Aforisme Ibnu Atho’illah As-Sakandari Untuk Para Hamilul Qur’an

Mengenal Ibnu Atho’illah As-Sakandari Rakhimahullah (W:709 H), tidak berlebihan apabila itu tentang sebuah masterpiece-nya yang mengumpulkan hikmah- hikmah tasawuf. Adalah al-Hikam oleh sementara kalangan thariqah pengikut Imam Abul Hasan Asy-Syadzili dijadikan sebagai pegangan dalam menempuh jalan menuju yang dicita-citakan, ma’rifatullah, Juga tidak kalah populernya karangan-karangan beliau seperti kitab Lathaiful Minan, kitab Tajul ‘Arusy, ‘Unwanu al-Taufik dan lain sebagainya. Meskipun Ibnu Athoillah sendiri notabene merupakan santri cucu dari pendiri thariqah Syadziliyah, yaitu Syaikh Abul Abbas al-Mursyi (W: 686 H) sedang Syaikh Abbul Abbas al-Mursyi santri al-Imam Abul Hasan As-Syadzili (W: 656 H), namun di sisi lain, Ibnu Athoillah juga berguru kepada Syaikh Yaqut al-Arsyi (W:707 H) yang sama-sama murid dari Syaikh Abul Abbas al-Mursyi. Rakhimahumullahu ta’ala.

Pada tulisan ini saya tidak sedang membahas keempat tokoh sufi besar di atas, tulisan ini tentang bagaimana sebaiknya para hamilul quran, Orang-orang yang waktu dan kesempatannya hanya untuk berinteraksi dengan Alquran, belajar kembali dari sebagian aforisme (kalam hikmah) Ibnu Atho’illah. Meskipun hal tersebut juga tidak lepas dari bagaimana Alquran maupun hadis secara beriringan mengungkapkan keutamaan para “penggawa Kalamullah” di satu sisi dan memberi warning tentang bahaya melalaikan Alquran di sisi yang lain.

Pelajaran pertama ialah hikmah yang paling awal yang ditulis oleh Ibnu Atho’illah.

مِنْ عَلَامَةِ الْإِعْتِمَادِ عَلى العَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلَلِ:

Diantara tanda bahwa seorang itu bersandar diri kepada kekuatan amal usahanya ialah kurangnya pengharapan (putus asa) terhadap rahmat anugerah Allah ketika ia mengalami kesalahan atau kegagalan.

            Sebenarnya hikmah ini tentang motivasi seseorang agar jangan pernah berputus asa. Dia harus berusaha sekuat tenaga serta melewati setiap jenjang agar sampai pada tujuannya. Kalau di dunia sufi, jenjang tersebut berupa syari’at, thariqoh hingga puncaknya ialah haqiqat. Kemudian apabila sudah sampai pada satu titik puncak, jangan pula merasa sedikitpun bahwa hasil tersebut merupakan murni usaha jerih payahnya seorang diri, melainkan semuanya atas kemurahan, fadl (anugerah) dari Tuhan yang maha segalanya.

Baca: Pro Kontra Lintas Mazhab Dalam Basmalah

            Begitu juga bagi teman-teman yang sedang meniti jalan menghafal Alquran, semuanya harus berawal dari belajar Alquran dari tingkat paling dasar, belajar ilmu tajwid, makharijul huruf dan sifat-sifat huruf, belajar membaca dan disetorkan oleh ahlinya, setelah itu barulah mulai untuk menghafal setiap ayat, setiap halaman dan tetap agar disetorkan kepada ahlinya. Dan dari hikmah tersebut kita belajar, apabila ia sudah mampu mengkhatamkan dengan menghafal dan dengan lisensi yang ketat, setidaknya tidak berhenti di situ, ini masih di gerbang awal, masih akan melangkah, ia juga harus memahami setiap ayat melalui tafsir, mempelajari hadis-hadis Nabi sebagai penjelas, belajar fikih, memahami ilmu-ilmu perangkat lainnya yang berhubungan dengan Alquran, hingga ia sampai pada tujuan yang haqiqi dari setiap ayat dalam Alquran.

Apabila telah melakukan tahapan demi tahapan tersebut, sadarilah bahwa itu semua merupakan fadl, anugrah yang luar biasa dari Allah. Sehingga dari situ kita tidak merasa sok alim, paling dekat dengan Allah, paling-paling yang lain, merasa bahwa dirinya sudah dianggap ahlul quran, sudah dianggap “keluarga” Allah. Semua harus dikembalikan kepada Allah, bukan malah menganggap bahwa usahanya murni dari diri sendiri, tidak ada campur tangan lainnya. Hikmah tersebut juga mengajarkan kepada penghafal Alquran dan semuanya tanpa terkecuali tentang “the ethics humility”, etika untuk merasa rendah hati bahwa selama ini yang diusahakan ialah atas pertolongan Allah, sehingga apabila dalam perjalanan mengahafal quran tersebut terdapat faktor yang menghambat tidak membuat kita patah semangat, patah hati, pesimis hingga menganggap bahwa semua usahanya sia-sia.

Pertanyaannya ialah lantas bagaimana dengan orang yang sudah berusaha mati-matian untuk mencapai tujuan hamilul quran, namun karena satu dua hal lantas ia mengurungkan himma tersebut. Dalam hal ini Ibnu Athaillah pun menawarkan satu hikmah lagi yang begitu luar biasa.

سَوَابِقُ الهِمَمِ لَا تَخْرِقُ أَسْوَارَ الْأَقْدَارِ   

Kehendak kuat yang telah kamu tetapkan lebih dulu tidak akan bisa menembus tirai-tirai takdir.

Memahami secara mendalam tentang takdir memang akan menguras banyak energi pikiran. Bahwa semua usaha keras manusia, bekerja agar sukses, belajar rajin agar pintar, istiqamah menghafal Alquran agar cepat hatam, tidak akan bisa mengubah takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Bahasa sederhananya, sekeras apapun keinginan seseorang untuk memindahkan batu dari satu tempat ke tempat lainnya, dan semua kesempatan sudah di depan mata, namun ada takdir yang berkata lain bahwa batu tersebut sama sekali tidak berpindah, maka kemampuan keras tersebut akan sia-sia, padahal hal tersebut nampak sepele. Bagaimana kemudian ada orang yang berjuang, selalu konsisten menghafal ayat per ayat, setiap hari, waktunya pun ia habiskan hanya untuk menghafal Alquran, bertahun-tahun ia berjuang dijalan konsisten, hingga pada satu titik ia mengakui bahwa takdir ternyata tidak berkehendak, apalah daya.

Namun, ini bukanlah bahasa untuk berputus asa. Sejenak memang narasi tersebut tampak seolah-olah bersifat fatalistis, menyerah kepada takdir, ketetapan Tuhan yang sudah ada. Hal tersebut tidak sepenuhnya dianggap kesalahan, karena pada dasarnya percaya dengan takdir bukan suatu alasan untuk menafikan pentingnya dimensi usaha manusia yang hubungannya dengan kausalitas, sebab akibat. Sebagai seorang yang beriman setidaknya kewajibanya hanya berusaha yang kuat untuk menghafal Alquran, adapun hasilnya tidak ada yang mengerti sebelumnya kecuali Allah sendiri, dan sekali lagi tugas manusia hanya menjemput hasil tersebut. Laiknya orang berkata “belum perang kok sudah menyerah, bagaimana itu dianggap pemenang.”. Sederhanannya begitu.

Baca: Gitu Kok Ngaku Cinta al-Qur’an?

Dalam istilah agamnya, ada takdir mubram dan takdir muallaq. Bahasa mudahnya, taqdir muallaq itu masih bisa untuk diusahakan, seseorang yang istiqamah nderes, sering muraja’ah, selalu memperhatikan hal-hal yang menyebabkan seseorang menjadi cepat hafal dan menghindari hal yang menjadikan seorang mudah lupa, maka dalam kapasitas takdir muallaq ini, kelak ia akan menemui kesuksesan, yaitu berhasil menghafal Alquran.  Akan tetapi, sekali lagi, usaha tersebut tidak akan bisa melanggar takdir mubram yang sudah dikehendaki oleh Allah yang sebelumnya tidak kita ketahui dan tidak bisa diganggu gugat. Wallahual’lam bishowab.

Lantas bagaimana Ibnu Athoillah melalui aforismenya menyikapi orang-orang pilihan yang telah dianugrahi Alquran dengan fadl-nya Allah subhanahuwata’ala. Sudah sampai pada tujuan yang dikehendaki, yaitu menghafal Alquran. Bagaimana agar ia selalu merasa tenang dengan Alquran, merasa bahagia dengan Alquran, merasa ada yang kurang apabila sehari tanpa memuraja’ah Alquran. Dan biasanya awal-awal orang pada fase ini sering sekali menunda-nunda kesempatan waktu yang ada. Merasa sudah punya mentahan mutiara. Namun, karena nggampangake, tidak lantas diolah menjadi mutiara yang lebih indah lagi, sehingga daya pakai dan harga jualnya pun tinggi. Dalam satu kesempatan Ibnu Athoillah secara implisit menyinggung hal tersebut.

اِحَالَتُكَ الأَعْمَالَ عَلى وُجُوْدِ الفَرَاغِ مِنْ رُعُوْنَاتِ النُّفُوْسِ.

Kebiasaanmu menunda pekerjaan hingga kamu mempunyai waktu longgar untuk melakukannya (di waktu lain) adalah bagian dari kotoran jiwa.

Hal tersebut tentu berimbas pada apa yang diistilahkan dengan last minuter orang yang gemar menggantungkan pekerjaannya di menit-menit terkahir. Orang ini hanya nderes, muraja’ah Alquran-nya di waktu-waktu yang menurutnya perlu. Dampak terburuknya pun selalu terburu-buru serta tidak optimal di setiap ayat-ayatnya.

Baca: KH. Said Aqil Siradj: Indonesia Lebih Toleran dari Eropa

Dan apabila ia sudah dianugrahi mampu istiqamah, konsisten, terus-menerus di setiap waktunya, setiap harinya untuk selalu berinteraksi dengan Alquran, menikmati setiap hurufnya. Maka dalam hal ini perlu adanya perawatan yang super ekstra, agar olahan mutiara tersebut tetap mutiara yang bersih, elok dipandang dan tetap menjadi perhiasan indah bagi pemiliknya. Dalam artian setiap amal ibadah harus disertai keikhlasan agar kualitas amal tersebut tidak sia-sia, hal ini sejurus dengan aforisme Ibnu Athoillah

الأَعْمَالُ صُوَرٌ قَائِمَةٌ وَأَرْوَاحُهَا وُجُوْد سِرِّ الإِخْلاَصِ فِيْهَا     

Amal-amalmu (membaca Alquran, muroja’ah dll) adalah bentuk luaran jasadnya saja. Sedang rohnya ialah adanya sir keikhlasan didalam sana.

Akhirul kalam, sebagai penutup, teringat satu hadis dalam kitab al-Tibyan fi Adabi Hamalatil Quran hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Sahabat Abi Said al-Khudri Radliyallahuanhu. Rasulullah bersabda:

يَقُوْلُ الرَّبُّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالى: مَنْ شَغَلَهُ القُرْانُ وَذِكْرِيْ عَنْ مَسْأَلَتِيْ, أَعْطَيْتُهُ أَفْضَلَ مَا أُعْطِي السَّائِلِيْنَ. وَفَضْلُ كَلَامِ اللهِ سبحانه وتعالى عَلى سَائِرِ الكَلَامِ كَفَضْلِ اللهِ تعالى عَلى سَائِرِ خَلْقِهِ.

“Allah berfirman: Barangsiapa yang sibuk membaca Alquran dan berdzikir kepada-Ku, sampai tidak sempat meminta kepada-Ku (kata Allah), maka Aku akan memberikan kepadanya sebaik-baik apa yang kuberikan kepada orang-orang yang meminta. Sedang keutamaan firman Allah Subhanahu wata’ala diantara kalam-kalam lainnya seperti keutamaan Allah atas seluruh makhluknya.”

Oleh: Muhammad Iskandar Romadhoni

Picture by turospustaka.com