Analogi Bulan Sya’ban

Apakah anda masih ingat perasaan ketika akan menerima raport sekolah? Mungkin itu saat SD, SMP, atau SMA. Masih terasa juga bagaimana segala emosi bercampur aduk tak menentu dalam pikiran. Akankah aku lulus? Akankah nilaiku bagus? Akankah aku naik kelas? berbagai pertanyaan klasik ini mungkin akan  menghiasi pikiran kita.

Hari penerimaan raport adalah hari mendebarkan. Secara mudahnya, masa depan kita bisa sedikit terlihat dari sana. Angka-angka maupun huruf-huruf yang menentukan rute perjalanan kita melanjutkan ke jenjang berikutnya, atau harus mengulang pelajaran agar mendapatkan nilai di atas batas tuntas. Maka ketika segala daya dan upaya di kerahkan, nasib juga sudah ada yang menentukan. Setelah pekan-pekan ujian dilewati, tidak heranlah ketika menjelang hari penerimaan raport, kita meningkatkan kuantitas ibadah kita. Sholat dhuha, tahajud, shadaqah, dan berbagai ibadah nafilah menghiasi hari-hari demi mendapat ridha dari Allah SWT.

Baca: Rahasia Dibalik Makna Malam Nisfu Sya’ban

Hari penerimaan raport juga hari yang dinanti-nanti. Karena setelah penerimaan raport, kita akan mendapatkan pekan-pekan liburan. Bisa dikatakan, kita belajar selama satu semester untuk menunggu waktu liburan tiba. Hal tersebut memang tak salah jika dijadikan strategi agar tidak bosan jika harus belajar sepanjang waktu.

Dari fenomena diatas penulis mencoba menganalogikan bulan Sya’ban, bulan diangkatnya amal-amal manusia selama setahun. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Rasulullah SAW: “Bulan Sya’ban itu bulan yang biasa dilupakan orang, karena letaknya antara bulan Rajab dan Ramadhan. Ia adalah bulan yang diangkat oleh Tuhan segala amal-amal. Aku ingin diangkat amalku ketika aku sedang berpuasa.” (HR. An-Nasa’i).

Rasulullah mencontohkan untuk meningkatkan intensitas ibadah pada bulan Sya’ban. Hal ini tidak lain agar Allah memandang baik segala amal-amal ibadah. Tindakan ini sering disebut juga sebagai recency effect, yakni memaksimalkan saat-saat terakhir agar menimbulkan kesan positif sehingga kesan-kesan negatif sebelumnya dapat tertutupi dengan kesan positif diakhir.  Recency effect inilah yang berusaha kita tiru dengan harapan bagusnya amal ibadah didetik-detik akhir pengangkatan catatan amal agar mampu memberi good impression (kesan yang baik) terhadap amal sebelumnya.

Karena sesungguhnya sifat dari pencatatan amal ibadah kita adalah tidak jelas (uncertainty), entah diterima atau tidak. Sifat uncertainty tersebut justru harus menjadi tambahan motivasi kita untuk beribadah lebih baik. Sama halnya ketika kita misalnya berada pada sebuah daerah yang asing, kondisi kita saat itu adalah uncertain (tidak jelas). Kondisi uncertain sama dengan kita berada di luar zona nyaman (comfort zone). Kondisi tersebut mendorong kita untuk melakukan sesuatu guna memperjelas kondisi kita dengan bertanya pada orang, pada polisi, dan sebagainya. Ketidak jelasan diterima atau tidaknya amal ibadah kita hendaknya juga mendorong kita lebih meningkatkan intensitas ibadah pada detik-detik pengangkatan catatan amal tersebut ke hadirat Allah.

Baca: Keutamaan Dan Amalan Bulan Sya’ban

Semuanya telah disusun dan dijadwal dengan sedemikian teratur oleh Allah SWT. Karena pada akhirnya, sama seperti ketika di sekolah dulu. Setelah menunggu terima raport, sekolah memberi hadiah kita berupa liburan sepekan atau dua pekan. Dan Allah SWT Maha Adil, kita juga diberi hadiah berupa bulan Ramadhan yang di dalamnya terdapat banyak ladang pelipat ganda amal.

Marhaban Yaa Syahra Ramadhan, Yaa Syahra Shiyaa.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: El Tasrih Komplek L

Picture by assets.pikiran-rakyat.com