Sejarah Metode Halaqah dalam Pengajaran Al-Qur’an

Proses pengajaran al-Qur’an dengan metode halaqah telah diterapkan sejak zaman Rasulullah saw.

Saat awal mula diturunkannya al-Qur’an, Rasulullah secara sembunyi-sembunyi (sirr) mengajarkan al-Qur’an di rumah sahabat al-Arqam bin Abil Arqam dengan membentuk suatu kumpulan dengan beliau sebagai guru. Pada masa itu yang menjadi murid adalah orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Kemudian, setelah agama Islam berkembang pesat, maka proses pembelajaran al-Qur’an dilakukan di masjid dengan Rasulullah tetap sebagai satu-satunya pengajar.

Tidak lupa, al-Qur’an ditulis di atas berbagai media yang ada seperti pelepah kurma, papan kayu, kulit hewan dan lain sebagainya. Hal ini tidak semata-mata dilakukan kecuali atas perintah Rasulullah agar tidak terjadi kekeliruan antara redaksi Hadis dan al-Qur’an.

Setelah wafatnya Rasulullah, al-Qur’an dibukukan menjadi mushaf dan diajarkan di seluruh negeri kekuasaan Islam beserta para qori’ yang telah menguasai al-Qur’an dan mendapat sanad langsung dari Rasulullah.

Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, dikirimlah beberapa qori’ untuk mengajarkan al-Qur’an di negeri-negeri Islam, salah satunya adalah Abu Darda’. Abu Darda’ merupakan salah seorang sahabat yang mendapatkan mandat untuk mengajarkan al-Qur’an di Damaskus. Di sana dia membuat halaqah yang sangat masyhur dengan jumlah murid yang mencapai 1600 orang lebih.

Metode yang digunakan oleh Abu Darda’ adalah membagi murid-muridnya ke dalam sepuluh kelompok dan menugaskan seorang instruktur pada tiap-tiap kelompok. Ia juga melakukan inspeksi keliling dalam memantau kemajuan murid-muridnya. Bagi mereka yang telah lulus tingkat dasar, dapat mengikuti bimbingan secara langsung dengan beliau agar sang murid merasa lebih terhormat mendapatkan pengajaran langsung dengan sang guru.

Metode seperti juga telah diterapkan di berbagai pesantren dengan santri baru terlebih dahulu memulai belajar al-Qur’an dengan para asaatidz sebelum belajar langsung dengan Kiai atau Bu Nyai. Hal tersebut bertujuan membentuk keefektifan dalam suatu pengajaran. Karena santri pemula akan lebih baik mendapat pengajaran yang relatif lebih lama daripada santri yang sudah mahir.

Di sisi lain, hal ini juga membentuk suatu penghormatan terhadap Kiai ataupun Bu Nyai  karena memudahkan beliau untuk mengajar apabila santri telah menguasai dasar-dasar membaca al-Qur’an. Sekian, semoga bermanfaat.

*Alma Naina Balqis, santri komplek R2

Photo by montdatarbawy.com

Sumber www.almunawwir.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *