Syair-Syair Simbah KH. Muhammad Munawwir

KH. Muhammad Munawwir rahimahullah memiliki beberapa syair atau petuah-petuah bijak yang menjadi favorit beliau. Berikut syair-syair tersebut sebagaimana dalam buku manaqib sejarah beliau, antara lain:

– Mengutip Imam Abu Sulayman al-Khaththabi, sebagaimana diriwayatkan oleh KH. Umar (Kempek, Cirebon):

وَلَسْتُ بِسَائِلٍ مَا دُمْتُ حَيًّا #  أَسَارَ الخَيْلُ أَمْ رَكِبَ الأَمِيْرُ

(Selama aku hidup, aku tidak akan bertanya (dan tidak peduli), apakah yang berlari kuda, ataukah Amir yang menaikinya)

Barangkali antara maksudnya: Ketika seseorang sudah menetapkan diri untuk mondok ya harus siap dengan segala konsekuensinya, yaitu beruzlah dan mengasingkan diri dari berbagai hal yang mungkin terjadi di sekitarnya dan mengganggu konsentrasi belajarnya.

Baca: Ijazah Surah al-Fatihah Dari KH. M. Munawwir Oleh Gus Mus

– Riwayat dari KH. Umar (Kempek, Cirebon):

وَلَسْتُ بِمُدْرِكٍ مَا فَاتَ مِنِّي # بِلَهْف وَلاَ بِلَيْتَ وَلاَ لَوْ أَنِّي

(Aku tidak bisa lagi mendapatkan apa yang telah berlalu meninggalkanku, baik dengan cara melamun menyesalinya, melalui ungkapan “layta” (seandainya) atau dengan “law anni” (andaikata saya) )

Antara maknanya barangkali adalah: seseorang tidak dapat mengulang hal-hal yang telah terjadi, meskipun dengan berbagai upaya. Apabila takdir sudah berlaku, ya sudah, berarti dalam peribahasa bahasa Indonesia dikatakan: nasi sudah menjadi bubur.

Syair ini memberi anjuran agar seseorang membiasakan diri bersungguh-sungguh dalam setiap yang dikerjakannya. Penyesalan hanya akan terjadi belakangan. Syair ini juga mengajarkan agar apapun yang sudah terlanjur terjadi agar dicari jalan keluarnya yang terbaik.

– Riwayat dari KH. Umar (Kempek, Cirebon):

اطْلُبْ وَلاَ تَضَّجَّرَنْ مِنْ مَطْلَبٍ # فَأَفَةُ الطَّالِبِ أَنْ يَضَّجَّرَا

أَلَمْ تَرَى المَاءَ بِتِكْرَارِهِ # فِي الصَّحْرَةِ الصَّمَّاءِ قَدْ آَثَرَ

(Cari dan upayakan (semampunya), dan jangan sekali-kali kamu bosan mencari, sebab kelemahan orang yang mencari adalah munculnya rasa bosan.

Tidakkah kamu tahu bahwa air itu bila berkali-kali menetes meskipun di atas batu cadas, maka air itu tetap akan memberi pengaruh yang nyata)

Baca: Wejangan Simbah KH. Muhammad Munawwir

Syair ini menganjurkan siapapun agar memiliki keteguhan dan kegigihan dalam mengupayakan sesuatu, termasuk dalam hal ini adalah pencari ilmu.

Semoga bermanfaat.

Oleh: Tim Redaksi

Karomah Kiai As’ad Syamsul Arifin

Konon, ada santri yang ingin mondok ke Sukorejo karena  tertarik pada dawuh KH. R. As’ad Syamsul Arifin. Dawuh ini memang  populer di tengah masyarakat terutama  para santri senior. Dawuh yang sering disampaikan oleh Kiai As’ad adalah; “Santri saya yang mondok selama empat tahun  tidak pernah pulang sama sekali dan taat aturan pesantren, maka saya jamin pasti alim”.

Namun, dalam pikirannya, mana mungkin dia bisa alim hanya ditempuh empat tahun karena dia merangkap sekolah umum (SMA) di sore hari.

Akhirnya dia ingin berhenti sekolah umum ingin fokus Madrasah Diniyah dan kitab kuning karena kemungkinan yang dimaksud Kiai As’ad itu seperti santri dulu yang hanya fokus pada kitab saja. Namun, sayang orang tuanya tidak memberi izin untuk berhenti sekolah umum. 

Baca: Ulama Sir Tanah Jawa

Tentunya hal ini membuat tambah bingung walaupun tetap rajin mengaji kitab kuning. Akibatnya pikirannya bertambah ragu tak mungkin  bisa alim, apalagi di SMA banyak pelajaran yang harus dikuasainya. 

Pada suatu ketika ada pengurus pesantren memberi pengarahan kepada semua santri yang isinya di antaranya kalau ingin santri sukses disamping rajin dan mengikuti peraturan pesantren juga harus menyambung rohani ke Asta walaupun hanya baca al-Fatihah saja dengan syarat harus istiqamah. Pengarahan itu dia nyambung ke Asta dengan istiqamah walaupun sebentar.

Singkat cerita, setelah mondok  hampir genap empat tahun tidak pulang ke rumahnya dia bertanya dalam hatinya; “Saya sudah hampir genap empat tahun kok tidak ada tanda-tanda alim”.

Akhirnya genap empat tahun, persis hari Jum’at jam 9 pagi tidur qailulah di kamarnya bermimpi bertemu Nabi Khidir As bergamis hijau di pintu gerbang timur pesantren dan mencium tangannya.

Dalam mimpinya tangan Nabi Khidir As sangat halus sekali dan sulit dilupakan, lalu terbangun sudah jam 11 mau ke Jum’atan. Setelah dia merasa sejuk pikirannya seakan ada hijab yang terbuka dalam keilmuan setelah bermimpi tersebut.

Kemudian pada waktu isya’ dia ikut pengajian kitab Iqna’ di musholla putra, dia merasakan sekali bahwa kitab yang dibaca oleh kyai Fulan sangat mudah sekali tidak seperti sebelumnya, bahkan kitabnya tidak diberi makna.

Ternyata betul genap empat tahun dia merasa mudah dan ingat apa yang pernah dibacanya selama mondok di Sukorejo.

Baca: Mengenal Karya Mama Sempur Idhahul-Karathaniyyah: Tentang Kesesatan Wahabi

Hal ini jelas merupakan kebenaran yang riil yang mungkin sulit dinalar akal. Karena itu jelas bahwa dawuh KH. R. As’ad Syamsul Arifin bukan takhayul dan khurafat tetapi sebuah fakta riil yang disebut dengan kebenaran mistik atau epistemologi ‘irfani (ilhamy) yang tidak dimiliki oleh peradaban Barat.  Kemapanan pesantren dan NU di Indonesia sebenarnya tidak lepas dari pengaruh epistemologi ‘irfani yang dibangun oleh kyai NU. Karena itu, ulama sufi mengatakan:

الالهام حجة شرعية

“Ilham adalah hujjah syar’iyah.”

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: laduni.id

Picture by santrinews.com

Mengenal Karya Mama Sempur Idhahul-Karathaniyyah: Tentang Kesesatan Wahabi

Kajian kitab mengenai kesesatan kaum Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1701-1793 M) tidak sedikit ulama yang telah membahasnya dalam pelbagai karangan meraka, pun ulama yang ada di Nusantara. Salah satu ulama yang menaruh perhatian akan bahayanya ajaran Wahabi ialah KH. Tb (Tubagus) Ahmad Bakri bin KH. Tb. Sayida atau yang akrab dipanggil Mama Sempur (1839-1975 M).

Kakeknya bernama Kiai Tb. Hasan Arsyad ialah seorang Qadhi Kerajaan Banten, ia memiliki seorang putra yang kelak akan menggantikan dirinya sebagai penerus Qadhi di Banten yaitu Kiai Tb. Sayida. Namun karena Kiai Sayida enggan meneruskan tongkat kepemimpinan tersebut, akhirnya dengan berbagai pertimbangan beliau memutuskan untuk meninggalkan Banten.

Dari perjalanan itu, Kiai Sayida sampai di suatu daerah yang bernama Citeko, Plered, Purwakarta. Di sinilah beliau bertemu dengan seorang perempuan (bernama Umi) yang kelak melahirkan seorang putra bernama Ahmad Bakri (Mama Sempur).

Sebutan Mama dalam bahasa Sunda murafid dengan sebutan Romo dalam bahasa Jawa (baca: Bapak). Dikalangan Sunda sendiri sebutan Mama kerap disematkan kepada Ajengan atau Kiai sehingga disebut Mama Ajengan atau Mama Kiai. Sementara kata Sempur merupakan nisbat dari suatu desa kecil bernama Sempur, Plered, Purwakarta.

Di usia kecil Mama Sempur sudah mendalami ilmu Agama dibawah asuhan ayahnya, Kiai Sayida. Ilmu yang telah beliau pelajari kala itu adalah ilmu Fikih, Tauhid, Nahwu, Sharaf, Hadis dan Tafsir. Dalam menyelami samudera ilmu di negeri sendiri, Mama Sempur merasa dahaga akan ilmu belum kunjung terpenuhi, akhirnya beliau bertolak ke negeri orang, menuju tanah suci “Makkah al-Mukarramah”.

Pendidikan yang diperoleh baik dari tanah air ataupun luar negeri, mampu membuat Mama Sempur meneruskan perjuangan ayahandanya. Oleh karenanya, tidak sedikit karya-karya beliau yang ditulis dengan tangan produktifnya dalam berbagai topik pembahasan.

Seperti kitab Cempaka Dilaga tentang wajibnya etos kerja bagi seorang muslim, Mashlahat al-Islamiyah tentang konsep kemaslahatan bagi umat Islam, Maslak al-Abrar tentang ilmu tauhid, Fawaid al-Mubtadi tentang hal yang perlu diajarkan oleh orang tua kepada anaknya, Futuhat al-Taubah tentang pembahasan seputar thariqah, Idhah al-Karathaniyah tentang pembahasan yang akan diuraikan setelah ini, dan masih banyak lagi.

Dari puluhan karangan Mama Sempur, di sini penulis lebih tertarik membahas kitab yang berjudul Idhahul-Karathaniyah. Nama lengkap kitab ini adalah Idhahul-Karathaniyah: Fi Ma Yata’alaq bi Dhalalatil-Wahabiyah.

Alasan mendasar penulis mengangkat kitab ini adalah sebab fenomena gerakan pemahaman Wahabi sudah bukan menjadi bahan obrolan semata, perlu dari kita semua untuk mengenal dan men-counter pemahaman tersebut. Mengingat bahaya dan sesatnya ajaran mereka.

Baca: Dibalik Cerita Panggung Krapyak

Sebagaimana dinamika sejarah akan sepak terjangnya kelompok Wahabi memang sudah sangat meresahkan kaum Muslimin dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Sebab basis gerakan kaum Wahabi adalah gerakan takfiri (mengkafirkan sesama kaum Muslim yang tidak sependapat dengan dirinya).

Syahdan melihat fenomena demikian, rupanya Mama Sempur memiliki antusias untuk memberikan kontribusi melawan ajaran Wahabi, setidaknya beliau telah memberikan sumbangsih secara pemikiran yang dituangkan dalam karya ini sebagai wujud perlawanan beliau terhadap kesesatan Wahabiyah.

Akhirnya goresan demi goresan tertuanglah sebuah maha karya yang cukup panjang kira-kira kurang lebih 47 halaman. Dalam kitab hasil fotocopy ini, diketahui bahwa kitab tersebut diduga masih berupa tulisan tangan muallif sendiri (manuskrip), salah satunya terlihat ada satu kata yang salah tulis (pada hal. 31) namun muallif tidak mencoret tulisan tersebut hanya cukup menulis ulang pada tulisan setelahnya.

Tentunya dalam kepenulisan karya tersebut, Mama Sempur tidak serta merta menulis sesuai kapabilitasnya, beliau tetap menghadirkan pendapat-pendapat ulama salaf, bahkan dijelaskan sendiri oleh beliau dalam muqodimahnya, kitab pegon Sundaini merupakan nukilan dari kitab Durarus-Saniyah fi Raddil-Wahabiyah karya Syekh Ahmad Zaini Dahlan (1818-1886 M) yang menjadi mufti Syafi’i di Haramain kala itu, Shawa’iqul-Muhriqah karya Ibnu Hajar al-Haitami (1503-1566 M), dan lainnya.

Pimpinan PP. Al-Faridiyah ini membagi pembahasan kitabnya dalam delapan pasal, terkadang beliau menggunakan bahasa Arab, terkadang pula menggunakan pegon bahasa Sunda. Pasal pertama, menjelaskan hadis-hadis tentang prediksi Nabi bahwa kelak akan ada seseorang dari umat Nabi Muhammad yang memporak-poranda agama Islam. Tidak lain orang itu adalah Muhammad bin Abdul Wahab At-Tamimi An-Najdi.

Pasal kedua, menjelaskan urgensinya berpegang teguh kepada kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah, yakni dalam ihwal bolehnya ziarah kubur serta tawasul kepada Nabi, Sahabat dan ulama-ulama salafush-shalih. Muallif juga menghadirkan dalil-dalil yang kredibel atas kebolehannya. Berbeda dengan kepercayaan golongan “minhum” (Wahabi) mereka menyatakan bahwa ritual ziarah dan tawasul merupakan kegiatan bid’ah yang tidak pernah ada sejak zaman Nabi.

Pasal ketiga, menjelaskan tentang gerakan takfiri (tuduhan kafir)kaum Wahabi yang disponsori oleh Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Tamim. Mereka melancarkan gerakan takfiri-nya kepada sesama Muslim yang melakukan tawasul, mengucapkan “ya rasulallah”, membaca shalawat menggunakan toa masjid, tidak mengikuti ajarannya sendiri, dan lain sebagainya.

Pasal selanjutnya (hal. 28), Mama Sempur menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan tawasul. Di sini beliau membeberkan hal-hal yang terkait dengan tawasul yang telah dijalankan oleh ulama-ulama madzhab empat. Bagaimana para Sahabat di masa Rasullah hidup mereka saling berlomba-lomba mengharap dan mendapatkan barakah dari Rasulullah.

Pasal kelima dan keenam, menjelaskan tentang bagaimana cara mendapakan Ilmun-Nafi’ (ilmu yang bermanfaat) dan hukum diwajibkannya laki-laki dan perempuan untuk mengikuti سِوَادُ اْلأَعْظَمْ, di sini Mama Sempur menyebut siwadul-a’zham adalah madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) karena keempat madzhab ini merupakan golongan madzhab yang terbanyak pengikutnya.

Pasal ketujuh adalah pasal yang menjelaskan tentang hadis Nabi Saw yang melarang berteman atau mengikuti seseorang yang membenci kepada para Sahabat dan keturunan Rasulullah Saw.

Berikutnya pasal terakhir, Mama Sempur menjelaskan secara singkat atas ketidak sepemahaman beliau dengan Tuan Ahmad bin Muhammad Surkati (1875-1943 M), pendiri Jam’iyah Al-Irsyad. Mama menganggap Ahmad Surkati ini kontroversi terhadap kalangan Aswaja.

Baca: Sejarah Terbentuknya Muslimat NU

Terlepas dari semua itu, Kiai Sempur ini turut mengingatkan kepada kita semua untuk senantiasa berpegang teguh pada golongan Aswaja serta tidak saling merendahkan sesama muslim yang berbeda pandangan dengan kita, tetap menaruh sikap toleran dan tidak menyimpan rasa hasud (iri dengki) terhadap muslim lainnya.

Sebagai penutup penulis sajikan sebuah riwayat dalam kitab ini,yang dirasa cukup untuk menjawab fenomena sekarang:

روى ابن عساكر عن مالك “لاَ تَحْمِلِ اْلعِلْمَ عَنْ اَهْلِ اْلبِدَعِ وَلَا تَحْمِلْهُ عَمَّنْ لَمْ يُعْرَفْ بِالطَّلَبِ وَلَا عَمَّنْ يَكْذِبُ فِيْ حَدِيْثِ النَّاسِ وَاِنْ كَانَ فِي حَدِيْثِ رَسُوْلِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَكْذِبُ

Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari Imam Malik: “Janganlah mengambil ilmu dari orang yang suka membid’ahkan, jangan pula dari orang yang belum diketahui dari mana ia mendapatkan ilmu tersebut, juga dari orang yang suka berdusta kepada orang banyak meskipun ia benar dalam menyampaikan hadis-hadis Rasulullah Saw.” (hal. 31). Wallahu’alam.

Oleh: Irfan Fauzi

Picture by wikimedia.org

Do’a Yang Tidak Bisa Tertukar

Di Mostar Bonsia, pernah ada seorang Alim-Arif Mustafa Ejubović (1651 – 16 Juli 1707), dikenal lebih luas dengan Hadratussyekh Yuyo. Dalam masyarakat Islam sampai hari ini ada beberapa hikayah yang diceritakan mengenai sosoknya. Antara lain ada satu cerita yang cukup mengerikan.

Kisahnya begini, biasanya di halaman atau samping masjid selalu ada tersedia keranda untuk dipakai ketika ada kebutuhan mengantarkan mayat ke pemakaman. Sering para pemuda untuk membuktikan keberanian mereka buat kenakalan dengan memainkan keranda itu.

Biasanya ada salah satu anak akan berbaring di dalamnya ditutup dengan kain hijau dan teman-temanya mengangkat dan membawanya mengelilingi masjid. Ini merupakan sebuah kenakalan yang biasa untuk para remaja atau kaum muda.

 
Baca: Menolak Lamaran Seorang Perempuan

Namun satu ketika Hadratussyekh Yuyo (yang dikenal sebagai wali keramat) melihat kelakuan iseng para remaja  itu mendapatkan ide “Menjahili”. Mereka kemudian menaruh salah satu dari teman mereka di keranda dengan tutup kain hijau dan dibawa di atas bahu. Ketika itu Syekh Yuyo tengah lewat depan masjid, di sana para remaja itu memintanya untuk menshalatkan jenazah yang mereka bawa.

Dan Syekh Yuyo pun setuju, namun ketika berdiri di depan keranda sebagai imam shalat jenazah, beliau terlebih dahulu menghadap kepada para remaja yang berada dibelakangnya yang menjadi ma’mum dan telah membentuk shaf untuk shalat jenazah. Syekh Yuyo kemudian bertanya kepada para remaja itu. 

”Yang mau kalian shalatkan yang hidup atau yang mati?’’  tanya Syekh Yuyo

“Iya untuk yang mati, masa ada shalat jenazah untuk yang hidup?” Jawab para remaja

Tak cukup bertanya sekali, beliau bertanya sampai sebanyak tiga kali. Uniknya setiap kali mereka di tanya jawabnya masing masing dibilang untuk yang mati. 

Beliau bertanya kepada anak-anak remaja:

”Kalian kenal almarhum sebagai orang baik?” Tanya Syekh Yuyo

“Betul, orang baik.” Para remaja menjawab 

“Semoga semua dosanya diampuni oleh Allah SWT, semoga Husnul Khatimah.” Berkata Syekh Yuyo 

”Aamiiiiin” para remaja mengamini

Lalu Hadratussyekh Yuyo berkata kembali: 

“Baik kalau begitu kita akan men-shalatkan jenazah untuk seorang laki-laki yang dewasa’’ ujar Syekh Yuyo

Setelah itu beliau mulai mengimami shalat jenazah tersebut.

Para remaja yang di belakang menahan tawa karena berhasil “Menjahili” seorang Ulama yang disegani seluruh masyarakaat. Benar saja, setelah selesai shalat dan ucap salam ke bahu kiri, pecahlah tawa para remaja dengan tawa terbahak-bahak. Mereka merasa berhasil menipu dan mengerjai  seorang Hadratussyekh. Namun Syekh Yuyo tak tahu itu, selesai shalat beliau langsung meninggalkan lokasi. 


Baca: Sejarah Terbentuknya Muslimat NU

Setelah itu, tentu saja para remaja  merayakan keberhasilan penipuan tersebut. Mereka kemudian memanggil teman mereka yang tadi pura-pura menjadi mayat.

Celakanya, meski mereka panggil namun dia tidak menyahut atau bangun. Dia tetap tak bergerak, di bawah kain hijau itu tidak terdengar suara apapun. Ketika mereka membuka kain hijau mereka lihat teman mereka sudah kaku, sudah mati.

Makam Mustafe Ejubovića Šejh Juje-seorang sarjana dan ilmuwan terkemuka dalam sejarah budaya kota Mostar. Dokumentasi oleh muftijstvo-mostarsko.ba

Mereka baru sadar bahwa doa seorang Syekh (Guru/Ulama, Sufi atau di Jawa disebut Wali) tak bisa dianggap main-main sebab tindakan dan lidah mereka memang terjaga, dari main-main ternyata bisa menjadi kenyataan.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: republika.co.id

Picture by modos.ba

Ulama Sir Tanah Jawa

Cerita Kiai Badrun Di daerah Jawa Timur setiap bulan ke-Sembilan pada bulan purnama bertemulah para Ulama Khos mengadakan musyawarah, dalam musyawarah tersebut di ketahui bahwa di suatu daerah hiduplah seorang Ulama Sir, Ulama besar tetapi menyembunyikan diri, informasi yang di ketahui hanya Ulama besar tersebut bernama Kiai Almukarom Sabaruddin tinggal di tepi Gunung yang berapi di pulau Jawa, tidak ada keterangan lain Gunung Berapi yang mana karena gunung berapi begitu banyak di tanah Jawa ini.

Akhirnya para kiai Khos memutuskan untuk membagi tiga kelompok untuk mencari satu kelompok untuk wilayah Jawa bagian Timur, kelompok kedua untuk wilayah Jawa bagian Barat dan kelompok ketiga untuk wilajah Jawa bagian Tengah. Dan sepakat satu tahun kemudian pada bulan kesempilan dan tepat ketika purnama tiba kumpul kembali di tempat yang sama.

Baca: Sejarah Terbentuknya Muslimat NU

Setelah satu tahun mereka berkumpul kembali, ternyata mereka belum menemukan Ulama Sir yang dimaksud, sedikit petunjuk pun tidak, tapi mereka tambah yakin semakin sulit di cari semakin di yakini bahwa ulama Sir itu memang ada dan linuwih. Akhirnya mereka memutuskan untuk shalat istikhoroh minta petunjuk kepada Gusti. Setelah semua bersama melakukan shalat ada sedikit petunjuk tentang lokasi yang di mana Ulama Sir itu berada, petunjuknya adalah di daerah Jawa bagian Tengah di seputar gunung berapi tetapi sudah tidak aktif dan rumahnya di pinggir rumpun bambu.

Akhirnya mereka pergi bersama mencari gunung tersebut, di jelajahilah semua gunung yang tidak aktif di Jawa bagian Tengah, dari gunung Sindoro, gunung Sumbing, gunung Slamet, Gunung Lawu tetapi tidak ada petunjuk dan tiba-tiba salah seorang dari mereka teringat tentang Gunung Tidar dan di putuskanlah mendatangi daerah gunung tersebut. Di tanyailah orang-orang di sekitar gunung Tidar apakah ada Ulama besar yang bernama Kiai Almukarom Sabaruddin dengan ciri rumahnya di pinggir Rumpun Bambu. Tetapi semua orang mengatakan kalau di daerah Gunung Tidar tidak ada nama Ulama seperti itu, paling ada yang mirip dengan itu tetapi setahu penduduk di sekitar tidaklah seoarang Ulama apalagi mempunyai pondok dan murid. Para Ulama Khos minta penjelasan lebih lanjut tentang orang yang agak mirip dengan yang mereka cari, namanya adalah Mbah Sabar bukan Kiai Almukarom Sabaruddin dan hanya seorang pengembala itik, bukan pemimpin Pondok dan yang sama hanya rumahnya memang sama-sama di tepi rumpun bambu.

Di kunjungi rumah tersebut dan bertemulah dengan lelaki tua yang kurus dengan caping lebarnya yang sedang mengembalakan itiknya. Rombongan tersebut mengutarakan kedatangannya, tetapi orang tersebut menjawab:

“Maaf ya tuan-tuan mungkin anda salah alamat itu memang rumah saya tuan, tapi saya hanyalah seorang gembala itik bukan Ulama, coba cari yang lain saja, tuan salah alamat barangkali” demikian jawaban Mbah Sabar.

Tetapi para rombongan ulama Khos tetap yakin bahwa orang ini adalah orangnya. Akhirnya Pengembala itik itu menyilahkan masuk kerumahnya.

“Bila tuan –tuan ingin mengetahui hakekat ilmu sejati pergilah kemana saja yang bisa kau temukan tempat tempat paling sepi” ujar Mbah Sabar

Demikian wejangan pertama, kemudian tanpa panjang lebar para ulama Khos tersebut di bagi tiga kelompok menyebar. Kelompok pertama yakin di tepi pantai adalah tempat yang paling sepi, kelompok kedua pergi ke goa di lereng gunung dan kelompok ketiga pergi ke tengah hutan.

Baca: Sejarah Pedukuhan Krapyak-Panggungharjo

Setelah mereka sampai mereka berkumpul dan menyeritakan pengalaman dan argumentasi masing-masing. Tetapi sungguh terkejut bahwa semua argumentasinya di salahkan,

“Dalam dunia hakekat seorang Salik haruslah berpegangan pada tiga ujaran yaitu ojo rumongso biso, ojo rumongso weruh lan ojo rumongso ngerti, tempat yang sepi di dunia ini tidak ada kecuali hanya ada dalam diri tuan-tuan dan itu pun hanya bisa kalau tuan-tuan bisa berhenti, meneng”. Ujar Mbah Sabar

Demikian ujarnya ditengah suasana ramah tamah tersebut, tiba-tiba dari belakang ruang tamu terdengar seorang wanita membentak Mbah Sabar,

“Bapake! Malah duduk-duduk ngobrol ngoyo woro tidak ada gunanya, ayo cepat segare anggon Bebekmu, itu sudah pada teriak teriak kelaparan, aku kebrebegen ki”.

Para ulama Khos terkejut bukan kepalang tidak sopan perempuan itu pikirnya. Dan di tanyakanlah siapakah gerangan perempuan tersebut pada Mbah Sabar,

“Dialah guru saya”. Jawab Mbah Sabar

“Sekaranglah pulanglah tuan-tuan, anda sudah ketemu yang anda cari hanya beginilah gerangan yang anda sebut Kiai Almukarom Sabaruddin”. Jawab Mbah Sabar

Mereka sungkem cium tangan dan pamit.

Oleh: Tim Redaksi

Picture by alif.id

Menolak Lamaran Seorang Perempuan

Abu Nashr as-Sijzi adalah ulama ahli Hadis dan Imam para Muhadis pada zamannya, biografinya ditulis oleh al-Hafidh ad-Dzahabi dalam Tadzkiratul Huffaz.

Abu Nash as-Sijzi ulama yang hafal ribuan Hadis dan seorang imam, alim dalam Hadis. Adalah Ubaidillah bin Said bin Hatim bin Ahmad al-Waili al-Bakri, penduduk Tanah Haram dan Mesir pengarang kitab Ibanatul Kubra fi Masalatil Qur’an, sebuah kitab penuh makna yang menunjukan ketokohannya dan pertemuannya dengan para Ulama besar.

Beliau belajar dari Ahmad bin Firas al-Abqasi, Abu Abdillah al-Hakim, Abu Ahmad al-Fardhi, Hamzah al-Muhallabi, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Bakar al-Hazzani, Abu Umar bin Mahdi, Ali Bin Abdurrahim as-Susi, Abul Husain Ahmad bin Muhammad al-Mujbir, Abu Muhammad bin an-Nahas, Abu Abdirrahman as-Sulami, Abdusshamad bin Zuhair bin Abi Jaradah al-Halabi- Sahabat Ibnu ‘Arabi dan tabaqat.

Perjalanannya dimulai setelah 400 H. Beliau belajar di Khurasan, Hijaz, Syam, Irak dan mesir. Diceritakan muridnya adalah Abu Ishaq al-Habbal, Sahal bin Bisyr al-Isyfirayini, Abu Ma’syar Al-Muqri’ at-Thabrani, Ismail bin al-Hasan al-Balawi, Ahmad bin Abdul Qadir al-Yusfi, Jakfar bin Yahya al-Hakkak, Jakfar bin Ahmad As-Saraj dan lainnya. Beliau adalah perawi Hadis al-musalsal bil awaliyah.

Baca: Berkat Tawasul Hajat Terkabul

Dalam kitab Shafhah min Shabril Ulama karya Abdul Fattah Abu Guddah, dijelaskan bahwasanya suatu hari al-Hafizh Abu Ishaq al-Jabbal sedang bersama Abu Nashr as-Sijzi, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Al-Hafizh Abu Ishaq al-Jabbal kemudian membukakan pintu tersebut, yang ternyata adalah seorang perempuan yang ingin bertamu.

Perempuan tersebut kemudian mengeluarkan kantong yang berisi uang seribu dinar. Dia meletakkannya di depan Abu Nashr as-Sijzi, perempuan tersebut kemudian berkata:

 “Belanjakanlah uang ini sebagaimana yang engkau inginkan.

Abu Nashr as-Sijzi yang melihat tingkah sang perempuan lalu bertanya,

“Apa maksudnya?” tanya Abu Nashr as-Sijzi

Sang perempuan dengan cepat menjawab:

“Engkau nikahi aku. Aku sebenarnya tidak butuh menikah, namun aku ingin melayanimu.”

Mendengar maksud perempuan tersebut, Abu Nashr as-Sijzi menolak dan meminta kepada sang perempuan untuk mengambil hartanya dan segera pergi dari hadapannya.

Dan ketika sang perempuan tersebut sudah pergi, Abu Nashr as-Sijzi berkata:

“Aku pergi dari Sijistan dengan niat mencari ilmu. Jika aku menikah, maka sebutan ini akan lepas dariku. Dan aku tidak akan mendapatkan pahala mencari ilmu sedikitpun.”

Demi belajar dan fokus mencari ilmu, Abu Nashr as-Sijzi rela menolak lamaran seorang perempuan yang ingin menikah dengannya. Padahal biaya untuk pernikahan tersebut disediakan oleh sang perempuan, namun Abu Nashr as-Sijzi lebih memilih untuk menolaknya karena ingin fokus untuk thalabul ilmi.

Apa yang dilakukan oleh Abu Nashr as-Sijzi tentu saja mempunyai alasan, kenapa lebih memilih menolak ajakan menikah dari seorang perempuan yang melamar dirinya. Padahal perempuan itu kaya dan mempunyai tujuan mulia yaitu untuk mengabdi dan melayaninya. Karena seorang pencari ilmu jika ingin benar-benar fokus, memang harus memiliki pilihan dan prioritas serta pengorbanan. Salah satunya adalah mengorbankan perasaan dan cinta dari seseorang  untuk pergi dari kehidupan seorang pencari ilmu.

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Khatib al-Baghdadi dalam kitabnya al-Jami’ Akhlaqir Rawi wa Adabus Sami’ bahwasanya:

“Dianjurkan bagi seorang penuntut ilmu untuk membujang sebisa mungkin (tidak menikah sementara waktu selama masa belajar), agar dalam mencari ilmu ia tidak disibukkan dengan hak-hak keluarga yang ia penuhi dan disibukkan dengan mencari penghidupan.

Baca: Tak Kenal Maka Ta’ruf

Memang keputusan untuk menikah dan membina rumah tangga dikhawatirkan bisa mengganggu proses mencari ilmu. Akan tetapi, jika bisa saling mendukung satu sama lain untuk fokus mencari ilmu dan saling melengkapi dalam belajar, serta berkontribusi untuk tenangnya hati dan pikiran. Kenapa tidak? Menikahlah!

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Buku Para Ulama Jomblo: Kisah Cendekiawan Muslim yang Memilih Membujang, alif.id

Picture by googleusercontent.com

Sejarah Terbentuknya Muslimat NU

Muslimat Nahdlatul Ulama adalah organisasi kemasyarakatan yang bersifat sosial keagamaan dan merupakan salah satu Badan Otonom dari Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Didirikan pada tanggal 26 Rabiul Akhir bertepatan dengan tanggal 29 Maret 1946 di Purwokerto.

Muktamar NU ke-13 di Menes, Banten, 1938 menjadi momen awal gagasan mendirikan organisasi perempuan NU itu muncul. Dua tokoh, yakni Ny R Djuaesih dan Ny Siti Sarah tampil sebagai pembicara di forum tersebut mewakili jama’ah perempuan. Ny R Djuaesih secara tegas dan lantang menyampaikan urgensi kebangkitan perempuan dalam kancah organisasi sebagaimana kaum laki-laki. Beliau menjadi perempuan pertama yang naik mimbar dalam forum resmi organisasi NU.

Baca: Dibalik Cerita Panggung Krapyak

Secara internal, di NU ketika itu juga belum tersedia ruang yang luas bagi jama’ah perempuan untuk bersuara dan berpartisipasi dalam penentuan kebijakan. Ide itu pun disambut dengan perdebatan sengit di kalangan peserta Muktamar. Setahun kemudian, tepatnya pada Muktamar NU ke-14 di Magelang, saat Ny Djuaesih mendapat tugas memimpin rapat khusus wanita oleh RH Muchtar (utusan NU Banyumas) yang waktu itu dihadiri perwakilan dari daerah-daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat, seperti Muntilan, Sukoharjo, Kroya, Wonosobo, Surakarta, Magelang, Parakan, Purworejo, dan Bandung. Forum menghasilkan rumusan pentingnya peranan wanita NU dalam organisasi NU, masyarakat, pendidikan, dan dakwah.

Akhirnya pada tanggal 29 Maret 1946, bertepatan tanggal 26 Rabiul Akhir 1365 H, keinginan jama’ah wanita NU untuk berorganisasi diterima secara bulat oleh para utusan Muktamar NU ke-16 di Purwokerto. Hasilnya, dibentuklah lembaga organik bidang wanita dengan nama Nahdlatoel Oelama Moeslimat (NOM) yang kelak lebih populer disebut Muslimat NU. Pendirian lembaga ini dinilai relevan dengan kebutuhan sejarah. Pandangan ini hanya dimiliki sebagian kecil ulama NU, di antaranya KH Muhammad Dahlan, KH Abdul Wahab Chasbullah, dan KH Saifuddin Zuhri.

Atas dasar prestasi dan kiprahnya yang demikian, Muktamar NU ke-19 di Palembang pada tahun 1952, Muslimat NU memperoleh hak otonomi. Muktamirin sepakat memberikan keleluasaan bagi Muslimat NU dalam mengatur rumah tangganya sendiri serta memberikan kesempatan untuk mengembangkan kreativitasnya di medan pengabdian. Sejak menjadi badan otonom NU, Muslimat lebih bebas bergerak dalam memperjuangkan hak-hak wanita dan cita-cita nasional secara mandiri. Dalam perjalanannya, Muslimat NU bergabung bersama elemen perjuangan wanita lainnya, utamanya yang tergabung dalam Kongres Wanita Indonesia (Kowani), sebuah federasi organisasi wanita tingkat nasional. Di Kowani, Muslimat NU menduduki posisi penting.

Baca: Sejarah Pedukuhan Krapyak-Panggungharjo

Para ketua umum PP Muslimat NU dari masa ke masa yaitu :

  1. Ny. Chodijah Dahlan (1946-1947)
  2. Ny. Yasin (1947-1950)
  3. Ny. Hj. Mahmudah Mawardi (1950-1979)
  4. Hj. Asmah Syahruni (1979-1995)
  5. Hj. Aisyah Hamid Baidlawi (1995-2000)
  6. Hj. Khofifah Indar Parawansa (2000- sekarang)

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: muslimatnu.or.id

Picture by nu.or.id

Pekan Ta’aruf: Modal Sosial Pesantren Dalam Menghadapi Pandemi

Malam kedua (02/02) santri baru Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek L melanjutkan kegiatan Pekan Ta’aruf dengan tema ”Modal Sosial Pesantren Dalam Menghdapi Pandemi” dan masih dalam sesi materi ke 2, pada kesempatan ini disampaikan oleh Pak Beni Susanto, M.A, beliau merupakan salah satu alumni Komplek L. Kemudian dilanjut sesi ke-Al Munawwiran yang di isi oleh Ustadz Abdus Salam, M.A, beliau menyampaikan materi seputar sejarah lahirnya Pondok Pesantren Al Munawwir, khususnya mulai dari siapa pendiri Pondok Pesantren Al Munawwir, Dzurriyahnya dan perkembangan Pondok Pesantren Al Munawwir. Dengan diselingi guyonan yang khas yang membuat tawa geli sehingga peserta tak bosan untuk selalu menyimak. Penyampainya pun sangat komprehensif dengan harapan para santri mengetahui seluk beluk sejarah tempat mereka singggah saat ini sebagai miniatur multikultural masyarakat.

Dilanjutkan pada hari ketiga yakni pada hari Rabu (03/02) diisi dengan perlombaan Cerdas Cermat Pesantren (CCP) yang diikuti oleh setiap kelompok Pekan Ta’aruf dan bertempat di Mushola Al Mubarok, perlombaan ini dimulai pada pukul 13.00 wib hingga pukul 16.30 wib. Pada malam harinya para peserta Pekan Ta’aruf masih diberikan materi tentang Living Qur’an yang disampaikan oleh Kiai Yunan Roni, M.Sc, beliau merupakan salah satu dewan asatidz di Madrasah Diniyyah Salafiyyah 4 Komplek L. Untuk sesi materi yang terakhir disampaikan oleh Bapak dr. Yaltafit Abror Jeem M.Sc, beliau menyampaikan tentang Pesantren dan Adaptasi Kebiasaan Baru.

Pagi hari pun tidak dibiarkan kosong begitu saja. Tentunya para panitia sebelumnya sudah menyusun acara dengan kegiatan yang positif, kegiatan Bakti Sosial menjadi agenda pagi hari oleh seluruh peserta Pekan Ta’aruf, dimana para peserta memberikan bahan pokok kepada warga desa di sekitar Komplek L, tentunya dengan menerapkan Prokol Kesehatan dan di dampingi oleh aparatur desa setempat. Disinilah para peserta diajarkan saling mengasihi sesama, memeberi kepada yang kekurangan, menjunjung  tinggi nilai solidaritas dan menunjukkan jiwa sosial yang tinggi.

Pada hari Kamis malam Jum’at (04/02)  kegiatan demi kegitan telah dilakukan, kini sampailah pada puncak acara yaitu malam penutupan Pekan Ta’aruf. Rangkaian acara dimulai dengan pembacaan Maulid, kemudian dilanjutkan dengan penampilan juara MSQ oleh peserta Pekan Ta’aruf angkatan 2020. Malam penutupan Pekan Ta’aruf diisi dengan mauidzoh hasanah oleh Dr. Abdul Jalil, S.Th.I, M.S.I.  dengan materi bagaimana posisi santri saat ini, beliau mengibaratkan seorang santri itu seperti kedudukan i’rob dalam nahwu, yakni; na’at, bayan dan badal. Sebagai seorang santri ada tiga tingkatan yang harus dilewati, yang pertama santri itu sebagai na’at, yang mana na’at itu membutuhkan man’ut atau yang diikuti, seorang santri harus patuh terhadap pengasuh dan asatidz yang ada di pondok. Yang kedua santri menjadi bayan, sebagai penjelas ataupun beliau mengibaratkan bayan itu menjadi seorang ustadz atau tenaga pengajar. Kemudian yang ketiga seorang santri menjadi sorang badal, yang mana itu sebagai pengganti. Diibaratkan santri kelak ketika sudah boyong dari pondok bisa menjadi pengganti ataupun meneruskan perjuangannya di daerah masing-masing.

Baca: Tak Kenal Maka Ta’aruf

Acara ini tentunya tidak kalah denga acara di kampus, bahkan menurut salah satu santri baru sebagai peserta Pekan Ta’aruf, acara ini lebih mengasyikkan dan banyak hal yang bisa diambil dari setiap kegiatannya. Dia juga menambahkan, bahwa acara seperti ini jarang dilakukan di Pesantren lainya, sehingga dengan adanya acara ini para santri baru mudah berinteraksi dan mengenal kepada sesama santri baru maupun santri lama. Mereka para santri baru sudah tidak lagi canggung dalam bergaul. Harapan penulis Pekan Ta’aruf ini tidak hanya sampai ta’aruf (saling mengenal) antar sesama saja, akan tetapi juga menyampaikan kepada tafahum (saling memahami) meningkat ke ta’awun (saling membantu dalam kebaikan) dilanjutkan ke tasamuh (toleransi) dan diakhiri dengan takaful (saling menjamin rasa aman). Sehingga acara ini tidak hanya sebatas tontonan, tetapi juga tuntunan.

Oleh: Tim Redaksi

Kisah KH. Zainal Abidin Munawwir Selamat Dari Gempa

Di saat matahari bersiap terbit, memberikan kehangatan bagi seluruh umat manusia dan makhluk hidup di Bumi. Namun, tidak dengan apa yang terjadi pada 27 Mei 2006 di Yogyakarta.

Pada hari itu, sekitar pukul 05.53 atau pukul 05.55 WIB, gempa bumi berkekuatan 5,9 skala Richter mengguncang salah satu provinsi istimewa di bagian tengah Jawa, Indonesia. Kejadian itu terjadi kurang lebih pukul 05:55:03 wib selama 57 detik. Tidak sedikit korban jiwa yang berjatuhan dan ribuan bangunan rumah roboh hampir rata dengan tanah.

Banyak orang pada saat gempa terjadi masih tertidur ataupun masih terkantuk-kantuk, meski sebagian telah terbangun bersiap memulai aktivitas mereka. Goncangan yang begitu dahsyat seketika meluluhlantakkan bangunan, infrastruktur, hingga jaringan listrik dan telekomunikasi di seluruh wilayah Yogyakarta, Bantul, dan sekitarnya. Tercatat korban yang terdampak akibat bencana alam ini juga mencapai wilayah-wilayah seperti Sleman, Kulon Progo, Gunung Kidul, Klaten, dan Boyolali.

Salah satu daerah yang terkena dampak gempa adalah Krapyak yang mana daerah tersebut terdapat sebuah Pondok Pesantren al-Qur’an terbesar di Indonesia yakni Pondok Pesantren Al Munawwir. Pondok Pesantren Al Munawwir telah mencetak lulusan yang hebat di masing-masing daerah hingga ke luar negeri dan tidak sedikit santri yang lulus di sana banyak yang mendirikan pondok pesantren.

Baca: Kisah Ibu Nyai Sukis Dan Jangan

Ketika peristiwa gempa bumi mengguncang wilayah Yogyakarta dan sekitarnya ada sebuah kejadian yang di luar nalar manusia. Pada saat peristiwa gempa terjadi KH. Zainal Abidin Munawwir allahuyarham atau biasa akrab dengan Mbah Zainal, beliau merupakan salah satu pengasuh Pondok Pesantren Al Munawwir yang sedang beriktikaf di dalam masjid dan itu memang sudah menjadi kebiasaan beliau di pagi hari.

Masjid Al-Munawwir pada masa kepengasuhan KH. Ali Maksum-Dokumentasi oleh almunawwir.com 

Semua bangunan di komplek Pondok Pesantren ikut hancur termasuk masjid. Tiba-tiba muncul Mbah Zainal di balik reruntuhan masjid itu.

“Cung, iki ono opo kok podo ambruk kabeh? tanya Mbah Zainal kepada santri

“Ada gempa bumi ini tadi, mbah kyai” jawab santri

“Owh gempa to” jawab Mbah Zainal

Masjid Al Munawwir baru setelah pemugaran total pasca gempa 2006 pada masa kepengasuhan KH. Zainal Abidin Munawwir-Dokumentasi oleh ayomondok.net

Begitulah sosok Mbah Zainal, ulama ahli fiqh yang dikenal zuhud dan wira’i. Hanya kepatuhan kepada sang Khalik-lah yang menjadikan manusia yang tinggi derajatnya di hadapan Allah swt, karena semata-mata ibadah mereka hanya untuk Allah swt, bukan untuk yang lainnya. Lahul fatihah.

Semoga dari kisah Kiai Zainal Abidin Munawwir Selamat dari Gempa ini memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: bangkitmedia.com

Picture by santrijagad.org

Sejarah Pedukuhan Krapyak-Panggungharjo

Desa Panggungharjo merupakan gabungan dari tiga kelurahan yakni Kelurahan Cabeyan, Kelurahan Prancak dan Kelurahan Krapyak.

Keberadaan Desa Panggungharjo tidak bisa dipisahkan dari keberadaan “Panggung Krapyak” atau oleh masyarakat sekitar disebut sebagai “Kandang Menjangan”, yang berada di Pedukuhan Krapyak Kulon, Desa Panggungharjo.

Sebagaimana diketahui, bahwa Panggung Krapyak merupakan salah satu elemen dari ‘sumbu imajiner’ yang membelah Kota Yogyakarta, yaitu garis Gunung Merapi – Tugu Pal Putih – Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat – Panggung Krapyak dan Parangkusumo yang berada di pantai selatan.

Sedangkan berdasarkan bukti sejarah, Desa Panggungharjo sendiri dibentuk berdasarkan maklumat nomor 7, 14, 15, 16, 17 dan 18 monarki Yogyakarta tahun 1946 yang mengatur tentang tata kalurahan di kala itu. Dari maklumat tersebut, kemudian ditetapkan tanggal hari jadi Desa Panggungharjo yang jatuh pada 24 Desember tahun 1946. Setelah adanya maklumat tersebut, kemudian dikuatkan kembali dengan Maklumat Nomor 5 Tahun 1948 Pemerintah Daerah Istimewa Negara Republik Indonesia Yogyakarta tentang Hal Perubahan Daerah-daerah Kalurahan dan Nama-namanya.

Dalam salah satu isian maklumat tersebut menyatakan bahwa dilakukan penggabungan dari tiga kalurahan, yaitu Kalurahan Cabeyan, Prancak dan Krapyak menjadi kalurahan baru yang disebut Kalurahan Panggungharjo.

Sumber foto: www.panggungharjo.desa.id

Berdasarkan fakta dan bukti sejarah, akar budaya di Desa Panggungharjo tumbuh dan berkembang berhubungan erat dan dipengaruhi oleh komunitas dan intervensi budaya yang berkembang pada masanya, yaitu :

  1. Pada abad ke 9-10 Desa Panggungharjo adalah merupakan kawasan agraris, hal ini dibuktikan dengan adanya Situs Yoni Karang Gede di Pedukuhan Ngireng-Ireng. Sehingga dari budaya agraris ini muncul budaya seperti: Gejok Lesung, Thek-thek/Kothek-an, Upacara Merti Dusun, Upacara Wiwitan, Tingkep Tandur, dan budaya-budaya lain yang sifatnya adalah merupakan pengormatan kepada alam yang telah menumbuhkan makanan sehingga bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan umat manusia.
  2. Pada abad ke 16 di wilayah Krapyak Kulon dan Glugo adalah merupakan kawasan wisata berburu (Pangeran Sedo Krapyak – 1613), sedangkan pada Abad ke-17 kawasan ini merupakan sebagai tempat olahraga memanah kijang/menjangan dan sebagai tempat pertahanan (Sultan HB I – Panggung Krapyak 1760). Budaya yang dibawa dari intervensi keberadaan Keraton Mataram sebagai pusat budaya sehingga menumbuhkan budaya adiluhung seperti: Panembromo, Karawitan, Mocopat, Wayang, Ketoprak, Kerajinan Tatah Sungging, Kerajinan Blangkon, Kerajinan Tenun Lurik, Batik, Industri Gamelan, Tari-tarian Klasik, dan lain-lain.
  3. Pada tahun 1911 di wilayah Krapyak Kulon didirikan Pondok Pesantren Al Munawwir, sehingga berkembang budaya seperti : Sholawatan, Dzibaan, Qosidah, Hadroh, Rodad, Marawis, dan juga budaya-budaya yang melekat pada kegiatan peribadatan seperti: Syuran (peringatan 1 Muharram), Mauludan (peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW), Rejeban (peringatan Isro’ Mi’roj), Ruwahan/Nyadran (mengirim doa untuk leluhur menjelang Bulan Ramadhan), Selikuran (Nuzulul Qur’an), dan lain-lain.
  4. Sekitar tahun 1900-1930 berkembanglah budaya yang tumbuh dan berkembang karena adanya kebutuhan bersosialisasi dimasyarakat, sehingga berkembanglah bermacam-macam dolanan anak seperti: Egrang, Gobak Sodor, Benthik, Neker-an, Umbul, Ulur/layangan, Wil-wo, dan lain-lain. Bahkan di kampung Pandes berkembang sebuah komunitas “Kampung Dolanan” yang memproduksi permainan anak tempo doeloe, seperti: Othok-Othok, Kitiran, Angkrek, Keseran, Wayang Kertas, dan lain-lain
  5. Pada Tahun 1980 di desa Panggungharjo yang merupakan wilayah sub-urban mulai berkembang Budaya Modern Perkotaan dan banyak mempengaruhi Generasi Muda, sehingga berkembanglah kesenian Band, Drumband, Karnaval Takbiran, Tari-tarian Modern, Campur Sari, Outbond, Playstation/Game Rental, dan lain-lain.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: panggungharjo.desa.id