Meramadhankan Puasa

Entah, sepertinya berjubel-jubel orang di luar sana memberi makna puasa sebagai sekedar menahan lapar dan haus. Sekedar menahan di siang hari dan berbuka di waktu magrib. Atau mungkin menjaga pandangan dari hal yang diharamkan. Atau mungkin puasa itu sekedar sebagai menunaikan kewajiban, tetapi di malam hari aktivitas “dunia malam” tetap dilaksanakan secara istiqomah.

Rupanya dalam tinjauan fikih memang seperti itu, yo ndak salah juga sebenarnya. Tetapi sebagai seorang manusia sing nduwe ati opo iyo kowe maknani poso koyo ngono tok? Di berbagai literatur keilmuan Islam, ulama kita terdahulu tidak sekedar memaknai puasa demikian saja.

Tidak perlu ditanyakan bagaimana para sahabat riang gembira saat bulan Ramadhan tiba. Ubay bin Kab membaca sekitar 200 ayat setiap rakaat qiyaamul lail. Ibrahim bin Adham, salah seorang tabiin, tidak pernah tidur malam. Imam Syafii khatam Al-Quran dua kali dalam sehari. Dan masih banyak kisah ulama terdahulu yang begitu antusias selama bulan Ramadhan berlangsung. Kisah mereka menjadi indikasi kuat bahwa mereka tidak memaknai puasa sebagai laku spiritual secara zahir saja, tetapi juga secara batin.

Baca: Lebih Utama Mana Membaca Al-Qur’an Sambil Melihat Mushaf atau Sambil Dihafal?

Dimensi Puasa

Tentu salah total jika kita berspekulasi bahwa puasa sekedar merupakan kondisi eksternal. Saya minta tolong untuk bedakan puasa eksternal dan puasa internal. Konsep fikih (Islamic jurisprudence) yang berserakan dalam kitab-kitab (al-kutub al-fiqhiyyah), hanya membahas seputar eksternalitas puasa yang terhimpun dalam teks-teks (nash) Al-Quran dan hadis. Hal demikian karena memang aksentuasi kajian ulama fikih tidak mengungkit makna esoteris yang tersirat (esoteric hidden meaning) dari teks Al-Quran dan hadis.

Dulu ketika mondok, guru-guru saya banyak memberi dawuh, “Kalau kamu belajar fikih, harus diimbangi dengan belajar tasawuf”. Terbukti dewasa ini mayoritas masyarakat lalai untuk menangkap esensi puasa yang hendak dilakukan Kanjeng Nabi saw. “Wis pokoke aku poso, ora peduli karo esensi-esensian”. Penyakit semacam inilah yang harus kita sembuhkan bersama-sama.

Pada taraf esensi, tentu fungsi utama puasa (the purpose of fasting) mengarah kepada pengendalian emosi dan nafsu dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Bertekuk lutut dari esensi dan tegak bersandar hanya kepada substansi saja tidak cukup dalam hal ini. Sepertinya sinyal esensi puasa yang selama ini kita sering lalai dalam menangkapnya. Poso iku gawe ati, kiro-kiro opo sing dipengeni karo Pengeran.

Sakralitas Ramadhan

Mboh opo sing garai awake bodho koyo saiki, semacam manusia-manusia modern yang selalu menghindar dari dimensi kesunyian batin. Berlari menghindar, bersimpang-siur dari satu tempat ke tempat lainnya. Berkeliaran tertiup angin tanpa memiliki prinsip dan kemandirian sikap. Tanpa disadari mereka tenggelam di dalam ombak kemewahan hidup yang menipu.

Jika saya sedikit meninjau surah Al-Baqarah ayat 185, setidaknya ada tiga poin penting yang disampaikan pada narasi Al-Baqarah tersebut. Pertama, Syahru ramadhaanallazi unzila fiihil Quraanu hudal linnaasi wa bayyinaati minal hudaa wal furqaan. Narasi tersebut memberi aksentuasi bahwa pada bulan Ramadhan Al-Quran diturunkan, artinya telah turun penjelasan akbar dari Sang Pencipta kepada umat manusia berupa “huda” (the guidance) dan “furqan” (the criterion).

Kedua, Fa man syahida mingkumusy syahra falyasumh. Puasa menjadi perintah langsung (direct command) dari Sang Kekasih ketika umat Muslim tiba pada bulan Ramadhan. Ketiga, Wa litukabbirullaaha ala maa hadaakum. Agungkanlah Allah atas petunjuk yang telah Ia beri padamu. Tiga poin di atas menjadi jelas bahwa bulan suci Ramadhan bukan sembarangan bulan yang ada dalam sirkulasi bulan-bulan Islam lainnya.

Baca: Soal Toa Masjid Yang Harusnya Tak Perlu Disoal

Puasa yang Ramadhan

Konsep yang tertuang pada surah Al-Baqarah itu memberi gambaran (tashawwur) bahwa untuk memperoleh hidayah harus berangkat dari keinginan kuat serta momentum yang tepat. Hemat saya, masyarakat modern sekarang kurang mengaplikasikan puasa pada taraf esensi. Akibat negatif dari pemahaman itu berimplikasi kepada huda dan furqan yang tidak mereka peroleh. Ibarate wong mudik tapi ra ono wong tuwone lan sedulure.

Jika yang terlukis di kepala kita sekarang adalah “puasa itu di bulan Ramadhan”, menurut saya harus ditingkatkan pemahamannya menjadi “puasa itu harus yang Ramadhan”. Maksudnya fokus yang harus terus diperjuangkan bahwa Allah selalu mengiringi setiap hembus nafas, setiap kedip mata, setiap gerak yang berlangsung setiap detik. Karena sejatinya Ramadhan tidak terletak pada satu ukuran waktu tertentu saja, tetapi menembus seluruh pagar dimensi waktu yang ada tanpa limitasi.

Di samping itu, puasa bukan sekedar aktivitas kaku yang simetris dengan hal yang berkaitan seputar anggota badan, tetapi juga pada segenap gerak yang terjadi di seluruh alam ini. Jadi nilai puasa itu selalu berlangsung pada segenap aliran kesadaran manusia. Gelombang “unzila” selalu mengalir tanpa henti seiring berjalannya roda aktivitas nalar, dan itu berkaitan erat dengan turunnya butir huda dan furqan di lubuk hati manusia.

Meski hal tersebut sepertinya cukup sulit untuk dicapai, tetapi tidak ada salahnya kita berjuang menggapai tujuan puasa yang sesungguhnya. Jadi mari kita Ramadhankan puasa kita. Mungkin selama ini kita terbelenggu kedangkalan berfikir sehingga kita lengah untuk menerapkan puasa internal di setiap aktivitas sehari-hari. Yaa ayyuhal muddassir, qum faanzir.

Oleh: Afda Muhammad

Soal Toa Masjid Yang Harusnya Tak Perlu Disoal

Kemajuan teknologi zaman membawa manusia kepada keadaan yang serba praktis. Banyak kebutuhan-kebutuhan manusia yang dimudahkan oleh teknologi. Jika dulu orang-orang bepergian ke sebuah menaiki kuda dengan waktu yang cukup lama. Kini mereka sudah bisa menempuh perjalanan yang tidak makan banyak waktu dengan motor atau mobil. Kalau dulu para petani di desa membajak sawahnya dengan sapi sekarang mereka bisa mengenakan traktor.

Tak hanya dalam sektor itu saja, teknologi juga membantu manusia dalam beribadah kepada Tuhan. Satu contohnya toa, yang akan kita bahas pada tulisan kali ini. Teknologi satu ini sangat membantu umat Islam dalam menegakkan syiar Islam. Dahulu sahabat Bilal harus naik ke loteng untuk mengumandangkan azan agar umat muslim dapat mendengarnya dan memenuhi panggilan Allah tersebut.

Baca: Lebih Utama Mana Membaca Al-Qur’an Sambil Melihat Mushaf atau Sambil Dihafal?

Pada zaman itu lantunan azan Bilal bisa sampai ke telinga para penduduk. Sebabnya perumahan penduduk masih sangat sedikit, sehingga suara yang dilantunkan pun bisa lepas. Tetapi seiring berjalannya waktu keadaan berubah. Rumah penduduk sudah semakin banyak. Walhasil sekeras apapun kita berteriak tidak akan bisa didengar oleh semua orang. Sebab suara yang dikeluarkan terhalangi oleh rumah-rumah dan pohon.

Namun semua masalah itu sudah bisa diatasi berkat toa. Teknologi kecil itu bisa menyalurkan suara pewarta salat hingga ke ujung kampung. Dan akhirnya umat muslim bisa dengan mudah mengetahui masuknya waktu salat dan melaksanakannya berjamaah bagi mereka yang punya waktu longgar. Tentu itu hal yang sangat baik.

Zaman terus berputar dan populasi penduduk semakin padat. Umat muslim pun dengan spiritualitasnya yang tinggi berlomba-lomba membangun masjid atau mushala, karena satu masjid saja tak cukup untuk menampung banyaknya jamaah. Hingga sekarang bisa kita saksikan hampir di setiap jarak seratus meter di perkampungan mesti terdapat tempat salat. Apa semua ada jamaahnya? Tidak perlu kita bahas.

Yang perlu kita persoalkan, apakah semua masjid itu menggunakan perangkat speaker dan toa dalam mensyiarkan agama? Tentu iya. Apa tujuannya? Sudah pasti biar umat muslim dapat mengingat waktu salat dan mendengarkan irama-irama islami lainnya. Tentu itu hal bagus, bukan? Karena ada toa umat muslim bisa salat tepat waktu.

Namun syiar juga harus mempedulikan situasi dan kondisi lingkungan sekitar. Apakah semua masyarakat sekitar adalah objek dari syiar tersebut. Terkadang ada hal yang terkadang kelihatan sebagai syiar agama, karena mengandung unsur-unsur Qur’ani, namun karena membawa sebuah mafsadah maka tidak bisa lagi disebut syiar. Contohnya tahrim, sebuah salawat yang dilantunkan sebelum subuh.

Dalam satu tulisannya di Tempo yang berjudul “Islam Kaset dan Kebisingannya” sosok Gus Dur mencoba untuk menyoal soal tahrim yang dilantunkan dengan volume keras. Entah perangkatnya apa tidak disebutkan oleh beliau. Menurutnya tahrim yang dikumandangkan sebelum subuh itu kurang sesuai dengan makna syiar itu sendiri (ini tafsir saya). Karena objeknya tidak menyeluruh. Ada sebagian orang yang tidak terkena kewajiban salat subuh harus terganggu dari tidur lelapnya. Dalam bahasa Gus Dur Illat/alasan yang mendasari tahrim sebagai syiar tidak menyeluruh.

Sudah. Lupakan soal Gus Dur. Ada hal yang lebih relevan untuk kita bahas. Beberapa minggu lalu gus Yaqut Cholil Qoumas dengan tiba-tiba ingin mengatur soal toa masjid yang seharusnya bisa membantu syiar Islam.

Baca: Sekilas Tentang Asal Usul Huruf Arab

Bagaimana reaksi netizen? Tentu variatif. Sebagian ada yang mendukung. Dan tidak sedikit pula yang menentangnya. Bahkan dari sebagian yang menentang ada yang sampai mereaksinya dengan sebuah konten. Misal, sebuah video (nama youtubernya gak bisa saya sebut) yang berisikan seorang santri yang memanggil temannya dengan nada lirih. Saat ditanya mengapa harus bersuara pelan ia menjawab “jika suara Tuhan saja harus dikecilkan, apalagi suara kita”. Bahkan ada juga yang sampai memelintir ungkapan Menag Yaqut, yang kata dia menteri agama telah berani menyamakan azan dengan suara gonggongan anjing.

Salahkah mereka yang mengkritik gus Yaqut dengan konten? Menurut saya tidak. Bahkan itu sangat baik untuk kemaslahatan umat muslim. Pasalnya sebuah peraturan harus kita koreksi bersama terlebih dahulu agar penerapannya jauh lebih efektif.

Namun ada yang perlu dikoreksi lebih dalam lagi bagi mereka yang mau memberikan kritik. Yakni, baca dulu aturan-aturan yang akan ditetapkan. Dan dengarkan dengan seksama pernyataan pak Menteri, adakah beliau benar-benar ingin menghina azan dengan menyamakannya seperti gonggongan anjing.

Gus Yaqut tentu tidak bodoh soal syariah. Jika dicermati lagi pengaturan volume suara toa masjid justru demi sebuah kemaslahatan. Pasalnya menurut beliau, jika volume toa masjid tidak diatur maka yang terjadi malah saling sengkarut antar satu suara azan dengan azan yang lain. Sebab bangunan mushala atau masjid yang ada di Indonesia sangat banyak, hampir setiap seratus meter ada. Sehingga bukannya malah memunculkan syiar Islam yang indah dan enak didengar malah justru menjadi bising.

Dalam peraturan toa tersebut beliau juga menuliskan, bahwa sura yang dipancarkan melalui pengeras suara perlu diperhatikan kualitas dan kelayakannya. Bukankah ini salah satu anjuran dalam Islam. salahkah beliau?

Dan terakhir soal azan yang disamakan dengan gonggongan anjing. Adakah benar demikian maksud gus Yaqut? Coba anda googling lagi soal itu dan dengarkan dengan seksama. Yang anda temukan mesti berbeda. Dari sini sudah jelas bahwa peraturan soal toa harusnya tak perlu dipersoal lagi.

Yang perlu kita ketahui lagi, peraturan dibuat untuk menciptakan sebuah kemaslahatan, tidak lain dan tidak bukan. Tabik.

Oleh: Ahmad Miftahul Janah

Picture by tawazun.id

Lebih Utama Mana Membaca Al-Qur’an Sambil Melihat Mushaf atau Sambil Dihafal?

Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Muslim yang senantiasa dilantunkan setiap waktu. Sepanjang harinya; pagi dan malam lantunan Al-Qur’an terus berdengung di setiap mulut yang basah. Mereka yang membacanya sambil merenungi makna Al-Qur’an akan mendapatkan pahala yang berlimpah, sedang mereka yang sulit membaca dan memahami Al-Qur’an tetap akan mendapatkan pahala pula.

Nah, dalam menggapai limpahan pahala Al-Qur’an di setiap hurufnya, umat Muslim tatkala hendak membaca Al-Qur’an, ia akan membacanya dalam dua bentuk metode: 1) Membaca Al-Qur’an bin-Nadzri (dengan melihat mushaf); 2) Membaca Al-Qur’an bil-Hifdzi (dengan dihafal).

Bilamana ada sebuah pertanyaan yang diajukan, metode mana yang lebih utama membaca Al-Qur’an bin-Nadzri ataukah membaca Al-Qur’an bil-Hifdzi?

Dalam hal ini beberapa ulama telah membahas persoalan tersebut, salah satunya yang tertuang dalam kitab al-Itqan karya Imam Suyuthi’. Beliau menyebutkan bahwa para mufassir telah membaginya ke dalam tiga pendapat:

Pendapat Pertama, membaca Al-Qur’an dengan melihat mushaf (bin-Nadzri) itu lebih utama. Pendapat ini hendak menegaskan bahwa membaca Al-Qur’an sambil melihat mushaf adalah gabungan dari dua nilai ibadah. Pertama, nilai ibadah dari membaca Al-Qur’an; Kedua, nilai ibadah sambil memegang dan melihat mushaf.

قِرَاءَةُ اْلقُرْآنِ فِيْ اْلمُصْحَفِ أَفْضَلُ مِنَ اْلقِرَاءَةِ مِنْ حِفْظِهِ (وَفِيْ اْلمَجْمُوْعِ : لِأَنَّهَا تَجْمَع ُاْلقِرَاءَةُ وَالنَّظَرُ فِيْ اْلمُصْحَفِ وَهُوَ عِبَادَةٌ اُخْرَى، كَذَا قَالَهُ اْلقَاضِيْ وَاْلغَزَالِيْ وَغَيْرِهِ مِنْ اَصْحَابِنَا، وَنَصَّ عَلَيْهِ جَمَاعَاتٌ مِنَ السَّلَفِ، وَلَمْ أَرَ فِيْهِ خِلَافًا) هَكَذَا قَالَهُ أَصْحَابُنَا وَهُوَ مَشْهُوْرٌ عَنِ السَّلَفِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ.

“Membaca Al-Qur’an seraya melihat mushaf lebih utama dibanding membaca Al-Qur’an sambil dihafalnya (dalam al-Majmu’ dijelaskan karena menggabungkan membaca dan melihat adalah ibadah lain, begitulah yang dikatakan Al-Qadhi’, Al-Ghazali, dan lainnya dari golongan kita. Serta telah di nash oleh mayoritas ulama salaf, dan saya Imam Nawawi tidak melihat adanya perselisihan) inilah yang dikatakan golongan kita, dan pendapat yang paling masyhur dari kalangan ulama Salaf ra.” (Al-Nawawi, Al-Adzkar, Dar Al-Minhaj, hal. 198).

Selanjutnya Imam Suyuthi’ menambahkan bahwa landasan pendapat pertama berdasarkan redaksi hadis yang dikemukakan oleh al-Thabari dalam al-Kabir no. 601dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 2218, yaitu hadis marfu’ yang diriwayatkan oleh Awus al-Tsiqafi:

قِرَاءَةُ الرَّجُلِ فِي غَيرِ المُصْحَفِ أَلْفَ دَرَجَةٍ، وَقِرَائَتُهُ فِي اْلمُصْحَفِ تُضَاعَفُ أَلْفَيْ دَرَجَةٍ.

“Bacaan seseorang di luar mushaf Al-Qur’an (sambil dihafal) akan memperoleh seribu derajat, sedang bacaan seseorang sambil melihat mushaf akan dilipatkan menjadi dua ribu derajat” (Al-Suyuthi, Al-Itqan, Al-Risalah,  hal. 229).

Diriwayatkan pula kebanyakan Sahabat, dulu mereka membaca Al-Qur’an sambil melihat mushaf, dan mereka enggan keluar rumah seharian sedang mereka belum membaca mushaf sama sekali.

Pendapat Kedua, membaca Al-Qur’an dengan dihafal (bil-Hifdzi) itu lebih utama. Pendapat ini diikuti oleh Abu Muhammad ‘Izzuddin bin Abdissalam. Tendensi dari argument kedua ini adalah aspek Tadabbur-nya (penghayatan makna Al-Qur’an). Sebagaimana maksud Tadabbur dalam firman Allah, yaitu (لِيَتَدَبَّرُوْا آيَاتِهِ) agar mereka menghayati ayat-ayat-Nya.

Ketentuan ini memandang aspek personalitas seseorang, yakni ia sudah terbiasa membaca Al-Qur’an sambil dihafal, dan justru jika ia membaca sambil melihat mushaf akan mengurangi tingkat penghayatan terhadap Al-Qur’an. Maka membaca Al-Qur’an sambil dihafal lebih diprioritaskan (utama). (Al-Zarkasyi, Al-Burhan, Dar al-Turats, Juz 1, no. 463).

Pendapat Ketiga, adalah kelanjutan dari pertimbangan Imam Nawawi pada pendapat pertama, artinya Imam Nawawi tidak menganggap mutlak terkait membaca Al-Qur’an bin-Nadzri itu lebih utama.

“Andaikan qari’ (pembaca Al-Qur’an) sambil dihafal mushaf itu mampu membuat dirinya menghayati dan memahami isi kandungan Al-Qur’an itu lebih memahami Al-Qur’an dari sekedar membaca mushaf, maka membaca Al-Qur’an sambil dihafal lebih utama. Berbeda jikalau seseorang membaca Al-Qur’an baik bin-Nadzri atau bil-Hifdzi ternyata tingkat ketenangan dan penghayatan terhadap isi kandungan Al-Qur’an itu relatif seimbang, maka skala prioritasnya adalah pendapat yang mengatakan membaca Al-Qur’an sambil melihat mushaf jauh lebih utama. Inilah pendapat yang dikehendaki ulama Salaf”. (Al-Nawawi, Al-Adzkar, Dar Al-Minhaj, hal. 198).

            Melihat pemaparan ketiga pandangan di atas, tentunya kita memiliki pandangan pribadi terkait persoalan mana yang lebih utama membaca Al-Qur’an bin-Nadzri atau bil-Hifdzi. Sebab bagaimanapun juga tipikal seseorang beraneka ragam. Ada yang membaca Al-Qur’an bin-Nadzri lebih menghayati daripada bil-Hifdzi, ada pula yang membaca Al-Qur’an bil-Hifdzi justru lebih menghayati daripada bin-Nadzri.

            Jadi substansi yang diambil adalah bagaimana seseorang tersebut mampu membaca Al-Qur’an seraya memahami dan menghayati isi kandungannya baik dengan metode bin-Nadzri ataupun bil-Hifdzi, maka itulah yang jauh lebih baik baginya. Namun perlu menjadi catatan pula adalah seseorang tidak sepatutnya mengabaikan metode yang ia tidak kuasai, hingga ia mengklaim bahwa metode yang dikuasainya adalah metode yang lebih utama. Wallahu a’lam.

Oleh: Irfan Fauzi

Tulisan ini telah dipublish di media jabar.nu.or.id dan telah diedit oleh Tim Redaksi

Picture by itjen.kemenag.go.id

Waliyullah Gemar Zina Dan Mabuk

Cerita ini diambil dari buku harian Sultan Murad IV Sultan Turki Utsmani, memerintah sekitar Sep 1623 – Feb 1640. Di dalam buku hariannya itu diceritakan bahwa suatu malam sang Sultan Murad merasa sangat gelisah dan resah, ia ingin tahu apa penyebabnya. Maka ia pun memanggil kepala pengawalnya dan mengatakan bahwa ia akan pergi keluar dari istana dengan menyamar sebagai rakyat biasa. Sesuatu yang memang biasa beliau lakukan.


Sultan Murad berkata: “Mari kita keluar, kita blusukan melihat keadaan rakyatku”.


Mereka pun pergi, udara saat itu sangat panas. Tiba- tiba, mereka menemukan seorang laki-laki tergeletak di atas tanah. Maka Disentuh lelaki itu dan dibangunkan oleh Sultan Murad, ternyata lelaki itu telah wafat. Orang-orang yang lewat di sekitarnya tidak ada yang peduli dengan Keadaan mayat lelaki tersebut. Maka Sultan Murad yang saat itu menyamar sebagai rakyat biasa, Memanggil mereka yang saat itu lewat.

Baca: Musibah, Muhasabah, dan Mahabbah

Kemudian mereka bertanya kepada sultan: “Ada apa? Apa yang kau inginkan?”.


Sultan menjawab: “Mengapa orang ini wafat tapi tidak ada satu pun diantara kalian yang mengurus dan membawa kerumahnya? Siapa dia? Dan dimana keluarganya?”


Mereka berkata: “Orang ini Zindiq, pelaku maksiat, dia selalu minum khamar (mabuk-mabukan) dan selalu berzina  dengan pelacur”.

Sultan menjawab: “Tapi . . bukankah ia juga Umat Rasulullah Muhammad SAW? Ayo angkat dia, kita bawa ke rumahnya”.

Maka Mereka mereka pun membawa jenazah laki-laki itu ke rumahnya. Ketika sampai di rumahnya, saat istri lelaki tersebut mengetahui suaminya telah wafat, ia pun sedih dan menangis. Tapi orang-orang langsung pada pergi semua, hanya sang Sultan dan kepala pengawalnya yang masih tinggal dirumah lelaki itu. Kemudian Sang Sultan bertanya kepada istri laki-laki itu:


“Aku mendengar dari orang-orang disini, mereka berkata bahwa suamimu itu dikenal suka melakukan kemaksiatan ini dan itu, hingga mereka tidak peduli akan kematiannya, benarkah kabar itu”.?

Maka Sang istri menjawab: “Awalnya aku menduga seperti itu tuan. Suamiku setiap malam keluar rumah pergi ke toko minuman keras (khamar), kemudian membeli sesuai kemampuannya. Ia bawa khamar itu ke rumah, kemudian membuangnya ke dalam toilet, sambil berkata: “Alhamdulillah Aku telah meringankan dosa kaum muslimin”.


Suamiku juga selalu pergi ke tempat pelacuran, memberi mereka uang dan berkata kepada Sipelacur:

“Malam ini merupakan jatah waktuku, jadi tutup pintumu sampai pagi, jangan kau terima tamu lain!”.

Kemudian ia pulang ke rumah, dan berkata kepadaku:


“Alhamdulillah, malam ini aku telah meringankan dosa pemuda-pemuda Islam”.

Tapi, orang-orang yang melihatnya mengira bahwa ia selalu minum-minuman keras (khamar) dan melakukan perzinahan. Dan berita ini pun menyebar di masyarakat. Sampai akhirnya suatu kali aku pernah berkata kepada suamiku:

“Kalau nanti kamu mati, maka tidak akan ada kaum muslimin yang akan memandikan jenazahmu, dan tidak ada yang akan mensholatimu, tidak ada pula yang akan menguburkanmu”.


Ia hanya tertawa, dan menjawab: “Janganlah takut wahai istriku, jika aku mati, aku akan disholati oleh Sultannya kaum muslimin, oleh para Ulama dan para Auliya Allah”.


Maka, Sultan Murad pun menangis, dan berkata: “Benar apa yang dikatakannya, Demi Allah, akulah Sultan Murad Itu, dan besok pagi kita akan memandikan suamimu, mensholatinya dan menguburkannya bersama-sama masyarakat dan para ulama”.


Akhirnya jenazah laki-laki itu besoknya dihadiri oleh Sultan Murad, dan para ulama, para syeikh dan juga seluruh warga masyarakat.

Baca: Merasa Lebih Mulia Dari Anjing?


Terkadang kita suka menilai orang dari apa yang kita lihat dan kita dengar dari omongan orang orang. Andai saja kita mengetahui apa yang tersembunyi di dalam hati seseorang, niscaya pasti kita akan menjaga lisan kita dari membicarakan orang lain.”

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Buku harian Sultan Murad IV 

Picture by reportasependidikan.com

Metode Shorof KH. Ali Maksum

اعلم، أن الصرف أم العلوم والنحو أبوها. فعليك أن تقدم الأم على الأب، فإن الجنة تحت أقدام الأمهات

“Ketahuilah, bahwa shorof adalah ibu (induk) dari segala ilmu dan nahwu adalah ayahnya. Hendaklah kamu mendahulukan ibu atas ayah, karena surga dibawah telapak kaki ibu”.

Ungkapan di atas merupakan salah satu ungkapan untuk memotivasi seseorang untuk mempelajari kaidah bahasa arab. Ilmu shorof dilambangkan sebagai induk atau ibu dari segala ilmu, oleh karenanya seorang santri atau pembelajar hendaknya mempelajari ilmu shorof terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya. Ilmu shorof merupakan ilmu yang mempelajari akar kata dalam bahasa arab, Abdullah Abdul Hamid dalam bukunya yang berjudul Durus Fi Syarh ‘Ilm As Shorf Li Al Mubtadien mengungkapkan bahwa shorof merupakan kaidah-kaidah untuk mengetahui struktur kata secara lafadz maupun makna.

Ilmu shorof sendiri lebih fokus membahas berbagai kata dari segi tashrif, i’lal, idgham dan pergantian huruf. KH. Ahmad Warson Munawwir juga menyampaikan bahwa shorof dan tashrif sebagai cabang utama ilmu bahasa arab, mula-mula disusun-kembangkan oleh orang ‘ajam (non arab). Pengembangan ini dimaksudkan untuk memberi bekal bagi orang ‘ajam bukan penutur asli (ghoiru nathiqin) agar dapat mempelajari dan akhirnya menguasai bahasa arab.

Baca: Menjelang Haul Sang Maestro Kamus Al Munawwir

KH. Ali Maksum pernah mengatakan bahwasanya bahasa arab merupakan kunci pembuka yang paling utama, sebab al-Quran, sunnah nabi dan kitab-kitab tafsir beserta syarahnya semuanya menggunakan teks berbahasa arab. Tanpa menguasai ilmu bahasa arab seorang santri mustahil bisa menguasai kitab kuning secara baik. KH. Ali Maksum mengakui bahwasanya metode belajar konvensional yang biasa diterapkan di pesantren terlalu memakan waktu yang lama, sehingga menghabiskan umur yang sangat lama. Akibat dari anggapan ini maka minat belajar bahasa arab di kalangan kaum muslimin terutama di kalangan generasi muda semakin menurun dari waktu ke waktunya.

Oleh karena itu, KH. Ali Maksum memiliki pandangan bahwasanya mereka kesulitan untuk mempelajari bahasa arab bukan karena dari segi ilmu ataupun kosa katanya yang rumit melainkan lebih karena ketidaksesuaian metode yang diterapkan. Maka kemudian KH. Ali Maksum menawarkan metode belajar bahasa arab dengan pendekatan tashrif, dengan adanya pendekatan ini semua kesulitan dan kerumitan kosakata bisa diatasi juga bisa mempersingkat masa tempuh belajar oleh santri.

Metode shorof yang ditawarkan oleh KH. Ali Maksum ini pada dasarnya tidak berbeda dengan metode shorof pada umumnya, perbedaannya hanya pada metode dan sistematika pengajaran yang menekankan pada fungsionalitas dan efektivitas muatan pelajaran shorof. Salah satu ciri yang menonjol dari metode ini adalah pentashrifan antara fi’il dan isim yang dipisahkan, begitu pula ada beberapa bentuk kata yang tidak dicantumkan dalam pentashrifan seperti: isim alat, masdar mim, fi’il nahi dan dhomir فَهَوَ dan وَذَاكَ. Hal ini diupayakan untuk membuat pola pentashrifan menjadi lebih sederhana, praktis dan sistematis sehingga lebih mempermudah para santri dalam mempelajari ilmu shorof dan bahasa arab pada umumnya.

Baca: Kiai Umar Mangkuyudan Wafat, Kiai Ali Maksum Nangis di Atas Podium

Shorof metode Krapyak ini merupakan salah satu alternatif metode belajar bahasa arab dengan pendekatan tasrif yang menjamin sistem saling menguntungkan baik guru maupun murid karena keduanya sama-sama bisa aktif. Metode ini merupakan sebuah temuan yang diciptakan oleh KH. Ali Maksum ketika masih menjadi santri di Tremas Pacitan Jawa Timur sekitar tahun 1927-1935, dan terbukti shorof temuan KH. Ali Maksum ini masih digunakan dan dihafalkan dengan baik oleh sebagian alumni Pondok Tremas bahkan keluarga pondok.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Shorof Praktis “Metode Krapyak”

Picture by santrijagad.org

Naskh dalam al-Quran

Perubahan setiap zaman dengan sendirinya akan menawarkan problem dan masalah yang berbeda-beda. Hal itu tentunya menyaratkan adanya cara penyelesaian problem yang variatif pula. Oleh karena itu, setiap Nabi yang diutus oleh Allah untuk menuntun umat manusia  selalu membawa visi menasakh/menghapus ajaran Nabi sebelumnya, kecuali dalam urusan bertauhid.

Peradaban yang dihadapi Nabi Isa tentunya sangat kontras dengan peradaban umat Nabi Musa. Sebab itu, melalui Nabi Isa, Allah perlu melakukan beberapa “revisi” hukum supaya menjadi fleksibel dengan zaman yang dihadapi. Fenomena ini bisa kita lihat dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 50. Demikian paparan Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi dalam kitab Tafsirnya.

Selanjutnya, tentu bisa kita tebak, risalah yang dibawa Nabi Muhammad secara otomatis menasakh/menghapus syariat Nabi sebelumnya yang sudah tidak relevan dengan zaman, sebab beliaulah Nabi pamungkas. Jadi ia memikul visi yang paling berat, yaitu menghapus syariat Nabi-Nabi sebelumnya yang sudah tidak relevan lagi diterapkan pada masa beliau dan membawa ajaran yang berisikan hukum-hukum baru. Contoh, hukum mengenai tata cara pensucian najis. Pada zaman Nabi Musa, pakaian yang terkena najis diharuskan dipotong, namun pada zaman Nabi Muhamad hanya perlu dibasuh saja.

Walhasil, bisa kita simpulkan bahwa umat Nabi Muhamad telah berada di puncak peradaban manusia. Sebab risalah hukum yang beliau bawalah yang akan menuntun umat manusia hingga akhir zaman. Pada masa Nabi Muhammad hidup pun terdapat beberapa naskh, seperti ketika perintah melakukan salat menghadap Baitul Maqdis yang diganti dengan perintah shalat dengan menghadap kakbah.

Dalam Tafsir Al-Kasyaf, Syeikh al-Zamakhsyari menceritakan, setelah melihat adanya penghapusan hukum yang ditetapkan Nabi Muhamad oleh beliau sendiri, kaum Yahudi tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menjatuhkan beliau. Tradisi naskh dalam agama Islam menurut Yahudi adalah sebuah kejanggalan, karena hukum yang ditetapkan oleh Nabi Muhamad harus dinasakh sendiri oleh beliau.

Kaum Yahudi kemudian aktif untuk mencela Nabi Muhamad agar keyakinan para pengikutnya mengendur. “Adakah kalian tidak merasa heran dengan Muhamad? Satu waktu ia menyuruh umatnya untuk melakukan ini, dan di lain waktu dia melarangnya dan justru memerintah umatnya melakukan yang lain? Ini bukti jelas bahwa Al-Quran adalah karangan Muhamad sendiri!”, begitu cercaan yang dilayangkan kaum Yahudi.

Untuk menjawab cercaan itu, Allah kemudian menurunkan ayat yang menjelaskan tentang naskh (perevisian hukum), yakni surat Al-Baqarah ayat 106:

ما ننسخ من آية أو ننسها نأت بخير منها أو مثلها

“Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya”

Dalam ayat di atas dengan tegas Allah menyatakan bahwa ia memiliki tradisi menghapus hukum dan menggantinya dengan yang baru. Namun perlu kita ingat hukum pengganti tersebut tentunya memiliki kualitas yang lebih baik daripada hukum sebelumnya, atau setidaknya sepadan. Hal ini tentunya karena skenario kehidupan yang dibuat Tuhan itu bersifat progresif.

Tradisi naskh/penghapusan hukum yang terdapat dalam ayat diatas oleh para ulama dipetakan menjadi tiga bagian.

  1. Naskh tilawah wa hukm (menghapus bacaan dan hukum).

Bagian ini sudah tidak boleh dibaca sebagai Al-Quran lagi dan juga tidak boleh diamalkan. Sebab ayat ini sudah dinasakh secara keseluruhan, baik hukum ataupun bacaannya. Seperti, ayat Tahrim dengan sepuluh kali susuan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah, “Dahulu ada ayat Al-Quran yang meriwayatkan bahwa, untuk menjadi saudara/i sesusuan butuh sepuluh kali penyusuan. Namun setelah itu ayat ini dinasakh dengan lima kali susuan”.

  • Naskh Tilawah wa Baqa hukm (menghapus bacaan dan menetapkan hukumnya)

Bagian ini sebagaimana dikomentari oleh syeikh Zarkasyi dalam kitab Al-Burhan, wajib untuk diamalkan jika memang sudah melewati konsensus untuk ditetapkan hukumnya.  Diantara contohnya adalah ayat tentang rajam yang berbunyi:

الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموها

“Orang tua laki-laki dan perempuan jika melakukan zina maka rajamlah keduanya”

Bagian satu dan dua sangat sedikit jumlahnya dalam Al-Quran, sebab Allah menurunkan Al-Quran untuk dibaca dan diterapkan hukumnya.

  • Naskh hukm wa baqa’ tilawah (menghapus hukumnya dan menetapkan bacaannya)

Bagian ketiga ini sangat banyak dalam Al-Quran. Salah satu contohnya dalam Al-Quran adalah ayat tentang masa ‘iddah selama setahun yang telah dinaskh hukumnya. Mengenai bagian yang ketiga ini, mungkin ada satu pertanyaan menarik, apa hikmah dari hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap? Pertanyaan ini terjawab dengan cermat dalam Kitab Rawa’i al-Bayan. Setidaknya ada dua hikmah yang bisa kita ambil:

Pertama, al-Quran disamping dibaca untuk dipahami dan diamalkan hukumnya ia juga dibaca sebagai kalamullah, sehingga pembacanya mendapat pahala. Oleh karena itu, sekalipun hukumnya telah dihapus, tetapi bacaannya masih tetap ada. Kedua, sebagian besar nasakh itu bertujuan meringankan. Oleh karena itu, ditetapkanlah tilawah dari ayat yang telah dihapus hukumnya sebagai pengingat akan nikmat dihapuskannya kesulitan (masyaqqah).

Untuk menutup tulisan ini saya kira perlu mengutip komentar Syeikh Ali As-Shabuni. Dalam tafsirnya, Rawaiul Bayan, Syeikh Ali As-Shabuni memberikan sebuah komentar menarik tentang masalah naskh, kenapa hukum yang diturunkan kepada umat Nabi Muhamad masih harus ada naskh lagi, padahal syariatnya telah dianggap menasakh syariat Nabi sebelumnya? Islam sebagai agama yang super komprehensif tentu terlampau modern untuk diterapkan secara serentak. Sehingga perlu sebuah tahapan (tadriji) supaya bisa diterima dengan legowo oleh umatnya. Contohnya dalam masalah khamr. Pada awalnya khamr tidaklah diharamkan, meski sudah tampak jelas ia bisa menghilangkan akal peminumnya. Namun Rasul tidak langsung mengharamkannya, butuh empat tahapan untuk mengharamkannya. Karena jika serta merta langsung diharamkan dikhawatirkan muncul konflik. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

Hormat Bendera Merah Putih: Dalam Kacamata Fiqih

17 Agustus 2021 Indonesia kembali punya perayaan agung bersama, hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia. Perayaan ulang tahun republik Indonesia ke 76 kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika di tahun-tahun lalu kita merayakannya dengan berbagai kegiatan seremonial dan beberapa lomba tingkat kelurahan, seperti balap karung, estafet kelereng, dan lomba pecah air, maka di tahun ini kita hanya bisa merayakannya dengan diam di rumah, karena anjuran dari pemerintah menjalani PPKM, sambil membaca doa-doa untuk para Pahlawan Indonesia yang telah mendahului kita.

Namun bukan Indonesia namanya jika serangkaian peringatan hari besar tidak dilewati dengan acara perdebatan rutin. Seperti, hari natal, misalnya, masyarakat kita akan berdebat soal apa hukum mengucapkan selamat natal kepada kaum Nasrani? Hari Raya Idul Adha dan Idul Fitri masyarakat kita akan berdebat kapan kedua hari tersebut terjadi? Dan masih banyak lagi.

Baca: Ikhwan Ash-Shafa: Organisasi Think Tank Bidang Pendidikan dalam Sejarah Peradaban Islam

Hari ini pun -hari kemerdekaan Indonesia- demikian, masyarakat kita kembali dihadapkan pada acara debat rutinan. Pertanyaannya adalah apa hukum hormat kepada bendera merah putih? Pertanyaan ini datang dari golongan organisasi Islam yang oleh Kiai Hasyim Muzadi disebut dengan organisasi Transnasional.

Pertanyaan ini sebenarnya sudah mendunia. Sebab yang melakukan upacara bendera, bukan hanya Indonesia, melainkan hampir seluruh negara di penjuru dunia. Tetapi aksi protesnya yang paling gencar akhir-akhir ini di Indonesia.

Karena sifat pertanyaannya yang sudah mendunia maka yang menjawab pun ulama berskala internasioal. Diantaranya adalah Syekh Athiyah Shaqar, mantan Ketua Majelis fatwa Al-azhar, dan Syekh Abdurrahman Syaiban, Ketua Majelis Ulama Al-Jazair.

Menurut komentar Syekh Athiyah Shaqar hukum hormat kepada bendera hukumnya diperbolehkan karena bukan termasuk ibadah, seperti shalat atau dzikir, sehingga bisa menerima vonis bid’ah atau serupanya. Berikut saya kutipkan keterangan beliau:

فتحية العلم بالنشيد أو الإشارة باليد في وضع معين إشعار بالولاء للوطن والالتفاف حول قيادته والحرص على حمايته، وذلك لا يدخل فى مفهوم العبادة له، فليس فيها صلاة ولا ذكر حتى يقال : إنها بدعة أو تقرب إلى غير الله.

 “Menghormati bendera dengan lagu atau isyarat tangan dalam situasi tertentu itu menunjukkan kesetiaan pada tanah air, berkumpul di bawah kepemimpinannya, dan komitmen untuk mendukungnya. Sikap itu tidak masuk dalam pengertian ibadah kepada bendera itu. Penghormatan bendera bukanlah shalat atau dzikir sampai ada yang bilang itu bid’ah atau ibadah pada selain Allah.”

Senada dengan komentar di atas, Syekh Abdurrahman Syaiban, selaku ketua majelis Al-Jazair tahun 1999-2001 juga mengungkapkan pendapatnya tentang hukum berdiri saat menyanyikan lagu kebangsaan dan hormat terhadap bendera sebagai rasa cinta. Menurut beliau, kedua hal itu sama sekali tidak bertentangan dengan syariah atau aqidah, karena tidak ada nash (dalil Al-Quran dan Hadis) yang mengharamkannya. Berikut saya lampirkan keterangan beliau:

إن القول بعدم جواز الاستماع إلى النشيد الوطني أو الوقوف له أمر غير مؤسس دينيا، وليس هناك أي نص يحرمه أو يكرهه، بل على عكس ذلك، هو أمر محبب، لأن ديننا الحنيف أكد أن ”حب الوطن من الإيمان” والعلم والنشيد والراية وونياشين هي علامات رمزية واصطلاحات حياتية لا علاقة لها بالشرع

“Pendapat tidak bolehnya mendengarkan lagu kebangsaan atau berdiri saat dinyanyikan tidak memiliki dasar syariah. Tidak ada dalil apa pun yang mengharamkan atau memakruhkannya. Justru sebaliknya: itu perkara yang dianjurkan. Karena, agama Islam menyatakan bahwa “Cinta tanah air itu bagian dari iman.” Sedangkan lagu dan bendera itu adalah tanda dan simbol kehidupan yang tidak ada kaitannya dengan syariah.”

Dari dua fatwa ulama internasional di atas kita bisa menarik sebuah benang merah, bahwa melakukan sikap hormat di depan bendera merah putih dan menyanyikan lagu kebangsaan adalah masalah duniawi dan tidak memiliki sangkut paut dengan ibadah. Oleh karena itu jika kita melakukannya tidak bisa divonis sebagai bid’ah, sebab bid’ah hanya menyangkut pembaruan-pembaruan dalam ibadah. Itu juga tidak bisa dianggap syirik, karena tidak ada unsur penuhanan, hanya sekedar penghormatan sebagai bentuk ekspresi cinta tanah air.

Baca: Kiai Umar Mangkuyudan Wafat, Kiai Ali Maksum Nangis di Atas Podium

Dalam sebuah hadits hasan riwayat Tirmidzi Rasulullah berfirman yang artinya: Perkara haram adalah sesuatu yang diharamkan oleh Allah dalam Quran-Nya. Perkara haram adalah sesuatu yang diharamkan Allah dalam Quran-Nya. Adapun perkara yang tidak dibahas oleh Allah, maka itu adalah sesuatu yang dimaafkan.

Dari hadist ini, maka Imam Syafii membuat sebuah kaidah Fikih yang berbunyi “al-ashlu fil asyyagharil ibadah al-ibahah” “Hukum asal segala sesuatu yang (bukan ibadah) adalah mubah (boleh)”.

Oleh: Ahmad Miftahul Janah

Merupakan penulis buku “Sidul Santri Kucluk”, juga Mahasantri Ma’had Aly An-Nur 2 yang sedang mukim dan bersosial di Komplek L Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak.

Picture by pesantrennusantara.org

Musibah, Muhasabah, dan Mahabbah

Tak ada manusia yang tak membutuhkan rasa aman. Namun dalam realitas kehidupan, kesulitan, musibah, atau kondisi tak aman mustahil dihindari. Manusia memang hidup dalam serba-dua kemungkinan: siang dan malam, sehat dan sakit, hidup dan mati, aman dan taka man, dan sebagainya. 

Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan, ayat tersebut bermakna bahwa pencipta segala yang berpasangan adalah satu, yakni Allah, maka sembahlah Allah (Syekh Jalaluddin, h. 377). Artinya, di balik keberpasangan setiap kondisi tersebut ada Dzat Tunggal yang perlu disadari. Allah subhanahu wata’ala adalah satu-satunya tempat bergantung, kembali, dan berserah diri.   Bersamaan dengan datangnya tahun baru, Indonesia mengalami berbagai musibah, mulai dari angin besar, banjir, tanah longsor, kecelakaan, dan lainnya. Yang perlu disikapi dari musibah ini adalah mengembalikan semuanya kepada Yang Maha Memiliki, Allah subahanhu wata’ala.

Baca: Tingkatan Orang Yang Berpuasa

Bumi, langit, dan seisinya adalah milik Allah maka Allah berhak mau menjadikannya seperti apa. Bahkan seandainya seluruhnya diluluhlantakkan manusia tidak akan bisa berbuat apa-apa. Namun demikian, manusia juga harus bermuhasabah (introspeksi), apakah musibah yang ia terima merupakan bentuk ujian, peringatan, atau yang lain. Sehingga, manusia lebih berhati-hati dalam menjaga amanah alam ini.

Imam Jalaludin dalam Tafsir Jalalain menjelaskan lafal بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ (karena perbuatan tangan manusia) dengan arti مِنَ الْمَعَاصِى, yang berarti “karena maksiat”.   Artinya bahwa kerusakan di bumi ataupun di langit timbul karena ulah manusia, persisnya sebab kemaksiatan yang mereka lakukan. Kemaksiatan di sini tentu bukan hanya berbentuk pelanggaran atas norma “halal-haram” yang biasa kita dengar, seperti minuman keras, berjudi, zina, atau sejenisnya. Selain berkenaan dengan urusan privat, kemaksiatan juga bisa berupa dosa yang berkaitan dengan masyarakat dan lingkungan. Segala bentuk perbuatan merusak alam adalah kemaksiatan.

Karena dengan merusak alam secara tidak langsung telah mengurangi keseimbangan alam, sehingga akan menyebabkan masalah pada hari ini dan masa-masa yang akan datang.   Tanah longsor terjadi bisa jadi sebab adanya penebangan pohon secara brutal. Banjir dating karena dipicu perilaku buang sampah sembarangan, sungai-sungai menyempit karena bangunan pemukiman, area resapan air berkurang drastis akibat kian meluasnya aspal dan beton, dan lain sebagainya.

Segala musibah yang menimpa menjadi alat untuk berdzikir dan muhasabah diri, sehingga manusia dapat mengambil sisi positif terutama dalam meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah subhanahu wata’ala. Bukan sebaliknya: saling menghujat, saling menyalahkan antarsesama, rakyat dengan pemerintahnya, atasan dengan bawahannya, dan sebagainya. Namun benar-benar menjadikan musibah sebagai pembenahan terhadap diri dan lingkungan agar tercipta kehidupan yang lebih baik, aman, dan tenteram.  

Sebagaimana kisah Rabiah Al-Adawiyah yang selama hidupnya mengalami kesulitan demi kesulitan, dengan dasar iman maka diraihlah ahwal hubb atau kecintaan kepada Allah yang tiada tara. Hal ini membuktikan bahwa di setiap musibah atau kesulitan ada kebaikan yang Allah selipkan di dalamnya. Hanya orang-orang yang sadar dan sabarlah yang akan meraih kebaikan tersebut. Dengan bahasa lain, musibah pun bisa memicu mahabbah (rasa cinta).   Selain dari kebaikan-kebaikan yang bersifat relatif, kesabaran dalam menerima musibah adalah cara Allah menghapuskan dosa-dosa.

Yang ditekankan dalam konteks musibah adalah kesabaran menghadapinya. Memang, di kalangan ulama berbeda pendapat apakah kesabaran atau musibah itu sendiri yang menyebabkan terhapusnya dosa-dosa.   Menurut Syekh Izuddin bin Salam sebagaimana dijelaskan dalam kitab Irsyadul Ibad, sesungguhnya musibah yang menimpa orang mukmin tidak mengandung pahala, sebab musibah bukanlah atas usahanya. Akan tetapi, pahala itu terletak pada kesabaran atas musibah tersebut. Namun, dijelaskan berikutnya bahwa musibah adalah pelebur dosa sekalipun orang mukmin yang ditimpanya tidak sabar, sebab tidak ada syarat bagi pelebur dosa untuk diusahakan oleh seorang mukmin.  

Baca: Empat Tingkatan Manusia

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa apa pun bentuknya musibah adalah sebuah cobaan dari Allah untuk makhluknya yang di dalamnya mengandung maksud dan tujuan baik bagi yang menerimanya. Tinggal bagaimana menyikapinya: sabar atau justru ingkar.   Dengan demikian, musibah adalah sarana untuk mengingat sang pemberi musibah, upaya untuk meningkatkan kualitas keimanan, yang pada akhirnya menumbuhkan rasa cinta yang mendalam kepada Allah setelah merasakan kenikmatan di balik musibah yang menimpanya. Mahasuci Allah yang senantiasa memberikan yang terbaik untuk makhluk-Nya.   Semoga kita semua senantiasa dijadikan orang-orang yang mampu menyikapi segala musibah sebagai sarana peningkatan iman dan takwa. Sehingga hilangnya musibah berbekas kebahagiaan baik untuk dunia maupun akhirat.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: nu.or.id

Empat Tingkatan Manusia

Imam al Ghazali atau bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i adalah ulama produktif. Tidak kurang 228 kitab telah ditulisnya, meliputi berbagai disiplin ilmu; tasawuf, fikih, teologi, logika, hingga filsafat.

Hingga beliau mendapat predikat Sang Hujjatul Islam (kemampuan daya ingat yang kuat dan bijak dalam berhujjah). Beliau ulama yang sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah, yang merupakan pusat kebesaran Islam pada zamannya.

Baca: Lima Harapan Pegiat Ramadhan

Menurut Imam Al-Ghazali manusia menjadi empat (4) golongan:

 الرجال أربعة، رجل يدري ويدري أنه يدري فذلك عالم فاتبعوه، ورجل يدري ولا يدري أنه يدري فذلك نائم فأيقظوه، ورجل لا يدري ويدري انهلا يدري فذلك مسترشد فأرشدوه، ورجل لا يدري ولا يدري أنه لا يدري فذلك جاهل فارفضوه

Pertama, Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri, ‘seseorang yang berilmu, dan dia mengerti kalau dirinya berilmu.’

Orang ini bisa disebut ‘alim (berilmu). Golongan ini boleh dikuti. Apalagi bagi orang awam yang masih memerlukan pengetahuan, maka sudah selayaknya orang awam duduk bersama dengannya bakal menjadi pengobat hati.

Golongan ini adalah manusia yang paling baik. Manusia yang memiliki kemapanan ilmu, dan dia memahami kalau dirinya itu berilmu, maka ia akan menggunakan ilmunya. Ia berusaha semaksimal mungkin agar ilmunya benar-benar bermanfaat bagi dirinya, orang sekitarnya, dan bahkan bagi seluruh umat manusia. Golongan ini adalah manusia unggul. Manusia yang sukses dunia dan akhirat.

Golongan ini menyadari dirinya mengetahui dan mengamalkan ilmu pengetahuannya. Misalnya orang berilmu itu tahu bahwa “Islam” itu serumpun dengan “salm” yang berarti damai. Kemudian, dia berupaya untuk bersikap santun, merangkul semua pihak, dan menebarkan kasih kepada para penghuni bumi. Ketika dimusuhi dan dimaki pun, orang berilmu tersebut memaafkan pihak yang memusuhi dan memakinya. Orang berilmu semacam itulah yang termasuk ulama yang layak diikuti.

Kedua, Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri, ‘seseorang yang berilmu, tapi dia tidak memahami kalau dirinya mengetahui.’

Golongan ini diumpamakan orang yang tengah tertidur. Manusia yang memiliki ilmu dan kecakapan, tapi dia tidak pernah menyadari kalau dirinya memiliki ilmu dan kecakapan. Golongan ini sering di jumpai di sekeliling pergaulan manusia. Adakalanya ditemukan golongan yang sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa, tapi ia tidak memahami kalau memiliki potensi. Karena keberadaan dia seakan tak berguna, selama dia belum bangun manusia ini sukses di dunia tapi rugi di akhirat.

Golongan kedua ini bukan termasuk manusia ideal. Manusia kedua itu sebenarnya berilmu. Tapi dia tidak benar-benar menerapkan ilmunya dengan baik. Misalnya dia tahu bahwa “Allahu Akbar” berarti Allah Maha Besar. Seyogyanya dia sadar bahwa hanya Allah yang Maha Besar. Mengucapkan kalimat takbir “Allahu Akbar” selain Allah itu kecil. Sebagaimana pada saat shalat, sepatutnya pengucap  “Allahu Akbar” mengucapkan kata-kata baik, bertindak tertib, penuh kerendah hati (sebagaimana tercermin dalam rukuk dan sujud), berhati teduh, berpikiran jernih dan menebar damai. Mengeratkan hubungan dengan Allah (sebagaimana tampak pada gerakan dan ucapan salm di akhir shalat).

Ketiga, Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri, Seseorang yang tidak mengetahui (tidak berilmu), tapi dia memahami alias sadar diri kalau dirinya tidak berilmu.’

Golongan ini masih tergolong manusia baik. Sebab, manusia yang bisa menyadari kekurangannnya. Ia bisa mengintropeksi dirinya dan bisa menempatkan dirinya di tempat yang sepantasnya. Karena dia tahu dirinya tidak berilmu, maka dia belajar.

Dengan belajar itu, sangat diharapkan suatu saat dia bisa berilmu dan tahu kalau dirinya berilmu. Manusia seperti ini sengsara di dunia tapi bahagia di akhirat.

Golongan ketiga ini, adalah manusia yang memang tidak tahu. Namun, dia menyadari bahwa dirinya tidak tahu, sehingga dia selalu belajar dan siap bertanya kepada siapapun yang layak untuk ditanya tentang ilmu dan informasi. Hasilnya, manusia yang tak berilmu semacam ini lambat laun menjadi manusia yang berilmu. Seumpama manusia berilmu bertemu dengan orang golongan ketiga ini, sepatutnya orang berilmu itu berkenan mengajarinya, karena orang golongan ketiga ini adalah pembelajar yang perlu diajari untuk perbaikan masa kini dan masa depan.

Baca: Merasa Lebih Mulia Dari Anjing?

Keempat, Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri, ‘seseorang yang Tidak memahami (tidak berilmu), dan dia paham kalau dirinya tak berilmu.’

Golongan keempat adalah manusia paling buruk. Dia adalah orang bodoh, tapi tidak menyadari kebodohannya. Seharusnya orang bodoh belajar pada orang yang ‘Alim. Tapi orang bodoh yang tidak menyadari dirinya bodoh adalah orang yang enggan belajar. Dia merasa puas dengan kondisi dirinya. Cenderung menolak untuk diajari, bahkan sering berlagak tahu, meski aslinya cuma tidak paham atau tak tahu. Golongan semacam itu adalah manusia bodoh yang tidak bisa diubah dan berubah menjadi baik.

Golongan ini tergolong manusia yang paling buruk. Manusia yang selalu merasa mengerti, selalu merasa tahu, selalu merasa memiliki ilmu, padahal ia tidak tahu apa-apa.

Golongan seperti ini susah disadarkan, kalau diingatkan ia akan membantah sebab ia merasa tahu atau merasa lebih tahu. Paling susah dicari kebaikannya. Golongan seperti ini dinilai tidak sukses di dunia, juga merugi di akhirat.

Untuk itu mari kita intropeksi diri masing-masing. Masuk golongan manakah kita berada?

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: laduni.id

Picture by bincangsyariah.com

Tingkatan Orang Yang Berpuasa

Tiga Tingkatan Orang Berpuasa Menurut Imam Ghazali. Menurut Imam Ghozali r.a, Tingkatan orang berpuasa ada 3, yaitu;

Pertama, Puasanya Orang Awam

“Puasa umum adalah menahan perut dan kemaluan dari menunaikan syahwat.”

Maksudnya, puasa umum atau puasa orang-orang awam adalah “sekedar” mengerjakan puasa menurut tata cara yang diatur dalam hukum syariat. Seseorang makan sahur dan berniat untuk puasa pada hari itu, lalu menahan diri dari makan, minum dan melakukan hubungan badan dengan suami atau istrinya sejak dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari. Jika hal itu telah dikerjakan, maka secara hukum syariat ia telah melaksanakan kewajiban puasa Ramadhan. Puasanya telah sah secara dzahir dari segi ilmu fikih.

Baca: Lima Harapan Pegiat Ramadhan

Kedua yaitu, puasanya orang yang khusus

“Puasa khusus adalah menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan seluruh anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa.”

Tingkatan puasa ini lebih tinggi dari tingkatan puasa sebelumnya. Selain menahan diri dari makan, minum dan melakukan hubungan suami istri, tingkatan ini menuntut orang yang berpuasa untuk menahan seluruh anggota badannya dari dosa-dosa, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Tingkatan ini menuntut baik dzahir maupun batin untuk senantiasa berhati-hati dan waspada.

Ia akan menahan matanya dari melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan menahan telinganya dari mendengarkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan menahan lisannya dari mengucapkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan menahan tangannya dari melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan menahan kakinya dari melangkah menuju hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan seluruh anggota badannya yang lain ia jaga agar tidak terjatuh dalam tindakan maksiat.Tingkatan puasa ini adalah tingkatan orang-orang shalih.

Ketiga, Puasanya orang yang sangat khusus

“Puasa sangat khusus adalah berpuasanya hati dari keinginan-keinginan yang rendah dan pikiran-pikiran duniawi serta menahan hati dari segala tujuan selain Allah secara totalitas.”

Tingkatan ini adalah tingkatan puasa yang paling tinggi, sehingga paling berat dan paling sulit dicapai. Selain menahan diri dari makan, minum dan berhubungan, serta menahan seluruh anggota badan dari perbuatan maksiat, tingkatan ini menuntut hati dan pikiran orang yang puasa untuk selalu fokus pada akhirat, memikirkan hal-hal yang mulia dan memurnikan semua tujuan untuk Allah semata.

Puasanya hati dan pikiran, itulah hakekat dari puasa sangat khusus. Puasanya hati dan pikiran dianggap batal ketika ia memikirkan hal-hal selain Allah, hari akhirat dan berfikir tentang (keinginan-keinginan) dunia, kecuali perkara dunia yang membantu urusan akhirat. Inilah puasa para nabi, shiddiqin dan muqarrabin. (Imam Abu Hamid al-Ghozali, Ihya’ Ulumiddin, 1/234)

Betapa banyak orang berpuasa namun balasan dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga semata. Dan betapa banyak orang melakukan shalat malam (tarawih dan witir) namun balasannya dari shalatnya hanyalah begadang menahan kantuk semata.

Baca: Keutamaan Shalat Berjamaah Shaf Paling Belakang

Demikian penjelasan Tiga Tingkatan Orang Berpuasa Menurut Imam Ghazali.  Semoga kita tidak termasuk dalam golongan yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam diatas, Aamiin ya Rabbal ‘Aalamiin.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: bangkitmedia.com

Picture by darunnajah.com