Kiai Umar Mangkuyudan Wafat, Kiai Ali Maksum Nangis di Atas Podium

Siapapun tahu Mbah Umar di Mangkuyudan menghuni sebuah rumah sederhana. Apa yang disebut nDalem Mbah Umar hanyalah sebuah bangunan kecil berdinding anyaman bambu alias gedek dengan sedikit tembok diatas pondasi. Ketika ndalem tersebut diperlukan untuk perluasan pondok putri, Mbah Umar mengalah dan rela pindah kamar di pondok putra yang sebelumnya dihuni para santri. Di sebuah kamar yang sederhana itulah Mbah Umar wafat dalam usia 63 tahun di waktu sahur.

Mbah Umar semasa hidupnya memang tidak suka ngematke atau nggondeli hal-hal yang bersifat duniawi. Beliau tidak kersa mirsani TV ataupun mendengarkan musik-musik yang hanya akan mengganggu dzikir beliau kepada Allah SWT. Beliau seorang sufi dan hafidz Quran yang senantiasa menjaga hafalannya. Beliau tidak meninggalkan rumah dan tanah yang beliau miliki semasa hidupnya kecuali telah diwakafkan untuk pondok.

Ketika jam bandul di masjid telah menunjukkan pukul 12.03 Waktu Istiwak, dikumandangkanlah adzan Dzuhur. Para pelayat pun kemudian melakukan shalat Dzuhur berjamaah yang juga bergelombang. Saat itu keadaan di masjid dan sekitarnya sudah semakin padat dan berjejal dengan tamu-tamu yang hendak memberikan penghormatan terakhir pada Mbah Umar. Hampir semuanya ingin mendekat pada jenazah Mbah Umar secara fisik dengan harapan dapat menyentuh atau setidaknya mendekat peti jenazah yang sedang disemayamkan di masjid. Tua dan muda berebut kesempatan mendekat pada peti jenazah Mbah Umar.

Ketika jamaah shalat Dzuhur sudah dirasa cukup, dan upacara pemakaman yang ditandai dengan beberapa pidato sambutan dari berbagai pihak telah usai, maka dilaksanakan shalat jenazah terakhir. Pidato sambutan paling singkat adalah yang disampaikan Mbah Kiai Ali Ma’shum. Beliau tak mampu berkata apa-apa selain uluk salam di awal dan akhir, Selebihnya beliau hanya menangis dan menangis sesunggukan di atas podium.

Ketika waktu telah menjelang pukul 13.30 WIB, tibalah saatnya mengusung peti jenazah Mbah Umar untuk kemudian diturunkan dari masjid. Selanjutnya peti akan dibawa ke tempat pemakaman yang jaraknya dari mihrab masjid tak lebih dari 3 meter. Dengan diiringi bacaan La ilaha illallah Muhammadur rasulullah yang terus menerus diulang oleh ribuan pelayat sambil menderaikan air mata, baik putra maupun putri, peti jenazah Mbah Umar diangkat oleh sanak saudara, handai tolan dan para santri senior.

Suasana duka semakin terasa ketika peti jenazah Mbah Umar mulai diusung. Tak ada wajah ceria. Semuanya murung dalam kesedihan yang mendalam. Tak ada canda dan tawa. Tak ada kata terucap dari bibir para pelayat kecuali lantunan dzikir dan tahlil dalam linangan air mata. Semua merasa kehilangan Mbah Umar, seorang kiai hafidz Quran sejak usia belasan tahun. Seorang kiai yang dikenal saleh sejak masa kecil. Beliau tak pernah menyakiti orang lain. Beliau rendah hati, suka bermusyawarah dan berlaku adil. Mbah Umar sangat halus dalam sikap dan tutur kata. Namun kelembutan hati Mbah Umar mampu menghentikan kenakalan dan kekerasan hati santri-santri yang dicintainya.

Pada saat peti jenazah Mbah Umar mulai bergerak, saat itulah awal krisis terjadi karena para pelayat yang jumlahnya ribuan itu tiba-tiba ingin mengungkapkan rasa hormat dan baktinya kepada Mbah Umar dengan cara masing-masing. Ada yang ingin melihat peti jenazah Mbah Umar dari jarak dekat. Ada yang ingin menyentuh peti jenazah atau kain yang menutupinya meski hanya sekejap. Tetapi kebanyakan ingin ikut mengusung peti jenazah beliau hingga makam yang telah dipersiapkan. Padahal mereka yang telah berhasil memegang peti jenazah enggan melepaskannya. Mereka bersikukuh untuk tetap mengusungnya hingga tempat pemakaman.

Sementara itu mereka yang belum berhasil memegang peti jenazah, terus bergerak dari semua arah. Mereka berdesak-desakan dan berebut kesempatan. Tentu saja ini menghambat perjalalan peti jenazah Mbah Umar terutama mereka yang bergerak dari arah depan. Peti jenazah itu terhenti dan tak mampu dimajukan kedepan barang selangkahpun. Saat itu posisi peti jenazah sudah berada di sebelah utara masjid yang memang ruangnya tidak cukup luas.

Meskipun jarak tempuh menuju makam tinggal beberapa meter saja, perjalanan untuk sampai ke sana tidak semudah yang dibayangkan. Banyak pelayat yang mencintai Mbah Umar ingin menunjukkan cintanya kepada beliau dalam waktu yang sama. Mereka juga bermaksud tabarruk. Apalagi hari itu di bulan Puasa yang penuh berkah. Mereka berharap dicatat malaikat sebagai santri Mbah Umar ila yaumil qiyamah.

Dalam keadaan seperti itu, tampillah seorang tentara Angkatan Darat berpangkat mayor. Beliau adalah Mayor Mashadi, seorang wali santri yang tinggalnya di kampung Sampangan Pasar Kliwon. Dengan suaranya yang lantang, Mayor Mashadi menghimbau agar para pelayat tidak berebut mengusung peti jenazah. Mereka diminta kesadarannya demi memperlancar jalannya peti jenazah. Himbauan Mayor Mashadi tak segera diindahkan. Mayor Mashadi menaikkan nada suaranya dengan berbicara lebih lantang. Mayor Mashadi terpaksa berteriak untuk mencegah mereka yang bermaksud mendekat peti jenazah Mbah Umar. Mayor Mashadi mulai kehabisan suaranya.

Dengan dibantu banyak orang, Mayor Mashadi tidak putus asa. Beliau terus berusaha menertibkan para pelayat agar tidak mendekat apalagi menyentuh peti jenazah yang memang sudah ada orang-orang yang dipersiapkan untuk itu. Usaha keras Mayor Mashadi mulai membuahkan hasil. Perlahan-lahan peti jenazah Mbah Umar mulai bergerak lagi hingga akhirnya sampai di makam. Perjalanan jarak pendek yang hanya sejauh kira-kira 45 meter itu ternyata harus ditempuh dalam waktu cukup lama. Kira-kira 45 menit atau bahkan satu jam. Sulit dipercaya. Namun itulah keadaannya sejauh yang kuingat.

Sesampai di makam, jenazah Mbah Umar kemudian dimasukkan ke liang lahat disertai ritual pemakaman seperti adzan dan iqomah. Aku tidak tahu atau sudah tak ingat lagi siapa kiai yang memimpin ritual pemakaman beliau. Jarak pandangku ke makam Mbah Umar dari tempat aku berdiri di sudut barat laut masjid, yang sekarang dibangun tempat wudhu dan kamar kecil, tidak memungkinkan aku untuk menyaksikan dan mendengar setiap peristiwa yang terjadi di sana. Terlalu banyak orang berjejal di depanku. Mereka berebut kesempatan untuk dapat mengantarkan jenazah Mbah Umar hingga beliau dikebumikan, dibacakan talqin dan doa.

Menjelang Ashar upacara pemakaman Mbah Umar telah usai. Beberapa orang mulai meninggalkan makam. Tapi aku tak segera beranjak dari tempat aku berdiri termangu dan kaku. Air mataku yang sejak dini hari beku, di sore hari itu mulai meleleh dan menitik setetes demi setetes. Aku tak mampu menahan tangis itu. Aku biarkan air mataku jatuh bercucuran membasahi bumi. Hanya tangis itu yang bisa aku lakukan untuk mengungkapkan seluruh kesedihanku. Aku sangat terpukul dengan kepergian Mbak Umar untuk selamanya. Aku sangat bersedih karena belum mampu melaksanakan dhawuh beliau hingga beliau wafat. Padahal beliau sudah berbuat banyak dalam memberikan kesempatan sejak masa kanak-kanakku hingga remaja.

Sejak hari itu aku hanya bisa merindukan Mbah Umar. Beliau tidak saja guruku yang mengajariku mengaji Al-Quran dari alif ba ta, tetapi sekaligus Pakdeku, abang dari ibuku. Ketika ayahku Mbah Dullah dalam kesulitan, Mbah Umar memberi solusi. Beliau yang memberi namaku dan mengkhitankan aku ketika umurku telah cukup. Beliau sering memberiku uang untuk potong rambut. Ketika aku menangis di pagi hari pada tanggal 10 setiap bulan karena belum bisa membayar SPP, Mbah Umar selalu mendengar tangis itu. Diutusnya Mbah Ti ke rumahku untuk memberikan uang SPP. Lalu bergegaslah aku berangkat ke sekolah SD dengan berlari dan rasa bangga pada Mbah Umar.

Kini tinggallah rinduku pada beliau dalam seluruh hidup dan jiwaku. Rinduku abadi. Rindu yang takkan pernah terobati.

Allahummaj’al qabrahu raudhatan min riyadhil jinan. Wala taj’al qabrahu khufratan min khufarin niran. Amin.

(Dimuat di Majalah Serambi Al-Muayyad, Edisi 04/Th. II/Juli 2013/Ramadhan 1434 H, halaman 3 – 5, dengan beberapa editing.)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *