Jangan Berdebat Dengan Orang Bodoh

Kita hidup di dunia yang mana di isi oleh berbagai macam manusia, mulai dari agama yang berbeda, ideologi yang berbeda, ras, suku, bahasa, paham dan lain sebagainya. Kita juga dianugerahkan akal yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Pencipta untuk bisa tetap survive ketika menjalani kehidupan, untuk berfikir bagaimana cara berkomunikasi, dan untuk melanjutkan hidup dengan sesama manusia dan juga alam. Dari situlah kita senantiasa berhubungan dengan orang lain, untuk kelangsungan hidup di dunia.

Tak jarang atau mungkin sering kita menjumpai perbedaan-perbedaan tersebut menyulut adanya perbedaan pendapat dan berujung kepada perdebatan. Setiap manusia pada dasarnya memiliki yang namanya Gharizah Baqa’ atau biasa kita sebut sebagai naluri untuk mempertahankan diri. Seringkali saat kita bertentangan dengan pihak tertentu, maka naluri tersebut akan menguasai diri. Naluri agar harga diri tidak jatuh dan menjadi lebih unggul atas orang lain.

Dikisahkan, suatu hari Ibnu Sina melakukan perjalanan dengan kuda kesayangannya. Kemudian tiba tempat yang dirasa nyaman, Ibnu Sina berhenti beristirahat. Kuda diikat ditempat yang sedikit teduh, diberi makanan jerami dicampur rumput pilihan. Ibnu Sina tahu bahwasanya binatang itu tidak boleh dimusuhi bahkan disiksa harus disayang karena membantu manusia.

Ibnu Sina duduk di tempat lebih teduh tak jauh dari kuda, sambil menikmati bekal yang dibawanya.

Tiba-tiba datang seseorang yang menunggangi keledai, ia turun dan mengikat keledainya berdekatan dengan kuda milik Ibnu Sina dengan maksud supaya keledainya bisa ikut memakan jerami dan rumput pilihan yang sudah disediakan oleh Ibnu Sina tadi. Dan orang tersebut pun duduk dekat dengan Ibnu Sina berada.

Ketika ia duduk dan ikut makan, Ibnu Sina mengingatkan :

“Jauhkan keledaimu dari kudaku supaya tidak ditendang olehnya.”

Orang yang diajak bicara itu tersenyum sambil menoleh ke kuda dan keledai.

Namun kemudian… “Plakk…!”

Si keledai ditendang kuda hingga luka cidera. Pemilik keledai marah-marah kepada Ibnu Sina dan meminta tanggung jawabnya, Ibnu Sina diam saja. Sampai kemudian si pemilik keledai mendatangi hakim dan meminta agar Ibnu Sina membayar atas luka cidera keledainya. Saat ditanya oleh hakim pun Ibnu Sina terdiam.

Hakim kemudian berkata kepada orang yang mengadu :

“Apakah ia bisu ….. ?” tanya hakim

“Tidak, tadi ia bicara padaku.” orang itu menjawab

 “Apa yang ia katakan ….. ?” hakim bertanya lagi

 “Jauhkan keledaimu dari kudaku supaya tidak ditendang kudaku.” orang itu kembali menjawab

Setelah mendengar jawaban itu, sang hakim tersenyum dan berkata kepada Ibnu Sina:

“Anda ternyata pintar. Cukup diam dan kebenaran terungkap.”

Sambil tersenyum Ibnu Sina berkata kepada hakim:

“Tidak ada cara lain untuk menghadapi orang bodoh selain dengan diam.”

Dari cerita Ibnu Sina di atas menjelaskan bahwasanya perdebatan yang tidak jelas ujung-pangkalnya kita akan kehilangan banyak hal diantaranya adalah waktu yang berharga, energi, emosi dan lain sebagainya. Yang tak kalah penting adalah orang lain akan menilai kita dengan bagaimana kita sendiri. “Apabila orang bodoh mengajak berdebat denganmu, maka sikap yang terbaik adalah diam.” Namun berdebat tidak lah terlarang secara mutlak, karena terkadang untuk meluruskan sebuah syubhat memang harus dilalui dengan berdebat. Dan debat itu terkadang terpuji, terkadang tercela, terkadang membawa mafsadat (kerusakan), dan terkadang membawa mashlahat (kebaikan), terkadang merupakan sesuatu yang haq dan terkadang merupakan sesuatu yang bathil.

Oleh : Tim Redaksi

Picture by bincangsyariah.com

Kisah Seorang Wali : Doa Yang Sia-sia Karena Seorang Istri

Di dalam kitab Zaadul Masir fi Ilmi Tafsir karya Syekh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dikisahkan ada seorang wali yang istimewa. Di antara keistimewaannya, dia diberi tiga doa yang pasti dikabulkan oleh Allah Swt.

Suatu ketika istri sang wali mengetahui karamah suaminya. Sehingga istri minta didoakan oleh suaminya. Sebagai istri seorang ulama, permintaannya cukup unik. Bahkan bisa dibilang, harapan istrinya ini sama halnya dengan keinginan banyak perempuan. Yakni, dia ingin agar wajahnya menjadi cantik.

“Kang Mas, mohon mintakan kepada Allah agar wajahku menjadi cantik.” Pinta istri.

Wali tersebut mengiyakan permintaan istrinya. Lalu dia berdoa :

“Ya Allah, saya minta agar wajah istriku menjadi cantik.”

Beberapa saat kemudian istri ulama yang awalnya tak cantik ini seketika menjadi cantik jelita tanpa harus pergi ke salon kecantikan.

Sayangnya, setelah menjadi cantik, istri ulama ini menjadi menarik perhatian banyak laki-laki karena kecantikannya. Sampai suatu waktu dia ketahuan menjalin hubungan dengan lelaki lain.

Setelah mengetahui istrinya menjalin hubungan dengan lelaki lain, ulama tersebut marah. Kemudian dia berdoa kepada Allah agar istrinya wajahnya menjadi buruk rupa, lebih buruk dari sebelumnya.

“Ya Allah, ubahlah wajah istriku menjadi buruk rupa.”

Doa yang kedua ini terkabul langsung sehingga istrinya menjadi buruk rupanya.

Mengetahui dirinya menjadi buruk wajahnya, istri menyesali perbuatannya. Dia meminta maaf kepada suaminya. Kemudian dia minta didoakan agar kembali seperti semula.

Doa ketiga pun dipanjatkan. Istri kembali seperti sedia kala.

Akhirnya tiga doa yang dipanjatkan oleh wali tersebut menjadi sia-sia karena perbuatan istrinya.

Oleh : Tim Redaksi

Picture by senimannu.com

Kisah Juraij Dan Seorang Pelacur

Pada Saat pengajian Kitab Riyaddhus Sholihin terdapat sebuah cerita yang menarik yang mana kisah ini diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Saw. Bersabda:

“Hanya ada tiga bayi yang bisa bicara, yaitu Isa a.s., bayi pada masa Juraij (seorang ahli ibadah), dan seorang bayi lainnya.”

Kisah Nabi Isa a.s. telah diketahui secara luas. Sementara Juraij adalah seorang ahli ibadah di kalangan Bani Israil yang memiliki seorang ibu. Pada suatu hari ketika Juraij sedang shalat, sang ibu mengetuk pintu dan memanggilnya,

“Juraij!” Juraij kebingungan

“Tuhan, manakah yang lebih baik, melanjutkan shalat atau menjawab panggilan ibu?”

Juraij memutuskan untuk tetap melanjutkan shalatnya.

Sang ibu lalu memanggil untuk kedua kalinya, tetapi Juraij tetap melanjutkan shalatnya. Sampai panggilan ketiga, Juraij tetap kukuh melanjutkan shalatnya dan tidak menghiraukan panggilan ibunya.

Sang ibu marah, lalu berdoa:

“Ya Allah, jangan biarkan dia mati, sampai ia bertemu seorang pelacur.”

Di tempat Juraij tinggal, ada seorang pelacur yang berkata pada beberapa orang:

“Aku akan menggoda Juraij, sampai ia mau berzina denganku.”

Pelacur itu mendatangi Juraij tetapi ia tidak mampu berbuat apa-apa. Suatu malam, seorang penggembala beristirahat di gubugnya. Ketika lelah, pelacur itu merayu penggembala, dan terjadilah perzinaan antara keduanya.

Pelacur itu kemudian melahirkan seorang bayi dan mengaku: “Ini anak Juraij.”

Bani Israil lalu mendatangi Juraij, menghancurkan rumahnya dan mencaci-makinya. Kemudian Juraij shalat dan memanjatkan doa, hingga bergeraklah bayi itu.

Abu Hurairah berkata:

“Sepertinya aku melihat Nabi Saw. Bercerita dengan mengacungkan tangan ketika beliau berkata: “Hai bocah, siapa ayahmu?”

Bayi itu menjawab: “Penggembala itu.”

Akhirnya Bani Israil menyesali perbuatan mereka terhadap Juraij dan mengucapkan janji:

“Kami akan membangun rumahmu dari emas atau perak.”

Akan tetapi Juraij menolak tawaran mereka dan membangun rumahnya seperti semula.

Bayi lain yang bisa bicara adalah seorang bayi yang sedang menyusu kepada ibunya. Lalu lewatlah seorang pemuda tampan berparas elok. Sang ibu berdoa:

“Ya Allah, jadikan anakku seperti dia.” Kemudian bayi itu menyahut:

“Ya Allah, jangan jadikan aku seperti dia.”

Lewat lagi seorang perempuan yang diisukan sebagai pencuri, pezina, dan residivis.

Sang ibu berdoa: “Ya Allah, jangan jadikan anakku seperti dia.”

Bayi itu menimpali, “Ya Allah, jadikan aku seperti dia.”

Sang ibu bertanya-tanya tentang celoteh anaknya.

Si bayi berkata: “Pemuda itu orang yang suka bertindak sewenang-wenang, aku tidak ingin jadi seperti dia. Sementara perempuan yang diisukan sebagai pelacur itu bukanlah seorang pelacur, ia diisukan sebagai seorang pencuri, padahal ia bukan pencuri, dan ia hanya berkata:

“Cukuplah Allah sebagai pelindungku.”

Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah Juraij di atas dan menjadikannya sebagai pelajaran bahwasanya keutamaan orang yang berilmu lebih utama dibandingkan dengan orang yang ahli ibadah tanpa ilmu dan bakti kepada orang tua adalah sebuah kewajiban termasuk memenuhi panggilannya.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Pengajian Kitab Riyadhus Sholihin

Picture by learnreligions.com

Obat Yang Sangat Pahit Di Dunia

Sifat sabar merupakan obat yang pahit dan minuman yang tidak disukai, namun berkah. Dengan sabar seorang hamba akan memperoleh banyak keuntungan dan terhindar dari segala mudharat. Dengan khasiat seperti itu orang yang berakal sehat pasti akan memaksa dirinya untuk meminum obat tersebut dan rela tahan dengan rasa pahitnya. Meyakini bahwasanya rasa pahit yang sebentar itu akan menghasilkan ketenangan jiwa selamanya.

Seorang yang sabar akan tetap selamat di dunia dari kebingungan, kegelisahan, kesal dan ratap tangis kesedihan. Juga selamat dari hukuman di akhirat kelak, sedangkan mereka yang menunjukan sikap lalai, gelisah dan tidak sabar maka akan lenyap seluruh manfaat sabar itu darinya dan akan menghadapi berbagai kerusakan dan kerugian. Apabila tidak bersabar dalam menghindari dosa maka akan terjatuh dalam perbuatan dosa dan apabila tidak mampu sabar dalam upaya menghindari perbuatan yang sia-sia dan berlebih-lebihan di dunia maka akan larut dalam perbuatan tersebut.

Gagal bersabar terhadap musibah yang menimpanya itu lebih parah akibatnya daripada derita yang disebabkan oleh akibat musibah itu sendiri. Maka apa untungnya melakukan sesuatu yang bisa melenyapkan apa yang telah berhasil diraih sementara yang lenyap itu kemudian tidak bisa kembali lagi? Berusahalah dengan sungguh-sungguh dan bilamana ada sesuatu yang terlepas dari genggaman jangan sampai yang lain turut terlepas pula.

Bagaimana pendapatnya terhadap orang tua yang sangat menyayangi anaknya dan memiliki harta banyak tapi ia mencegah anak tercintanya untuk makan kurma segar dan buah apel karena sang anak tengah menderita sakit mata. Orang tua tersebut juga menyerahkan anaknya kepada seorang guru yang keras juga tegas yang menghukum anak itu berdiri sepanjang hari di tempatnya apabila si anak melakukan kesalahan agar si anak tumbuh menjadi anak yang disiplin dan terdidik. Sang ayah juga membawa anaknya kepada tukang bekam hingga ia merasa sakit dan terguncang.

Apakah tindakan orang tua itu mencegah anaknya makan kurma dan apel itu didorong oleh sikap pelit? Dengan menyerahkan anaknya untuk dididik orang lain dan memberi kebebasan kepada gurunya itu untuk menghukum. Apakah orang tua tersebut mencelakakan anaknya? Padahal ia telah menyediakan apapun yang ia miliki untuk kebahagiaan anaknya. Apakah dengan itu ia bermaksud membuat anaknya lelah dan menyakitinya, karena marah kepadanya, sedangkan ia adalah anak kesayangannya dan belahan jiwanya? Tentu tidak demikian, orang tua itu melakukan demikian karena tahu bahwa itu yang terbaik bagi anaknya. Kelelahan yang sedikit itu akan membawa anaknya sampai kepada kebaikan yang banyak serta manfaat yang besar. Ia tak mau anaknya kelak tumbuh dengan membawa pengaruh negatif yang akibatnya juga akan sangat berat bagi tanggung jawabnya sebagai orang tua.

Oleh karena itu apabila Allah mengujimu dengan kesusahan maka yakinlah bahwasanya Dia sebenarnya tidak butuh untuk mengujimu dan mencobamu sebab Dia Maha Mengetahui keadaanmu, Maha Melihat kelemahanmu dan Dia Maha Lembut lagi Maha Penyayang terhadapmu. Jadi apabila kita melihat Allah mencegah kita memperoleh karunia dunia atau menimpakan banyak kesusahan dan musibah, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kita disayangi oleh-Nya dan kita sedang berada pada derajat yang tinggi di sisi-Nya. Apabila kita mengalami kesulitan dan gelisah karena tak mendapatkan sesuatu yang kita inginkan tetapkanlah hati kita untuk senang dan berterima kasih kepada Allah. Karena Allah sendiri yang menginginkan kebajikan dan kesejahteraan bagi kita, menambah pahala kita dan mengangkat kita pada kedudukan sebagai hamba pilihan dan terpuji.

Semoga Allah Ta’ala selalu memberikan pertolongan dengan anugerah dan karunia-Nya kepada kita semua.

Oleh : Taufik Ilham

Sumber : Kitab Minhajul Abidin

Picture by klikdokter.com

Antara Ilmu Dan Ibadah, Mana Yang Lebih Utama?

Ilmu dan ibadah sebagai pokok karena dengan keduanya kita bisa membaca dan mendengar baik berupa tulisan, pengajaran oleh para guru, nasihat-nasihat maupun penelitian oleh peneliti. Bahkan karena ilmu dan ibadah tersebut kitab-kitab suci telah diturunkan kepada para Rasul dan diciptakannya langit serta bumi berikut segala apa yang ada diantara keduanya. Jadi, diagungkannya kedua perkara tersebut (ilmu dan ibadah) adalah karena keduanya merupakan tujuan diciptakannya dunia dan akhirat. Maka, seorang hamba hendaknya tidak menyibukkan diri kecuali dengan kedua hal tersebut dan ketahuilah bahwa perkara-perkara selain keduanya adalah menipu dan tidak ada kebaikan di dalamnya hanya senda gurau yang tidak ada hasilnya.

Perlu diketahui bahwa ilmu itu pada intinya lebih mulia dari sekedar ibadah tanpa ilmu, akan tetapi disamping mempelajari dan mengetahui ilmu seorang hamba harus pula melakukan ibadah. Sebab ilmu itu bagaikan sebuah batang pohon, sedangkan ibadah bagai buahnya, sebuah pohon tanpa buah tidak bermanfaat. Kemuliaan memang milik pohonnya karena ia yang menjadi asal dari buahnya, akan tetapi kita mendapat manfaat dari pohon itu dengan merasakan buahnya. Oleh karena itu seorang hamba harusnya memiliki keduanya yakni ilmu dan ibadah.

Imam Hasan al-Bashi pernah berkata:

“Tuntutlah ilmu tanpa melalaikan ibadah dan taatlah beribadah tanpa lupa menuntut ilmu.”

Ada dua alasan mengapa ilmu harus didahulukan daripada ibadah. Yang pertama ialah supaya ibadah itu dapat dipraktekkan secara benar, untuk itu seorang hamba atau ahli ibadah wajib memiliki pengetahuan yang cukup tentang Dzat yang harus mereka sembah baru kemudian menyembah-Nya. Apa jadinya bila menyembah sesuatu yang tidak diketahui nama dan sifat-sifat Dzat-Nya? Jika itu terjadi maka ibadahmu hanya akan menjadi sia-sia dan tidak berguna. Sebab, mungkin saja seorang hamba melakukan sesuatu dalam ibadah selama bertahun-tahun yang merusak wudhu dan akibatnya juga bisa merusak shalat atau mungkin juga melakukan wudhu dan shalat yang tidak sesuai dengan sunnah dan semua itu terjadi tanpa disadari.

Demikian pula ketika kita mengadukan kesedihan, derita, ketidaksabaran dan ketidaksenangan yang kita alami kepada Allah, dimana kita mengira hal itu merupakan sebagai bagian dari usaha untuk merendahkan diri dan memohon belas kasihan kepada Allah. Padahal kita melakukannya dengan riya’, kita mungkin menyerukan manusia pada kebaikan supaya berbuat benar tapi kita tetap melakukan dosa dan yakin dosanya itu akan dihapuskan oleh Allah karena kita telah menyerukan orang-orang untuk berbuat baik. Ini merupakan salah satu tipu muslihat syetan dan telah salah memahami dan bersikap sembrono. Konsekuensi buruk itu harus diterima oleh orang-orang yang beramal tanpa disadari ilmu tentang amalnya.

Dan alasan yang kedua yang menyebabkan ilmu lebih didahulukan karena ilmu yang bermanfaat itu membuahkan perasaan takut kepada Allah dan segan terhadap-Nya. Orang yang tidak mengenal Allah secara benar, tidak akan segan, hormat dan takut kepada-Nya. Maka dengan ilmu itu seorang hamba mengetahui dan mengenal-Nya, mengagungkan-Nya dan segan terhadap-Nya. Ilmu itu membuahkan ketaatan secara keseluruhan dan membendung kemaksiatan seluruhnya, oleh karena itu hendaknya kita semua mencari ilmu tersebut. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita semua bimbingan sebelum segala sesuatunya menyibukan kita semua.

Oleh: Taufik ilham

Sumber : Kitab Minhajul Abidin

Pictur by googleusercontent.com

Diantara Khauf Dan Raja’

Pada saat pengajian kitab Minhajul Abidin (5/12) karya Imam Ghozali yang diampu oleh KH. M. Munawwar Ahmad selaku pengasuh Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek L, beliau menjelaskan tentang “Rasa Takut dan Harapan: Jalan Tengah yang Menyelamatkan” hendaknya berhati-hati dan waspada ketika menempuh tahapan perjalanan ini yakni rasa takut dan harapan, karena perjalanan ini menuntut ketelitian ekstra karena jalannya sangat berbahanya yang berada diantara dua lembah yang sulit dilalui. Yang pertama yaitu jalan merasa aman dan bebas dari rasa takut (berani), yang kedua jalan keputus-asaan. Sebagai pelaku jalan ibadah harus menjaga keseimbangan antara rasa takut dan harapan jangan hanya bersandar pada salah satu jalan saja dan mengabaikan jalan lainnya, sebab jika harapan itu menjadi dominan kita bisa tersasar ke jalan rasa aman yang membuat merasa aman melakukan apa saja dan terbebas dari rasa takut.

Sebaliknya jika rasa takut yang lebih dominan kita bisa tersesat ke jalan keputus-asaan dimana kita akan kehilangan harapan. Disisi lain jika seorang hamba berjalan diantara rasa takut dan harapan serta berpegang keduanya secara bersamaan maka itu adalah jalan yang adil dan lurus, yang mana jalan tersebut merupakan jalan para wali Allah dan orang-orang pilihan-Nya. Dari penjelasan diatas kita tahu bahwa dalam tahapan perjalanan ini terdapat tiga jalan utama, yaitu :

1. Jalan merasa aman dan bebas dari rasa takut

2. Jalan keputus-asaan

3. Jalan rasa takut dan harapan (Khauf dan Raja’) yang terbentang diantara jalan pertama dan kedua

            Jika kita berada di jalan pertama (jalan rasa aman dan bebas dari rasa takut) maka kita hanya akan melihat kemurahan hati dan ampunan Allah yang tak terbatas, kedermawanan-Nya, terbebas dari rasa takut dan khwatir terhadap apapun, maka dengan bergantung pada ampunan-Nya ataupun berada pada jalan pertama ini kita akan menjadi hamba yang tak kenal rasa takut dan tak perlu menjaga diri.

            Sebaliknya jika kita mengambil jalan yang kedua yaitu jalan keputus-asaan kita hanya akan melihat kerasnya hukuman Allah kepada siapa saja yang bersalah termasuk kesalahan-kesalahan kecil, pengawasannya yang begitu ketat, sehingga hampir-hampir tidak ada kesempatan untuk “Berharap” pada-Nya dan akhirnya kita hanya merasa putus asa dan menyerah. Seperti yang telah diungkapkan oleh banyak orang shaleh dan ahli ibadah bila “Harapan” lebih dominan maka kita bisa masuk kedalam sekte murji’ah yang menyimpang, sedangkan bilamana “Rasa takut” nya yang lebih dominan maka kita bisa terjerumus menjadi seorang khuramiyah atau khawarij.

            Oleh karena itu hendaknya kita jangan hanya melihat pada rahmat dan ampunan Allah yang maha luas saja lalu merasa aman dengan semua itu. Jangan pula hanya melihat pada beratnya hukuman Allah dan kewaspadaannya terhadap kesalahan seorang hamba sekecil apapun sehingga menyerah dan putus asa. Akan tetapi hendaknya kita mengambil jalan tengah atau melihat keduanya secara bersamaan diantara kedua jalan tersebut. Dengan menempuh jalan tengan diantara kedua jalan tersebut Allah menjamin hambanya akan meraih kesuksesan di dunia maupun di akhirat, jalan tersebut memang sulit untuk dilalui namun jalan tersebut merupakan jalan yang lurus dan aman dibandingkan hanya memilih salah satu diantara keduanya.

Oleh : Taufik Ilham

Sumber : Kitab Minhajul Abidin

Picture by sufipathoflove.files.wordpress.com

Perjumpaan Nabi Musa AS dengan Nabi Khidir AS

Oleh: Rizaldi Rais Handayani

Musa As dikenal sebagai salah satu jajaran rasul papan atas. Iya benar, rasul ulul azmi. Beliau merupakan anak angkat Fir’aun dan Asiyah, istrinya. Hidup kira-kira 1393 tahun sebelum masehi.

Kisah ini bermula tatkala seorang kaumnya bertanya kepada Musa As : “Wahai Nabiyullah, adakah hamba lain yang lebih alim darimu?”

“Tidak ada” jawab Musa dengan percaya diri.           

Nampaknya suara Musa As ini menggema ke seluruh penjuru langit. Ke-Aku-an Musa As ini membuat Tuhan pun menegurnya, lantas mengutus Jibril untuk memberitahunya.

“Wahai Musa, tidakkah engkau mengetahui di mana Allah meletakkan ilmu-Nya?”

“Sesungguhnya Allah mempunyai seorang hamba di majma’al bahrain (pertemuan dua laut) yang lebih alim darimu”.

Hal ini sontak membuat Musa As tersadar. Ia pun bertekad menemui hamba Allah lain yang lebih alim tadi. Musa As lantas bertanya kepada Jibril. Bagaimana bisa aku menemuinya, wahai Jibril? Kemudian Allah memberikan mandat kepadanya untuk membawa seekor ikan. Ketika ikan itu hidup dan berjalan ke lautan, maka dia akan menemukan hamba lain tersebut.

Musa As ditemani santri muda nya, bergegas pergi dengan membawa ikan seperti yang diperintahkan Allah. Menurut beberapa catatan, santri muda itu bernama Yusya’ bin Nun, yang kelak di suatu hari juga akan menjadi nabi.

Singkat cerita, ikan tadi mulai hidup dan bergerak menuju lautan ketika keduanya sedang beristirahat. Yusya yang melihat kejadian itu lupa untuk memberitahu Musa As. Setelahnya, mereka melanjutkan perjalanan.

Ketika Musa As bertanya kepada Yusya perihal menghilangnya ikan yang mereka bawa, barulah Yusya bercerita. Mereka pun berbalik arah, dan menuju tempat peristirahatan tadi.

Benar saja, disana mereka bisa menemui hamba yang disebutkan oleh Allah. Hamba itu tidak lain adalah Khidir As. Kisah ini diabadikan dengan epic dalam Surah Kahfi ayat 65:

“Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami”

Lantas terjadi dialog diantara Musa As dan Khidir As, antaralain permohonan Musa As untuk menjadi murid dari Khidir As dan ikut menemaninya kemanapun pergi.

Beliau, Khidir As, sempat menolak dan mengatakan bahwa Musa As tidak akan bersabar dengannya. Namun Musa As kembali memohon kepada khidir As. Permohonan Musa As meluluhkan hati Khidir As, beliaupun menerimanya.

Perjalanan mereka pun dimulai. Kala itu, Khidir As melakukan perbuatan-perbuatan nyeleneh (istilah kerennya Khawariqul Adat), yang menurut Musa As menyalahi syariat.

Mulai dari melubangi kapal yang ditumpanginya bersama Musa As, kemudian membunuh anak kecil, serta menegakkan kembali tembok rumah yang akan runtuh. Memang menjadi tabiat Musa a.s, beliau banyak berkomentar tiap kali Khidir as melakukan Khowariqul Adat.

Perkataan Khidir As ketika pertama kali bertemu dengan Musa As terbukti benar, bahwa Musa tidak akan bersabar dengannya.

Barulah di akhir perjumpaan diterangkan oleh Khidir As, hikmah-hikmah dibalik perbuatannya itu, dan membuat Musa As lagi-lagi tersadar.

Mas Antok Agusta, penulis di alif.id, berkomentar mengenai kisah epic yang dipenuhi hal-hal di luar nalar ini :

“Kisah perjumpaan Musa As dan Khidir As berhubungan dengan suatu ilmu yang tidak kita miliki, karena biasanya ilmu yang kita kuasai berkaitan dengan sebab-sebab tertentu. Tidak juga ia berkaitan dengan ilmu para nabi karena biasanya ilmu para nabi berdasarkan wahyu. Kita sekarang berhadapan dengan suatu ilmu dari suatu hakikat yang samar; ilmu yang berkaitan dengan takdir yang sangat tinggi; ilmu yang dipenuhi dengan rangkaian tabir yang tebal.”

“Ilmu Musa yang berlandaskan syariat, sehingga menjadi bingung ketika menghadapi ilmu Khidir yang berlandaskan hakikat. Syariat merupakan bagian dari hakikat. Terkadang hakikat menjadi hal yang sangat samar sehingga para nabi pun sulit memahaminya. Awan tebal yang menyelimuti kisah ini dalam Alquran telah menurunkan hujan lebat yang darinya mazhab-mazhab sufi di dalam Islam menjadi segar dan tumbuh. Bahkan terdapat keyakinan yang menyatakan adanya hamba-hamba Allah yang bukan termasuk nabi dan syuhada namun para nabi dan para syuhada “cemburu” dengan ilmu mereka. Keyakinan demikian ini timbul karena pengaruh kisah ini.”

Walllahu a’lam bi al-shawab

Sumber gambar: Islami.co

Mengeluh Itu Boleh Nggak, Sih?

Oleh: Chanif Ainun Naim

Di dalam hidup, kita sering mengalami hal-hal yang menyedihkan. Terkadang, sesuatu yang kita alami tidak sesuai yang kita harapkan. Lalu, reaksinya, kita mengeluhkan itu entah kepada siapaun. Yang menjadi pertanyaan, sebenarnya, mengeluh itu boleh nggak sih? Kepada siapa kita harus mengeluh? Dalam kitab Minhaj al-‘Abidin, Imam al-Ghazali berkata: “kami meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda dalam hadits qudsi, Allah bersabda: ‘siapa yang tidak ridha dengan qadla -Ku, dan tidak sabar atas ujian dari-Ku, dan tidak bersyukur atas nikmat dari-Ku, maka carilah tuhan selain Aku”.

وروينا أن رسول الله ﷺ قال في حديث قدسي عن رب العالمين: “من لم يرض بقضائي، ولم يصبر على بلائي ولم يشكر نعمائي فليتخذ إلها سوائي”.

Al-Ghazali kemudian menceritakan bahwa ada seorang nabi mengeluh atas apa yang dia alami kepada Allah. Lalu Allah memberikan wahyu kepada nabi itu: “apa kamu kesal kepada-Ku, padahal Aku bukanlah dzat yang pantas dicaci? Seperti iki kelakuanmu? Kenapa kamu membenci keputusan-Ku kepadamu? Apa kamu ingin Aku merubah dunia untuk memenuhi keinginanmu? Atau aku ubah lauh mahfudz karena kamu? Lalu, Aku memutuskan sesuatu atas keinginanmu, bukan keinginan-Ku? Lalu yang terjadi adalah apa yang kamu sukai, bukan yang Aku sukai? Maka, demi keagungan-Ku, Aku bersumpah, kalau sekali lagi hal ini terbesit lagi di hatimu, maka sungguh akan kulepas jubah kenabianmu, kumasukkan kamu ke neraka dan Aku tidak peduli!”.

Dari kutipan di atas, tentang apa yang disampaikan oleh Al-Ghazali, mungkin beberapa teman akan bertanya-tanya, “kok begitu ya? Bukannya hanya kepada Allah tempat mengadu?” Ya, memang demikian. Hanya kepada Allah semata tempat mengadukan segala duka.

Jika kita melihat dhahirul lafdzi dari hadits qudsi tersebut, maka mafhum al-lafdzi-nya adalah: “yang tidak diperbolehkan adalah tentang benci dengan takdirnya. Lalu, seakan-akan berkata “seharusnya saya tidak begini, Ya Allah, seandainya saya begini, niscaya saya akan demikian, Ya Allah”. Kesan yang timbul dari mengeluh yang demikian adalah seperti “mengatur” Allah. Hal semacam inilah yang tidak diperbolehkan.

Lalu, adakah contoh bentuk pengaduan kesedihan kepada Allah yang dapat kita jadikan ‘ibrah? Ada, diambil dari  kisah Nabi Yaqub yang diabadikan dalam Q.S. Yusuf (12:86):

“قالَ إِنَّما أَشْكُوا بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ ما لا تَعْلَمُونَ” [يوسف: 86 ].

Artinya: Dia (Yakub) menjawab, “Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui. (Q.S. Yusuf, 12:86).

Ibnu ‘Ajibah, seorang sufi tarekat al-Darqawiyah dari Maroko, negeri para sufi, yang menulis buku tafsir dengan corak sufistik berjudul “Al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Qur’an al-Majid” menuturkan, bahwa ayat tersebut menunjukkan bahwa sedih dan menagis itu boleh dan sangat manusiawi. Sebab, sangat sedikit orang yang bisa menahan dirinya ketika ditimpa kesedihan. Rasulullah juga pernah menangis. Tangis kesedihan Rasulullah tersebut terekam dalam sebuah riwayat yang menyebut: “Rasulullah bersabda: ‘hati bisa bersedih, mata bisa menangis, tapi aku tidak berucap kecuali apa yang diridhai Tuhanku.”

وفيه دليل على جواز التأسف والبكاء عند التفجع. ولعل أمثال ذلك لا يدخل تحت التكليف، فإنه قلَّ من يملك نفسه عند الشدائد، وقد بكى رسول الله صلى الله عليه وسلّم وقال: «القلْبُ يَحْزَنُ، والعَيْنُ تَدمَعُ، ولا نَقُولُ إلاَّ ما يُرْضِي رَبَّنا، وإنَّا على فِراقِكَ يا إبراهِيمُ لَمَحْزُونون» .

]ابن عجيبة، البحر المديد في تفسير القرآن المجيد، ٦٢٠/٢]

Selanjutnya, dalam menafsirkan kata “innama asyku batstsi wa huzni ilallah”, Ibnu ‘Ajibah menuturkan bahwa Nabi Yaqub hanya mengadukan kesusahan dan kesedihannya yang tidak tertahankan karena kehilangan Nabi Yusuf, hanya kepada Allah, bukan kepada siapapun selain Allah. Menurut Ibnu ‘Ajibah, hal yang demikian bukanlah sebuah celaan kepada apa yang terjadi, tetapi menunjukkan bahwa Nabi Yaqub hanya membutuhkan Allah, serta lemah di hadapan-Nya. Pengaduan diri Nabi Ya’qub kepada Allah yang demikian ini adalah terpuji.

إِنَّما أَشْكُوا بَثِّي، أي: شدة همي حُزْنِي الذي لاصبر عليه، لَى اللَّهِ لا إلى أحد منكم ولا غيركم فَخَلّوني وشِكَايتي، فلست مِمَّن يجزع ويَضْجَر فيستحق التعنيف، وإنما أشكو إلى الله، ولا تعنيف فيه لأن فيه إظهار الفقر، والعجز بين يديه، وهو محمود.

Ayat selanjutnya, Nabi Ya’qub mengatakan bahwa beliau lebih mengetahui sesuatu dari Allah, apa yang tidak diketahui oleh anak-anaknya yang lain. Ibnu ‘Ajibah menafsirkan ayat tersebut bahwa yang dimaksud dengan sesuatu yang diketahui oleh Nabi Yaqub adalah: kelembutan, belas kasih, dan kasih sayang Allah, sehingga Nabi Ya’qub memantapkan persangkaan baik (husnudzhan) kepada Allah, kuatnya pengharapan kepada-Nya dan kesadaran bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan pengharapan beliau.

أَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ ما لا تَعْلَمُون، أي: أعلم من لطف الله ورأفته ورحمته، ما يوجب حسن ظني وقوة رجائي، وأنه لا يخيب دعائي،

]ابن عجيبة، البحر المديد في تفسير القرآن المجيد، ٦٢١/٢[

Sebagai penutup dalam menafsirkan rangkaian ayat surat Yusuf tersebut, Ibnu ‘Ajibah menggarisbawahi hal yang paling penting untuk diketahui. Ketika seseorang dalam hatinya telah merasa cukup dengan Allah, maka dia tidak akan berduka mendalam, sebab dia telah memperoleh segalanya (dari Allah) dan tidak kehilangan apapun. Perasaan cukup hanya kepada Allah itu nyata adanya, seperti yang dirasakan oleh para ‘arif billah.

فإذا حصل للقلب الغنى بالله لم يتأسف على شيء، ولم يحزن على شيء لأنه حاز كل شيء، ولم يفته شيء.

Terakhir, Ibnu ‘Ajibah menyampaikan bahwa ayat “innama asyku batstsi wa huzni ilallah” mengisyaratkan adanya upaya untuk menghilangkan rasa butuh kepada makhluk, mencukupkan diri pada Allah, serta tidak mengeluh kepada makhluk atas apa yang terjadi adalah salah satu rukun tarekat tasawuf, bahkan hal tersebut adalah inti dari tasawuf.

وهذا أمر محقق، مذوق عند العارفين أهل الغنى بالله. وقوله: (إنما أشكو بثي وحزني إلى الله) : فيه رفع الهمة عن الخلق، والاكتفاء بالملك الحق، وعدم الشكوى فيما ينزل إلى الخلق.. وهو ركن من أركان طريق التصوف، بل هو عين التصوف. وبالله التوفيق

]ابن عجيبة، البحر المديد في تفسير القرآن المجيد، ٦٢٢/٢ [

Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq.

Image by Kompasiana.com

Kisah Uwais Al-Qarni dan Seorang Rahib yang Bijak

Suatu hari Uwais Al-Qarni dalam sebuah perjalanan melewati sebuah kampung. Di dalamnya ia menemukan seorang rahib tua yang pembawaannya begitu tenang dan bicara teratur. Uwais Al-Qarni tidak melewatkan kesempatan baik tersebut.

Ia bertanya kepada rahib tersebut soal anak tangga pertama yang harus dipijak oleh seorang yang menapaki jalan ibadah. Uwais Al-Qarni benar-benar ingin mengetahui pandangan rahib tua dan bijaksana tersebut. “Apakah derajat pertama yang akan ditempati seorang murid (orang yang ingin bersuluk)?” Rahib itu menjawab, “mengembalikan hak orang yang dizalimi dan meringankan punggung dari hak-hak orang lain karena amal seorang hamba tidak akan naik ke langit selagi ia masih memiliki tanggungan hak orang lain atau hak orang orang yang terzalimi.”

Uwais Al-Qarni adalah pemuda saleh yang tinggal di Yaman. Ia pernah menempuh perjalanan dari Yaman menuju Madinah untuk menemui Rasulullah SAW. Tetapi Rasulullah sedang keluar kota untuk suatu kepentingan yang entah sampai kapan kembali pulang. Uwais Al-Qarni terpaksa meninggalkan Kota Madinah untuk menuju kampong halaman tanpa sempat bertemu dengan Rasulullah SAW. Uwais tidak bisa berlama-lama di Madinah karena ibunya yang sudah tua sedang sakit di Yaman dan berpesan kepada untuk tidak berlama-lama keluar kota. *** Kisah pertemuan Uwais Al-Qarni dan rahib yang bijak dikisahkan oleh Syekh Nawawi Banten dalam Kitab Nashaihul Ibad, (Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun), halaman 4. Kisah ini diangkat terkait hadits keimanan kepada Allah dan keutamaan memberikan manfaat kepada orang lain.

Dari riwayat ini berbagai hadits terkait, Syekh Nawawi Banten menyimpulkan, “Inti semua perintah Allah berpulang pada dua hal, ketakziman kepada Allah dan kasih sayang terhadap makhluk-Nya.” Wallahu a‘lam.

Photo by islam.nu.or.id

Sumber islam.nu.or.id