Tak Kenal Maka Ta’ruf

Memasuki tahun ajaran baru para panitia Penerimaan Santri Baru Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek L disibukkan dengan tamu wajah-wajah baru, yakni calon santri dan penduduk baru pondok. Mereka sibuk mengurusi penerimaan, pendataan dan lain sebagainya. Tidak hanya itu saja, setelah Penerimaan Santri Baru  selesai, Pengurus Pondok Komplek L terutama santri baru akan disibukkan dengan berbagai kegiatan, salah satunya Pekan Ta’aruf. Suatu kegiatan yang memang diwajibkan bagi setiap santri baru yang masuk di Pondok Al Munawwir komplek L.

”Modal Sosial Pesantren Dalam Menghadapi Pandemi”, itulah tema besar dalam acara Pekan Ta’aruf pondok pesantren Al Munawwir Komplek L tahun ajaran 2020/2021. Tema ini diusung dengan keadaan sosial di masa sekarang yang mana seluruh elemen masyarakat sedang berjuang menghadapi pandemi, memang sangat sesuai untuk konteks dewasa ini.

Baca: Dua Murid KH M Munawwir Beda Nasib Bertemu Nasab

Malam selasa, 01 Februari 2021 acara ini resmi dibuka oleh bapak RT setempat. Gemuruh sorak peserta Pekan Ta’aruf lengakp dengan kostum putih dan atribut warna warni. Dilanjutkan dengan materi yang dibawakan oleh Pak Zainal Arifin salah satu dewan asatidz di Madrasah Diniyyah Salafiyyah 4 dan alumni Komplek L dengan sub tema “Kepesantrenan dan Kebangsaan”, sekedar informasi bahwa Beliau adalah lulusan Universitas di Amerika juga Australia. Peserta sangat antusias mendengar pemaparan beliau walaupun ada beberapa santri yang tak kuat menahan kantuk. Dalam materi malam pertama ini  diharapkan para peserta dapat memahami apa yang disampaikan yakni sebagai landasan para santri tentang kepesantrenan dan peranannya.

Setelah sesi pertama tentang “Kepesantrenan Dan Kebangsaan” selesai, dilanjutkan dengan kegiatan perkenalan pengurus Pondok Pesantren Pusat yang mana pada kesempatan kali ini diwakili oleh Gus Munadi yang tak lain ialah sebagai Lurah Pondok Pusat dan didampingi oleh Kang Wahid. Pada sesi perkenalan Pengurus Pondok Pusat ini diharapkan para santri baru bisa mengetahui tentang struktur kepengurusan setiap komplek yang ada di Al Munawwir juga diharapkan para santri baru bisa mengetahui atau paling tidak bisa kenal dengan salah satu personil Pengurus Pondok Pusat Al Munawwir.

Dilanjut dengan kegiatan selanjutnya yakni perkenalan Pengurus Pondok Komplek L, pada kesempatan kali ini dipimpin oleh Rizal Fathurrahman yang bertindak sebagai Lurah Pondok Komplek L periode 2020/2022. Pada sesi ini diperkenalkan para pengurus Pondok Komplek L berikut dengan divisi dan tugasnya, diharapkan pada sesi ini santri baru bisa mengetahui dan mengenali para pengurus pondok yang mana para pengurus ini kedepannya yang akan mengurusi kegiatan mereka di Komplek L.

Setelah melewati beberapa sesi dari rangkaian pembukaan acara di malam pertama santri baru pun melakukan apel malam guna melengkapi persyaratan yang sudah disampaikan oleh Panitia Pekan Ta’aruf satu minggu sebelumnyapada saat Technical Meeting, setelah melakukan apel malam santri baru dipersilahkan untuk istirahat. Malam itu terasa sangat hidup karena semua peserta juga diwajibkan melakukan shalat malam, tentunya ini bertujuan untuk membiasakan hal baik pada santri baru agar terlaksana tidak hanya pada saat Pekan Ta’aruf saja.

Baca: Penyangga Langit Krapyak Tersisa Satu

Setelah melakukan agenda kegiatan shalat malam berjama’ah santri baru pun melakukan shalat subuh berjamaah dan dilanjutkan dengan kegiatan deresan al-Qur’an bersama di Mushola al-Mubarok Komplek L, rangkaian kegiatan untuk malam pertama pun berakhir pada pagi hari. Adapun kegiatan selanjutnya yakni Lomba Adzan dan Muabaqoh Syarhil Qur’an yang akan dilaksanakan pukul 13.00 wib. Lomba ini bertujuan untuk menjaring minat dan bakat santri baru yang memiliki minat ataupun bakat dalam bidang tertentu.

Oleh: Tim Redaksi

Berkat Tawasul Hajat Terkabul

Istilah tabarruk (تبرك) telah dikenal dalam Ahlussunnah Wal Jama’ah. Tabarruk merupakan upaya untuk memperoleh barokah atau dalam istilah Jawa biasa disebut dengan “ngalap barokah”. Terdapat berbagai macam bentuk dan cara untuk mendapatkan barokah, salah satunya ialah tabarrukan dengan berziarah kubur. Ziarah kubur ini merupakan salah satu amaliyah khas NU yang telah menjadi budaya dengan mengunjungi makam para auliya, ulama atau orang-orang Sholih.

Hal ini dimaksudkan tak lain untuk melantunkan doa, bukan berarti berdo’a kepada kuburan, akan tetapi melalui orang-orang yang telah mendahului. Apabila kita mengirimkan bacaan do’a Tahlil ataupun Surah Yasin maka ahli kubur tersebut akan membalas dengan di doakan kepada Allah, dimohonkan kepada Allah dan balasannya jauh lebih banyak dari yang kita kirimkan.

Jadi apabila kita membaca Surah Yasin yang akan kembali kepada kita itu minimal berkahnya sebesar Surah Yasin, apabila mengkhatamkan al-Qur’an maka berkahnya sebesar al-Qur’an. Itu minimal, maksimalnya tidak terbatas dari sisi Allah, itulah berkahnya orang yang berziarah ke makam para auliya, ulama ataupun orang-orang Sholih.

Tidak ada yang namanya beribadah ke kuburan, tapi kalau berziarah kemudian bertawasul “Ya Allah semoga berkah saya berziarah ke walimu ini atau ke orang sholih ini semoga engkau berikan kepadaku (menyebutkan hajat)”  tidak masalah seperti itu, meminta kepada Allah. Perbuatan tersebut sama dengan melakukan tawasul dengan amal sholehnya, sama seperti yang terjadi oleh tiga orang yang terjebak di dalam gua.

Baca: Sebuah Kisah Habib Quraisy Bin Qosim Cirebon

Al-Zuhri meriwayatkan dari Salim dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah Saw bercerita:

Pada suatu hari tiga orang dari umat terdahulu melakukan perjalanan dan kemudian menepi di dekat sebuah gua di sebuah lereng gunung. Lalu, ketiganya masuk ke dalam gua tersebut, tiba-tiba batu dari atas bukit gua yang mereka diami jatuh hingga menutup mulut gua. Batu besar itu tak mampu mereka angkat meskipun telah bersusah payah dengan sekuat tenaga. Lalu mereka berkesimpulan bahwa satu-satunya yang bisa menyelamatkan mereka adalah dengan berdoa kepada Allah Swt melalui amal-amal saleh yang pernah mereka kerjakan selama hidupnya.

Salah seorang di antara mereka berkata:

“Aku memiliki dua orang tua yang lanjut usia, sebelumnya aku tidak pernah membuatkan mereka minuman. Suatu hari, mereka tertidur di bawah sebatang pohon, aku tidak memindahkan mereka. Aku memerah susu sebagai minuman sore hari untuk keduanya, aku membawakannya untuk mereka, tetapi mereka tetap tidur. Aku tidak berniat membangunkan mereka juga tidak mendahului meminumnya. Sambil berdiri dengan menenteng gelas di tangan, aku tunggui mereka hingga terjaga sampai fajar merekah. Selanjutnya mereka bangun, dan meminumnya.Ya Allah, apabila aku lakukan semua itu karena mencari ridha-Mu, maka keluarkan kami dari hadangan batu besar ini.”

Kemudian batu itu bergeser sedikit sehingga terbuka celah kecil, namun mereka belum bisa keluar dari gua.

Orang kedua berkata:

“Aku memiliki sepupu perempuan yang sangat mencintaiku. Kemudian ia merayuku, tetapi aku menolak, hingga aku menyakiti dirinya selama beberapa tahun. Akhirnya ia menemuiku dan aku berikan harta yang banyak agar dia mau meninggalkanku. Waktu itu ia berkata; “Tidak mungkin kamu bisa melepaskan cincin ini, kecuali dengan cara yang benar.” Lalu aku meninggalkannya bersama hartanya. Ya Allah, apabila aku lakukan hal itu karena mencari ridha-Mu, maka bebaskan kami dari pintu gua ini.”

Baca: Kisah Juraij Dan Seorang Pelacur

Bergeserlah batu besar itu, tetapi mereka belum juga bisa keluar dari sana.

Orang ketiga berkata:

“Ya Allah, aku telah mempekerjakan orang. Aku beri mereka upah, dan hanya ada satu orang yang belum kuberi karena ia meninggalkan pekerjaannya, kemudian pergi. Aku membungakan upahnya hingga menjadi kekayaan yang berlipat-lipat. Pada suatu saat, ia mendatangiku dan berkata;

“Hai ‘Abdullah, saya mau minta upah.”

Aku menjawab; “Seperti apa yang kamu lihat, semua upahmu berupa unta, kambing, dan budak.”

Dia berkata: “Hai’Abdullah, engkau mengolok-olok saya?”

Aku menjawab: “Aku tidak mengolok-olokmu, ambillah semua upahmu dan gunakan untuk makan.”

“Ya Allah, apabila hamba melakukan semua itu karena mencari ridha-Mu, maka lepaskan kami dari padang pasir ini.”

Akhirnya terbukalah batu itu dari gua. Mereka keluar dan berjalan bersama-sama.

Semoga dengan memperbanyak ziarah kubur kita dapat mengambil pelajaran dan menambah keimanan dalam mempersiapkan kehidupan kelak di akhirat.

Amiin yaa rabbal ‘alamiin.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: tebuireng.online, Buku Jami’ Karamat al-Aulia’, Chanel Youtube Nu Online

Picture by jalansirah.com

Dibalik Cerita Panggung Krapyak

Panggung Krapyak tak bisa dilepaskan keberadaannya dari Kraton Yogyakarta, baik dalam tinjauan makro urban, maupun dalam tinjauan makrokosmos sebagai bentuk poros imajiner kota, bangunan ini selesai dibangun tahun 1788, merupakan  rangkaian bangunan paling akhir yang didirikan oleh raja yang berkuasa saat itu Sultan Hamengkubuwana I atau dikenal sebagai Pangeran Mangkubumi. Bangunan Panggung Krapyak pada awalnya dimaksudkan sebagai tempat panggung tempat sultan dan keluarganya beristirahat dan mengawasi anggota keluarganya berburu rusa, Panggung Krapyak merupakan bangunan yang terdiri dari dua lantai, terbagi dalam 9 segmen dan mempunyai pintu ke 4 arah mata angin.

Struktur atau susunan kota Yogyakarta pada dasarnya terkait erat dengan keberadaan Kraton Yogya yang mulai eksis sejak adanya Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, mulai saat itu Sultan Hamengkubuwana I mendirikan kraton dengan berbagai macam sarana dan prasarana untuk mewadahi berbagai aktivitas kerajaan. Para Sultan penerusnya juga melakukan pengembangan sarana dan lingkungan sesuai konteks jamannya. Lingkungan binaan yang dibuat untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan hidup dan mewadahi berbagai aktivitas, baik melakukan kegiatan sosial, budaya, usaha, dan tempat tinggal. Kelengkapan fisik, sarana, prasarana, estetik, etik, simbol dan filosofis-religius eksistensinya mempunyai koherensi dengan berbagai rancangan sebagaimana fungsi dan maknanya.

Pada zaman dahulu, daerah tempat Panggung Krapyak masih berupa hutan yang dinamakan Hutan Krapyak. Oleh karena itu, tempat ini digunakan sebagai sebuah tempat perburuan karena terletak di dekat hutan. Selain itu, bangunan ini digunakan sebagai tempat pertahanan dari binatang buas di Hutan Krapyak agar tidak sampai ke keraton.

Panggung Krapyak berbentuk menyerupai kotak ini memiliki ukuran luas 17,6 m x 15 m dan tinggi 10 m. Arsitektur bangunannya cukup unik. Setiap sisi bangunan memiliki sebuah pintu dan dua buah jendela. Pintu dan jendela ditutup dengan pagar besi yang tidak rapat sehingga bagian dalam bisa terlihat dari luar. Bagian bawah pintu dan jendela berbentuk persegi tetapi bagian atasnya melengkung, seperti rancangan pintu dan jendela di masjid. Bangunan ini terdiri dari dua lantai. Pada lantai atas berupa ruangan terbuka yang cukup luas dan dibatasi pagar dengan ketinggian sedang.

Bentuk tata kota yang vertikal dari selatan ke utara melambangkan hubungan manusia kepada Sang Pencipta. Laut Selatan yang merupakan titik terendah dan Gunung Merapi yang lebih tinggi melambangkan sikap manusia yang semakin dekat dengan Sang Pencipta seiring berjalannya waktu.

Baca: LIBERALISASI PEMIKIRAN NU

Bagian garis dari Panggung Krapyak ke Tugu Pal Putih dari selatan ke utara merupakan perjalanan Sangkaning Dumadi yakni proses perjalanan manusia menuju eksistensi. Diawali dengan pertemuan antara wiji (benih) yang merupakan proses terjadinya manusia (dumadi) dilambangkan oleh Panggung Krapyak yang berupa bentuk yoni dan bentuk Tugu Pal Putih yang berupa bentuk lingga. Dari hal itu, maka lahirlah manusia yang tumbuh dan berkembang hingga menjadi dewasa.

Sementara itu, garis dari utara ke selatan bermakna perjalanan manusia kembali ke Sang Penguasa yakni Paraning Dumadi. Keraton yang berada di tengah melambangkan manusia yang telah mapan dan dewasa. Pada akhirnya manusia akan mati dan kekal di akhirat yang dilambangkan Lampu Kyai Wiji di Gedhong Prabayeksa Keraton yang tak pernah padam sejak zaman Sultan Hamengkubuwana I.

Sumber gambar: kebudayaan.kemdikbud.go.i

Penduduk di sekitar Panggung Krapyak dan para peneliti berasumsi bahwa dahulu pada abad ke-18 Masehi, bangunan ini dikelilingi oleh pagar berupa tembok. Sisa-sisa struktur tembok tersebut berada di sisi selatan dan barat Panggung Krapyak. sayangnya, struktur tersebut tidak dapat dilihat karena tertutup warung dan rumah warga. Selain struktur tembok, ditemukan juga sumur dan sisa-sisa kolam yang masih berasosiasi dengan Bangunan Panggung Krapyak ini.

Baca: Sebuah Kisah Habib Quraisy Bin Qosim Cirebon

Kawasan Panggung Krapyak berjakar sekitar 2 kilo meter dari alun-alun selatan yogyakarta, berada di sekitarnya adalah Jalan Jogokaryan, Jalan mangukuyudan serta Jalan Tirtodipuran. Sosial ekonomi penduduk sekitar kawasan Krapyak didominasi oleh Industri Jasa Guest House, Kafe, serta rumah pondokan. Mata pencaharian penduduknya disamping dari produk jasa diatas, juga dari sektor informal (warung makan, toko kelontong) juga dikenal sebagai pusat industri batik (tulis/ cetak) melengkapi kawasan Jalan Prawirotaman yang sudah terlebih dahulu dikenal khalayak.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id, id.wikipedia.org, dosen.univpancasila.ac.id

Picture by correcto.id

Amalan Satus Tembus

Suatu hari Kyai Ahmad Dalhar Watu Congol, Magelang kedatangan seorang tamu Tionghoa. Sang tamu bercerita bahwa perusahaannya bangkrut dan ia harus menanggung hutang yang sangat banyak. Sang tamu minta kepada Mbah Dalhar supaya diberi amalan yang bisa mendatangkan rejeki dan bisa melunasi hutang-hutangnya yang banyak. Tanpa banyak kata Mbah Dalhar memberi ijazah supaya sang tamu mengamalkan wirid dengan membaca fatihah dan shalawat.

“Woconen fatihah satus, shalawat satus. Bendino!” perintah Mbah Dalhar

Tanpa banyak komentar sang tamu kemudian mohon pamit dan pulang. Setahun kemudian setelah persitiwa tersebut Mbah Dalhar kedatangan tamu yang membawa oleh-oleh yang sangat banyak, mulai dari makanan sampai barang-barang berharga. Mbah Dalhar pun bingung kenapa ada tamu yang membawa pemberian begitu banyak, kemudian sang tamu pun menjelaskan bahwa berkat menjalankan amalan Mbah Dalhar ia mendapatkan jalan keluar untuk melunasi hutang-hutangnya dan perusahaannya bisa bangkit kembali.

Baca: Kisah Humor: Secarik Kertas Untuk Imam Jum’at

Kemudian Mbah Dalhar bertanya:

“Loh, kamu islam apa bukan?” tanya Mbah Dalhar

“Bukan Mbah” jawab sang tamu

“Lalu kamu mengamalkan apa?” tanya Mbah Dalhar

“Ya itu mbah, amalan yang dari panjenengan itu” jawab sang tamu semangat

“Amalan yang mana?” Mbah Dalhar kebingungan

“Panjenengan kan nyuruh saya untuk membaca fatihah satus, shalawat satus. Ya itu yang saya baca sebanyak-banyaknya Mbah” jawab sang tamu

Mbah Dalhar pun tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawaban tersebut.

Oleh: Tim Redaksi

Picture by clipartart.com

LIBERALISASI PEMIKIRAN NU

Nahdlatul Ulama (NU) sebagaimana sering diperkirakan memiliki anggota sekitar sembilan puluh juta orang, adalah organisasi sosial keagamaan (jam’iyah) terbesar di indonesia bahkan mungkin di dunia. Warga Nahdliyyin tersebar hampir di seluruh penjuru indonesia terutama di daerah-daerah pedesaan, khususnya dengan basis terkuat di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Bartat di bawah kepemimpinan ulama.

Sekitar tahun 1980-an kekuatan NU seolah-olah diabaikan begitu saja oleh para peneliti, penelitian terhadap NU Masih Kurang proposional dibanding dengan penelitian organisasi Islam Lainnya. Menurut Mitsuo Nakamura[1] mengaku pernah memiliki semacam bias yang muncul dan menganggap bahwa NU adalah organisasi ulama yang ketinggalan zaman di pedesaan Jawa, yang secara intelektual tidak canggih yang secara politik oportunis dan yang secara kultural sinkretik. Akibat bias intelektual itu adalah terdapatnya kecendrungan kuat di kalangan para ahli atau pengamat tentang Islam-baik pada tingkat Indonesia maupun internasional-untuk lebih memberikan perhatian pada organisasi-organisasi yang biasa dikategorisasikan sebagai “modernis” atau reformis.

Bahkan, organisasi dan kaum modernis serta reformis ini cenderung mendapat pemberitaan lebih luas dan ekstensif dalam media massa. Oleh karena itu, tidak aneh jika terdapat complaints dari kalangan “tradisionalis” bahwa media massa di negara-negara muslim termasuk indonesia semacam memiliki “bias” modernis dengan mengorbankan kaum “tradisionalis”. Selain karena adanya bias intelektual juga karena kalangan tradisonalis pada umumnya dianggap tidak menarik, lantaran mereka dipandang sebagai orang-orang jumud yang ketinggalan zaman, berpikiran sempit, dan picik; mereka adalah remants (sisa-sisa) masa lampau yang tidak relevan lagi dengan situasi masa sekarang. Sebaliknya, kalangan modernis dan reformis sangat menarik karena mereka dipandang sebagai orang-orang yang maju dan progresif; berpikiran luas, dan mampu menjawab tantangan masa modern.

Dengan terjadinya perubahan-perubahan sosiologis dalam pemikiran dan gerakan Islam pada beberapa dasawarsa terakhir ini, tipologi itu kelihatan semakin tidak mampu menggambarkan dengan lebih akurat peta bumi perkembangan pemikiran dan gerakan Islam. Pada dataran pemikiran belakangan ini kalangan NU telah muncul fenomena baru. Terdapat sejumlah pemikir NU yang cenderung berpikiran liberal. Mereka memiliki dua basis pendidikan, yaitu pendidikan pesantren yang melakukan banyak kajian terhadap literatur klasik pada suatu pihak dan pendidikan di perguruan tinggi yang memperknalkan metodologi ilmiah termasuk pengembangan wawasan pada pihak lain. Dengan berbekal dua basis pendidikan itu memungkinkan mereka melakukan kombinasi khazanah intelektual di pesantren dan perguruan tinggi secara dinamis dan longgar.

Munculnya fenomena baru liberalisasi pemikiran Islam di kalangan NU yang kemudian mengalami perkembangan yang semakin intens menunjukan kemampuan meraka menampilkan pemikiran yang adaptif dan responsif terhadap tuntutan zaman. Realitas ini sekaligus merupakan indikator bahwa penilaian tradisionalisme terhadap NU semakin tidak relevan lagi bagi NU sekarang. Justru realitas yang sedang terjadi adalah tumbuhnya kecendrungan liberalisasi pemikiran.

Oleh : Taufik Ilham

Picture by muslimoderat.net

Sumber : Buku NU “Liberal” Dari Tradisionalisme Ahlussunnah Ke Universalisme Islam

[1] Mitsuo Nakamura, “The Radical Tradisionalsm of the Nahdlatul Ulama in Indonesia: Personal Account of the 26 National Congress”, Semarang, Juni 1979.

Sebuah Kisah Habib Quraisy Bin Qosim Cirebon

Dikisahkan oleh kisah nyata yang dialami oleh Habib Quraisy bin Qosim Baharun Cirebon saat perjalanannya pada tahun 1996 silam, saat itu beliau sedang menempuh perjalanan menuju Yaman. Di dalam pesawat beliau bertemu dengan seorang ibu tua berpakaian dengan penutup jilbab, usia ibu tua itu sekitar 70 tahunan. Didalam perjalanan itu sang ibu menyapa Habib Quraisy dan menanyakan tempat tujuannya dengan bahasa arab yang fasih.

“Kemana anda akan pergi ?” Tanya Ibu Tua itu.

“Saya akan transit ke Yordan kemudian melanjutkan perjalanan ke Yaman”. Jawab Habib.

“Dimana asal Anda ?” Tanya ibu tua itu kembali juga dengan bahasa arab yang sangat fasih. 

Habib Quraisy pun menjawab “Saya berasal dari Indonesia”

Mengetahui bahwa Habib Quraisy ternyata orang Indonesia sang ibu pun mentranslate bahasanya dengan bahasa Indonesia, padahal dari perbincangan sebelumnya Habib Quraisy mengetahui bahwa sang ibu tersebut berasal dari Jerman. Ketika berbicara bahasa Indonesia sang ibu pun sangat fasih mengucapkannya.

“Saudara Indonesia dimana?”

“Saya di Jawa” Habib Quraisy menjawab

Kemudian sang ibu merubah dialognya dengan menggunakan bahasa Jawa yang dialegnya sangat halus dan dan hampir-hampir Habib Quraisy tidak paham apa yang dikatakannya.

“Luar biasa, ibu begitu banyak menguasi banyak bahasa sampai bahasa Indonesia dan Jawa sekalipun padahal anda orang Barat.”

“Saya Alhamdulillah menguasai sebelas bahasa dan dua puluh bahasa daerah” sang ibu pun menjawab dengan tersenyum

Seiring berjalannya waktu perbincangan Habib Quraisy bersama sang ibu mengarah kepada hal-hal yang berkaitan dengan agama, kemudian sang ibu mulai menjelaskan dan mengupas Al Quran dengan indah dan mahir. Habib pun penasaran atas kehebatannya menjelaskan Al Quran dan bertanya

“Apakah ibu hafal Al Quran?”

“Ya, saya telah menghafal Al Quran dan saya rasa tidak cukup hanya menghafal Al Quran sehingga saya berusaha mengahafal Tafsir Jalalain, namun Al Quran harus bergandengan dengan Hadist sehingga saya berupaya menghafalkan Hadist tentang hukum sehingga saya hafal kitab Bulughul Maram di luar kepala.”

“Lantas saya masih belum merasa cukup, karena di dalam Islam bukan hanya ada halal dan haram tapi harus ada fadhailul amal, maka saya pilih kitab Riyadhus Sholihin untuk saya hafal dan saya hafal”. Kata Ibu itu menuturkan pendalamannya tentang Islam kepada Habib Quraisy.

Dan lagi Ibu itu kembali bertutur “Di sisi agama ada namanya tasawuf, maka saya cendrung pada tasawuf sehingga saya memilih kitab Ihya Ulumuddin dan sampai saat ini saya sudah 50 kali mengkhatamkan membacanya.”

“Saking seringnya saya membaca Ihya Ulumuddin sampai-sampai Bab Ajaibul Qulub saya hafal di luar kepala.”

Habib Quraisy terperangah melihat kehebatan dan luar biasanya ibu tua itu. Namun karena tidak mau percaya begitu saja, Habib Quraisy pun akhirnya mencoba mengetes kebenaran perkataannya. Apakah benar Ia telah hafal Al Qur’an? Apakah benar Ia menguasai Tafsir Jalalain tentang asbabunnuzul dan qaul Ibnu Abbas? 

Setelah melalui beberapa pertanyaan. Ternyata memang benar Ibu itu hafal Al Qur’an bahkan Ia mampu menjawab tafsirnya dengan mahir dan piawai. Habib pun dibuat heran akan kehebatan sang ibu yang bisa menguasai bahkan menjabarkannya dengan detail, selama ini gurunya Habib Quraisy belum pernah menemukan orang sekaliber ibu ini.

Ketika pesawat sudah benar-benar berhenti dan semuanya menyiapkan diri untuk membawa barang bawaannya, begitu pun dengan sang ibu yang sedang sibuk menurunkan barang bawaannya ke lantai pesawat. Dan ketika ibu menunduk untuk mengambil tas ternyata keluar dari bilik jilbabnya seutas kalung yang bertanda salib. Seperti petir menyambar di siang bolong Habib Quraisy pun menunduk dengan lemah.

Kepada Habib Quraisy ibu itu pun mengatakan “Saya bukan orang Kristen, saya keluar dari Kristen dan kalung ini bukan berarti saya Kristen tapi kalung ini adalah pemberian dari almarhumah ibu saya”.

Sang ibu pun mengatakan bahwa ia telah mempelajari beberapa agama diantaranya Kristen, Hindu juga Islam. Sang ibu pun sempat mengungkapkan ketertarikannya mengenai keagungan Nabi Muhammad SAW.

“Ibu apa agamanya sekarang?” Tanya Habib Quraisy

Sang ibu menjawab “Saya tidak beragama.”

“Seandainya ibu masuk Islam begitu membaca Syahadat ibu akan langsung mendapat titel Kyai Haji karena demikian luas ilmu yang ibu miliki” Jawab Habib Quraisy

“Mungkin karena saya belum mendapatkan Hidayah dari Allah” Sang ibu menjawab

Habib Quraisy pun meneteskan air mata bersyukur kepada Allah bagaimana orang seperti dia yang sudah hafal Al Quran dan lain sebagainya belum Allah izinkan untuk beriman kepada-Nya, sementara kita tanpa usaha apapun telah dipilih oleh Allah untuk menjadi seorang muslim.

Semoga bagi pembaca dan penulis bisa mengambil ikhtibar betapa bersyukurnya kita telah dianugerahkan iman oleh Allah dengan tanpa usaha apapun seperti yang dilakukan oleh sang ibu dalam kisah diatas. Semoga iman, Islam kita semakin bertambah kuat sampai ajal menjemput sehingga kita termasuk orang yang Husnul Khotimah. Amin.

Oleh : Taufik Ilham

Picture by img.jakpost.net

Sumber : Pengajian Kitab Minhajul Abidin

Sejarah Metode Halaqah dalam Pengajaran Al-Qur’an

Proses pengajaran al-Qur’an dengan metode halaqah telah diterapkan sejak zaman Rasulullah saw.

Saat awal mula diturunkannya al-Qur’an, Rasulullah secara sembunyi-sembunyi (sirr) mengajarkan al-Qur’an di rumah sahabat al-Arqam bin Abil Arqam dengan membentuk suatu kumpulan dengan beliau sebagai guru. Pada masa itu yang menjadi murid adalah orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Kemudian, setelah agama Islam berkembang pesat, maka proses pembelajaran al-Qur’an dilakukan di masjid dengan Rasulullah tetap sebagai satu-satunya pengajar.

Tidak lupa, al-Qur’an ditulis di atas berbagai media yang ada seperti pelepah kurma, papan kayu, kulit hewan dan lain sebagainya. Hal ini tidak semata-mata dilakukan kecuali atas perintah Rasulullah agar tidak terjadi kekeliruan antara redaksi Hadis dan al-Qur’an.

Setelah wafatnya Rasulullah, al-Qur’an dibukukan menjadi mushaf dan diajarkan di seluruh negeri kekuasaan Islam beserta para qori’ yang telah menguasai al-Qur’an dan mendapat sanad langsung dari Rasulullah.

Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, dikirimlah beberapa qori’ untuk mengajarkan al-Qur’an di negeri-negeri Islam, salah satunya adalah Abu Darda’. Abu Darda’ merupakan salah seorang sahabat yang mendapatkan mandat untuk mengajarkan al-Qur’an di Damaskus. Di sana dia membuat halaqah yang sangat masyhur dengan jumlah murid yang mencapai 1600 orang lebih.

Metode yang digunakan oleh Abu Darda’ adalah membagi murid-muridnya ke dalam sepuluh kelompok dan menugaskan seorang instruktur pada tiap-tiap kelompok. Ia juga melakukan inspeksi keliling dalam memantau kemajuan murid-muridnya. Bagi mereka yang telah lulus tingkat dasar, dapat mengikuti bimbingan secara langsung dengan beliau agar sang murid merasa lebih terhormat mendapatkan pengajaran langsung dengan sang guru.

Metode seperti juga telah diterapkan di berbagai pesantren dengan santri baru terlebih dahulu memulai belajar al-Qur’an dengan para asaatidz sebelum belajar langsung dengan Kiai atau Bu Nyai. Hal tersebut bertujuan membentuk keefektifan dalam suatu pengajaran. Karena santri pemula akan lebih baik mendapat pengajaran yang relatif lebih lama daripada santri yang sudah mahir.

Di sisi lain, hal ini juga membentuk suatu penghormatan terhadap Kiai ataupun Bu Nyai  karena memudahkan beliau untuk mengajar apabila santri telah menguasai dasar-dasar membaca al-Qur’an. Sekian, semoga bermanfaat.

*Alma Naina Balqis, santri komplek R2

Photo by montdatarbawy.com

Sumber www.almunawwir.com