Hari Guru Nasional : Semua Orang Adalah Guru

Sumaryati, seorang ibu rumah tangga di perdesaan Wonogiri, Jawa Tengah, menyimak pembelajaran kreatif yang disampaikan oleh guru di sekolah anaknya. Sebagai orang tua, Sumaryati merasa perlu untuk belajar lagi sehingga bisa membimbing anaknya untuk belajar di rumah semasa pandemi. Orang tua belajar dari guru, dan anak belajar di rumah dengan bimbingan orang tua.

Kegiatan ini menjadi gambaran bahwa pembelajaran berkualitas tidak harus di dalam kelas, semua juga bisa berperan sebagai guru dan juga murid. Tidak pandang usia, profesi, maupun jabatan. Siapa saja adalah guru, siapa saja adalah peserta didik, dan di mana saja adalah kelas.

Dalam praktiknya, dan sering dijalankan secara informal, tanggung jawab mendidik tidak hanya di pundak seorang guru melainkan kepada setiap individu punya peran untuk membekali anak-anak Indonesia dangan pembelajaran berkualitas sehingga  mereka bisa memperbaiki kehidupannya kelak, juga bisa bersaing di tingkat global.

Guru yang juga sering dikaitkan dengan akronim “digugu lan ditiru” (orang yang dipercaya dan diikuti), bukan hanya bertanggung jawab mengajar mata pelajaran yang menjadi tugasnya, melainkan lebih dari itu juga mendidik moral, etika, integritas, dan karakter.

Dalam hal pendidikan moral dan karakter, tentu semua orang, meskipun bukan berprofesi sebagai guru, bisa berkontribusi atau menjadi teladan yang baik bagi lingkungannya. Ia bisa membagikan nilai-nilai penting dalam mengembangkan karakter anak didik, dan bahkan ini bisa melengkapi pembelajaran yang kadang tidak diberikan dalam sekolah formal.

Seiring dengan kebijakan pemerintah yang menggalakkan Merdeka Belajar, di mana siswa diberikan kesempatan belajar secara bebas dan nyaman, gembira tanpa stres dan tekanan dengan memperhatikan bakat alami dan potensi yang mereka punyai, maka konsep ‘semua adalah guru’ menjadi sangat relevan.

Selaras dengan filosofi Ki Hajar Dewantara, pendidik dan pendiri Taman Siswa,  bahwa  “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah”, maka murid diberi kebebasan untuk belajar dari sumber yang beragam, dari guru, teman-teman, orang tua, buku, internet, dan sebagainya. Juga bisa belajar di manapun, terutama dari rumah yang menjadi kunci pendidikan karakter.

Kepada seluruh guru di Indonesia maupun yang ada di dunia tetaplah menjaga api semangat agar tetap menyala karena dengan begitu dunia akan tetap terus terjaga karena kehadiranmu di alam semesta. Selamat Hari Guru semoga kita semua bisa menjadi guru yang baik bagi diri kita sendiri, keluarga maupun di sekitar kita.

Oleh : Taufik Ilham

Pict by freepik.com

Sumber tanotofoundation.org

(1) Memahami Kembali Makna Hadits Khair an-Nas Anfa’uhum li an-Nas

Oleh: Chanif Ainun Naim

Hadits tersebut tentu sudah sangat familiar bagi kita. Saya pun yakin, sebagian besar dari kita pasti menjadikan hadist tersebut sebagai Iandasan dalil dalam bertindak, khususnya dalam mengupayakan kebermanfaatan yang luas. Secara umum, kita sering mengartikan hadits tersebut dengan: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”

Namun, dengan memahami hadits tersebut dengan makna yang hanya sebatas itu saja, untuk menjadi manusia terbaik, beberapa dari kita justru jatuh pada pemaksaan diri untuk memberikan kebermanfaatan umum. Sedangkan kita tahu, tidak semua orang memiliki kapasitas untuk itu. 

Bila benar yang terjadi adalah demikian, maka banyak orang yang sungguh ingin jadi yang terbaik dan bermanfaat bagi banyak orang, tapi ia tidak punya seperangkat modal yang mampu membantunya untuk itu, menjadi frustasi, hilang arah (disorientasi) dan akhirnya merasa tidak berguna. Seakan-akan bukanlah orang yang terbaik sebelum ia mampu berbuat banyak untuk banyak orang. 

Namun, saya di sini hanya menyuguhkan adanya pemaknaan Iain yang sering tidak dimunculkan dalam memaknai Hadits tersebut. Dari redaksi hadits tersebut, Kanjeng Nabi menggunakan kata خير الناس: sebaik-baik manusia, انفعهم للناس: “yang paling bermanfaat bagi manusia”. Nabi menggunakan kata الناس yang pertama menggunakan isim (kata) makrifah (khusus), begitupun dengan kata الناس yang kedua.

Dari sini, dipahami bahwa الناس  yang pertama dan yg kedua adalah sama-sama merujuk pada kategori manusia yang sama. Kalau Nabi hanya menghendaki bahwa makna teks hadits tersebut adalah “bermanfaat bagi manusia lain” saja, tentu penggunaan redaksinya adalah خير الناس انفعهم لكل ناس dengan menggunakan kata nakirah (umum) pada الناس yang kedua. Dengan ini, implikasi teks terhadap makna hadits tersebut adalah bahwa sebaik-baik manusia (tertentu) adalah yang lebih bermanfaat bagi manusia (tertentu). Artinya, bahwa kita pun juga bagian dari manusia.

Oleh: Chanif Ainun Naim

Photo by freepik.com

(2)Memahami Kembali Makna Hadits Khair an-Nas Anfa’uhum li an-Nas

Oleh: Chanif Ainun Naim

Implikasi dari pemaknaan kedua ini adalah ketika kita mampu Iebih memberikan manfaat bagi diri kita pun sebenarnya kita telah mengamalkan hadits tersebut. Jadi, jika kita hanya mampu bermanfaat bagi diri kita sendiri, dan memang kita tidak atau belum memiliki kapasitas untuk bisa bermanfaat bagi banyak orang, sesungguhnya kita tidak perlu merasa rendah diri. Sebab, sebaik-baiknya manusia adalah yang mampu memberikan manfaat, baik kepada dirinya sendiri, Lebih-lebih pada khalayak umum. Toh, ada maqalah yang menyebutkan:

قم حيث أقامك الله

“Berdirilah di manapun, kapanpun, pada siapapun Allah menempatkan dirimu.” 

Pemaknaan seperti ini terkadang dilakukan dengan menghadirkan makna kata yang sebelumnya belum hadir. Dalam menafsirkan teks bahasa Arab, untuk tetap berhati-hati, kita tidak boleh menganggap bahwa sebuah teks adalah bejana kosong yang maknanya ditentukan oleh pembaca. 

Berbeda dengan teks yang profan seperti halnya metode penafsiran hermeneutik kontemporer. Sebab, manhaj ulama kita menyepakati bahwa teks itu mengandung maknanya sendiri. Seperti yang disebutkan dalam kitab Jam’ul Jawami’:

التحليل الفظي الغوي: جعل اللفظ دليلا على المعني

“Menganalisis teks bahasa adalah dengan menjadikan Iafadz tersebut merujuk pada makna tertentu.” 

Sehingga, bahwa ayat maupun hadits memiliki makna tertentu yang dikehendaki. Hanya saja, pemaknaannya bisa beragam, misalnya dengan memunculkan makna Iain kata yg belum hadir. Kepekaan kita dalam memahami hal-hal yang demikian menghantarkan kita pada ketakjuban yang tiada henti ketika dihadapkan pada teks hadits yang lain. Betapa agung pesan yang Kanjeng Nabi berikan kepada kita.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab