Ikhwan Ash-Shafa: Organisasi Think Tank Bidang Pendidikan dalam Sejarah Peradaban Islam

: Chanif Ainun Naim

Masyarakat Islam di seluruh dunia seringkali memimpikan masa-masa kejayaan Islam. Masa kejayaan tersebut, atau yang sering disebut sebagai the golden age of Islam merujuk pada satu masa yang ditandai dengan berkuasanya Daulah Abbasiyah. Impian tersebut patut untuk dimaklumi, mengingat saat ini, bisa dikatakan bahwa masyarakat Islam, di seluruh dunia sedang berada dalam masa dimana peran mereka —peran Islam— untuk dunia, di bidang apapun, berada dalam garis yang stagnan (untuk tidak menyebut jumud).

Tidak dapat dipungkiri pula, bahwa masa kepemimpinan Daulah Abbasiyyah, dunia Islam memang berada dalam puncak peradabannya. Seluruh peradaban dunia pada masa itu, dalam bidang apapun, berkiblat pada Islam. Sederek ulama-ulama besar dalam dunia Islam bisa kita sebut untuk menandai era itu; taruhlah Ibnu Sina, dengan karyanya “Al-Qanun fi’t-Tibb”; Al Khwarizmi, dengan karyanya “Kitab Ikhtisar fi Hisab al Jabar wal Muqabala”; Al Farabi, dengan karyanya “Al-Madina al-Fadila”; Imam Bukhari, dengan karyanya “Shahih Bukhari”; dan Imam Muslim, dengan karya magnum opus-nya “Shahih Muslim”.

Sederet nama-nama ulama besar yang gemilang tersebut sudah cukup familiar bagi kita, khusunya para pengkaji Islamic studies. Namun, pada era Daulah Abbasiyah, atau sebut saja era the golden age of Islam, dengan sederet prestasi gemilangnya untuk peradaban dunia, beserta sederet nama ulama besar terkemuka di banyak bidang keilmuan, ada satu kelompok ilmuan cum ulama, yang seringkali luput dari pembahasan, dan tentu saja menjadi misteri yang tidak terpecahkan hingga sekarang, dengan pengaruhnya yang sedemikian besar bagi ulama-ulama besar pula, adalah kelompok ilmuan Ikhwan Ash-Shafa.[1]

Sumbangsih Ikhwan Ash-Shafa bagi dunia Islam sangatlah besar, yang mencakup banyak dimensi keilmuan, termasuk pendidikan. Lalu, siapa saja yang disebut dengan Ikhwan Ash-Shafa? Apa saja sumbangsihnya bagi pemikiran pendidikan? Serta apa saja sumbangsih pemikiran tersebut (yang masih bisa dikais) bagi dunia pendidikan kontemporer? Tulisan ini berusaha menguak pertanyaan-pertanyaan tersebut satu demi satu secara ringkas padat dan jelas sebagai pengantar dalam memahami Ikhwan Ash-Shafa, setidaknya untuk turut mernggambarkan the golden age of Islam dengan segala keagungannya.

Siapakah Ikhwan Ash-Shafa?

Bila dikatakan bahwa Ikhwan Ash-Shafa adalah nama bagi sesosok orang, maka hal tersebut adalah salah. Sebaliknya, Ikhwan Ash-Shafa adalah nama bagi sekelompok ilmuan, telektual, filsuf cum ulama yang memiliki fokus kajian pada bidang pendidikan dan dakwah.[2] Menurut Abu Hayyan At-Tauhidi dan data internal yang didapat dari karya terbesar Ikhwan Ash-Shafa; Rasail Ikhwan Ash-Shawa; bahwa pergerakan mereka dimulai dari tahun 347 H/958 M sampai tahun 373 H/983 M di pusat Kota Bashrah.[3]

Informasi lain menyebutkan bahwa organisasi Ikhwan Ash-Shafa didirikan oleh kelompok syiah Ismailiyah, yang dinisbatkan kepada imam mereka, Ismail bin Ja’far Ash-Shadiq. Pada saat Syiah menjadi penguasa, organisasi ini mulai menyeruak ke permukaan meski tetap mempertahankan kerahasiaannya.[4]

Sebagai sebuah organisasi intelektual, Ikhwan Ash-Shafa mengajarkan dasar-dasar agama Islam yang memiliki muatan nilai untuk memperkokoh ukhuwwah Islamiyyah, dengan pandangan sikap bahwa: “iman seorang muslim tidak sempurna sampai ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri”. Dalam menjalankan misi dakwah, mereka memiliki semangat untuk menyampaikan (tabligh) ilmu pengetahuan yang militan kepada orang lain. Semua anggota organisasi ini menjadi pengajar (mu’allim) bagi seluruh masyarakat di komunitasnya.[5]

Secara umum, kemunculan Ikhwan Ash-Shafa dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap pelaksanaan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran di luar Islam dan untuk membangkitkan kembali rasa cinta kepada ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam. Organisasi ini sangat merahasiakan nama-nama anggotanya. Merekas bekerja secara rahasia karena kekhawatiran akan ditindak oleh penguasa pada waktu itu yang cenderung otoriter, terlebih pada setiap pemikiran yang muncul.[6]

Dalam adikarya terbesar Ikhwan Ash-Shafa, sebuah buku yang berjudul Rasail Ikhwan Ash-Shafa disebutkan bahwa organisasi ini berarti “persaudaraan yang suci”. Persaudaraan antar anggota mereka sangat solid dan keberadaan mereka tidak hanya berpusat di Bashrah, tapi bahkan menyebar di sejumlah negara Islam. Para ikhwan berasal dari beragam profesi, mulai dari kalangan kerajaan, wazir, gubernur, sastrawan, pedagang, bangsawan, ulama, ahli hukum dan lainnya. Namun, sebagian sejarawan meragukan klaim ini, salah satunya adalah Al-Qifthi (1249). Menurutnya, apa yang tercantum dalam kitab Rasa’il masih bisa mengundang perdebatan. Sebab, menurutnya, tidak ditemukan identitas para penulis risalah tersebut. Tak heran, jika hingga kini tetap beredar berbagai spekulasi. Sebagian kalangan menganggap bahwa Rasa’il Ikhwan Ash-Shafa adalah karya keturunan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ada juga yang berpendapat bahwa penulsinya merupakan para filsuf Mu’tazilah periode pertama.

Untuk tetap merahasiakan pergerakannya, mereka kemudian tertuntut untuk lebih selektif dalam memilih anggotanya.[7] Mereka sangat selektif dalam menerima nggota baru dengan melihat berbagai indikator, di antaranya adalah: memiliki ilmu pengetahuan yang luas, memiliki loyalitas tinggi, memiliki kesungguhan dan memiliki akhlak mulia. Beberapa anggota Ikhwan Ash-Shafa yang diketahui antara lain: Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Masyar al-Basti dikenal dengan nama al-Maqdisy; (2) Abu al-Hasan Ali Ibnu Harun ad-Zanzany; (3) Abu Ahmad al-Mahrajani; (4) Al-Qufy; dan (5) Zaid Ibnu Rifa’ah (Madjidji, 1997: 66). Nama-nama tersebut hanya sebagian kecil dalam daftar kelompok gerakan pendidikan Ikhwan al-Shafa.[8]

Ikhwan Ash-Shafa: Think Tank di Bidang Pendidikan

Pemikiran dari para intelektual cum ulama yang tergabung dalam organisasi Ikhwan Ash-Shafa terkumpul dalam buku berjudul Rasa’il Ikhwan Ash-Shafa yang berisi 51 kesepakatan di antara mereka. Himpunan risalah tersebut memuat penggambaran filsafat Islam yang sudah mencapai puncak yang meliputi segala aspek pengetahuan yang masyhur kala itu. Sehingga, bisa dikatakan mereka adalah semacam think tank organization, suatu organisasi, lembaga, atau kelompok, yang melakukan riset, dalam bidang strategi sosial atau politik, teknologi, dan khususnya pendidikan. [9]

Setidaknya, terdapat tiga karakteristik dari pembahasan yang tertuang dalam himpunan risalah tersebut, yaitu: (1) risalah tersebut memuat tema-tema filsafat-filsafat yang terdapat dalam kitab filsafat pada masa itu; (2) risalah tersebut memuat daftar isi yang dijelaskan dengan panjang lebar sehingga memudahkan pembacanya dalam mempelajari apa yang dibutuhkan; (3) gaya penulisan (uslub) yang digunakan disampaikan dengan cara yang mudah dipahami dan menggunakan kata-kata yang sederhana.[10]

Kitab Risalah Ikhwan Ash-Shafa terdiri atas empat jilid yang memuat ikhtisar tentang pengetahuan yang ada ketika itu. Ikhtisar tersebut mencakup semua objek studi manusia, seperti: ilmu pasti, ilmu alam, musik, etika, biologi,` kimia, metodologi, gramatika, botani, metafisika, alam akhirat, dan lain sebagainya.[11] Informasi secara detail tentang isi risalah Ikhwan al-Shafa ini, dikemukakan oleh Friedrich Dieterici, yaitu: pertama, memuat studi-studi seperti membaca dan menulis, tata bahasa, kalkulasi dan komputasi, ilmu persajakan dan seni puisi, ilmu tentang alamat dan isyarat, ilmu magis, jimat-jimat, kimia dan permainan sulap, perdagangan dan kerajinan, jual beli, komersial, pertanian dan peternakan sapi, serta biografi dan cerita.

Kedua, memuat studi-studi religius yang terdiri dari pengetahuan tentang kitab suci (al-Qur’an), penafsiran kitab suci, ilmu hadits, fiqih dan peringatan Tuhan, kehidupan pertapa, mistisme (sufisme) dan kegembiraan atau pandangan yang membahagiakan. Ketiga, memuat studi-studi filosofikal yang terdiri dari matematika, logika, ilmu berhitung, geometri, astronomi, musik, hubungan aritmatikal dan geometrical, ilmu pengetahuan alam, antropologi, zat, bentuk, waktu dan gerak, kosmologi, produksi, meteorologi, mineralogi, esensi alam dan manifestasinya, botani, zoology, anatomi dan antropologi, daya menanggapi perasaan, embriologi, manusia sebagai mikrokosmos, perkembangan jiwa (evolusi psikis), tubuh dan jiwa, sifat yang sebenarnya tentang perasaan sakit (menderita) dan kesenangan psikis dan fisik, perbedaan bahasa (filologi), pengertian psikologi, dunia kejiwaan (ruh) dan sebagainya.[12]

Pemikiran Ikhwan Ash-Shafa dalam bidasng pendidikan termuat dalam kitab Risalah Ash-Shafa. Konsep-konsep kunci pemikiran pendidikan tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, tentang kewajiban mencari ilmu. Ikhwan Ash-Shafa berpendapat bawha mencari ilmu hukumnya wajib, sebab dengan ilmu, seorang hamba dapat mendekatkan diri kepada Tuhan, mengenal Tuhan, dan beribadah kepada-Nya. Dengan tanpa ilmu, ketiga hal di atas tidak dapat dilakukan dengan baik.[13]Selain itu, Ikhwan Ash-Shafa juga berpendapat bahwa dengan ilmu dapat membuat seorang hamba menjadi beradab dan bersih yang memungkinkan dirinya untuk mendapatkan kenikmatan hidup di dunia dan akhirat. Menurut mereka, dengan ilmu, seorang manusia dapat meningkatkan derajatnya setidngkat dengan malaikat. Seballiknya, tanpa ilmu, manusia adalah sama derajatnya dengan hewan.

Kedua, tentang kewajiban mengajarkan ilmu. Menurut mereka, mengajarkan ilmu hukumnya wajib. Sebab, hal itu merupakan tanggung jawab sosial seorang intelektual, yang harapannya, dapat membawa masyarakat seluruhnya ke dalam cahaya ilmu pula. Guru dan murid harus bekerja sama membuat jejaring pengamalan ilmu dan penyebaran ilmu untuk mencerahkan masyarakat dan membangun peradaban, membentuk masyarakat yang akrab dengan kehidupan beragama, kehidupan duniawi, dan mencapai derajat yang diridhai Allah.[14]

Ketiga, tentang tujuan pendidikan. Menurut Ikhwan Ash-shafa, ilmu adalah gambaran pengetahuan dari jiwa seseorang yang memiliki pengetahuan. Pembelajaran adalah proses mengeluarkan potensi seseorang menjadi hal yang aktual, dan tujuan utama dari proses pendidikan adalah untuk tujuan membentuk moral atau akhlak. Dengan demikian, pendidikan adalah sebuah upaya untuk merealisasikan pengembangan diri seseorang. Totalitas proses pendidikan merupakan aktivitas moral, yaitu agar moral menjadi baik, kebiasaan menjadi positif, dan tindakan seseorang menjadi lurus.[15]

Dengan memiliki nilai-nilai baik tersebut, seseorang akan mampu dan bersedia menyampaikan amanat kepada orang yang berhak, pandai mengendalikan diri, menghormati hak orang lain, bersikap baik kepada tetangga, bersikap tulus kepada sesama, penuh cinta kasih, tidak rakus, tidak suka berkeluh kesah, bersikap empatik, dan berbuat baik tanpa pamrih. Keberadaan nilai-nilai akhlak yang baik tersebut penting sebab bila seseorang pamrih untuk dibalas atas apa yang telah dilakukannya atau punya pamrih untuk disanjung, maka segala hal baik yang telak dilakukannya tidak lagi bernilai kebaikan, melainkan ke-nifaqan, dan tidak pantas bagi orang semacam itu berada di barisan makhluk ruhani yang mulia.[16]

Keempat, tentang metode mendapatkan ilmu pengetahuan. Menurut Ikhwan Ash-Shafa, pengetahuan jika ditilik dari sisi cara memperolehnya dikelompokkan menjadi dua bagian[17], yaitu:

  1. Ma’rifat al-‘aql al-gharizy, yaitu pengetahuan yang dimiliki manusia tanpa proses belajar. Pengetahuan jenis ini pada hakikatnya tidak disebut pengetahuan, tetapi ia adalah dasar bagi pengetahuan. Setiap manusia memiliki pengetahuan jenis ini.
  2. Al-‘ilm al-mustafad al-muktasab, yaitu pengetahuan yang diperoleh manusia melalui pross belajar-mengajar. Jenis pengetahuan inilah yang disebut al-ma’rifat atau al-‘ilm.

Menurut Ikhwan Ash-Shafa, pengetahuan yang diperoleh melalui belajar-mengajar ini terditi atas dua macam pula, yaitu: (a) khabariy; dan (b) nadzhariy. Pengetahuan khabariy diperoleh melalui pemberitaan, baik secara lisan maupun tulisan. Pengetahuan jenis ini mencakup hal-hal yang dapat ditangkap dan dilakukan oleh panca indera. Sedangkan pengetahuan nadzhariy diperoleh melalui penggunaan akal pikiran, yang merupakan kelanjutan dari pengetahuan al-‘aql al-ghaziry.[18]

Kelima, tentang kurikulum pendidikan. Ikhwan Ash-Shafa berpendapat bahwa kurikulu pendidika harus mencakup logika, filsafat, ilmu jiwa (psikologi), pengkajian kitab samawi (al-Qur’an), ilmu kenabian, ilmu syari’at, dan ilmu-ilmu pasti. Namun yang perlu diberi perhatian lebih adalah ilmu keagamaan yang merupakan tujuan akhir dari proses pendidikan.[19]

Keenam, tentang metode pengajaran. Menurut mereka, nbahwa dalam proses pembelajaran harus menggunakan prinsip: “mengajar dari hal yang konkret menuju hal yang abstrak”. Dengan demikian, menurut mereka, bnahwa seorang peserta didik diajarkan untuk melakukan abstraksi (penggambaran atau tashawwur) dari hal-hal konkret yang ada di sekitar mereka. Metode ini membutuhkan pemberian contoh-contoh tertentu dari hal yang konkret untuk kemudian dialukan abstraksi, eksplorasi pemikiran serta penulisan karangan-karangan dari hasil abstraksi tersebut.

Ketujuh, tentang sifat-sifat yang harus dimiliki oleh pecinta ilmu. Menurut Ikhwan Ash-Shafa, seorang pecinta ilmu harus memiliki sifat tawadlu’ (rendah hati, hormat dan ta’dhim kepada guru. Selain itu, seorang pecinta ilmu juga harus memilii sifat as-sual wa as-shumtu (bertanya dan diam); al-istima’ (mendengarkan); at-tafakkur (berpikir/mengenang); al-‘amalu fi al-‘ilmi (mengamalkan ilmu); idraku as-shidqi min nafsihi menemukan kejujuran dari dalam dirinya); katsratu adz-dzikri lini’amillahi (memperbanyak dzikir bahwa kemudahan mencari ilmu adalah nikmat Allah); tarkul ‘ujbi bima yuhsinuhu (meninggalkan kekaguman atas prestasi yangh dicapai).[20]

Kedelapan, tentang sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik. Menurut mereka, seorang pendidik harus memiliki sifat antara lain: lemah lembut dan sayang kepada murid, tidak kecewa melihat murid yang lamban dalam memahami apa yang telah diajarkan, dan tidak rakus dalam meminta imbalan, Zuhud, tidak mengutamakan materi dan niat mengajar hanya karena mencari ridha Allah semata.[21]

   Akhirnya, membayangkan the golden age of Islam tidak hanya sebatas romantisme kejayaan semata. Tetapi, lebih jauh, jika memang ingin membayangkan masa kejayaan tersebut, maka cara yang paling bermartabat adalah dengan mengkaji pemikiran yang turut memberikan sumbangsih bagi kejayaan peradaban itu. Ikhwan Ash-Shafa adalah salah satunya, sebuah organinasi para intelektual yang pergerakannya senyap, layaknya organisasi kader yang berfokus pada isu pendidikan. Mereka mengkritik praktik para penguasa yang dinilai trelah jauh melenceng dari ketentuan agama, dan jawaban mereka adalah melalui penguatan pendidikan.

Konsep pendidikan Ikhwan Ash-Shafa antara lain: (a) mencari ilmu dan mengajarkan ilmu adalah wajib. Sebab, hanya dengan ilmu seseorang mampu mengenal Tuhan dan mendekatkan diri kepada-Nya; (b) pendidikan bertujuan untuk mengoptimnalkan potensi yang dimiliki oleh murid, bukan hanya sebatas pemaksaan kepada murid untuk memahami sesuatu; (c) baik pendidik maupun murid harus memilki akhlaq al-karimah, santun, menjaga kebersihan dan sabar dalam menjalani proses pendidikan. Selain itu, kasih sayang harus emnjadi nilai dasar yang dimiliki, baik oleh guru mapun murid.

Konsep pendidikan yang digali dali pemikiran Ikhwan Ash-Shafa ini dinilai masih relevan dengan pendidikan di era sekarang, dimana pendidikan kita harus bertujuan untuk mencerdaskan seluruh elemen masyarakat, mengedepankan kasih sayang, dan semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Keseluruhan proses tersebut hanya dapat berhasil jika ada keselarasan antara pendidik, murid dan masyarakat.

Referensi:

Sri Ernawati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Safa: Telaah Terhadap Suatu Model Pendidikan Eksklusif”, Master Thesis on Postgraduate Program, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2006,

Rahman Afandi, “Konsep Pendidikan Ikhwan Al-Shafa dan Relevansinya dengan Dunia Postmodern”, Jurnal Insania, Vol. 24, No. 1, 2019 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto,

Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa bagi Pengembangan Dunia Pendidikan”, Jurnal Ta’dib, Vol. 18, No. 01,  Juni 2013,

GanaIslamika.com, “Rasa’il Ikhwanus Shafa (1): Sebuah Adikarya, Kitab Rujukan Paling Misterius”, Gana Islamika: Mozaik Peradaban Islam, Published on 31 October, 2017, https://ganaIslamika.com/ikhwanus-shafa-1-sebuah-adikarya-kitab-rujukan-paling-misterius/, diakses pada 15 Oktober 2020.

Himayatul Izzati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Shafa”, Jurnal Al-Muta`aliyah: Jurnal Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Vol. 1 No. 1 (2016).


[1] Pada dasarnya gerakan Ikhwan ash-Shafa didirikan karena kejenuhan sekelompok ulama’ atas fenomena masyarakat yang terjadi pada paroh akhir abad IV Hijriyah. Periode gemilang yang telah diraih oleh Khalifah Abbasiyah pada saat itu menghasilkan kekayaan yang luar biasa, lihat Sri Ernawati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Safa: Telaah Terhadap Suatu Model Pendidikan Eksklusif”, Master Thesis on Postgraduate Program, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2006, hlm. 113.

[2] Sri Ernawati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Safa…”, hlm. 21-22.

[3] Sri Ernawati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Safa…”, hlm. 23.

[4] Sri Ernawati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Safa…”, hlm. 23.

[5]  Rahman Afandi, “Konsep Pendidikan Ikhwan Al-Shafa dan Relevansinya dengan Dunia Postmodern”, Jurnal Insania, Vol. 24, No. 1, 2019 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto, hlm. 151-152.

[6] Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa bagi Pengembangan Dunia Pendidikan”, Jurnal Ta’dib, Vol. 18, No. 01,  Juni 2013, hlm. 45.

[7] GanaIslamika.com, “Rasa’il Ikhwanus Shafa (1): Sebuah Adikarya, Kitab Rujukan Paling Misterius”, Gana Islamika: Mozaik Peradaban Islam,    Published on 31 October, 2017, https://ganaIslamika.com/ikhwanus-shafa-1-sebuah-adikarya-kitab-rujukan-paling-misterius/, diakses pada 15 Oktober 2020.

[8] Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa…”, hlm. 46.

[9] Rahman Afandi, “Konsep Pendidikan Ikhwan Al-Shafa…”, hlm. 152-153.

[10] Rahman Afandi, “Konsep Pendidikan Ikhwan Al-Shafa…”, hlm. 153.

[11] Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhan Al-Shafa…”, hlm. 46.

[12] Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa…”, hlm. 46-47.

[13] Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa…”, hlm. 48.

[14] Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa…”, hlm. 49.

[15] Himayatul Izzati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Shafa”, Jurnal Al-Muta`aliyah: Jurnal Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Vol. 1 No. 1 (2016), hlm.  109

[16] Himayatul Izzati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Shafa”…, hlm. 110.

[17] Himayatul Izzati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Shafa”…, hlm. 107-108.

[18] Himayatul Izzati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Shafa”…, hlm. 109.

[19] Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa…”, hlm. 49.

[20] Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa…”, hlm. 50.

[21] Sri Ernawati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Safa…”, hlm. 92-95.

Sumber Gambar: https://id.wikipedia.org/wiki/Ikhwan_As-Shafa

Tasawuf, Perilaku Manusia, dan Kritik Sosial

Oleh: Chanif Ainun Naim

Dalam suatu kesempatan, Kiai Said Aqil Siradj panjang lebar menjelaskan perihal psikoanalisa metafisik.Mengenai teori kebutuhan dasar insani (basic human needs) itu disebut juga sebagai teori motivasi. Menurut Maslow pada diri manusia ada sejumlah kebutuhan dasar, kebutuhan yang asasi, yang mau tidak mau harus dipenuhi.Kebutuhan itu bersifat intuitif, ada dengan sendirinya, seperti juga ada pada hewan, walau tentu tidak sama kandungannya. Oleh karena ada kebutuhan yang harus dipenuhi tersebut, maka manusia terdorong (termotivasi) untuk mencari jalan (upaya) memenuhi kebutuhan tersebut. Jika kebutuhannya itu terpenuhi, maka manusia akan merasa “puas” (satisfied), dan sebaliknya, menjadi unsatisfied. Sehingga, kebutuhan itu yang mendorong munculnya motivasi untuk melakukan sesuatu.

Pada diskusi itu, Kiai Said, mengutip pendapat Al Ghazali, menyebut bahwa kebutuhan dasar (need) manusia, yang mengilhami seseorang melakukan suatu tindakan, muncul dari intuisi (khawatir). Penjelasan Kiai Said, ada empat jenis intuisi yang membisikkan hati. Bisikan pertama dinamakan khatir (bisikan hati), datang dari Allah SWT, yang dipenuhi dengan kebaikan. Kedua, bisikan hati yang biasa diterima oleh manusia, dinamakan hawa nafsu. Nafsu apapun, menginginkan apapun, bahkan menginginkan surga atau pahala sekalipun muncul dari jenis kedua ini. Ketiga, bisikan daripada Malaikat Mulhin, bisikan yang membawa kebaikan, ia adalah penasihat kita, yang boleh dipanggil juga (irsyad). Dalam bahasa lain, bisa juga disebut ilmu laduni, ‘ilm al yaqin, haqq al-yaqin. Bisikan keesmpat adalah dari syaitan yang dinamakan waswasah (khathir al-nafs) merupakan keburukan yang menghalangi kebaikan dan menyesatkan.

Baca Juga: Sebuah Kisah Habib Quraisy Bin Qosim Cirebon

Nah, bertasawuf dengan jalan yang dipilih oleh Al Ghazali adalah dengan melakukan penjarakan (distansi) dengan dunia materi yang disebutnya sebagai sesuatu yang berdaya ‘menghancurkan’ hati (muhlikah). Ditengah dunia modern yang sangat destruktif, yang ditandai dengan eksploitasi, baik kepada manusia maupun alam, konsumerisme dan irrasionalnya rasionalitas modern, agama harus mampu menjadi jembatan dalam kritik sosial. Sehingga, tasawwuf (meminjam istilah di buku Kiai Said) dengan sifat dasarnya untuk melakukan penjarakan dengan dunia sebagai kritik sosial sangatlah relevan. Dengan memahami dan menganalisis setiap tindakan manusia, mulai lingkup terkecil muncul dari bisikan (intuisi, khathir) sebagaimana dijelaskan sebelumnya serta pemahaman bahwa dalam diri manusia terdapat dua unsur kekuatan (quwwah) yang berpotensi pada timbulnya tindakan melukai, menyerang (agresi) kepada orang lain, atau potensi kekuatan (quwwah) konsumtif seperti yang dijelaskan oleh Ghazali, kiranya, bagi saya, hal itu sudah cukup untuk menolak segala bentuk tindakan yang merugikan, seperti terorisme, eksploitasi alam atau pula konsumsi tiada henti dan segala bentuk perilaku impulsif. Itu semua dalam gerak yang padu akan mampu mendukung upaya-upaya untuk melestarikan lingkungan, dimulai dari lingkup-lingkup terkecil sekalipun.

Merujuk pada kosmologi Syed Hosen Nasr dalam perspektif environmental theology, bahwa kesadaran akan alam semesta adalah kesadaran akan lingkungan (environtment) dan kesadaran akan diri kita sendiri (mikrokosmos). Artinya, bila kita memiliki kesadaran itu, maka kita tidak akan merusak alam semesta dan lingkungan, karena tidak mungkin kita merusak diri kita sendiri. Jalan menuju kepada proses kesadaran itu adalah dengan pendidikan, karena pendidikan mengajari manusia untuk mengenal Sang Pencipta (Rabbah) dan diri mereka sendiri (nafsah) dalam gerak dimensi vertikal, dan mengenal lingkungan sekitar (dimensi horizontal). []

Sumber Gambar: https://www.mimbar-rakyat.com/detail/alam-semesta-adalah-guru-yang-bijak/

Guy Debord Menjelaskan Problem The Society of the Spectacle, Tasawuf Menjawabnya

Oleh: Chanif Ainun Naim

“The more he identifies with the dominant images of need, the less he understands his own life and his own desires. The spectacle’s estrangement from the acting subject is expressed by the fact that the individual’s gestures are no longer his own; they are the gestures of someone else who represents them to him.”

― Guy Debord, The Society of the Spectacle ―

            Jika kita belajar tasawuf, dalam tasawuf itu ada aspek teoretis (nadzari) ada juga aspek praksis (‘amali). Aspek teoretis pastinya mencakup bagaimana cara pandang tasawuf terhadap dunia (world view), begitu juga dalam filsafat sosial. Filsafat Sosial sebagai sebuah teori filsafat pun memiliki cara pandang tersendiri dalam menjelaskan dunia. Tulisan kali ini akan mencoba melihat cara pandang teori sosial yang diinisiasi oleh Guy Debord tentang kehidupan yang disebutnya sebagai the society of the spectacle serta cara tasawuf bersikap terhadap dunia yang berupa kesenangan yang menipu daya belaka (mata’ al-ghurur).

            Kita mulai dari apa itu masyarakat spectacle atau masyarakat tontonan (society of spectacle). Guy Debord, salah satu pemikir Marxis (Marxist theorist) dari Perancis, melihat bahwa abad ke-20 adalah abad dimana alienasi (keterasingan) manusia mencapai puncaknya, atau abad dimana komodifikasi sebagai inti dari kapitalisme telah mencapai titik kulminasi. Lalu sebenarnya apa sih alienasi itu? Nah, dalam tradisi Marxian, alienasi adalah kondisi dimana manusia terasing sebagai akibat dari jerat sistem kapitalisme. Situasi ini membuat manusia tidak lagi mengenali dirinya sendiri, pekerjaannya, hasil kerjanya dan tidak mengenali sesamanya. Empat keterasingan itu adalah:

  1. Terasing dari dirinya sendiri. Sebenarnya, manusia bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya (dlaruriyyat) sebatas agar ia dapat menyambung kehidupan. Jadi, tidak ada itu, istilah menumpuk kekayaan (al-takatsu fi al-mal). Tapi, oleh kapitalisme, manusia lalu bekerja bukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya saja, tetapi dia bekerja hingga melebihi batas jam kerjanya itu karena tertunduk dan dipaksa oleh kecenderungan untuk al-takatsuru fi al-mal itu atau menumpuk surplus value-nya itu. Sehingga menghasilkan apa? Manusia menjadi bukan dirinya (alienation). Manusia menjadi semacam skrup bagi mesin besar itu agar tetap berjalan. Lalu apa akibatnya? Menjadi workaholic, lalu stress dan pantaslah tema mental illness sekarang menggaung.
  2. Akibatnya adalah, bahwa karena manusia bekerja bukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya semata, maka manusia terasing dari aktivitasnya, dimana aktivitasnya justru ‘ditujukan untuk melawan dirinya sendiri’, seolah-olah aktivitas itu ‘bukan miliknya’. Dia bekerja bukan untuk membuat karya tetapi dia bekerja karena terpaksa.
  3. Sehingga, hasil karyanya bukan lagi karyanya. Manusia terasing dari sesuatu yang menjadi hasil kerjanya, dan tidak bisa menikmati hasilnya itu.
  4. Dalam sistem itu, manusia menjadi tidak mengenal dengan sesama manusia. Karena apa? Karena manusia dan hubungan dia dengan manusia lain di lingkungan dia bekerja hanya sebatas sebagai sesama orang yang asing, bukan sesama manusia yang utuh.

            Karena terjadi proses alienasi itu, maka inilah yang disebut sebagai suaru proses dehumanisasi, kata Marx, dimana secara perlahan, manusia diajak untuk menjadi orang lain, menjauh dari mengenali dirinya. Kesadaran (consciousness)  terjadi ketika manusia tau apa yang terjadi padanya, apa yang seharusnya dan apa yang harus dilakukan. Atau dinamakan dengan sadar kelas. Tapi tenang saja, itu dulu sekali. Itu terjadi di masa lalu, masa fordisme. Kalau sekarang, masa paskafordisme? Lebih ancur-ancuran.

Dunia Hanyalah Sandiwara: The Society of the Spectacle

            Ada apa setelahnya? Lebih lanjut, masyarakat spectacle atau masyarakat tontonan adalah kondisi di mana seluruh manusia telah diokupasi, telah dikuasai sepenuhnya oleh komoditas. Masyarakat tontonan adalah puncak ilusi dari sebuah komunitas, dimana orang dianggap utuh jika telah melakukan ‘pemenuhan total’ dengan mengonsumsi barang-barang yang telah dikomodifikasi. Debord mendeskripsikan istilah tontonan sebagai ‘refleksi visual dari rezim ekonomi pasar’. Ketika kebutuhan ekonomi digantikan oleh kebutuhan ‘pembangunan’ yang tak terbatas, maka kepuasan manusia atas kebutuhan dasarnya (dlaruriyyat) digantikan oleh pemenuhan kebutuhan semu nan tiada henti. Jika dulunya orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan primernya, kini, dalam masyarakat yang dipenuhi komoditas, dipertontonkan dalam bentuk visual. Aktivitas konsumsi pun telah menjadi “kewajiban” baru.

“… just as early industrial capitalism moved the focus of existence from being to having, post-industrial culture has moved that focus from having to appearing”

“Kapitalisme industri awal memindahkan fokus keberadaan dari keberadaan menjadi memiliki, budaya pasca-industri telah memindahkan fokus itu dari memiliki menjadi untuk tampil.”

(Guy Debord, The Society of the Spectacle, 2002)

            Artinya apa? Artinya adalah bahwa segala yang nampak oleh kita di realitas kita yang utamanya diperlihatkan oleh media, baik media massa maupun media sosial dan bahkan hubungan antar sesama manusia adalah menunjukkan bahwa manusia secara keseluruhan telah sepenuhnya dikuasai oleh logika pasar yang telah menguasai berbagai hubungan sosial, seperti terjadi dalam realitas kita sekarang ini. Manusia melihat berita, manusia melihat iklan, manusia melihat realitas sekitarnya yang dilihat hanyalah sebentuk tampilan atas konsumsi-konsumsi benda-benda. Lalu mereka seakan digerakkan untuk mengonsumsinya juga. Mereka lalu mengumpulkan uang, bukan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi lebih dari itu, manusia secara logika telah tertuntut mengkonsumsi segalanya, mengkonsumsi apapun yang dia lihat setalah menginternalisasinya. Penyesuaian dengan kondisi yang demikian menghasilkan manusia sebagai komoditas. Artinya apa? Komoditas bukan lagi hasil produksi, tetapi kehendak untuk konsumtif pun dikomodifikasi. Menuruti semuanya, menyebabkan dehumanisasi secara mental dan fisik pada konsumen.

            Mbulet, ya? Gampangnya begini, deh, saya beri contoh: dalam bidang teknologi, ada yang namanya gadget, contoh saja handphone. Ada sebuah merk yang rutin mengeluarkan produk terbaru, dipertontonkan lewat iklan di televisi, reklame di jalanan, feed influencer Instagram, tweet selebtweet, tetangga komplek membelinya, teman tongkrongan membelinya, lalu orang-orang membicarakannya, di kolom komentar, di tongkrongan, di grup WhatsApp keluarga, bahkan di momen-momen makan malam bersama keluarga, dan sebab orang-orang terhipnotis bahwa produk itu mengerek nilai tertentu jika dipertontonkan, maka kamu pun tergerak untuk memilikinya. Kamu lalu bekerja, dari pagi sampai pagi lagi, bekerja sekuat tenaga, sampai mengabaikan keluargamu, lembur sampai mengabaikan dulu tongkrongan di lingkunganmu, makan pun kalau ingat, kesehatanmu nomor sekian, asam lambungmu yang akut itu kamu jadikan kekasih, kalau bisa setiap hari hadir itu asam lambung, hanya supaya kamu bisa membeli handphone itu. Itu, tuh, apa yang kamu kejar, Dik?

“Where the real world changes into simple images, the simple images become real beings and effective motivations of hypnotic behavior.”

“Saat dunia nyata berubah menjadi gambar sederhana, gambar sederhana menjadi makhluk nyata dan motivasi efektif untuk perilaku hipnosis.”

(Guy Debord, The Society of the Spectacle, 2002)

Jadi rasionalisasinya begini, melalui rentetan komoditas yang mulai mewakili kehidupan mereka, penonton dihadapkan pada contoh-contoh ideal (untuk meng-‘ada’ sebagai manusia) yang mereka perjuangkan untuk dicapai dan dikonsumsi tanpa henti. Penonton dimanipulasi sedemikian rupa sehingga apa yang terlihat menjadi lebih penting dan menarik. Kini, orang harus memakai produk-produk tertetu untuk meningkatkan ketampanannya, kecantikannya, dan status sosialnya di tongkrongannya. Jika kamu juga demikian, maka Debord mengejekmu begini: “Young people everywhere have been allowed to choose between love and a garbage disposal unit. Everywhere they have chosen the garbage disposal unit”. Kamu diizinkan untuk memilih antara cinta dan sampah, tapi kamu kok malah memilih sampah.

            Orang melihat influencer memakai produk kecantikan, lalu ia mencobanya. Orang melihat temannya memakai produk paling baru, lalu dia merasa ingin mengenakannya juga. Jadi dia bekerja keras mengabaikan kesehatannya semata untuk menjadi konsumtif, termotivasi mengenakan apapun yang dianggap trendi, semata agar tidak dilihat ketinggalan jaman. Inilah masyarakat spectacle, yang secara total menhunjam dalam ke dalam sendi-sendiri kehidupan. Kita seakan menjadi anak hilang, mencari-cari tanpa tahu apa yang dicari, mengejar sesuatu yang memang tidak ada habisnya, sebab ia semu, “like lost children we live our unfinished adventures”.

          Hari ini seseorang bekerja bukan karena ingin mengaktualisasi diri, tetapi sekadar mencari upah yang digunakan untuk memenuhi hasratnya membeli komoditas. Dengan menjadi workaholic, para pekerja berharap bisa menjadi kaya dan lebih kaya lagi. Meskipun, secara paradoksal, mereka bekerja hingga lembur untuk bisa menikmati “liburan”. “Behind the masks of total choice, different forms of the same alienation confront each other.” “Di balik topeng pilihan total, berbagai bentuk keterasingan yang sama saling berhadapan”. Proses tontonan menuntut penggunaan citra perantara yang tidak hanya mempromosikan barang untuk dijual, tetapi juga memasarkan fantasi tambahan. Fantasi inilah yang telah mengubah tubuh-tubuh penonton menjadi sekadar mesin hasrat nan konsumtif.

            Dunia yang kita diami ini tidak ada tujuannnya sama sekali, Kata Debord, “Goals are nothing, development is everything. The spectacle aims at nothing other than itself”. Di waktu luang, pekerja memiliki peran baru nan mulia sebagai konsumen; sekadar ATM berjalan yang kehidupan pribadinya disuguhi ‘opium’ berupa fesyen, gawai, kendara, kuliner hingga properti. Kata Debord, “orang yang mempersonifikasikan sistem memang terkenal karena tidak seperti yang terlihat; mereka telah mencapai kebesaran dengan merangkul tingkat realitas yang lebih rendah daripada tingkat kehidupan individu yang paling tidak penting ―dan semua orang mengetahuinya”.

          “In our society now, we prefer to see ourselves living than living.” Dalam masyarakat kita sekarang, kita lebih suka melihat diri kita sendiri hidup daripada hidup. Lalu, bagaimana agar hidup kembali hidup? Agar bisa menghidupi kehidupan? Agar kembali utuh menjadi manusia? Menjadi diri sendiri? Kesadaran itu adalah dengan nulayani keumuman itu sendiri. Siapa yang ikut arus, niscaya dia akan hanyut dalam kepalsuan yang niscaya.

Bertasawuf untuk Menjelaskan dan Mencari Jalan Keluar

          Jika melihat uraian di atas seakan-akan hidup kemudian menjadi sangat tidak bermakna, hidup menjadi seperti tidak ada artinya, bahwa untuk menjadi manusia yang utuh, hal sudah sangat jauh dari gapaian. Bila tidak jeli, sseorang akan jatuh dalam ceruk keputusasaan, pesimis terhhadap kehidupan dan menganggap bahwa tidak ada makna sama sekali dari hidup ini. Tetapi, di sinilah gerak tasawuf menemukan jalannya, sebab inti dari tasawuf adalah sebuah perjalanan untuk mengenali diri sendiri, “man ‘arafa nafsah faqad ‘arafa rabbah”; siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya. Pengenalan diri adalah sebuah proses hati, sebuah pergumulan tiada henti tentang hati. Realitas memang tidak akan pernah bisa diubah, tetapi kita bisa mengubah cara pandang kita terhadap realitas dan cara pandang dimulai dari hati, sebab hati adalah posisi inti dari sebuah kesadaran, perasaan, keinginan dan bahkan kebahagiaan; sebuah kesadaran kosmik, kesadaran tentang manusia, alam semesta dan Tuhannya. Dengan demikian, maka mafhum jika tasawuf sebagai ilmu itu progresif degan wataknya yang dinamis.

          Tidak menherankan pula bahwa tasawuf itu adalah sebuah proses kegairahan spiritual (al-tsaurah al-ruhaniyyah). Tasawuf secara umum berbeda dengan akhlak atau etika. Etika bisa dilakukan tanpa adanya landasan ilmu ketuhanan tertentu, tetapi tasawuf sebagai sebuah teori, dia memiliki aspek teoretis (nadzari) dan aspek praksisnya (‘amali). Aspek teoretis dari tasawuf berkaitan dengan pemahaman tentang wujud, yakni tentang Tuhan, manusia dan alam semesta. Sedangkan aspek praksis tasawuf berkaitan dengan tata cara hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia lain, alam dan dengan Tuhan sebagai hasil dari pemahaman tertentu dari teori tasawuf. Antara tasawuf sebagai teori dan praktif, keduanya harus berjalan beriringan untuk mencapai kesempurnaan sebagai manusia (insan al-kamil). Metode yang digunakan adalah pembersihan jiwa (tazkiyat al-nafs) dengan serangkaian mujadadah al-nafs dan riyadlah al-nafs. Keseluruhan proses untuk menuju kesempurnaan sebagai manusia ini disebut dengan suluk, sebuah perjalanan menuju Allah.

          Dalam suluk tersebut, seseorang harus meniti maqamat (kedudukan seorang pejalan spiritual; salik di hadapan Allah) tertentu. Setiap salik dalam prosesnya juga akan mengalami ahwal tertentu (suasanan atau keadaan yang menyelimuti kalbu). Perjalanan yang ditempuh oleh salik dalam prosesnya menuju Allah ini akan melalui tiga pos (marhalah) sebagai maqam tertentu, dengan mujahadah dan riyadlah tertentu serta dengan ahwal tertentu. Ketiga marhalah tersebut adalah: takhalli, tahalli dan tajalli. Secara singkat, ketiga marhalah itu dijelaskan sebagai berikut:

  1. Takhalli: artinya adalah mengosongkan. Mengosongkan apa? Mengosongkan hati. Dari apa? Dari keinginan-keinginan, motivasi-motivasi dan segala hal yang tidak karena Allah. Dalam marhalah ini, ada tiga hal yang harus dilalui, yaitu taubat (dari segala dosa), wara’ (menjaga diri dari melakukan dosa), ‘iffah (menjaga diri dari segala macam pengharapan kepada orang lain), zuhud (menghindari ketergantungan, pengharapan dan kecintaan pada selain Allah). Jika seorang salik telah melewati pos ini, maka dia akan berjalan menuju pos selanjutnya, yaitu;
  2. Tahalli: artinya adalah menghiasi. Menghiasi apa? Menghiasi dan mengisi hati. Dengan apa? Dengan sifat-sifat yang baik, dimulai dengan sabar (dari melakukan maksiat, dalam menjalani ketaatan dan dalam menghadapi ujian hidup), tawakkal (menjalankan segala sesuatu semata dengan motivasi karena Allah, dan bergantung hanya kepada Allah dalam proses perjalanan hidup), ridla (menerima segala hal yang terjadi dalam hidup atau qana’ah; nrimo ing pandum, dan menyadari bahwa segala yang terjadi dalam hidup adalah semata kehendak Allah), dan syukur (menyukuri segala yang diberikan Allah dalam hidup). Jika salik telah melewati kedua pos di atas, maka dia akan menginjak pada perjalanan selanjutnya, yaitu;
  3. Tajalli: artinya penjelmaan, manivestasi. Dengan apa? Para sufi mengartikannya dengan al-takhallaq bi akhlaqillah, berperilaku dengan “perilaku” Allah. Artinya bagaimana? Ada dua kondisi yang akan dialami oleh salik, yaitu thuma’ninah (tidak gelisah) dalam menjalani hidup, mahabbah (dipenuhi cinta). Sehingga, Allah adalah Dzat yang rahman al-dunya wa al-akhirah; maha pengasih bagi seluruh makhluk di dunia dan di akhirat. Dengan berperilaku dengan perilaku Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, maka seseorang akan mempraktikkan kasih sayang kepada seluruh makhluk Allah.

            Para sufi berbeda-beda dalam mendefinisikan serta mengklasifikasi maqamat apa saja yang harus dilalui, ahwal apa saja yang akan dialami serta dengan metode bagaimana. Sebab ini adalah ilmu tentang kondisi hati (al-‘ilm bi ahwal al-qalb), maka sangat sulit menjelaskannya secara sitematis. Sehingga, pelan-pelan dilalui saja berdasarkan kata kuncinya dengan permenungan yang panjang.

            Aduh, kok sepertinya sulit, ya? Dan apa korelasinya dengan the society of spectacle? Bila judulnya cara tasawuf menjawab problem sosial itu, dimana letaknya? Bukankah bekerja adalah juga sebuah keharusan? Bila kondisi sudah demikian, lalu harus bagaimana? Bertapa di puncak gunung? Lha wong puncak gunung saja jadi komoditas? Mau apa lagi yang bisa dilakukan?

            Kata kuncinya adalah di ―meminjam istilah Aa Gym―manajemen qalbu. Motivasi, interest, keinginan, harapan, atau khawathir, munculnya dari hati. Orang harus bergerak, bekerja, berkrasi, sebab itu adalah perintah Tuhan kepada manusia; wa qul: i’malu fasayarallahu ‘amalakum wa rasuluhu wa al-mu’minun, dan katakanlah, “bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin”. Tapi niatkan itu semua karena Allah. Sehingga hasilnya seberapapun, itu adalah pemberian Allah yang baik untukmu, lalu kamu akan dijauhkan dari perasaan susah, gelisah, menggerutu, dan marah serta menyalahkan pihak tertentu, seraya tetap mengamalkan apa yang harus dilakukan oleh salik di atas. Dengan mendasarkan segalanya semata karena Allah, maka melihat kegaduhan apapun di masyarakat, kamu tidak lantas kaget, gagap dan bahkan latah. Sehingga dengan demikian, kebahagiaan dan kesedihan, nikmat dan musibah, sempit dan lapang, pujian dan cacian, penghormatan dan penghinaan, sanjungan dan pengucilan, semuanya adalah sama. Lalu, semoga Allah menganugerahkan perasaan ridla pada segala ketentuannya, qana’ah atas pemberian-Nya, sabar atas ujian-Nya, dan thuma’ninah dalam hidup dan pada akhirnya, dianugerahi untuk mengenal-Nya; man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu. Pahamilah, renungkanlah, dan jalanilah, Nif, Chanif Ainun Naim! Ini wejangan untukmu []

Sumber Gambar: https://medium.com/@matanshapiro/cryptogenesis-the-society-of-the-spectacle-in-the-cryptocurrency-ecosystem-f258c92a5da8

Best Russian Brides – Suggestions to Find the Right Russian Bride

The best Russian brides are those who really know all their foreign husbands personally. These types of Russian girls usually do not leave their partners just because they want to be hitched somewhere else. They might be found among the pages of the past and are still capable to create a decent living as spouses of overseas millionaires. The very best Russian bride-to-be will take proper care of her husband and family just before she possibly considers getting married to someone out of abroad. This will be significant for foreseeable future marriages, mainly because if a foreign bride gets married with an American or an Aussie, there is a likelihood that her family will be alienated out of her fresh husband.

A lot of men via Russia and other countries look for Russian women throughout the internet. There are many services which help people search for the best Russian brides from all over the world. There is a large number of offerings that support men to find Russian mail order wedding brides. A lot of men are actually looking for Russian mail buy brides as a way to have an affair with a Russian woman. The skills may showcase legitimate relationships and matchmaking expertise as well.

Before getting yourself into marriages with foreign men, it is best to consider carefully all your options. The very best Russian brides come from a unique country and culture than most american girls. A whole lot of guys prefer to get Russian ship order brides to be who are physically delightful, since they contain nothing else to consider in a partner. Men also favor Russian women who can make authentic meals. It is always preferable to meet the bride who is impartial and hardworking, and willing for taking any kind of difficult task.

For top level Russian birdes-to-be, charmdate reviews you have to be a little cautious in choosing the right internet dating site. Websites offer no cost services nevertheless only a lot of them provide top quality profiles of Russian women of all ages seeking guys. There are a huge selection of online dating sites today, and most of them are scams. If you want to find the best Russian mail order bride, you should work quite hard in finding one.

You need to be very careful regarding choosing the best Russian bride online dating website since there are several frauds on the internet that do not give out any kind of personal information. Some online dating services websites employ false profiles to attract overseas men. When you become an associate of such a webpage, you will be permitted to upload the photo and personal data. Some websites use these types of photos to get marketing objectives.

In case you really want to examine Russian females, you have to be prepared to spend some time and effort. There are websites that enable free registration. You can simply search the data source of free, Russian dating sites and you will see thousands of information of beautiful girls. Do not worry about paying the membership fee since it is usually worthwhile.

Uchiha Itachi Terinspirasi Dari Kitab Ulama Abad Ke-16

Bagi para penggemar anime Naruto Shippuden, Uchiha Itachi adalah salah satu shinobi penting yang keberadaannya turut serta dalam menentukan alur cerita yang tidak terduga (plot twist). Itachi sering dianggap sebagai pengkhianat Desa Konoha sebab ia telah membantai seluruh anggota klan-nya dan hanya menyisakan adiknya yang masih kecil, Uchiha Sasuke.

Tidak hanya itu, Uchiha Itachi juga bergabung dengan organisasi berbahaya, Akatsuki. Organisasi tersebut adalah kumpulan ninja pelarian dengan tingkat kejahatan tinggi dari berbagai desa. Akatsuki dengan Uzumaki Nagato sebagai pemimpinnya adalah semacam kumpulan para villain yang bertujuan menguasai dunia shinobi dengan cara-cara jahat.

Dilihat dari namanya, Uchiha Itachi adalah bagian dari klan Uchiha, salah satu klan terkuat dengan kekuatan mata sharingan yang diwariskan (kekkei genkai) berdasarkan genetika. Dengan manipulasi kekuatan mata, anggota klan Uchiha dapat menghasilkan chakra yang besar dengan kekuatan yang menakutkan, bahkan membunuh.

Baca: Kisah Uwais Al-Qarni dan Seorang Rahib yang Bijak

Kekuatanm mata Itachi berkembang dari Sharingan biasa sampai dapat membangkitkan Mangekyo Sharingan. Dengan Mangekyo Sharingan, Itachi dapat membangkitkan Susanoo (sebuah monster chakra raksasa). Bahkan Susanoo Itachi memiliki Pedang Totsuka, sebuah pedang chakra yang mampu menyegel siapapun yang terkena serangan tersebut ke dalam toples Sake. Mereka akan tersegel di dalamnya untuk selamanya. Itachi sendiri sangat handal dalam menggunakan Totsuka Blade, dimana dia berhasil menyegel beberapa orang.

Yang unik, Uchiha Itachi selalu identik dengan burung gagak. Dalam bebrapa episode, Itachi beberapa kali memunculkan gagak, seperti ketika ia menggunakan bunshin atau ketika ia menyerang menggunakan genjutsu (kekuatan memanipulasi pikiran musuh). Mengapa Itachi yang memiliki kekuatan mata yang luar biasa itu identik dengan burung gagak?

Dalam kitab Bada’i al-Zuhur fi Waqa’i al-Duhur, Syaikh al-‘Alim al-Fadhil Muhammad ibn Ahmad bin Iyas al-Hanafi (lahir: Juni 1448; wafat November 1522; salah satu sejarawan terpenting dalam sejarah Mesir modern yang berasal dari Sirkasia) menyebutkan tentang kisah menakjubkan tentang burung gagak. Dalam bab dzkr akhbar ma baina al-sama’ wa al-ardl, Syaikh Muhammad ibn Iyas menyebutkan:

وروي أن إسم الغراب أعور, وإنما سمي بذلك لأنه يغمض إحدى عينيه من قوة بصره, ويقتصر على الأخرى, وقد قيل في المعني

وقد ظلموه حين سموه سيدا # كما ظلم الناس الغراب بأعورا

(Diriwayatkan): Sesungguhnya nama burung gagak adalah pecak (buta sebelah mata). Hal itu karena burung gagak menutup sebelah matanya karena penghilatannya yang terlalu kuat, sehingga gagak memfokuskan pandangannya pada satu matanya. Sebagaimana diriwayatkan makna serupa dalam sebuah syair:

“Dan mereka menganiaya dia ketika mereka memanggilnya tuan # Sama seperti orang-orang menganiaya gagak dengan matanya yang buta sebelah”

Dari penjelasan di atas, Syaikh Muhammad ibn Iyas menjelaskan bahwa burung gagak memiliki penglihatan (kekuatan mata) yang kuat. Saking kuatnya kekuatan itu, gagak memfokuskan penglihatannya pada satu mata, sedangkan matanya yang lain ditutup. Hal ini bukan berarti gagak hanya memiliki satu mata yang berfungsi, tetapi agar lebih fokus, gagak hanya menggunakan satu matanya.

Baca: Kisah Juraij Dan Seorang Pelacur

Apa yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad ibn Iyas tentang gagak tersebut sangatlah relevan dengan apa yang terjadi pada Uchiha Itachi. Dalam bebrapa kesempatan, terutama ketika ia menggunakan mangekyo sharingan (kekuatan mata di atas Sharingan biasa) Itachi seringkali menutup satu matanya dan berfokus menggunakan matanya yang lain. Tidak jarang, karena besarnya kekuatan mata itu menyebabkan mata Itachi mengeluarkan darah. Dengan ini, maka sangat masuk akal jika karakter Uchiha Itachi memang terinspirasi oleh burung gagak. Apa yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad ibn Iyas pada abad ke-16 itu menjadi semacam penyelidikan tentang ilmu biologi, khusunya tentang anatomi tubuh hewan. Apakah kisah inilah yang dalam perkembangannya menjadi inspirasi Masashi Kisimoto membuat karakter Itachi? Wallahu a’lam 😀

Oleh: Chanif Ainun N

Sumber: kitab Bada’i al-Zuhur fi Waqa’i al-Duhur

Picture by wallpaperaccess.com

Finding A Deliver Order Bride-to-be

Mail order brides’ expertise have become quite common these days. Persons do not always like to wait for all their love to arrive knocking on their doors. In the event you too really want to experience a diverse kind of marriage, you should try this option. The good thing is that you do not need to spend much time or perhaps money on locating a suitable spouse. All you need to understand how to find a snail mail order woman is in the finger ideas.

Firstly, you can subscribe on one of the numerous mail theonlybrides.com order bride-to-be websites. These kinds of websites provide quick service to married people who want to aquire a change of scene. They feature live support by fixing your search and help you receive registered on a single of the many web directories. You can easily register on these websites and begin looking for your perfect life-partners.

The next approach you can choose a mail order bride should be to browse through the publication. The more popular papers tend to write articles regarding mail order brides. It will help people have a much better idea about the presence of these products and services and the different types of people who utilize them. When looking for a star of the event, these articles can be quite helpful.

The additional way of trying to find the perfect bride-to-be is through casual internet dating websites. Casual dating is when people use the internet, forums, and online communities for everyday dating requirements. Most of these sites have a search feature in order to people deal with the background of people who show up interesting. These sites enable birdes-to-be to state certain standards such as years, physical appearance, and education so that they acquire matched up with a particular group of individuals. This is a very effective way of locating a mail-order star of the wedding as most of these casual internet dating sites cater to offshore brides.

These are each of the main ways people will find all mail order brides. If you are certainly not interested in formal internet dating methods, you might opt to go for informal dating sites. While you might not have a whole lot of success with these websites, you will have a number of fun as you try to find anyone who is best for you.

Finding a bride today has become easier due to the internet. Before, you will need to spend a lot of time going through completely different newspapers or mags, browsing users on internet dating sites, and communicating with people who are thinking about the same thing when you are. With the help of the world wide web, you can remove all these problems and find email order wedding brides in no time at all.

Mengeluh Itu Boleh Nggak, Sih?

Oleh: Chanif Ainun Naim

Di dalam hidup, kita sering mengalami hal-hal yang menyedihkan. Terkadang, sesuatu yang kita alami tidak sesuai yang kita harapkan. Lalu, reaksinya, kita mengeluhkan itu entah kepada siapaun. Yang menjadi pertanyaan, sebenarnya, mengeluh itu boleh nggak sih? Kepada siapa kita harus mengeluh? Dalam kitab Minhaj al-‘Abidin, Imam al-Ghazali berkata: “kami meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda dalam hadits qudsi, Allah bersabda: ‘siapa yang tidak ridha dengan qadla -Ku, dan tidak sabar atas ujian dari-Ku, dan tidak bersyukur atas nikmat dari-Ku, maka carilah tuhan selain Aku”.

وروينا أن رسول الله ﷺ قال في حديث قدسي عن رب العالمين: “من لم يرض بقضائي، ولم يصبر على بلائي ولم يشكر نعمائي فليتخذ إلها سوائي”.

Al-Ghazali kemudian menceritakan bahwa ada seorang nabi mengeluh atas apa yang dia alami kepada Allah. Lalu Allah memberikan wahyu kepada nabi itu: “apa kamu kesal kepada-Ku, padahal Aku bukanlah dzat yang pantas dicaci? Seperti iki kelakuanmu? Kenapa kamu membenci keputusan-Ku kepadamu? Apa kamu ingin Aku merubah dunia untuk memenuhi keinginanmu? Atau aku ubah lauh mahfudz karena kamu? Lalu, Aku memutuskan sesuatu atas keinginanmu, bukan keinginan-Ku? Lalu yang terjadi adalah apa yang kamu sukai, bukan yang Aku sukai? Maka, demi keagungan-Ku, Aku bersumpah, kalau sekali lagi hal ini terbesit lagi di hatimu, maka sungguh akan kulepas jubah kenabianmu, kumasukkan kamu ke neraka dan Aku tidak peduli!”.

Dari kutipan di atas, tentang apa yang disampaikan oleh Al-Ghazali, mungkin beberapa teman akan bertanya-tanya, “kok begitu ya? Bukannya hanya kepada Allah tempat mengadu?” Ya, memang demikian. Hanya kepada Allah semata tempat mengadukan segala duka.

Jika kita melihat dhahirul lafdzi dari hadits qudsi tersebut, maka mafhum al-lafdzi-nya adalah: “yang tidak diperbolehkan adalah tentang benci dengan takdirnya. Lalu, seakan-akan berkata “seharusnya saya tidak begini, Ya Allah, seandainya saya begini, niscaya saya akan demikian, Ya Allah”. Kesan yang timbul dari mengeluh yang demikian adalah seperti “mengatur” Allah. Hal semacam inilah yang tidak diperbolehkan.

Lalu, adakah contoh bentuk pengaduan kesedihan kepada Allah yang dapat kita jadikan ‘ibrah? Ada, diambil dari  kisah Nabi Yaqub yang diabadikan dalam Q.S. Yusuf (12:86):

“قالَ إِنَّما أَشْكُوا بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ ما لا تَعْلَمُونَ” [يوسف: 86 ].

Artinya: Dia (Yakub) menjawab, “Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui. (Q.S. Yusuf, 12:86).

Ibnu ‘Ajibah, seorang sufi tarekat al-Darqawiyah dari Maroko, negeri para sufi, yang menulis buku tafsir dengan corak sufistik berjudul “Al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Qur’an al-Majid” menuturkan, bahwa ayat tersebut menunjukkan bahwa sedih dan menagis itu boleh dan sangat manusiawi. Sebab, sangat sedikit orang yang bisa menahan dirinya ketika ditimpa kesedihan. Rasulullah juga pernah menangis. Tangis kesedihan Rasulullah tersebut terekam dalam sebuah riwayat yang menyebut: “Rasulullah bersabda: ‘hati bisa bersedih, mata bisa menangis, tapi aku tidak berucap kecuali apa yang diridhai Tuhanku.”

وفيه دليل على جواز التأسف والبكاء عند التفجع. ولعل أمثال ذلك لا يدخل تحت التكليف، فإنه قلَّ من يملك نفسه عند الشدائد، وقد بكى رسول الله صلى الله عليه وسلّم وقال: «القلْبُ يَحْزَنُ، والعَيْنُ تَدمَعُ، ولا نَقُولُ إلاَّ ما يُرْضِي رَبَّنا، وإنَّا على فِراقِكَ يا إبراهِيمُ لَمَحْزُونون» .

]ابن عجيبة، البحر المديد في تفسير القرآن المجيد، ٦٢٠/٢]

Selanjutnya, dalam menafsirkan kata “innama asyku batstsi wa huzni ilallah”, Ibnu ‘Ajibah menuturkan bahwa Nabi Yaqub hanya mengadukan kesusahan dan kesedihannya yang tidak tertahankan karena kehilangan Nabi Yusuf, hanya kepada Allah, bukan kepada siapapun selain Allah. Menurut Ibnu ‘Ajibah, hal yang demikian bukanlah sebuah celaan kepada apa yang terjadi, tetapi menunjukkan bahwa Nabi Yaqub hanya membutuhkan Allah, serta lemah di hadapan-Nya. Pengaduan diri Nabi Ya’qub kepada Allah yang demikian ini adalah terpuji.

إِنَّما أَشْكُوا بَثِّي، أي: شدة همي حُزْنِي الذي لاصبر عليه، لَى اللَّهِ لا إلى أحد منكم ولا غيركم فَخَلّوني وشِكَايتي، فلست مِمَّن يجزع ويَضْجَر فيستحق التعنيف، وإنما أشكو إلى الله، ولا تعنيف فيه لأن فيه إظهار الفقر، والعجز بين يديه، وهو محمود.

Ayat selanjutnya, Nabi Ya’qub mengatakan bahwa beliau lebih mengetahui sesuatu dari Allah, apa yang tidak diketahui oleh anak-anaknya yang lain. Ibnu ‘Ajibah menafsirkan ayat tersebut bahwa yang dimaksud dengan sesuatu yang diketahui oleh Nabi Yaqub adalah: kelembutan, belas kasih, dan kasih sayang Allah, sehingga Nabi Ya’qub memantapkan persangkaan baik (husnudzhan) kepada Allah, kuatnya pengharapan kepada-Nya dan kesadaran bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan pengharapan beliau.

أَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ ما لا تَعْلَمُون، أي: أعلم من لطف الله ورأفته ورحمته، ما يوجب حسن ظني وقوة رجائي، وأنه لا يخيب دعائي،

]ابن عجيبة، البحر المديد في تفسير القرآن المجيد، ٦٢١/٢[

Sebagai penutup dalam menafsirkan rangkaian ayat surat Yusuf tersebut, Ibnu ‘Ajibah menggarisbawahi hal yang paling penting untuk diketahui. Ketika seseorang dalam hatinya telah merasa cukup dengan Allah, maka dia tidak akan berduka mendalam, sebab dia telah memperoleh segalanya (dari Allah) dan tidak kehilangan apapun. Perasaan cukup hanya kepada Allah itu nyata adanya, seperti yang dirasakan oleh para ‘arif billah.

فإذا حصل للقلب الغنى بالله لم يتأسف على شيء، ولم يحزن على شيء لأنه حاز كل شيء، ولم يفته شيء.

Terakhir, Ibnu ‘Ajibah menyampaikan bahwa ayat “innama asyku batstsi wa huzni ilallah” mengisyaratkan adanya upaya untuk menghilangkan rasa butuh kepada makhluk, mencukupkan diri pada Allah, serta tidak mengeluh kepada makhluk atas apa yang terjadi adalah salah satu rukun tarekat tasawuf, bahkan hal tersebut adalah inti dari tasawuf.

وهذا أمر محقق، مذوق عند العارفين أهل الغنى بالله. وقوله: (إنما أشكو بثي وحزني إلى الله) : فيه رفع الهمة عن الخلق، والاكتفاء بالملك الحق، وعدم الشكوى فيما ينزل إلى الخلق.. وهو ركن من أركان طريق التصوف، بل هو عين التصوف. وبالله التوفيق

]ابن عجيبة، البحر المديد في تفسير القرآن المجيد، ٦٢٢/٢ [

Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq.

Image by Kompasiana.com

(1) Memahami Kembali Makna Hadits Khair an-Nas Anfa’uhum li an-Nas

Oleh: Chanif Ainun Naim

Hadits tersebut tentu sudah sangat familiar bagi kita. Saya pun yakin, sebagian besar dari kita pasti menjadikan hadist tersebut sebagai Iandasan dalil dalam bertindak, khususnya dalam mengupayakan kebermanfaatan yang luas. Secara umum, kita sering mengartikan hadits tersebut dengan: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”

Namun, dengan memahami hadits tersebut dengan makna yang hanya sebatas itu saja, untuk menjadi manusia terbaik, beberapa dari kita justru jatuh pada pemaksaan diri untuk memberikan kebermanfaatan umum. Sedangkan kita tahu, tidak semua orang memiliki kapasitas untuk itu. 

Bila benar yang terjadi adalah demikian, maka banyak orang yang sungguh ingin jadi yang terbaik dan bermanfaat bagi banyak orang, tapi ia tidak punya seperangkat modal yang mampu membantunya untuk itu, menjadi frustasi, hilang arah (disorientasi) dan akhirnya merasa tidak berguna. Seakan-akan bukanlah orang yang terbaik sebelum ia mampu berbuat banyak untuk banyak orang. 

Namun, saya di sini hanya menyuguhkan adanya pemaknaan Iain yang sering tidak dimunculkan dalam memaknai Hadits tersebut. Dari redaksi hadits tersebut, Kanjeng Nabi menggunakan kata خير الناس: sebaik-baik manusia, انفعهم للناس: “yang paling bermanfaat bagi manusia”. Nabi menggunakan kata الناس yang pertama menggunakan isim (kata) makrifah (khusus), begitupun dengan kata الناس yang kedua.

Dari sini, dipahami bahwa الناس  yang pertama dan yg kedua adalah sama-sama merujuk pada kategori manusia yang sama. Kalau Nabi hanya menghendaki bahwa makna teks hadits tersebut adalah “bermanfaat bagi manusia lain” saja, tentu penggunaan redaksinya adalah خير الناس انفعهم لكل ناس dengan menggunakan kata nakirah (umum) pada الناس yang kedua. Dengan ini, implikasi teks terhadap makna hadits tersebut adalah bahwa sebaik-baik manusia (tertentu) adalah yang lebih bermanfaat bagi manusia (tertentu). Artinya, bahwa kita pun juga bagian dari manusia.

Oleh: Chanif Ainun Naim

Photo by freepik.com

(2)Memahami Kembali Makna Hadits Khair an-Nas Anfa’uhum li an-Nas

Oleh: Chanif Ainun Naim

Implikasi dari pemaknaan kedua ini adalah ketika kita mampu Iebih memberikan manfaat bagi diri kita pun sebenarnya kita telah mengamalkan hadits tersebut. Jadi, jika kita hanya mampu bermanfaat bagi diri kita sendiri, dan memang kita tidak atau belum memiliki kapasitas untuk bisa bermanfaat bagi banyak orang, sesungguhnya kita tidak perlu merasa rendah diri. Sebab, sebaik-baiknya manusia adalah yang mampu memberikan manfaat, baik kepada dirinya sendiri, Lebih-lebih pada khalayak umum. Toh, ada maqalah yang menyebutkan:

قم حيث أقامك الله

“Berdirilah di manapun, kapanpun, pada siapapun Allah menempatkan dirimu.” 

Pemaknaan seperti ini terkadang dilakukan dengan menghadirkan makna kata yang sebelumnya belum hadir. Dalam menafsirkan teks bahasa Arab, untuk tetap berhati-hati, kita tidak boleh menganggap bahwa sebuah teks adalah bejana kosong yang maknanya ditentukan oleh pembaca. 

Berbeda dengan teks yang profan seperti halnya metode penafsiran hermeneutik kontemporer. Sebab, manhaj ulama kita menyepakati bahwa teks itu mengandung maknanya sendiri. Seperti yang disebutkan dalam kitab Jam’ul Jawami’:

التحليل الفظي الغوي: جعل اللفظ دليلا على المعني

“Menganalisis teks bahasa adalah dengan menjadikan Iafadz tersebut merujuk pada makna tertentu.” 

Sehingga, bahwa ayat maupun hadits memiliki makna tertentu yang dikehendaki. Hanya saja, pemaknaannya bisa beragam, misalnya dengan memunculkan makna Iain kata yg belum hadir. Kepekaan kita dalam memahami hal-hal yang demikian menghantarkan kita pada ketakjuban yang tiada henti ketika dihadapkan pada teks hadits yang lain. Betapa agung pesan yang Kanjeng Nabi berikan kepada kita.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab