Wejangan Simbah KH. Muhammad Munawwir

1. Simbah KH. Muhammad Munawwir berkata : Rajinlah membaca Surat Yasin 41X jikalau engkau bermaksud akan sesuatu, bacalah Surat Yasin.

2. Simbah KH. Muhammad Munawwir berkata : Kalau ada orang sakit, maka bacakanlah Surat Al-Fatihah 41X. Setiap sampai pada lafadz وَلاَالضَّالِّينَ  tiupkanlah kepada orang itu, mulai dari pucuk kepala sampai telapak kakinya. Kalau untuk menghadapi orang lalim, setiap sampai pada اِيّاَكَ نَسْتَعِيْنُ berdo’alah di dalam hati apa yang kamu inginkan, sehubungan dengan kelaliman orang itu.

3. Simbah KH. M. Munawwir berkata : Seyogyanya kamu menghadiahkan berkah Al-Fatihah kepada segenap muslimin yang masih hidup, lebih-lebih di waktu tertimpa mara bahaya atau berperangai buruk, barangkali dapat menjadi obatnya. Seperti guru saya KH. Kholil Bangkalan pernah berkata : Jika kamu menghadiahkan Al-Fatihah jangan hanya kepada muslimin yang sudah meninggal saja, tetapi juga yang masih hidup. Syukurlah jika kepadaku pula. Sebab Rasulullah bersabda :

عُدَّ نَفْسَكَ مِنْ اَهْلِ الْقُبُوْرِ  “Anggaplah dirimu termasuk ahli kubur”

Oleh : Tim Redaksi

Sumber : Al-Munawwiriyyah

Picture by ayomondok.net

Wirid Segala Hajat

1. Membaca Surah Fatihah 3 atau 7 atau 11 atau 21 atau 41 kali, ketika membaca ayat :

اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيّاَكَ نَسْتَعِيْنُ

(Dibaca ulang sesuai hitungan) ayat ini diulang dengan dihayati dalam hati kandungan ayat dan hajat yang dikehendaki.

2. Membaca sholawat Nariyah 4444 kali

(Riwayat masyhuroh dari Simbah KH. Muhammad Munawwir)

3. Membaca Al-Fatihah dihadiahkan untuk baginda Nabi dan seluruh muslimin dan muslimat, lalu membaca surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas, kemudian ditutup dengan membaca sholawat sebanyak-banyaknya.

(Dari H. Hilmy Muhammad dari KH. Zainal Abidin Munawwir)

Oleh : Tim Redaksi

Sumber Al-Munawwiriyyah

Picture by dalamislam.com

Kisah Seorang Wali : Doa Yang Sia-sia Karena Seorang Istri

Di dalam kitab Zaadul Masir fi Ilmi Tafsir karya Syekh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dikisahkan ada seorang wali yang istimewa. Di antara keistimewaannya, dia diberi tiga doa yang pasti dikabulkan oleh Allah Swt.

Suatu ketika istri sang wali mengetahui karamah suaminya. Sehingga istri minta didoakan oleh suaminya. Sebagai istri seorang ulama, permintaannya cukup unik. Bahkan bisa dibilang, harapan istrinya ini sama halnya dengan keinginan banyak perempuan. Yakni, dia ingin agar wajahnya menjadi cantik.

“Kang Mas, mohon mintakan kepada Allah agar wajahku menjadi cantik.” Pinta istri.

Wali tersebut mengiyakan permintaan istrinya. Lalu dia berdoa :

“Ya Allah, saya minta agar wajah istriku menjadi cantik.”

Beberapa saat kemudian istri ulama yang awalnya tak cantik ini seketika menjadi cantik jelita tanpa harus pergi ke salon kecantikan.

Sayangnya, setelah menjadi cantik, istri ulama ini menjadi menarik perhatian banyak laki-laki karena kecantikannya. Sampai suatu waktu dia ketahuan menjalin hubungan dengan lelaki lain.

Setelah mengetahui istrinya menjalin hubungan dengan lelaki lain, ulama tersebut marah. Kemudian dia berdoa kepada Allah agar istrinya wajahnya menjadi buruk rupa, lebih buruk dari sebelumnya.

“Ya Allah, ubahlah wajah istriku menjadi buruk rupa.”

Doa yang kedua ini terkabul langsung sehingga istrinya menjadi buruk rupanya.

Mengetahui dirinya menjadi buruk wajahnya, istri menyesali perbuatannya. Dia meminta maaf kepada suaminya. Kemudian dia minta didoakan agar kembali seperti semula.

Doa ketiga pun dipanjatkan. Istri kembali seperti sedia kala.

Akhirnya tiga doa yang dipanjatkan oleh wali tersebut menjadi sia-sia karena perbuatan istrinya.

Oleh : Tim Redaksi

Picture by senimannu.com

Menyambut Tahun Harapan

Hari sudah berganti, tanggal, bulan dan tahun pun mengikutinya demikian. Lantas apa bedanya dengan hari-hari sebelumnya yang sudah terlewati? Hari ini kita memasuki babak baru dengan tahun yang baru yakni tahun 2021 yang mana di tahun sebelumnya tahun 2020 menjadi tahun yang sangat membekas di setiap benak manusia yang ada di seluruh muka bumi karena kita semua dikejutkan dengan kehadiran salah satu makhluk Tuhan. Mungkin sebelumnya sudah ada tapi kita tidak menyadarinya atau mungkin makhluk ini diciptakan supaya manusia bisa merefleksikan diri dan mengevaluasi apa yang sudah terlewati di tahun sebelumnya.

Mungkin awal tahun ini sama saja dengan awal-awal tahun sebelumnya yang sudah dilewati, merencanakan sebuah angan-angan dan cita-cita tapi hanya sebatas sebuah khayal belaka. Begitu juga dengan tahun sekarang kita hanya bisa merenunginya kembali dan menyesali, sembari merencang agenda dan sebuah rencana jangka panjang dan pendek untuk dikemudian hari mudah-mudahan saja ada yang bisa direalisasikan dan tercapai salah satu diantaranya. Karena pada dasarnya manusia hanya sebatas bisa berencana dan Tuhan yang Maha Kuasa atas apa yang manusia rencanakan.

Dengan adanya sebuah rencana ataupun agenda dan cita-cita kita tidak memasuki sebuah hutan belantara hanya bermodalkan omongan belaka melainkan sebuah bekal kelak di tengah perjalanan apabila kita kehabisan bekal. Kita tetap berusaha semaksimal mungkin tapi tetap harus sadar bahwa tetap ada Yang Maha Kuasa di luar kendali kita selama melakukan perjalanan. Tetap berusaha tapi juga tetap berserah, tetap berharap tetapi jangan menuntut terhadap suatu perkara.

Setelah melakukan sebuah perencanaan jangan lupa untuk dilakukan apa yang sudah direncanakan. Semua angan dan cita-cita tidak ada guna jika tanpa ada pelaksanaan, hanya menjadi omong kosong dari tahun ke tahun. Belajar dari tahun 2020 bahwasanya sesuatu yang sudah direncanakan terpaksa harus berjalan diluar dugaan memaksa kita harus berpikir dan bertindak cepat. Memaksakan diri untuk tetap bisa menyesuaikan dengan keadaan supaya bisa tetap bertahan di setiap masa yang penuh dengan ketidakpasatiaan. Mau bagaimana pun dari setiap perjalanan yang sudah kita lewati telah mengajarkan kepada kita banyak hal bahwasanya manusia masih sebagai makhluk Tuhan yang membutuhkan pertolongannya di setiap keadaan.

Tetap berusaha dan terus berjalan meskipun jalan yang akan dilewati tak bertuan dan tak tahu arah tujuan. Kita masih mempunyai Sang Pencipta alam semesta, pasrahkan semua kepada-Nya. Mungkin momentum seperti ini menjadi salah satu cara penyembuhan atau mungkin menjadi ladang kesempatan, apapun yang Engkau rencanakan semoga tetap berkenan memberikan petunjuk dan anugerah-Mu kepada kami serta ridla-Mu yang mendekatkan kami kepada-Mu, supaya kami bisa terus tetap setia terhadap janji penghambaan kepada-Mu di tengah-tengah situasi yang tidak kami ketahui bagaimana kisah kelanjutannya di kemudian hari.

Oleh : Taufik Ilham

Picture by fstoppers.com

Kisah Juraij Dan Seorang Pelacur

Pada Saat pengajian Kitab Riyaddhus Sholihin terdapat sebuah cerita yang menarik yang mana kisah ini diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Saw. Bersabda:

“Hanya ada tiga bayi yang bisa bicara, yaitu Isa a.s., bayi pada masa Juraij (seorang ahli ibadah), dan seorang bayi lainnya.”

Kisah Nabi Isa a.s. telah diketahui secara luas. Sementara Juraij adalah seorang ahli ibadah di kalangan Bani Israil yang memiliki seorang ibu. Pada suatu hari ketika Juraij sedang shalat, sang ibu mengetuk pintu dan memanggilnya,

“Juraij!” Juraij kebingungan

“Tuhan, manakah yang lebih baik, melanjutkan shalat atau menjawab panggilan ibu?”

Juraij memutuskan untuk tetap melanjutkan shalatnya.

Sang ibu lalu memanggil untuk kedua kalinya, tetapi Juraij tetap melanjutkan shalatnya. Sampai panggilan ketiga, Juraij tetap kukuh melanjutkan shalatnya dan tidak menghiraukan panggilan ibunya.

Sang ibu marah, lalu berdoa:

“Ya Allah, jangan biarkan dia mati, sampai ia bertemu seorang pelacur.”

Di tempat Juraij tinggal, ada seorang pelacur yang berkata pada beberapa orang:

“Aku akan menggoda Juraij, sampai ia mau berzina denganku.”

Pelacur itu mendatangi Juraij tetapi ia tidak mampu berbuat apa-apa. Suatu malam, seorang penggembala beristirahat di gubugnya. Ketika lelah, pelacur itu merayu penggembala, dan terjadilah perzinaan antara keduanya.

Pelacur itu kemudian melahirkan seorang bayi dan mengaku: “Ini anak Juraij.”

Bani Israil lalu mendatangi Juraij, menghancurkan rumahnya dan mencaci-makinya. Kemudian Juraij shalat dan memanjatkan doa, hingga bergeraklah bayi itu.

Abu Hurairah berkata:

“Sepertinya aku melihat Nabi Saw. Bercerita dengan mengacungkan tangan ketika beliau berkata: “Hai bocah, siapa ayahmu?”

Bayi itu menjawab: “Penggembala itu.”

Akhirnya Bani Israil menyesali perbuatan mereka terhadap Juraij dan mengucapkan janji:

“Kami akan membangun rumahmu dari emas atau perak.”

Akan tetapi Juraij menolak tawaran mereka dan membangun rumahnya seperti semula.

Bayi lain yang bisa bicara adalah seorang bayi yang sedang menyusu kepada ibunya. Lalu lewatlah seorang pemuda tampan berparas elok. Sang ibu berdoa:

“Ya Allah, jadikan anakku seperti dia.” Kemudian bayi itu menyahut:

“Ya Allah, jangan jadikan aku seperti dia.”

Lewat lagi seorang perempuan yang diisukan sebagai pencuri, pezina, dan residivis.

Sang ibu berdoa: “Ya Allah, jangan jadikan anakku seperti dia.”

Bayi itu menimpali, “Ya Allah, jadikan aku seperti dia.”

Sang ibu bertanya-tanya tentang celoteh anaknya.

Si bayi berkata: “Pemuda itu orang yang suka bertindak sewenang-wenang, aku tidak ingin jadi seperti dia. Sementara perempuan yang diisukan sebagai pelacur itu bukanlah seorang pelacur, ia diisukan sebagai seorang pencuri, padahal ia bukan pencuri, dan ia hanya berkata:

“Cukuplah Allah sebagai pelindungku.”

Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah Juraij di atas dan menjadikannya sebagai pelajaran bahwasanya keutamaan orang yang berilmu lebih utama dibandingkan dengan orang yang ahli ibadah tanpa ilmu dan bakti kepada orang tua adalah sebuah kewajiban termasuk memenuhi panggilannya.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Pengajian Kitab Riyadhus Sholihin

Picture by learnreligions.com

Obat Yang Sangat Pahit Di Dunia

Sifat sabar merupakan obat yang pahit dan minuman yang tidak disukai, namun berkah. Dengan sabar seorang hamba akan memperoleh banyak keuntungan dan terhindar dari segala mudharat. Dengan khasiat seperti itu orang yang berakal sehat pasti akan memaksa dirinya untuk meminum obat tersebut dan rela tahan dengan rasa pahitnya. Meyakini bahwasanya rasa pahit yang sebentar itu akan menghasilkan ketenangan jiwa selamanya.

Seorang yang sabar akan tetap selamat di dunia dari kebingungan, kegelisahan, kesal dan ratap tangis kesedihan. Juga selamat dari hukuman di akhirat kelak, sedangkan mereka yang menunjukan sikap lalai, gelisah dan tidak sabar maka akan lenyap seluruh manfaat sabar itu darinya dan akan menghadapi berbagai kerusakan dan kerugian. Apabila tidak bersabar dalam menghindari dosa maka akan terjatuh dalam perbuatan dosa dan apabila tidak mampu sabar dalam upaya menghindari perbuatan yang sia-sia dan berlebih-lebihan di dunia maka akan larut dalam perbuatan tersebut.

Gagal bersabar terhadap musibah yang menimpanya itu lebih parah akibatnya daripada derita yang disebabkan oleh akibat musibah itu sendiri. Maka apa untungnya melakukan sesuatu yang bisa melenyapkan apa yang telah berhasil diraih sementara yang lenyap itu kemudian tidak bisa kembali lagi? Berusahalah dengan sungguh-sungguh dan bilamana ada sesuatu yang terlepas dari genggaman jangan sampai yang lain turut terlepas pula.

Bagaimana pendapatnya terhadap orang tua yang sangat menyayangi anaknya dan memiliki harta banyak tapi ia mencegah anak tercintanya untuk makan kurma segar dan buah apel karena sang anak tengah menderita sakit mata. Orang tua tersebut juga menyerahkan anaknya kepada seorang guru yang keras juga tegas yang menghukum anak itu berdiri sepanjang hari di tempatnya apabila si anak melakukan kesalahan agar si anak tumbuh menjadi anak yang disiplin dan terdidik. Sang ayah juga membawa anaknya kepada tukang bekam hingga ia merasa sakit dan terguncang.

Apakah tindakan orang tua itu mencegah anaknya makan kurma dan apel itu didorong oleh sikap pelit? Dengan menyerahkan anaknya untuk dididik orang lain dan memberi kebebasan kepada gurunya itu untuk menghukum. Apakah orang tua tersebut mencelakakan anaknya? Padahal ia telah menyediakan apapun yang ia miliki untuk kebahagiaan anaknya. Apakah dengan itu ia bermaksud membuat anaknya lelah dan menyakitinya, karena marah kepadanya, sedangkan ia adalah anak kesayangannya dan belahan jiwanya? Tentu tidak demikian, orang tua itu melakukan demikian karena tahu bahwa itu yang terbaik bagi anaknya. Kelelahan yang sedikit itu akan membawa anaknya sampai kepada kebaikan yang banyak serta manfaat yang besar. Ia tak mau anaknya kelak tumbuh dengan membawa pengaruh negatif yang akibatnya juga akan sangat berat bagi tanggung jawabnya sebagai orang tua.

Oleh karena itu apabila Allah mengujimu dengan kesusahan maka yakinlah bahwasanya Dia sebenarnya tidak butuh untuk mengujimu dan mencobamu sebab Dia Maha Mengetahui keadaanmu, Maha Melihat kelemahanmu dan Dia Maha Lembut lagi Maha Penyayang terhadapmu. Jadi apabila kita melihat Allah mencegah kita memperoleh karunia dunia atau menimpakan banyak kesusahan dan musibah, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kita disayangi oleh-Nya dan kita sedang berada pada derajat yang tinggi di sisi-Nya. Apabila kita mengalami kesulitan dan gelisah karena tak mendapatkan sesuatu yang kita inginkan tetapkanlah hati kita untuk senang dan berterima kasih kepada Allah. Karena Allah sendiri yang menginginkan kebajikan dan kesejahteraan bagi kita, menambah pahala kita dan mengangkat kita pada kedudukan sebagai hamba pilihan dan terpuji.

Semoga Allah Ta’ala selalu memberikan pertolongan dengan anugerah dan karunia-Nya kepada kita semua.

Oleh : Taufik Ilham

Sumber : Kitab Minhajul Abidin

Picture by klikdokter.com

Kisah Az-Zuhri dan Khalifah Abdul Malik bin Marwan:Kemuliaan Ilmu bagi Ahlinya

Pangkat bukanlah segalanya. Sebab hakikat sebuah pangkat hanyalah titipan anugerah yang diberikan oleh sang Maha Pangkat (مالك الملك). Kemulian seorang hamba bukan diukur dari sebuah pangkat atau keturunan mulia. Sebab banyak dari mereka yang berketurunan biasa, bahkan dianggap rendah, bisa mengangkat derajat nasabnya dengan kemampuan kapasitas dan kapabilitas ilmu yang dimilikinya.

Ilmu dapat mengangkat derajat kemuliaan seorang hamba di sisi-Nya. Hal itu menggambarkan akan keagungan ilmu bagi ahlinya, yang tidak memandang ras, suku, budaya, dan keturunan. Alquran menyebutkan “maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS. Al-Mujadalah: 11).

Ada sebuah kisah menakjubkan antara seorang ulama besar Ilmu Hadis, Ibnu Syihab az-Zuhri dan seorang Khalifah Bani Umayyah, Abdul Malik bin Marwan. Dimana kisah tersebut menggambarkan pemilik ilmu yang berkompeten bisa mengangkat derajat dirinya menjadi seorang pemimpin meskipun ia tergolong dari keturunan seorang budak (mawali).

Dari kedua tokoh ini terjadilah dialog tanya-jawab untuk kita renungi bersama. Dimulai dengan pertanyaan Amirul Mukminin disaat az-Zuhri menghadap dirinya:

“Dari mana engkau datang, wahai Zuhri?”

“Saya datang dari kota Makkah” jawab az-Zuhri

Lalu Amirul Mukminin bertanya kembali, “Lalu siapa yang engkau jadikan pengganti (pemimpin) di kota Makkah untuk menuntun serta memberikan pendidikan kepada penduduk Makkah”

“Atha’ bin Abi Rabbah”

“Apakah ia keturunan orang Arab asli atau keturunan mawali (keturunan budak yang sudah dibebaskan)?”

Dari keturunan mawali

Dengan kemampuan apa ia memimpin?

بالديانة والرواية (Dengan kemampuan ketakwaan yang ia miliki dan kemampuan mengaktualisasikan ajaran agama serta memanifestasikan jalan kehidupan”

“Memang orang yang memiliki kemampuan demikian layak menjadi pemimpin”

“Lantas siapa yang menjadi pemimpin di Yaman?”

 “Thawus bin Kaisan”

“Apakah ia keturunan orang Arab asli atau keturunan mawali?”

“Dari keturunan mawali”

“Dengan kemampuan apa ia memimpin?”

“Dengan kemampuan seperti yang dimiliki oleh Atha’ bin Abi Rabbah”

Demikian seterusnya Amirul Mukminin memberikan pertanyaan yang serupa kepada az-Zuhri tentang siapakah orang yang menjadi pemimpin di kota Mesir, Syam, Jazirah, Khurasan, Bashrah, dan Kufah serta dari keturunan manakah mereka berasal. Pertanyaan demi pertanyaan dijawab oleh az-Zuhri, semua pemimpin tersebut ternyata berasal dari keturunan mawali.

Kemudian sang Khalifah geram atas semua jawaban az-Zuhri tersebut, ia berkata:

“Celakalah wahai Zuhri. Demi Allah. Kalau demikian nanti yang menguasai dunia ini adalah mawali-mawali, sedangkan meraka yang keturunan Arab asli hanya sabagai pendengar.” Tegas Khalifah.

Az-Zuhri menjawab dengan lugas: “Wahai Amiral Mukminin, انما هو دين (Itulah agama Allah dan keputusan Allah). من حفظه ساد ومن ضيعه سقط (Barangsiapa yang melestarikan agama (ilmu Allah), maka dialah yang akan memimpin dunia. Dan barangsiapa yang meninggalkannya maka dialah yang akan tersungkur dalam kehinaan hidup)”

Dalam pembendaharan Arab, kata mawali (موالي) adalah orang yang menjadi budak lalu dibebaskan dan menjadi merdeka, kesetiaanya tetap kepada tuan yang membebaskannya. Tokoh keturunan mawali yang disebutkan dalam dialog di atas ialah: Atha’ bin Abi Rabbah, Thawus bin Kaisan, Makhul, Maimun bin Mahran, Al-Dhahak bin Muzahim, Hasan al-Bashri, dan Ibrahim an-Nakha’i.

Perlu menjadi catatan, kisah di atas yang dinukil dalam kitab Siyar A’lam an-Nubala karya Adz-Dzahabi ini memang riwayatnya kurang terpercaya (al-hikayat munkarah). Riwayat kisah yang diceritakan dari al-Muwaqqari ini dianggap lemah oleh kritikus hadis Abu Hatim, Yahya bin Mu’in menganggap riwayatnya dusta, dan an-Nasa’i mengatakan matruk al-hadis (hadis yang ditinggalkan).

Terlepas dari riwayat demikian, setidaknya dengan membaca kisah menakjubkan ini dapat menjadi motivasi kita semua bagaimana pelestarian ilmu dan ilmu pengetahuan dapat mengangkat kedudukan seseorang hingga tingkatannya lebih unggul dari kemulian nasab orang lain.

Semoga dengan mengangkat kisah ini diharapkan lahir generasi-generasi idaman yang hidupnya selalu dilimpahkan dalam dedikasi ilmu sebagai wujud pelestarian ilmu Allah dan Rasul-Nya. Sebab saat ini kita membutuhkan sosok generasi yang menjaga agama dan akidah, ditangannya menjadi sebuah benteng kemusyrikan (politeisme) dan ateisme.

Saat ini kita membutuhkan sosok yang benar bukan yang pintar, sosok yang amanat bukan yang khianat. Di era disrupsi ini, muncullah fenomena dimana kebenaran dianggap sebagai kesalahan dan kesalahan dianggap sebagai kebenaran. Oleh karenanya, dengan ilmu yang didasari hati yang bersih, semoga menjadi sebuah pelita di tengah gelap gulita cakrawala hidup.

 Alhasil bilamana seseorang belajar ilmu agama baik ia dari keturunan terpandang ataupun tidak, yakinlah Allah akan mengangkat derajat di sisi-Nya. Juga, hal itu merupakan sebab kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.

Oleh: Irfan Fauzi

Picture by islami.co

Sumber:

1. Kitab Siyar A’lam an-Nubala karya Imam Adz-Dzahabi, juz. 5, hal. 85.
2. Sepotong Sambutan KH. Miftachul Akhyar dalam peringatan haul KH. Ali Maksum ke-32 Al-Munawwir Yogyakarta (23/12/20)

Telah di posting di www.kempek-online.com

Bersyukur Atau Bersabar?

Jika kita bertanya: “Mana yang lebih utama orang yang bersyukur atau orang bersabar?”

Orang yang bersyukur itu pada hakikatnya orang yang bersabar begitu pun sebaliknya orang yang bersabar itu pada hakikatnya orang yang bersyukur, sebab orang yang bersyukur tidak terlepas dari ujian yang mana dia bersabar terhadapnya dan tidak larut dalam kesedihan karena syukur itu adalah mengagungkan Sang Pemberi nikmat dalam batas yang mencegahnya dari kedurhakaan terhadap-Nya. Sedangkan kesedihan yang berlarut-larut adalah suatu bentuk kedurhakaan (maksiat) dan orang yang bersabar tidak terlepas dari nikmat.

Jadi pada hakikatnya orang yang bersabar terhadap ujian yang menimpanya maka itu merupakan perwujudan dari rasa syukur, sebab dia menahan hatinya dari kesedihan yang mendalam dengan cara mengagung-kan Allah. Pengagungan kepada Allah itu juga mencegah dirinya berbuat durhaka kepada-Nya. Orang yang bersyukur itu juga mencegah dirinya dari kekufuran sehingga dia mampu bersabar untuk tidak melakukan maksiat serta sabar dalam ketaatan. Maka pada hakekatnya dia pun menjadi orang yang bersabar.

Orang yang bersabar itu dihormati oleh Allah dan penghormatan oleh-Nya itu mencegah dia dari kesedihan yang mendalam saat ditimpa musibah. Dan itu membawa-nya untuk bersabar, dengan demikian dia telah bersyukur kepada Allah sehingga secara hakikat dia menjadi orang yang bersyukur. Dengan pertolongan dan perlindungan yang diberikan terhadap orang yang bersabar itu adalah suatu nikmat yang sangat disyukuri oleh orang yang bersabar.

Sehingga salah satu dari keduanya tidak terlepas dari yang lainnya, sebab pencerahan yang membangkitkan kedua-nya adalah satu yaitu pencerahan berupa istiqomah. Maka dengan demikian bahwa salah satunya tidak dapat dilepaskan dari yang lainnya.

Kapan kita harus bersyukur?

Sebagai seorang hamba kita wajib bersyukur saat kita memperoleh kenikmatan agama dan duniawi sesuai dengan kadar keduanya. Sedangkan apabila kita ditimpa kesulitan hidup dan musibah maka sebagian ulama berpendapat bahwa hamba itu tidak diharuskan bersyukur atas musibah itu tapi dia harus bersabar menghadapinya. Adapun syukur itu hanyalah terhadap nikmat. Sebagian ulama juga mengatakan bahwasanya syukur juga tidak perlu dilakukan untuk sebuah kesulitan hidup yang kita terima kecuali terdapat nikmat-nikmat Allah dalam kesulitan tersebut. Maka pada saat itu kita harus bersyukur atas nikmat-nikmat yang menyertai kesulitan itu bukan ats kesulitan-kesulitan itu sendiri.

Sebagai contohnya ialah orang yang memberi kita obat dengan rasa yang pahit juga tidak enak yang mana untuk mengobati penyakit keras yang sedang kita derita atau mengoperasi bahkan membekam diri kita karena penyakit yang sangat berat serta berbahaya sehingga dengan tindakan tersebut akan membantu menjadi sehat kembali jiwa raga serta memiliki kehidupan yang lebih optimis karenanya.

Maka tindakan-tindakan yang seolah-olah menyakiti dengan memberi obat yang pahit melakukan operasi dan penyedotan darah kotor itu pada hakikatnya merupakan nikmat yang sangat besar dan kebaikan yang sangat nyata. Meskipun itu dalam bentuk yang tidak kita sukai dan ditakuti oleh nafsu, justru ketika kita mengetahui dibalik semua perbuatan yang tidak menyenangkan atau mengenakan untuk kita ternyata itu yang terbaik untuk diri kita kedepannya.

Oleh: Taufik Ilham

Sumber: Kitab Minhajul Abidin

Picture by kammiuinsuka.or.id

Ibadah Tanpa Riya’

             Kata riya sendiri berasal dari kata ru’  dan yah, artinya “melihat” ini karena pelakunya merasakan keinginan buruk di hatinya yaitu orang lain harus melihat amal baiknya. Ada seorang yang mengerjakan amal baik denganmaksud agar Allah memberikan anugerah sejumlah ke-untungan duniawi sehingga ia tak perlu meminta-minta pada orang lain dan bisa mengabdikan dirinya untuk beribadah dengan khusyu.

Bila dengan suatu amal baik kita berharap mendapat keuntungan duniawi sebagai bekal agar menjalankan ibadah dengan khusyu maka itu tidak termasuk riya’. Tapi harus diingat bahwa keuntungan duniawi itu hanya digunakan untuk kepentingan akhiratmu saja bukan untuk kebutuhan dunia. Jika kondisinya demikian maka bukanlah riya’ untuk memperoleh keuntungan dari amal baiknya itu. Sebuah niat bukanlah riya’.

Sebuah keinginan untuk memperoleh kebaikan bukan termasuk riya’, demikian pula jika engkau menginginkan dihormati oleh manusia atau dicintai ulama dan para pemimpin dimana tujuanmu supaya dapat memperkuat madzhab pendukung kebenaran atau untuk menolak ahli bid’ah atau untuk menyebarkan ilmu, atau menganjurkan manusia untuk beribadah dan semacamnya, bukan bermaksud mencari kemuliaan pribadi atau dunia. Itu semua adalah keinginan yang terpuji, tidak satupun diantara perbuatan itu yang masuk kategori  riya’, sebab pada hakikatnya itu menyangkut masalah akhirat.

Kita mungkin bertanya: Bagaimana halnya dengan seorang hamba yang beramal lebih karena keinginan untuk mendapatkan keuntungan di dunia dan di akhirat dari Allah bukan demi mendapatkan  ridha Allah? Dan hamba itu juga tidak mengharapkan mendapat keuntungan dunia atau pujian dari manusia lain. Apakah itu juga termasuk perbuatan riya’? Jawaban dari pertanyaan itu sudah jelas bahwa perbuatan seorang hamba itu murni riya’.

Para ulama telah berkata bahwasanya yang dipandang dalam riya’ itu adalah tujuannya bukan apa yang diinginkannya. Jika tujuan amal baiknya itu untuk mendapatkan keuntungan dunia itu adalah riya’ baik kita menginginkan hal itu dari Allah atau dari manusia.

Bagaimana dengan kebiasaan membaca surah al-Waqi’ah saat mengalami kesulitan rezeki, bukankan itu dimaksudkan agar Allah melepaskan mereka dari kesulitan tersebut dan menganugerahi mereka kemampuan agar bisa beribadah dengan tenang? Bagaimana bisa dibenarkan kalau kita menghendaki kesenangan dunia dengan amalan akhirat? Yang dimaksud dengan kebiasaan tersebut yakni agar Allah memberi rasa qana’ah yakni rezeki yang cukup menjadi bekal dalam beribadah kepada-Nya dan agar kuat dalam menuntut ilmu. Dan ini termasuk dari keinginan-keinginan yang baik bukankeinginan dunia.

Riya’ itu sendiri ada dua macam, yakni riya’ murni dan riya’ campuran. Riya’ yang murni adalah jika kita menginginkan manfaat dunia tidak lain. Sedangkan riya campuran adalah kita mengingnkan keduanya secara bersamaan antara manfaat dunia dan manfaat akhirat. Perbuatan buruk berupa riya itu menjadikan amal seseorang tak layak untuk diterima oleh Allah. Dan tidaklah benar kalau sampai diukur dengan setengah atau seperempat pahala akan hilang. Semoga kita semua diajuhkan dari perbuatan riya’ dan tetap dalam lindungan Allah Swt.

LIBERALISASI PEMIKIRAN NU

Nahdlatul Ulama (NU) sebagaimana sering diperkirakan memiliki anggota sekitar sembilan puluh juta orang, adalah organisasi sosial keagamaan (jam’iyah) terbesar di indonesia bahkan mungkin di dunia. Warga Nahdliyyin tersebar hampir di seluruh penjuru indonesia terutama di daerah-daerah pedesaan, khususnya dengan basis terkuat di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Bartat di bawah kepemimpinan ulama.

Sekitar tahun 1980-an kekuatan NU seolah-olah diabaikan begitu saja oleh para peneliti, penelitian terhadap NU Masih Kurang proposional dibanding dengan penelitian organisasi Islam Lainnya. Menurut Mitsuo Nakamura[1] mengaku pernah memiliki semacam bias yang muncul dan menganggap bahwa NU adalah organisasi ulama yang ketinggalan zaman di pedesaan Jawa, yang secara intelektual tidak canggih yang secara politik oportunis dan yang secara kultural sinkretik. Akibat bias intelektual itu adalah terdapatnya kecendrungan kuat di kalangan para ahli atau pengamat tentang Islam-baik pada tingkat Indonesia maupun internasional-untuk lebih memberikan perhatian pada organisasi-organisasi yang biasa dikategorisasikan sebagai “modernis” atau reformis.

Bahkan, organisasi dan kaum modernis serta reformis ini cenderung mendapat pemberitaan lebih luas dan ekstensif dalam media massa. Oleh karena itu, tidak aneh jika terdapat complaints dari kalangan “tradisionalis” bahwa media massa di negara-negara muslim termasuk indonesia semacam memiliki “bias” modernis dengan mengorbankan kaum “tradisionalis”. Selain karena adanya bias intelektual juga karena kalangan tradisonalis pada umumnya dianggap tidak menarik, lantaran mereka dipandang sebagai orang-orang jumud yang ketinggalan zaman, berpikiran sempit, dan picik; mereka adalah remants (sisa-sisa) masa lampau yang tidak relevan lagi dengan situasi masa sekarang. Sebaliknya, kalangan modernis dan reformis sangat menarik karena mereka dipandang sebagai orang-orang yang maju dan progresif; berpikiran luas, dan mampu menjawab tantangan masa modern.

Dengan terjadinya perubahan-perubahan sosiologis dalam pemikiran dan gerakan Islam pada beberapa dasawarsa terakhir ini, tipologi itu kelihatan semakin tidak mampu menggambarkan dengan lebih akurat peta bumi perkembangan pemikiran dan gerakan Islam. Pada dataran pemikiran belakangan ini kalangan NU telah muncul fenomena baru. Terdapat sejumlah pemikir NU yang cenderung berpikiran liberal. Mereka memiliki dua basis pendidikan, yaitu pendidikan pesantren yang melakukan banyak kajian terhadap literatur klasik pada suatu pihak dan pendidikan di perguruan tinggi yang memperknalkan metodologi ilmiah termasuk pengembangan wawasan pada pihak lain. Dengan berbekal dua basis pendidikan itu memungkinkan mereka melakukan kombinasi khazanah intelektual di pesantren dan perguruan tinggi secara dinamis dan longgar.

Munculnya fenomena baru liberalisasi pemikiran Islam di kalangan NU yang kemudian mengalami perkembangan yang semakin intens menunjukan kemampuan meraka menampilkan pemikiran yang adaptif dan responsif terhadap tuntutan zaman. Realitas ini sekaligus merupakan indikator bahwa penilaian tradisionalisme terhadap NU semakin tidak relevan lagi bagi NU sekarang. Justru realitas yang sedang terjadi adalah tumbuhnya kecendrungan liberalisasi pemikiran.

Oleh : Taufik Ilham

Picture by muslimoderat.net

Sumber : Buku NU “Liberal” Dari Tradisionalisme Ahlussunnah Ke Universalisme Islam

[1] Mitsuo Nakamura, “The Radical Tradisionalsm of the Nahdlatul Ulama in Indonesia: Personal Account of the 26 National Congress”, Semarang, Juni 1979.