu yang cukup lama. Kini mereka sudah bisa menempuh perjalanan yang tidak makan banyak waktu dengan motor atau mobil. Kalau dulu para petani di desa membajak sawahnya dengan sapi sekarang mereka bisa mengenakan traktor.

Tak hanya dalam sektor itu saja, teknologi juga membantu manusia dalam beribadah kepada Tuhan. Satu contohnya toa, yang akan kita bahas pada tulisan kali ini. Teknologi satu ini sangat membantu umat Islam dalam menegakkan syiar Islam. Dahulu sahabat Bilal harus naik ke loteng untuk mengumandangkan azan agar umat muslim dapat mendengarnya dan memenuhi panggilan Allah tersebut.

Baca: Lebih Utama Mana Membaca Al-Qur’an Sambil Melihat Mushaf atau Sambil Dihafal?

Pada zaman itu lantunan azan Bilal bisa sampai ke telinga para penduduk. Sebabnya perumahan penduduk masih sangat sedikit, sehingga suara yang dilantunkan pun bisa lepas. Tetapi seiring berjalannya waktu keadaan berubah. Rumah penduduk sudah semakin banyak. Walhasil sekeras apapun kita berteriak tidak akan bisa didengar oleh semua orang. Sebab suara yang dikeluarkan terhalangi oleh rumah-rumah dan pohon.

Namun semua masalah itu sudah bisa diatasi berkat toa. Teknologi kecil itu bisa menyalurkan suara pewarta salat hingga ke ujung kampung. Dan akhirnya umat muslim bisa dengan mudah mengetahui masuknya waktu salat dan melaksanakannya berjamaah bagi mereka yang punya waktu longgar. Tentu itu hal yang sangat baik.

Zaman terus berputar dan populasi penduduk semakin padat. Umat muslim pun dengan spiritualitasnya yang tinggi berlomba-lomba membangun masjid atau mushala, karena satu masjid saja tak cukup untuk menampung banyaknya jamaah. Hingga sekarang bisa kita saksikan hampir di setiap jarak seratus meter di perkampungan mesti terdapat tempat salat. Apa semua ada jamaahnya? Tidak perlu kita bahas.

Yang perlu kita persoalkan, apakah semua masjid itu menggunakan perangkat speaker dan toa dalam mensyiarkan agama? Tentu iya. Apa tujuannya? Sudah pasti biar umat muslim dapat mengingat waktu salat dan mendengarkan irama-irama islami lainnya. Tentu itu hal bagus, bukan? Karena ada toa umat muslim bisa salat tepat waktu.

Namun syiar juga harus mempedulikan situasi dan kondisi lingkungan sekitar. Apakah semua masyarakat sekitar adalah objek dari syiar tersebut. Terkadang ada hal yang terkadang kelihatan sebagai syiar agama, karena mengandung unsur-unsur Qur’ani, namun karena membawa sebuah mafsadah maka tidak bisa lagi disebut syiar. Contohnya tahrim, sebuah salawat yang dilantunkan sebelum subuh.

Dalam satu tulisannya di Tempo yang berjudul “Islam Kaset dan Kebisingannya” sosok Gus Dur mencoba untuk menyoal soal tahrim yang dilantunkan dengan volume keras. Entah perangkatnya apa tidak disebutkan oleh beliau. Menurutnya tahrim yang dikumandangkan sebelum subuh itu kurang sesuai dengan makna syiar itu sendiri (ini tafsir saya). Karena objeknya tidak menyeluruh. Ada sebagian orang yang tidak terkena kewajiban salat subuh harus terganggu dari tidur lelapnya. Dalam bahasa Gus Dur Illat/alasan yang mendasari tahrim sebagai syiar tidak menyeluruh.

Sudah. Lupakan soal Gus Dur. Ada hal yang lebih relevan untuk kita bahas. Beberapa minggu lalu gus Yaqut Cholil Qoumas dengan tiba-tiba ingin mengatur soal toa masjid yang seharusnya bisa membantu syiar Islam.

Baca: Sekilas Tentang Asal Usul Huruf Arab

Bagaimana reaksi netizen? Tentu variatif. Sebagian ada yang mendukung. Dan tidak sedikit pula yang menentangnya. Bahkan dari sebagian yang menentang ada yang sampai mereaksinya dengan sebuah konten. Misal, sebuah video (nama youtubernya gak bisa saya sebut) yang berisikan seorang santri yang memanggil temannya dengan nada lirih. Saat ditanya mengapa harus bersuara pelan ia menjawab “jika suara Tuhan saja harus dikecilkan, apalagi suara kita”. Bahkan ada juga yang sampai memelintir ungkapan Menag Yaqut, yang kata dia menteri agama telah berani menyamakan azan dengan suara gonggongan anjing.

Salahkah mereka yang mengkritik gus Yaqut dengan konten? Menurut saya tidak. Bahkan itu sangat baik untuk kemaslahatan umat muslim. Pasalnya sebuah peraturan harus kita koreksi bersama terlebih dahulu agar penerapannya jauh lebih efektif.

Namun ada yang perlu dikoreksi lebih dalam lagi bagi mereka yang mau memberikan kritik. Yakni, baca dulu aturan-aturan yang akan ditetapkan. Dan dengarkan dengan seksama pernyataan pak Menteri, adakah beliau benar-benar ingin menghina azan dengan menyamakannya seperti gonggongan anjing.

Gus Yaqut tentu tidak bodoh soal syariah. Jika dicermati lagi pengaturan volume suara toa masjid justru demi sebuah kemaslahatan. Pasalnya menurut beliau, jika volume toa masjid tidak diatur maka yang terjadi malah saling sengkarut antar satu suara azan dengan azan yang lain. Sebab bangunan mushala atau masjid yang ada di Indonesia sangat banyak, hampir setiap seratus meter ada. Sehingga bukannya malah memunculkan syiar Islam yang indah dan enak didengar malah justru menjadi bising.

Dalam peraturan toa tersebut beliau juga menuliskan, bahwa sura yang dipancarkan melalui pengeras suara perlu diperhatikan kualitas dan kelayakannya. Bukankah ini salah satu anjuran dalam Islam. salahkah beliau?

Dan terakhir soal azan yang disamakan dengan gonggongan anjing. Adakah benar demikian maksud gus Yaqut? Coba anda googling lagi soal itu dan dengarkan dengan seksama. Yang anda temukan mesti berbeda. Dari sini sudah jelas bahwa peraturan soal toa harusnya tak perlu dipersoal lagi.

Yang perlu kita ketahui lagi, peraturan dibuat untuk menciptakan sebuah kemaslahatan, tidak lain dan tidak bukan. Tabik.

Oleh: Ahmad Miftahul Janah

Picture by tawazun.id

Naskh dalam al-Quran

Perubahan setiap zaman dengan sendirinya akan menawarkan problem dan masalah yang berbeda-beda. Hal itu tentunya menyaratkan adanya cara penyelesaian problem yang variatif pula. Oleh karena itu, setiap Nabi yang diutus oleh Allah untuk menuntun umat manusia  selalu membawa visi menasakh/menghapus ajaran Nabi sebelumnya, kecuali dalam urusan bertauhid.

Peradaban yang dihadapi Nabi Isa tentunya sangat kontras dengan peradaban umat Nabi Musa. Sebab itu, melalui Nabi Isa, Allah perlu melakukan beberapa “revisi” hukum supaya menjadi fleksibel dengan zaman yang dihadapi. Fenomena ini bisa kita lihat dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 50. Demikian paparan Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi dalam kitab Tafsirnya.

Selanjutnya, tentu bisa kita tebak, risalah yang dibawa Nabi Muhammad secara otomatis menasakh/menghapus syariat Nabi sebelumnya yang sudah tidak relevan dengan zaman, sebab beliaulah Nabi pamungkas. Jadi ia memikul visi yang paling berat, yaitu menghapus syariat Nabi-Nabi sebelumnya yang sudah tidak relevan lagi diterapkan pada masa beliau dan membawa ajaran yang berisikan hukum-hukum baru. Contoh, hukum mengenai tata cara pensucian najis. Pada zaman Nabi Musa, pakaian yang terkena najis diharuskan dipotong, namun pada zaman Nabi Muhamad hanya perlu dibasuh saja.

Walhasil, bisa kita simpulkan bahwa umat Nabi Muhamad telah berada di puncak peradaban manusia. Sebab risalah hukum yang beliau bawalah yang akan menuntun umat manusia hingga akhir zaman. Pada masa Nabi Muhammad hidup pun terdapat beberapa naskh, seperti ketika perintah melakukan salat menghadap Baitul Maqdis yang diganti dengan perintah shalat dengan menghadap kakbah.

Dalam Tafsir Al-Kasyaf, Syeikh al-Zamakhsyari menceritakan, setelah melihat adanya penghapusan hukum yang ditetapkan Nabi Muhamad oleh beliau sendiri, kaum Yahudi tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menjatuhkan beliau. Tradisi naskh dalam agama Islam menurut Yahudi adalah sebuah kejanggalan, karena hukum yang ditetapkan oleh Nabi Muhamad harus dinasakh sendiri oleh beliau.

Kaum Yahudi kemudian aktif untuk mencela Nabi Muhamad agar keyakinan para pengikutnya mengendur. “Adakah kalian tidak merasa heran dengan Muhamad? Satu waktu ia menyuruh umatnya untuk melakukan ini, dan di lain waktu dia melarangnya dan justru memerintah umatnya melakukan yang lain? Ini bukti jelas bahwa Al-Quran adalah karangan Muhamad sendiri!”, begitu cercaan yang dilayangkan kaum Yahudi.

Untuk menjawab cercaan itu, Allah kemudian menurunkan ayat yang menjelaskan tentang naskh (perevisian hukum), yakni surat Al-Baqarah ayat 106:

ما ننسخ من آية أو ننسها نأت بخير منها أو مثلها

“Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya”

Dalam ayat di atas dengan tegas Allah menyatakan bahwa ia memiliki tradisi menghapus hukum dan menggantinya dengan yang baru. Namun perlu kita ingat hukum pengganti tersebut tentunya memiliki kualitas yang lebih baik daripada hukum sebelumnya, atau setidaknya sepadan. Hal ini tentunya karena skenario kehidupan yang dibuat Tuhan itu bersifat progresif.

Tradisi naskh/penghapusan hukum yang terdapat dalam ayat diatas oleh para ulama dipetakan menjadi tiga bagian.

  1. Naskh tilawah wa hukm (menghapus bacaan dan hukum).

Bagian ini sudah tidak boleh dibaca sebagai Al-Quran lagi dan juga tidak boleh diamalkan. Sebab ayat ini sudah dinasakh secara keseluruhan, baik hukum ataupun bacaannya. Seperti, ayat Tahrim dengan sepuluh kali susuan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah, “Dahulu ada ayat Al-Quran yang meriwayatkan bahwa, untuk menjadi saudara/i sesusuan butuh sepuluh kali penyusuan. Namun setelah itu ayat ini dinasakh dengan lima kali susuan”.

  • Naskh Tilawah wa Baqa hukm (menghapus bacaan dan menetapkan hukumnya)

Bagian ini sebagaimana dikomentari oleh syeikh Zarkasyi dalam kitab Al-Burhan, wajib untuk diamalkan jika memang sudah melewati konsensus untuk ditetapkan hukumnya.  Diantara contohnya adalah ayat tentang rajam yang berbunyi:

الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموها

“Orang tua laki-laki dan perempuan jika melakukan zina maka rajamlah keduanya”

Bagian satu dan dua sangat sedikit jumlahnya dalam Al-Quran, sebab Allah menurunkan Al-Quran untuk dibaca dan diterapkan hukumnya.

  • Naskh hukm wa baqa’ tilawah (menghapus hukumnya dan menetapkan bacaannya)

Bagian ketiga ini sangat banyak dalam Al-Quran. Salah satu contohnya dalam Al-Quran adalah ayat tentang masa ‘iddah selama setahun yang telah dinaskh hukumnya. Mengenai bagian yang ketiga ini, mungkin ada satu pertanyaan menarik, apa hikmah dari hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap? Pertanyaan ini terjawab dengan cermat dalam Kitab Rawa’i al-Bayan. Setidaknya ada dua hikmah yang bisa kita ambil:

Pertama, al-Quran disamping dibaca untuk dipahami dan diamalkan hukumnya ia juga dibaca sebagai kalamullah, sehingga pembacanya mendapat pahala. Oleh karena itu, sekalipun hukumnya telah dihapus, tetapi bacaannya masih tetap ada. Kedua, sebagian besar nasakh itu bertujuan meringankan. Oleh karena itu, ditetapkanlah tilawah dari ayat yang telah dihapus hukumnya sebagai pengingat akan nikmat dihapuskannya kesulitan (masyaqqah).

Untuk menutup tulisan ini saya kira perlu mengutip komentar Syeikh Ali As-Shabuni. Dalam tafsirnya, Rawaiul Bayan, Syeikh Ali As-Shabuni memberikan sebuah komentar menarik tentang masalah naskh, kenapa hukum yang diturunkan kepada umat Nabi Muhamad masih harus ada naskh lagi, padahal syariatnya telah dianggap menasakh syariat Nabi sebelumnya? Islam sebagai agama yang super komprehensif tentu terlampau modern untuk diterapkan secara serentak. Sehingga perlu sebuah tahapan (tadriji) supaya bisa diterima dengan legowo oleh umatnya. Contohnya dalam masalah khamr. Pada awalnya khamr tidaklah diharamkan, meski sudah tampak jelas ia bisa menghilangkan akal peminumnya. Namun Rasul tidak langsung mengharamkannya, butuh empat tahapan untuk mengharamkannya. Karena jika serta merta langsung diharamkan dikhawatirkan muncul konflik. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

Hormat Bendera Merah Putih: Dalam Kacamata Fiqih

17 Agustus 2021 Indonesia kembali punya perayaan agung bersama, hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia. Perayaan ulang tahun republik Indonesia ke 76 kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika di tahun-tahun lalu kita merayakannya dengan berbagai kegiatan seremonial dan beberapa lomba tingkat kelurahan, seperti balap karung, estafet kelereng, dan lomba pecah air, maka di tahun ini kita hanya bisa merayakannya dengan diam di rumah, karena anjuran dari pemerintah menjalani PPKM, sambil membaca doa-doa untuk para Pahlawan Indonesia yang telah mendahului kita.

Namun bukan Indonesia namanya jika serangkaian peringatan hari besar tidak dilewati dengan acara perdebatan rutin. Seperti, hari natal, misalnya, masyarakat kita akan berdebat soal apa hukum mengucapkan selamat natal kepada kaum Nasrani? Hari Raya Idul Adha dan Idul Fitri masyarakat kita akan berdebat kapan kedua hari tersebut terjadi? Dan masih banyak lagi.

Baca: Ikhwan Ash-Shafa: Organisasi Think Tank Bidang Pendidikan dalam Sejarah Peradaban Islam

Hari ini pun -hari kemerdekaan Indonesia- demikian, masyarakat kita kembali dihadapkan pada acara debat rutinan. Pertanyaannya adalah apa hukum hormat kepada bendera merah putih? Pertanyaan ini datang dari golongan organisasi Islam yang oleh Kiai Hasyim Muzadi disebut dengan organisasi Transnasional.

Pertanyaan ini sebenarnya sudah mendunia. Sebab yang melakukan upacara bendera, bukan hanya Indonesia, melainkan hampir seluruh negara di penjuru dunia. Tetapi aksi protesnya yang paling gencar akhir-akhir ini di Indonesia.

Karena sifat pertanyaannya yang sudah mendunia maka yang menjawab pun ulama berskala internasioal. Diantaranya adalah Syekh Athiyah Shaqar, mantan Ketua Majelis fatwa Al-azhar, dan Syekh Abdurrahman Syaiban, Ketua Majelis Ulama Al-Jazair.

Menurut komentar Syekh Athiyah Shaqar hukum hormat kepada bendera hukumnya diperbolehkan karena bukan termasuk ibadah, seperti shalat atau dzikir, sehingga bisa menerima vonis bid’ah atau serupanya. Berikut saya kutipkan keterangan beliau:

فتحية العلم بالنشيد أو الإشارة باليد في وضع معين إشعار بالولاء للوطن والالتفاف حول قيادته والحرص على حمايته، وذلك لا يدخل فى مفهوم العبادة له، فليس فيها صلاة ولا ذكر حتى يقال : إنها بدعة أو تقرب إلى غير الله.

 “Menghormati bendera dengan lagu atau isyarat tangan dalam situasi tertentu itu menunjukkan kesetiaan pada tanah air, berkumpul di bawah kepemimpinannya, dan komitmen untuk mendukungnya. Sikap itu tidak masuk dalam pengertian ibadah kepada bendera itu. Penghormatan bendera bukanlah shalat atau dzikir sampai ada yang bilang itu bid’ah atau ibadah pada selain Allah.”

Senada dengan komentar di atas, Syekh Abdurrahman Syaiban, selaku ketua majelis Al-Jazair tahun 1999-2001 juga mengungkapkan pendapatnya tentang hukum berdiri saat menyanyikan lagu kebangsaan dan hormat terhadap bendera sebagai rasa cinta. Menurut beliau, kedua hal itu sama sekali tidak bertentangan dengan syariah atau aqidah, karena tidak ada nash (dalil Al-Quran dan Hadis) yang mengharamkannya. Berikut saya lampirkan keterangan beliau:

إن القول بعدم جواز الاستماع إلى النشيد الوطني أو الوقوف له أمر غير مؤسس دينيا، وليس هناك أي نص يحرمه أو يكرهه، بل على عكس ذلك، هو أمر محبب، لأن ديننا الحنيف أكد أن ”حب الوطن من الإيمان” والعلم والنشيد والراية وونياشين هي علامات رمزية واصطلاحات حياتية لا علاقة لها بالشرع

“Pendapat tidak bolehnya mendengarkan lagu kebangsaan atau berdiri saat dinyanyikan tidak memiliki dasar syariah. Tidak ada dalil apa pun yang mengharamkan atau memakruhkannya. Justru sebaliknya: itu perkara yang dianjurkan. Karena, agama Islam menyatakan bahwa “Cinta tanah air itu bagian dari iman.” Sedangkan lagu dan bendera itu adalah tanda dan simbol kehidupan yang tidak ada kaitannya dengan syariah.”

Dari dua fatwa ulama internasional di atas kita bisa menarik sebuah benang merah, bahwa melakukan sikap hormat di depan bendera merah putih dan menyanyikan lagu kebangsaan adalah masalah duniawi dan tidak memiliki sangkut paut dengan ibadah. Oleh karena itu jika kita melakukannya tidak bisa divonis sebagai bid’ah, sebab bid’ah hanya menyangkut pembaruan-pembaruan dalam ibadah. Itu juga tidak bisa dianggap syirik, karena tidak ada unsur penuhanan, hanya sekedar penghormatan sebagai bentuk ekspresi cinta tanah air.

Baca: Kiai Umar Mangkuyudan Wafat, Kiai Ali Maksum Nangis di Atas Podium

Dalam sebuah hadits hasan riwayat Tirmidzi Rasulullah berfirman yang artinya: Perkara haram adalah sesuatu yang diharamkan oleh Allah dalam Quran-Nya. Perkara haram adalah sesuatu yang diharamkan Allah dalam Quran-Nya. Adapun perkara yang tidak dibahas oleh Allah, maka itu adalah sesuatu yang dimaafkan.

Dari hadist ini, maka Imam Syafii membuat sebuah kaidah Fikih yang berbunyi “al-ashlu fil asyyagharil ibadah al-ibahah” “Hukum asal segala sesuatu yang (bukan ibadah) adalah mubah (boleh)”.

Oleh: Ahmad Miftahul Janah

Merupakan penulis buku “Sidul Santri Kucluk”, juga Mahasantri Ma’had Aly An-Nur 2 yang sedang mukim dan bersosial di Komplek L Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak.

Picture by pesantrennusantara.org

Dua Sifat Al-Quran

Sidul memang suka resek kalau lapar. Barusaja datang ia menggebrak meja. “brakkk! Bro! Saya bawa gorengan dari pak Rt nih.. kayaknya enak yi, kalau ngajinya sambil nyemil”.

Setuju, Dul!” -jawab Ki ageng Margajul dibarengi sahutan dari jamaah.

“Ya, udahlah gas!” -ungkap Kiai Margajul.

ذالك الكتاب لا ريب فيه، هدى للمتقين

“Kitab (Al-Quran) ini, yang dibaca oleh Nabi Muhammad, tidak ada keraguan didalamnya. Benar-benar orisinil dari Tuhan. Dan menjadi petunjuk bagi orang yang bertakwa, orang yang dalam progres menaati perintah Allah dan menjauhi larangannya”

Kali ini yang baca adalah ki ageng Margajul langsung. Suaranya agak tua memang, tapi masih fasih. Pembacaan itu beliau lanjut dengan meneruskan bacaan dari tafsir Jalalain. Pada intinya kata beliau, ayat ini menyuguhkan kita tentang dua sifat Al-Quran, otentik dari Tuhan dan menjadi petunjuk orang bertakwa.

Baca: Keutamaan Dan Amalan Bulan Sya’ban

Dalam tafsir Sulaiman Ibnu Muqatil ada cerita mengenai asbab an-nuzul dari ayat ini. Suatu saat Rasul menjalankan misi dakwahnya kepada Ka’ab bin Asyraf dan Ka’ab bin Usaid. Namun bukan penerimaan yang baik yang diperoleh Rasul. Tetapi justru hinaan kepada beliau.

“Semua kitab yang diklaim diturunkan oleh Allah setelah zaman Musa semuanya palsu” -begitu ungkap mereka berdua.

Allah kemudian menurunkan ayat ini sebagai alat pendukung Nabi Muhamad dalam dakwahnya. Al-Qur’an ini memang benar-benar orisinil dari Allah. Lalu kenapa ada saja orang yang meragukan kebenaran Al-Quran, dengan menyatakan bahwa Qur’an adalah sihir, perdukunan, reruntuhan manuskrip umat terdahulu?

Dalam tafsir hasyiah As-Showi, syeikh Ahmad bin Muhamad As-Showi memberikan jawaban yang cukup menarik. Menurutnya, tidak adanya keraguan akan kebenaran Al-Quran itu hanya bagi orang yang mau berpikir dan menalar. Adakah manusia yang mampu memberikan informasi dengan begitu akurat akan segala hal di dunia? Tentu tidak ada.

Sedangkan bagi orang yang tidak mau menerima dan menalar Al-Quran maka akan terus menemui keraguan di dalamnya. Sama persis ketika orang Arab diharuskan meyakini bahwa orang Indonesia mampu melihat jin bernama pocong. Heuheuheu.

“ohhh, jadi Al-Quran pada hakikatnya tidak memiliki keraguan sedikitpun ya. Hanya saja tergantung pada penerimanya. Apakah ia akan menalarnya sehingga tidak ragu lagi, atau malah kekeh menganggapnya sebagai kebohongan Nabi Muhamad?” –ungkap Tasrif.

“ya! Bahkan Al-Quran menerima untuk dihakimi. Ia menantang orang-orang kafir untuk membuat tandingannya. Dan hasilnya mereka tidak mampu. Ada yang mencoba membuat tandingan Al-Quran dengan mengarang sebuah surat tentang gajah. Tapi akhirnya surat itu hanya menjadi olok-olok sepanjang masa.” -tegas Ki ageng Margajul.

Lalu adakah Al-Quran hanya petunjuk bagi orang-orang bertakwa? Tidak, Al-Quran adalah petunjuk bagi siapapun, baik mukmin atau kafir. Asal dia mau menerima dan menalar kebenaran Al-Quran maka dia akan mendapat petunjuk darinya. Terlepas siapapun dia.

Tetapi kenapa yang disebutkan dalam Al-Quran hanya orang-orang bertakwa? Alasannya, sebagaimana disebutkan dalam Siraj Al-Munir karya Khatib As-Syirbini, ada dua. Pertama, karena Allah memuliakan mereka daripada orang kafir. Kedua, karena mereka sudah mampu menikmati petunjuk Al-Quran baik di dunia maupun akhirat.

Syeikh Khatib lalu membagi tingkatan takwa menjadi tiga.

Pertama tingkatan orang awam. Yakni dengan menjauhi syirik, menyekutukan Allah. Takwa jenis ini yang paling banyak dianut di Indonesia. Heuheuheu.

Kedua tingkatan khowash. Yakni dengan menjauhi dosa dan larangan Allah dan menjalani segala perintahnya. Atau dalam kata lain menjalankan semua syariat Allah. Penganut takwa jenis ini juga lumayan banyak.

Baca: Alif Lam Mim, Mencoba Mengungkit Rahasia Tuhan

Ketiga adalah tingkatan khawash al-khawash. Yakni dengan mendedikasikan dirinya kepada Allah. Semua yang dikerjakan diniati karena Allah. Setiap gerak-geriknya seolah diawasi oleh Allah.

“kamu termasuk yang mana, Dul?” -ungkap ki Margajul.

“saya termasuk orang takwa yang sedang lapar. Jadi makan dulu, yi! Daripada habis ini mbahas muttaqin dalam keadaan kelaparan. Moodnya jelek nanti. Hehehehe”

Semua hadirin menyetujui Sidul.

Oleh: Ahmad Miftahul Janah

Picture by walpaperlist.com

Alif Lam Mim, Mencoba Mengungkit Rahasia Tuhan

Melihat pengunjung angkringan yang tadinya ramai sudah reda ki Ageng Margajul bersama tiga santrinya kembali membentuk lingkaran diskusi untuk melanjutkan kajian kemarin. Mereka membuka kitab masing-masing, menatap dalam-dalam, Dan…

الم

“Hanya tuhan yang mengetahui maknanya….”

Sidul membaca pembukaan surat al-Baqarah dengan suara yang agak melengking. Agaknya ia sedang mengasah potensi yang Tuhan berikan padanya.

Selanjutnya sambil menghisap rokok Dji Sam Soe, ki Ageng Margajul mulai memberikan materi dari tafsir jalalain yang beliau elaborasi dari kitab-kitab lainnya. 

Baca: KH. Ali Maksum: Amaliah Mengirim Hadiah Pahala Untuk Mayit

“Mengenai tafsir ayat alif lam mim ini syekh Jalaludin Suyuthi gak mau neko-neko. Beliau hanya menyampaikan bahwa, hanya Tuhanlah yang mengetahui arti dari ayat ini. Penafsiran yang seperti ini merupakan metode yang dipakai oleh ulama salaf yang memasukan ayat tersebut ke dalam kategori ayat mutasyabihat, yakni ayat yang memiliki makna samar dan ambigu. Menurut mazhab salaf kategori ayat ini hanya diketahui oleh Allah maknanya”.

Ki Margajul terdiam sejenak untuk meneguk kopi hitam buatan muridnya, Salikin. Setelah lepas dahaga ia kembali melanjutkan keterangannya. Mengenai penafsiran alif lam mim sebenarnya banyak sekali ulama yang berpendapat. Salah satunya dari mazhab ulama salaf yang dipakai Imam Suyuthi.

Menurut Ibnu Ajibah, dalam tafsir Al-Bahr Al-Madid, perumusan mengenai fawatihus suwar (huruf-huruf yang digunakan sebagai pembuka surat) memang agak rumit. Karena ia memang mengandung banyak rahasia-rahasia dalam al-Qur’an. Abu Bakar As-Sidiq berkata:

في كلّ كتاب سرّ و سرّ القرآن فواتح السور

“Setiap kitab memiliki rahasia, dan rahasia Al-Quran terdapat dalam huruf-huruf pembuka surat”.

Beliau kemudian mencoba meriwayatkan sebuah penafsiran yang menurutnya agak pas. Lanjut beliau, alif lam mim merupakan kata-kata yang digunakan sumpah oleh Allah karena sangat mulia. Sehingga ada yang menafsiri bahwa setiap huruf itu sebenarnya mewakili nama Allah. Alif berasal dari lafad jalalah, Allah. Lam berasal dari sifat Allah, al-Lathif (yang maha lembut). Dan Mim diambil dari sifatnya, al-Majid (yang maha agung). Dari sini ia kemudian dikumpulkan dan dijadikan sebagai pembuka sebuah surat yang sarat akan makna rahasia.

Sedangkan dalam tafsirnya al-Qurthubi kekeh untuk tidak menafsiri ayat tersebut -sebagaimana yang dilakukan oleh imam Suyuthi. Sikap beliau ini didasari oleh beberapa qaul ulama besar. Diantaranya adalah Amir As-Sya’bi dan Sufyan As-Sauri yang mengatakan bahwa, alif lam mim merupakan salah satu rahasia Allah yang ada dalam al-Quran dan merupakan kategori ayat mutasyabihat yang memiliki makna samar, sehingga tidak perlu kita bahas. Hanya saja wajib kita imani dan baca.

Pendapat dua ulama ini juga diperkuat dengan ungkapan sahabat Abu Bakar:

فهذا يوضح أن حروفا من القرآن سترت معاينها عن جميع العالم، اختبارا من الله عز وجل، فمن آمن بها أثيب وسعد، ومن كفر وشك أثم

“Rahasia ini menunjukkan bahwa ada beberapa huruf yang disembunyikan maknanya oleh Allah sebagai ujian untuk kita. Barangsiapa yang mengimaninya maka akan diberi pahala dan hidup bahagia, dan barangsiapa yang kufur dan meragukan kebenaran rahasia tersebut maka ia berdosa”.

Walhasil menurut Abu Bakar, keimanan manusia memang benar-benar diuji. Kita sebagai hamba hanya menerima mandat untuk mengimaninya, tanpa banyak bertanya. Ibarat pembantu yang ditugaskan untuk mengangkat batu yang di bawahnya entah ada apanya.

Baca: Biografi KH. Faqih Abdul Jabbar Maskumambang

Para jamaah yang ada di Angkringan itu kelihatan udah pada mumet, karena omongan yang dikeluarkan Kiai Margajul terlalu muluk-muluk kata mereka. Walhasil satu-persatu dari murid sang kiai protes untuk membubarkan kajiannya dan meneruskan ayat kedua besok lagi. Wassalam, pungkas ki Margajul.

Oleh: Ahamdab Miftahul J.

Picture by pinterest.com

Pro Kontra Lintas Mazhab Dalam Basmalah

Ayat Ahkam:

بسم الله الرحمن الرحيم (١) الحمد لله رب العالمين (٢) الرحمن الرحيم (٣) ملك يوم الدين (٤) اياك نعبد واياك نستعين (٥) اهدنا الصراط المستقيم (٦) صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين (٧)

Surat ini kerap kali kita baca berulang-ulang, baik dalam shalat, tahlilan, atau bahkan saat kita merinding dan takut setan. Sehingga tak heran bila ia disebut dengan sab’u al-matsani, tujuh ayat yang dibaca berulang kali. Tafsiran dari surat ini pun kerap kali kita pelajari, baik melalui guru secara langsung, ataupun dalam sebuah podcast yang kita dengar. Karena demikian, maka saya tidak perlu menulis lagi tentang tafsir dari ayat ini.

Saya hanya hendak membuka sebuah diskusi lintas mazhab mengenai ayat pertama surat Al-Fatihah yang mungkin saja belum pembaca ketahui. Ayat tersebut adalah basmalah. Apa hukum yang dimunculkan dari ayat tersebut?

Sedikitnya, —yang saya ketahui— ada dua hukum yang dimunculkan dari ayat pertama surat Al-Fatihah ini, yang akan disajikan dalam bentuk pertanyaan berikut ini. Apakah basmalah termasuk bagian dari surat Al-Fatihah? Apa hukum membaca basmalah dalam salat?

Baca: Mbah Zainal: Tiga Tanda Orang Shaleh

Hukum Pertama

Kita mulai dengan pertanyaan pertama, apakah basmalah termasuk ayat Fatihah? Menurut mazhab Syafi’i, ia termasuk bagian dari surat Fatihah dengan dalil-dalil sebagai berikut:

Pertama, hadits riwayat Ibnu Abbas yang mengungkapkan bahwa Rasulullah memulai bacaan dalam salat dengan basmalah.

Kedua, hadits riwayat Anas RA tatkala beliau ditanya tentang, apa yang dibaca Rasul dalam salat? Sahabat Anas lalu menjelaskan bahwa bacaan beliau panjang. Beliau kemudian membaca surat Al-Fatihah yang diawali dengan bacaan basmalah.

Dengan dua hadits diatas serta beberapa hadist yang lain mazhab Syafii berkesimpulan bahwa basmalah merupakan bagian dari surat Al-Fatihah.

Pendapat kedua disamapaikan oleh mazhab Maliki, yang menyatakan bahwa basmalah bukan bagian dari ayatnya Al-Fatihah, juga bukan bagian dari surat manapun dalam Al-Quran (mengecualikan ayat dalam surat An-Naml). Lalu apa fungsi basmalah dalam Al-Qur’an jika ia bukan termasuk sebuah ayat? Fungsinya adalah sebagai tabarruk (untuk mengharap barakah). Pandangan beliau ini tentunya dilandasi dengan beberapa argumen yang akan kita urai bersama berikut ini.

Pertama, hadits riwayat Aisyah yang berkomentar bahwa, Rasul memulai salat dengan takbir dan memulai bacaannya dengan hamdalah. Kedua, Hadis riwayat shahabat Anas yang termaktub dalam kitab shahihaini (Bukhari dan Muslim), “saya (Sahabat Anas) pernah melakukan salat dibelakang Rasul, Abi Bakar, Umar, dan Usman. Mereka semua memulai bacaan salat dengan hamdalah” dalam  riwayat Muslim “tidak membaca basmalah, baik diawal bacaan ataupun di akhir”. Dari dua hadits ini dan beberapa hadits lain, mazhab Maliki berpendapat bahwa basmalah bukanlah bagian dari ayatnya Fatihah sekaligus Al-Quran.

Pendapat ketiga diutarakan oleh mazhab Hanafi, yang menyatakan bahwa basmalah merupakan bagian ayat dari Al-Quran tetapi bukan bagian dari Al-Fatihah. Argumen yang melandasi pendapat beliau saya kira cukup unik.

Menurut beliau, penulisan basmalah dalam mushaf Al-Quran menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari Al-Quran tetapi sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia adalah ayat dari salah satu surat dalam al-Quran, ditambah lagi hadits yang memberi indikator bahwa ia tidak perlu dibaca keras bersamaan dengan Fatihah saat salat menunjukkan bahwa ia bukan bagian dari Fatihah. Dengan argumen yang sedemikian rumit dan unik seperti tadi, beliau berkesimpulan bahwa, basmalah merupakan ayat Al-Quran (selain basmalah dalam surat An-Naml) yang diturunkan sebagai pembatas antara satu surat dengan surat yang lain. Pendapat mazhab Hanafi ini juga dikuatkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh banyak sahabat, “kami tidak bisa mengetahui selesainya sebuah surat kecuali setelah diturunkannya basmalah”.

Setelah selesai kita uraikan semua pendapat serta argumennya maka hendaknya kita membuat sebuah kesimpulan dan tarjih (pengunggulan). Dari ketiga pendapat di atas, agaknya yang paling moderat adalah pendapatnya Imam Abu Hanifah. Sebab disaat Imam As-Syafii menyimpulkan bahwa basmalah adalah bagian dari Al-Fatihah, dan Imam Malik menyatakan bahwa basmalah bukan bagian dari Al-Quran sama sekali, Imam Abu Hanifah justru memilih jalur yang aman dengan mengatakan bahwa ia memang bukan bagian dari Fatihah, namun ia tetap bagian dari Al-Quran.

Hukum Kedua

Setelah kita menyelesaikan masalah pertama, kini kita memasuki problem kedua. Apa hukum membaca basmalah dalam salat? Problem ini saya kira juga sering disentil dalam beberapa kalangan, jadi saya kira sangat penting untuk membahasnya supaya menambah wawasan kita agar bisa bersikap lebih bijak dalam  menghadapi perbedaan.

Para ahli Fikih mengalami perdebatan yang cukup sengit dalam satu masalah ini. Karena memang hadist dan dalil yang mereka terima beragam. Jadi kita tak perlu memperumit  perbedaan tersebut dengan saling menaruh klaim “keliru” terhadap mereka yang tidak sependapat dengan mazhab yang kita ikuti. Sebab, sekalipun kita harus menganggap bahwa pendapat kitalah yang paling benar, tetapi kita tetap tidak diperkenankan untuk menyalahkan pihak lain, karena yang lain juga memiliki kans untuk benar.

Kembali pada permasalahan hukum membaca basmalah dalam salat. Jawaban para Imam mazhab mengenai masalah ini tentunya juga dilandasi oleh jawaban mereka akan masalah sebelum ini. Jadi kalian perlu scroll. Langsung saja kita mulai dari pendapatnya mazhab Maliki yang menyatakan, bahwa basmalah dalam al-Fatihah tidak diperkenankan untuk dibaca, baik salat sirriyah ataupun jahriyyah, karena ia bukan bagian dari Fatihah. Kendati demikian, basmalah masih diperbolehkan dibaca pada salat sunah menurut mereka.

Sedangkan menurut mazhab Hanafi, hukum membaca basmalah, baik saat bersamaan dengan Fatihah atau surat lain, adalah hasan/sunah. Namun, harus dibaca secara sirri, pelan-pelan. Pendapat beliau sama dengan yang diutarakan oleh mazhab Hanbali yang menyatakan bahwa basmalah sunah dibaca namun secara sirri saja.

Baca: Mengenal Karya Mama Sempur Idhahul-Karathaniyyah: Tentang Kesesatan Wahabi

Pendapat terakhir adalah pendapat yang disampaikan Imam Syafii. Beliau berkomentar, bahwa membaca basmalah pada permulaan Fatihah dalam salat hukumnya wajib, karena ia termasuk bagian ayatnya. Dan dibaca secara jahr, keras, ketika salat jahriyyah (salat yang bacaannya keras; subuh, maghrib, isya) dan secara sirri, pelan, dalam salat sirriyah (salat yang bacaannya pelan; dhuhur, ashar).

Pemaparan diatas saya kira cukup jelas untuk memahami sebuah hukum yang dimunculkan dari surat Al-Fatihah, khususnya pada ayat pertama, bagi kita mazhab syafii yang menganggapnya bagian dari Fatihah.

Sikap para ulama dalam meng-ijtihad-i sebuah masalah tentu berbeda-beda dan semuanya memiliki kemungkinan benar. Karena mereka masih dalam taraf menduga-duga (dzhan) terhadap sebuah dalil. Yang bisa kita lakukan sebagai muqallid (pengikut) seorang imam mazhab hanyalah mengikutinya dengan tetap tidak menyalahkan mazhab di luar kita.

Oleh: Ahmad Miftahul Janah

Dipost ulang dari alif.id

Picture by amazon.com