17 Agustus 2021 Indonesia kembali punya perayaan agung bersama, hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia. Perayaan ulang tahun republik Indonesia ke 76 kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika di tahun-tahun lalu kita merayakannya dengan berbagai kegiatan seremonial dan beberapa lomba tingkat kelurahan, seperti balap karung, estafet kelereng, dan lomba pecah air, maka di tahun ini kita hanya bisa merayakannya dengan diam di rumah, karena anjuran dari pemerintah menjalani PPKM, sambil membaca doa-doa untuk para Pahlawan Indonesia yang telah mendahului kita.
Namun bukan Indonesia namanya jika serangkaian peringatan hari besar tidak dilewati dengan acara perdebatan rutin. Seperti, hari natal, misalnya, masyarakat kita akan berdebat soal apa hukum mengucapkan selamat natal kepada kaum Nasrani? Hari Raya Idul Adha dan Idul Fitri masyarakat kita akan berdebat kapan kedua hari tersebut terjadi? Dan masih banyak lagi.
Baca: Ikhwan Ash-Shafa: Organisasi Think Tank Bidang Pendidikan dalam Sejarah Peradaban Islam
Hari ini pun -hari kemerdekaan Indonesia- demikian, masyarakat kita kembali dihadapkan pada acara debat rutinan. Pertanyaannya adalah apa hukum hormat kepada bendera merah putih? Pertanyaan ini datang dari golongan organisasi Islam yang oleh Kiai Hasyim Muzadi disebut dengan organisasi Transnasional.
Pertanyaan ini sebenarnya sudah mendunia. Sebab yang melakukan upacara bendera, bukan hanya Indonesia, melainkan hampir seluruh negara di penjuru dunia. Tetapi aksi protesnya yang paling gencar akhir-akhir ini di Indonesia.
Karena sifat pertanyaannya yang sudah mendunia maka yang menjawab pun ulama berskala internasioal. Diantaranya adalah Syekh Athiyah Shaqar, mantan Ketua Majelis fatwa Al-azhar, dan Syekh Abdurrahman Syaiban, Ketua Majelis Ulama Al-Jazair.
Menurut komentar Syekh Athiyah Shaqar hukum hormat kepada bendera hukumnya diperbolehkan karena bukan termasuk ibadah, seperti shalat atau dzikir, sehingga bisa menerima vonis bid’ah atau serupanya. Berikut saya kutipkan keterangan beliau:
فتحية العلم بالنشيد أو الإشارة باليد في وضع معين إشعار بالولاء للوطن والالتفاف حول قيادته والحرص على حمايته، وذلك لا يدخل فى مفهوم العبادة له، فليس فيها صلاة ولا ذكر حتى يقال : إنها بدعة أو تقرب إلى غير الله.
“Menghormati bendera dengan lagu atau isyarat tangan dalam situasi tertentu itu menunjukkan kesetiaan pada tanah air, berkumpul di bawah kepemimpinannya, dan komitmen untuk mendukungnya. Sikap itu tidak masuk dalam pengertian ibadah kepada bendera itu. Penghormatan bendera bukanlah shalat atau dzikir sampai ada yang bilang itu bid’ah atau ibadah pada selain Allah.”
Senada dengan komentar di atas, Syekh Abdurrahman Syaiban, selaku ketua majelis Al-Jazair tahun 1999-2001 juga mengungkapkan pendapatnya tentang hukum berdiri saat menyanyikan lagu kebangsaan dan hormat terhadap bendera sebagai rasa cinta. Menurut beliau, kedua hal itu sama sekali tidak bertentangan dengan syariah atau aqidah, karena tidak ada nash (dalil Al-Quran dan Hadis) yang mengharamkannya. Berikut saya lampirkan keterangan beliau:
إن القول بعدم جواز الاستماع إلى النشيد الوطني أو الوقوف له أمر غير مؤسس دينيا، وليس هناك أي نص يحرمه أو يكرهه، بل على عكس ذلك، هو أمر محبب، لأن ديننا الحنيف أكد أن ”حب الوطن من الإيمان” والعلم والنشيد والراية وونياشين هي علامات رمزية واصطلاحات حياتية لا علاقة لها بالشرع
“Pendapat tidak bolehnya mendengarkan lagu kebangsaan atau berdiri saat dinyanyikan tidak memiliki dasar syariah. Tidak ada dalil apa pun yang mengharamkan atau memakruhkannya. Justru sebaliknya: itu perkara yang dianjurkan. Karena, agama Islam menyatakan bahwa “Cinta tanah air itu bagian dari iman.” Sedangkan lagu dan bendera itu adalah tanda dan simbol kehidupan yang tidak ada kaitannya dengan syariah.”
Dari dua fatwa ulama internasional di atas kita bisa menarik sebuah benang merah, bahwa melakukan sikap hormat di depan bendera merah putih dan menyanyikan lagu kebangsaan adalah masalah duniawi dan tidak memiliki sangkut paut dengan ibadah. Oleh karena itu jika kita melakukannya tidak bisa divonis sebagai bid’ah, sebab bid’ah hanya menyangkut pembaruan-pembaruan dalam ibadah. Itu juga tidak bisa dianggap syirik, karena tidak ada unsur penuhanan, hanya sekedar penghormatan sebagai bentuk ekspresi cinta tanah air.
Baca: Kiai Umar Mangkuyudan Wafat, Kiai Ali Maksum Nangis di Atas Podium
Dalam sebuah hadits hasan riwayat Tirmidzi Rasulullah berfirman yang artinya: Perkara haram adalah sesuatu yang diharamkan oleh Allah dalam Quran-Nya. Perkara haram adalah sesuatu yang diharamkan Allah dalam Quran-Nya. Adapun perkara yang tidak dibahas oleh Allah, maka itu adalah sesuatu yang dimaafkan.
Dari hadist ini, maka Imam Syafii membuat sebuah kaidah Fikih yang berbunyi “al-ashlu fil asyya‘ gharil ibadah al-ibahah” “Hukum asal segala sesuatu yang (bukan ibadah) adalah mubah (boleh)”.
Oleh: Ahmad Miftahul Janah
Merupakan penulis buku “Sidul Santri Kucluk”, juga Mahasantri Ma’had Aly An-Nur 2 yang sedang mukim dan bersosial di Komplek L Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak.
Picture by pesantrennusantara.org