Lebih Utama Mana Membaca Al-Qur’an Sambil Melihat Mushaf atau Sambil Dihafal?

Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Muslim yang senantiasa dilantunkan setiap waktu. Sepanjang harinya; pagi dan malam lantunan Al-Qur’an terus berdengung di setiap mulut yang basah. Mereka yang membacanya sambil merenungi makna Al-Qur’an akan mendapatkan pahala yang berlimpah, sedang mereka yang sulit membaca dan memahami Al-Qur’an tetap akan mendapatkan pahala pula.

Nah, dalam menggapai limpahan pahala Al-Qur’an di setiap hurufnya, umat Muslim tatkala hendak membaca Al-Qur’an, ia akan membacanya dalam dua bentuk metode: 1) Membaca Al-Qur’an bin-Nadzri (dengan melihat mushaf); 2) Membaca Al-Qur’an bil-Hifdzi (dengan dihafal).

Bilamana ada sebuah pertanyaan yang diajukan, metode mana yang lebih utama membaca Al-Qur’an bin-Nadzri ataukah membaca Al-Qur’an bil-Hifdzi?

Dalam hal ini beberapa ulama telah membahas persoalan tersebut, salah satunya yang tertuang dalam kitab al-Itqan karya Imam Suyuthi’. Beliau menyebutkan bahwa para mufassir telah membaginya ke dalam tiga pendapat:

Pendapat Pertama, membaca Al-Qur’an dengan melihat mushaf (bin-Nadzri) itu lebih utama. Pendapat ini hendak menegaskan bahwa membaca Al-Qur’an sambil melihat mushaf adalah gabungan dari dua nilai ibadah. Pertama, nilai ibadah dari membaca Al-Qur’an; Kedua, nilai ibadah sambil memegang dan melihat mushaf.

قِرَاءَةُ اْلقُرْآنِ فِيْ اْلمُصْحَفِ أَفْضَلُ مِنَ اْلقِرَاءَةِ مِنْ حِفْظِهِ (وَفِيْ اْلمَجْمُوْعِ : لِأَنَّهَا تَجْمَع ُاْلقِرَاءَةُ وَالنَّظَرُ فِيْ اْلمُصْحَفِ وَهُوَ عِبَادَةٌ اُخْرَى، كَذَا قَالَهُ اْلقَاضِيْ وَاْلغَزَالِيْ وَغَيْرِهِ مِنْ اَصْحَابِنَا، وَنَصَّ عَلَيْهِ جَمَاعَاتٌ مِنَ السَّلَفِ، وَلَمْ أَرَ فِيْهِ خِلَافًا) هَكَذَا قَالَهُ أَصْحَابُنَا وَهُوَ مَشْهُوْرٌ عَنِ السَّلَفِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ.

“Membaca Al-Qur’an seraya melihat mushaf lebih utama dibanding membaca Al-Qur’an sambil dihafalnya (dalam al-Majmu’ dijelaskan karena menggabungkan membaca dan melihat adalah ibadah lain, begitulah yang dikatakan Al-Qadhi’, Al-Ghazali, dan lainnya dari golongan kita. Serta telah di nash oleh mayoritas ulama salaf, dan saya Imam Nawawi tidak melihat adanya perselisihan) inilah yang dikatakan golongan kita, dan pendapat yang paling masyhur dari kalangan ulama Salaf ra.” (Al-Nawawi, Al-Adzkar, Dar Al-Minhaj, hal. 198).

Selanjutnya Imam Suyuthi’ menambahkan bahwa landasan pendapat pertama berdasarkan redaksi hadis yang dikemukakan oleh al-Thabari dalam al-Kabir no. 601dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 2218, yaitu hadis marfu’ yang diriwayatkan oleh Awus al-Tsiqafi:

قِرَاءَةُ الرَّجُلِ فِي غَيرِ المُصْحَفِ أَلْفَ دَرَجَةٍ، وَقِرَائَتُهُ فِي اْلمُصْحَفِ تُضَاعَفُ أَلْفَيْ دَرَجَةٍ.

“Bacaan seseorang di luar mushaf Al-Qur’an (sambil dihafal) akan memperoleh seribu derajat, sedang bacaan seseorang sambil melihat mushaf akan dilipatkan menjadi dua ribu derajat” (Al-Suyuthi, Al-Itqan, Al-Risalah,  hal. 229).

Diriwayatkan pula kebanyakan Sahabat, dulu mereka membaca Al-Qur’an sambil melihat mushaf, dan mereka enggan keluar rumah seharian sedang mereka belum membaca mushaf sama sekali.

Pendapat Kedua, membaca Al-Qur’an dengan dihafal (bil-Hifdzi) itu lebih utama. Pendapat ini diikuti oleh Abu Muhammad ‘Izzuddin bin Abdissalam. Tendensi dari argument kedua ini adalah aspek Tadabbur-nya (penghayatan makna Al-Qur’an). Sebagaimana maksud Tadabbur dalam firman Allah, yaitu (لِيَتَدَبَّرُوْا آيَاتِهِ) agar mereka menghayati ayat-ayat-Nya.

Ketentuan ini memandang aspek personalitas seseorang, yakni ia sudah terbiasa membaca Al-Qur’an sambil dihafal, dan justru jika ia membaca sambil melihat mushaf akan mengurangi tingkat penghayatan terhadap Al-Qur’an. Maka membaca Al-Qur’an sambil dihafal lebih diprioritaskan (utama). (Al-Zarkasyi, Al-Burhan, Dar al-Turats, Juz 1, no. 463).

Pendapat Ketiga, adalah kelanjutan dari pertimbangan Imam Nawawi pada pendapat pertama, artinya Imam Nawawi tidak menganggap mutlak terkait membaca Al-Qur’an bin-Nadzri itu lebih utama.

“Andaikan qari’ (pembaca Al-Qur’an) sambil dihafal mushaf itu mampu membuat dirinya menghayati dan memahami isi kandungan Al-Qur’an itu lebih memahami Al-Qur’an dari sekedar membaca mushaf, maka membaca Al-Qur’an sambil dihafal lebih utama. Berbeda jikalau seseorang membaca Al-Qur’an baik bin-Nadzri atau bil-Hifdzi ternyata tingkat ketenangan dan penghayatan terhadap isi kandungan Al-Qur’an itu relatif seimbang, maka skala prioritasnya adalah pendapat yang mengatakan membaca Al-Qur’an sambil melihat mushaf jauh lebih utama. Inilah pendapat yang dikehendaki ulama Salaf”. (Al-Nawawi, Al-Adzkar, Dar Al-Minhaj, hal. 198).

            Melihat pemaparan ketiga pandangan di atas, tentunya kita memiliki pandangan pribadi terkait persoalan mana yang lebih utama membaca Al-Qur’an bin-Nadzri atau bil-Hifdzi. Sebab bagaimanapun juga tipikal seseorang beraneka ragam. Ada yang membaca Al-Qur’an bin-Nadzri lebih menghayati daripada bil-Hifdzi, ada pula yang membaca Al-Qur’an bil-Hifdzi justru lebih menghayati daripada bin-Nadzri.

            Jadi substansi yang diambil adalah bagaimana seseorang tersebut mampu membaca Al-Qur’an seraya memahami dan menghayati isi kandungannya baik dengan metode bin-Nadzri ataupun bil-Hifdzi, maka itulah yang jauh lebih baik baginya. Namun perlu menjadi catatan pula adalah seseorang tidak sepatutnya mengabaikan metode yang ia tidak kuasai, hingga ia mengklaim bahwa metode yang dikuasainya adalah metode yang lebih utama. Wallahu a’lam.

Oleh: Irfan Fauzi

Tulisan ini telah dipublish di media jabar.nu.or.id dan telah diedit oleh Tim Redaksi

Picture by itjen.kemenag.go.id

Mengenal Pemikiran Tafsir Al-Kabir Fakhruddin Al-Razi #1

Kalangan pegiat tafsir secara keseluruhan nyaris mengenal kitab yang kondang bernama Mafatihul Ghaib, atau dikenal juga Tafsir Al-Razi atau juga Tafsir Al-Kabir. Kehebatan yang terkandung dalam kitab ini sungguh sangat memukau bagi para pembacanya, ia akan banyak menemukan perdebatan di antara para ulama, seolah-olah ia sedang berdialog dengan mufasirnya.

Bahkan yang sampai sekarang penulis kagumi dari Al-Razi adalah beliau menafsirkan surat Al-Fatihah dengan penulisan satu juz penuh, tentu beratus-ratus halaman beliau habiskan demi menafsirkan surat Al-Fatihah itu. Untuk menghilangkan rasa penasaran terkait sosok ulama dan karyanya, penulis sajikan sepak terjangnya secara ringkas.

Baca: Karomah Kiai As’ad Syamsul Arifin

 Sejarah Hidup dan Pendidikan

Ulama tafsir ini biasanya dikenal Al-Razi, lengkapnya adalah Muhammad bin Umar bin Al-Husain bin Hasan bin Ali Al-Quraisyi Al-Tamimi Al-Bakri Al-Tabariztani Al-Razi. Beliau lahir pada tanggal 28 Ramadhan 543 H/1149 M, tepatnya di kota Ray yaitu sebuah kota terkenal di negara Dailan dekat kota Khurasan dan beliau meninggal di daerah Herat (Ray) pada tahun 1290 M. Beliau termasuk ulama besar yang hidup di kawasan Persia bagian utara yang berada dibawah kekuasaan kesultanan Khawarzan dan sebagian di bawah kekuasaan kesultanan Gutiyah.

Awal pendidikan Al-Razi bermula dengan ayahnya sendiri, Dliya’uddin Umar, salah seorang ulama madzhab Syafi’i dan tokoh Asy’ariyyah dalam Ilmu Kalam. Berbagai ilmu ia kuasai, terlihat dari kemampuan Al-Razi dalam penguasaan ilmunya yakni menghafal kitab al-Syamil Ushul Fiqih al-Din karya Imam Al-Haramain tentang Ilmu Kalam dan al-Mustasyfa karya Imam Abu Hamid Al-Gazali tentang Ushul Fiqih.

Setelah ayahnya wafat Al-Razi meneruskan pendidikannya dari sejumlah ulama terkemuka lainnya. Diantaranya ia mendalami Teologi dan Filsafat kepada Al-Majid Simani, guru dari seorang pemikir besar, termasuk juga Al-Suhrawardi. Aktifitas keilmuan Al-Razi sudah tampak dari pertama kali meninggalkan kota kelahiran disekitar Persia. Meskipun tidak menetap lama, namun Al-Razi tercatat pernah pergi ke Khawarizan,  Bukhara,  Samarkhan,  Gazual,  dan India.  Kemampuan berbagai bidang keilmuan memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupannya.

Magnum Ovus Tafsir Al-Kabir

Beberapa karyanya ada yang masih berbentuk manuskrip (tulisan tangan). Adapun karya-karya beliau yang masih bisa ditemukan seperti, dalam bidang Tafsir; Tafsir al-Kabir al-Musamma bi Mafatih al-Ghaib, Tafsir Surah al-Fatihah dan al-Baqarah. Dalam bidang Kalam atau Teologi; al-Mathalib al-‘Aliyah min al-‘Ilmillah, Asas al-Taqdis al-Arba’in fi Ushuluddin, dan Muhassal Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Muta’akhirin min al-Ulama wa al-Hukama’ wa al-Mutakallimin.

Tafsir Mafatih al-Ghaib atau yang dikenal sebagai Tafsir Al-Kabir dikategorikan sebagai Tafsir bir-Ra’yi (tafsir yang menggunakan pendekatan akal), dengan pendekatan Madzhab Syafi’iyyah dan Asy’ariyah. Tafsir ini merujuk pada kitab az-Zujaj fi Ma’ani al-Quran, al-Farra’ wa al-Barrad dan Gharib al-Quran, karya Ibnu Qutaibah dalam masalah Gramatika.

Ada riwayat yang menjelaskan bahwa Al-Razi tidak menyelesaikan tafsir ini secara utuh. Ibnu Qadi Syuhbah mengatakan, “Imam Al-Razi belum menyelesaikan seluruh tafsirnya”. Ajal menjemputnya sebelum ia menyelesaikan Tafsir al-Kabir. Ibnu Khulakan dalam kitabnya Wafiyatul-A’yan  juga berkata demikian.

Baca: Jihad Ilmu Imam Nawawi

Lantas yang menjadi pertanyaan siapakah yang menyempurnakan dan menyelesaikan tafsir beliau? Sampai dimanakah beliau mengarang tafsirnya?.

Ibnu hajar Al-‘Asqalani berpendapat dalam kitabnya, “Yang menyempurnakan tafsir Al-Razi adalah Ahmad bin Muhammad bin Abi Al-Hazm Makky Najamuddin Al Makhzumi Al-Qammuli (w. 727 H) dari Mesir. Penulis Kasyfu Al-Dzunnun juga menuturkan, “Yang merampungkan Tafsir al-Razi adalah Najmuddin Ahmad bin Muhammad Al-Qamuli dan beliau wafat  tahun 727 H. Qadi Al-Qudat Syahabuddin bin Khalil Al-Khuway Ad-Dimasyqi (w. 639 H), juga menyempurnakan apa yang belum terselesaikan dalam tafsir Al-Razi.

Oleh: Irfan Fauzi

Mengenal Karya Mama Sempur Idhahul-Karathaniyyah: Tentang Kesesatan Wahabi

Kajian kitab mengenai kesesatan kaum Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1701-1793 M) tidak sedikit ulama yang telah membahasnya dalam pelbagai karangan meraka, pun ulama yang ada di Nusantara. Salah satu ulama yang menaruh perhatian akan bahayanya ajaran Wahabi ialah KH. Tb (Tubagus) Ahmad Bakri bin KH. Tb. Sayida atau yang akrab dipanggil Mama Sempur (1839-1975 M).

Kakeknya bernama Kiai Tb. Hasan Arsyad ialah seorang Qadhi Kerajaan Banten, ia memiliki seorang putra yang kelak akan menggantikan dirinya sebagai penerus Qadhi di Banten yaitu Kiai Tb. Sayida. Namun karena Kiai Sayida enggan meneruskan tongkat kepemimpinan tersebut, akhirnya dengan berbagai pertimbangan beliau memutuskan untuk meninggalkan Banten.

Dari perjalanan itu, Kiai Sayida sampai di suatu daerah yang bernama Citeko, Plered, Purwakarta. Di sinilah beliau bertemu dengan seorang perempuan (bernama Umi) yang kelak melahirkan seorang putra bernama Ahmad Bakri (Mama Sempur).

Sebutan Mama dalam bahasa Sunda murafid dengan sebutan Romo dalam bahasa Jawa (baca: Bapak). Dikalangan Sunda sendiri sebutan Mama kerap disematkan kepada Ajengan atau Kiai sehingga disebut Mama Ajengan atau Mama Kiai. Sementara kata Sempur merupakan nisbat dari suatu desa kecil bernama Sempur, Plered, Purwakarta.

Di usia kecil Mama Sempur sudah mendalami ilmu Agama dibawah asuhan ayahnya, Kiai Sayida. Ilmu yang telah beliau pelajari kala itu adalah ilmu Fikih, Tauhid, Nahwu, Sharaf, Hadis dan Tafsir. Dalam menyelami samudera ilmu di negeri sendiri, Mama Sempur merasa dahaga akan ilmu belum kunjung terpenuhi, akhirnya beliau bertolak ke negeri orang, menuju tanah suci “Makkah al-Mukarramah”.

Pendidikan yang diperoleh baik dari tanah air ataupun luar negeri, mampu membuat Mama Sempur meneruskan perjuangan ayahandanya. Oleh karenanya, tidak sedikit karya-karya beliau yang ditulis dengan tangan produktifnya dalam berbagai topik pembahasan.

Seperti kitab Cempaka Dilaga tentang wajibnya etos kerja bagi seorang muslim, Mashlahat al-Islamiyah tentang konsep kemaslahatan bagi umat Islam, Maslak al-Abrar tentang ilmu tauhid, Fawaid al-Mubtadi tentang hal yang perlu diajarkan oleh orang tua kepada anaknya, Futuhat al-Taubah tentang pembahasan seputar thariqah, Idhah al-Karathaniyah tentang pembahasan yang akan diuraikan setelah ini, dan masih banyak lagi.

Dari puluhan karangan Mama Sempur, di sini penulis lebih tertarik membahas kitab yang berjudul Idhahul-Karathaniyah. Nama lengkap kitab ini adalah Idhahul-Karathaniyah: Fi Ma Yata’alaq bi Dhalalatil-Wahabiyah.

Alasan mendasar penulis mengangkat kitab ini adalah sebab fenomena gerakan pemahaman Wahabi sudah bukan menjadi bahan obrolan semata, perlu dari kita semua untuk mengenal dan men-counter pemahaman tersebut. Mengingat bahaya dan sesatnya ajaran mereka.

Baca: Dibalik Cerita Panggung Krapyak

Sebagaimana dinamika sejarah akan sepak terjangnya kelompok Wahabi memang sudah sangat meresahkan kaum Muslimin dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Sebab basis gerakan kaum Wahabi adalah gerakan takfiri (mengkafirkan sesama kaum Muslim yang tidak sependapat dengan dirinya).

Syahdan melihat fenomena demikian, rupanya Mama Sempur memiliki antusias untuk memberikan kontribusi melawan ajaran Wahabi, setidaknya beliau telah memberikan sumbangsih secara pemikiran yang dituangkan dalam karya ini sebagai wujud perlawanan beliau terhadap kesesatan Wahabiyah.

Akhirnya goresan demi goresan tertuanglah sebuah maha karya yang cukup panjang kira-kira kurang lebih 47 halaman. Dalam kitab hasil fotocopy ini, diketahui bahwa kitab tersebut diduga masih berupa tulisan tangan muallif sendiri (manuskrip), salah satunya terlihat ada satu kata yang salah tulis (pada hal. 31) namun muallif tidak mencoret tulisan tersebut hanya cukup menulis ulang pada tulisan setelahnya.

Tentunya dalam kepenulisan karya tersebut, Mama Sempur tidak serta merta menulis sesuai kapabilitasnya, beliau tetap menghadirkan pendapat-pendapat ulama salaf, bahkan dijelaskan sendiri oleh beliau dalam muqodimahnya, kitab pegon Sundaini merupakan nukilan dari kitab Durarus-Saniyah fi Raddil-Wahabiyah karya Syekh Ahmad Zaini Dahlan (1818-1886 M) yang menjadi mufti Syafi’i di Haramain kala itu, Shawa’iqul-Muhriqah karya Ibnu Hajar al-Haitami (1503-1566 M), dan lainnya.

Pimpinan PP. Al-Faridiyah ini membagi pembahasan kitabnya dalam delapan pasal, terkadang beliau menggunakan bahasa Arab, terkadang pula menggunakan pegon bahasa Sunda. Pasal pertama, menjelaskan hadis-hadis tentang prediksi Nabi bahwa kelak akan ada seseorang dari umat Nabi Muhammad yang memporak-poranda agama Islam. Tidak lain orang itu adalah Muhammad bin Abdul Wahab At-Tamimi An-Najdi.

Pasal kedua, menjelaskan urgensinya berpegang teguh kepada kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah, yakni dalam ihwal bolehnya ziarah kubur serta tawasul kepada Nabi, Sahabat dan ulama-ulama salafush-shalih. Muallif juga menghadirkan dalil-dalil yang kredibel atas kebolehannya. Berbeda dengan kepercayaan golongan “minhum” (Wahabi) mereka menyatakan bahwa ritual ziarah dan tawasul merupakan kegiatan bid’ah yang tidak pernah ada sejak zaman Nabi.

Pasal ketiga, menjelaskan tentang gerakan takfiri (tuduhan kafir)kaum Wahabi yang disponsori oleh Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Tamim. Mereka melancarkan gerakan takfiri-nya kepada sesama Muslim yang melakukan tawasul, mengucapkan “ya rasulallah”, membaca shalawat menggunakan toa masjid, tidak mengikuti ajarannya sendiri, dan lain sebagainya.

Pasal selanjutnya (hal. 28), Mama Sempur menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan tawasul. Di sini beliau membeberkan hal-hal yang terkait dengan tawasul yang telah dijalankan oleh ulama-ulama madzhab empat. Bagaimana para Sahabat di masa Rasullah hidup mereka saling berlomba-lomba mengharap dan mendapatkan barakah dari Rasulullah.

Pasal kelima dan keenam, menjelaskan tentang bagaimana cara mendapakan Ilmun-Nafi’ (ilmu yang bermanfaat) dan hukum diwajibkannya laki-laki dan perempuan untuk mengikuti سِوَادُ اْلأَعْظَمْ, di sini Mama Sempur menyebut siwadul-a’zham adalah madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) karena keempat madzhab ini merupakan golongan madzhab yang terbanyak pengikutnya.

Pasal ketujuh adalah pasal yang menjelaskan tentang hadis Nabi Saw yang melarang berteman atau mengikuti seseorang yang membenci kepada para Sahabat dan keturunan Rasulullah Saw.

Berikutnya pasal terakhir, Mama Sempur menjelaskan secara singkat atas ketidak sepemahaman beliau dengan Tuan Ahmad bin Muhammad Surkati (1875-1943 M), pendiri Jam’iyah Al-Irsyad. Mama menganggap Ahmad Surkati ini kontroversi terhadap kalangan Aswaja.

Baca: Sejarah Terbentuknya Muslimat NU

Terlepas dari semua itu, Kiai Sempur ini turut mengingatkan kepada kita semua untuk senantiasa berpegang teguh pada golongan Aswaja serta tidak saling merendahkan sesama muslim yang berbeda pandangan dengan kita, tetap menaruh sikap toleran dan tidak menyimpan rasa hasud (iri dengki) terhadap muslim lainnya.

Sebagai penutup penulis sajikan sebuah riwayat dalam kitab ini,yang dirasa cukup untuk menjawab fenomena sekarang:

روى ابن عساكر عن مالك “لاَ تَحْمِلِ اْلعِلْمَ عَنْ اَهْلِ اْلبِدَعِ وَلَا تَحْمِلْهُ عَمَّنْ لَمْ يُعْرَفْ بِالطَّلَبِ وَلَا عَمَّنْ يَكْذِبُ فِيْ حَدِيْثِ النَّاسِ وَاِنْ كَانَ فِي حَدِيْثِ رَسُوْلِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَكْذِبُ

Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari Imam Malik: “Janganlah mengambil ilmu dari orang yang suka membid’ahkan, jangan pula dari orang yang belum diketahui dari mana ia mendapatkan ilmu tersebut, juga dari orang yang suka berdusta kepada orang banyak meskipun ia benar dalam menyampaikan hadis-hadis Rasulullah Saw.” (hal. 31). Wallahu’alam.

Oleh: Irfan Fauzi

Picture by wikimedia.org