Bersyukur Atau Bersabar?

Jika kita bertanya: “Mana yang lebih utama orang yang bersyukur atau orang bersabar?”

Orang yang bersyukur itu pada hakikatnya orang yang bersabar begitu pun sebaliknya orang yang bersabar itu pada hakikatnya orang yang bersyukur, sebab orang yang bersyukur tidak terlepas dari ujian yang mana dia bersabar terhadapnya dan tidak larut dalam kesedihan karena syukur itu adalah mengagungkan Sang Pemberi nikmat dalam batas yang mencegahnya dari kedurhakaan terhadap-Nya. Sedangkan kesedihan yang berlarut-larut adalah suatu bentuk kedurhakaan (maksiat) dan orang yang bersabar tidak terlepas dari nikmat.

Jadi pada hakikatnya orang yang bersabar terhadap ujian yang menimpanya maka itu merupakan perwujudan dari rasa syukur, sebab dia menahan hatinya dari kesedihan yang mendalam dengan cara mengagung-kan Allah. Pengagungan kepada Allah itu juga mencegah dirinya berbuat durhaka kepada-Nya. Orang yang bersyukur itu juga mencegah dirinya dari kekufuran sehingga dia mampu bersabar untuk tidak melakukan maksiat serta sabar dalam ketaatan. Maka pada hakekatnya dia pun menjadi orang yang bersabar.

Orang yang bersabar itu dihormati oleh Allah dan penghormatan oleh-Nya itu mencegah dia dari kesedihan yang mendalam saat ditimpa musibah. Dan itu membawa-nya untuk bersabar, dengan demikian dia telah bersyukur kepada Allah sehingga secara hakikat dia menjadi orang yang bersyukur. Dengan pertolongan dan perlindungan yang diberikan terhadap orang yang bersabar itu adalah suatu nikmat yang sangat disyukuri oleh orang yang bersabar.

Sehingga salah satu dari keduanya tidak terlepas dari yang lainnya, sebab pencerahan yang membangkitkan kedua-nya adalah satu yaitu pencerahan berupa istiqomah. Maka dengan demikian bahwa salah satunya tidak dapat dilepaskan dari yang lainnya.

Kapan kita harus bersyukur?

Sebagai seorang hamba kita wajib bersyukur saat kita memperoleh kenikmatan agama dan duniawi sesuai dengan kadar keduanya. Sedangkan apabila kita ditimpa kesulitan hidup dan musibah maka sebagian ulama berpendapat bahwa hamba itu tidak diharuskan bersyukur atas musibah itu tapi dia harus bersabar menghadapinya. Adapun syukur itu hanyalah terhadap nikmat. Sebagian ulama juga mengatakan bahwasanya syukur juga tidak perlu dilakukan untuk sebuah kesulitan hidup yang kita terima kecuali terdapat nikmat-nikmat Allah dalam kesulitan tersebut. Maka pada saat itu kita harus bersyukur atas nikmat-nikmat yang menyertai kesulitan itu bukan ats kesulitan-kesulitan itu sendiri.

Sebagai contohnya ialah orang yang memberi kita obat dengan rasa yang pahit juga tidak enak yang mana untuk mengobati penyakit keras yang sedang kita derita atau mengoperasi bahkan membekam diri kita karena penyakit yang sangat berat serta berbahaya sehingga dengan tindakan tersebut akan membantu menjadi sehat kembali jiwa raga serta memiliki kehidupan yang lebih optimis karenanya.

Maka tindakan-tindakan yang seolah-olah menyakiti dengan memberi obat yang pahit melakukan operasi dan penyedotan darah kotor itu pada hakikatnya merupakan nikmat yang sangat besar dan kebaikan yang sangat nyata. Meskipun itu dalam bentuk yang tidak kita sukai dan ditakuti oleh nafsu, justru ketika kita mengetahui dibalik semua perbuatan yang tidak menyenangkan atau mengenakan untuk kita ternyata itu yang terbaik untuk diri kita kedepannya.

Oleh: Taufik Ilham

Sumber: Kitab Minhajul Abidin

Picture by kammiuinsuka.or.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *