Kita hidup di dunia yang mana di isi oleh berbagai macam manusia, mulai dari agama yang berbeda, ideologi yang berbeda, ras, suku, bahasa, paham dan lain sebagainya. Kita juga dianugerahkan akal yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Pencipta untuk bisa tetap survive ketika menjalani kehidupan, untuk berfikir bagaimana cara berkomunikasi, dan untuk melanjutkan hidup dengan sesama manusia dan juga alam. Dari situlah kita senantiasa berhubungan dengan orang lain, untuk kelangsungan hidup di dunia.
Tak jarang atau mungkin sering kita menjumpai perbedaan-perbedaan tersebut menyulut adanya perbedaan pendapat dan berujung kepada perdebatan. Setiap manusia pada dasarnya memiliki yang namanya Gharizah Baqa’ atau biasa kita sebut sebagai naluri untuk mempertahankan diri. Seringkali saat kita bertentangan dengan pihak tertentu, maka naluri tersebut akan menguasai diri. Naluri agar harga diri tidak jatuh dan menjadi lebih unggul atas orang lain.
Dikisahkan, suatu hari Ibnu Sina melakukan perjalanan dengan kuda kesayangannya. Kemudian tiba tempat yang dirasa nyaman, Ibnu Sina berhenti beristirahat. Kuda diikat ditempat yang sedikit teduh, diberi makanan jerami dicampur rumput pilihan. Ibnu Sina tahu bahwasanya binatang itu tidak boleh dimusuhi bahkan disiksa harus disayang karena membantu manusia.
Ibnu Sina duduk di tempat lebih teduh tak jauh dari kuda, sambil menikmati bekal yang dibawanya.
Tiba-tiba datang seseorang yang menunggangi keledai, ia turun dan mengikat keledainya berdekatan dengan kuda milik Ibnu Sina dengan maksud supaya keledainya bisa ikut memakan jerami dan rumput pilihan yang sudah disediakan oleh Ibnu Sina tadi. Dan orang tersebut pun duduk dekat dengan Ibnu Sina berada.
Ketika ia duduk dan ikut makan, Ibnu Sina mengingatkan :
“Jauhkan keledaimu dari kudaku supaya tidak ditendang olehnya.”
Orang yang diajak bicara itu tersenyum sambil menoleh ke kuda dan keledai.
Namun kemudian… “Plakk…!”
Si keledai ditendang kuda hingga luka cidera. Pemilik keledai marah-marah kepada Ibnu Sina dan meminta tanggung jawabnya, Ibnu Sina diam saja. Sampai kemudian si pemilik keledai mendatangi hakim dan meminta agar Ibnu Sina membayar atas luka cidera keledainya. Saat ditanya oleh hakim pun Ibnu Sina terdiam.
Hakim kemudian berkata kepada orang yang mengadu :
“Apakah ia bisu ….. ?” tanya hakim
“Tidak, tadi ia bicara padaku.” orang itu menjawab
“Apa yang ia katakan ….. ?” hakim bertanya lagi
“Jauhkan keledaimu dari kudaku supaya tidak ditendang kudaku.” orang itu kembali menjawab
Setelah mendengar jawaban itu, sang hakim tersenyum dan berkata kepada Ibnu Sina:
“Anda ternyata pintar. Cukup diam dan kebenaran terungkap.”
Sambil tersenyum Ibnu Sina berkata kepada hakim:
“Tidak ada cara lain untuk menghadapi orang bodoh selain dengan diam.”
Dari cerita Ibnu Sina di atas menjelaskan bahwasanya perdebatan yang tidak jelas ujung-pangkalnya kita akan kehilangan banyak hal diantaranya adalah waktu yang berharga, energi, emosi dan lain sebagainya. Yang tak kalah penting adalah orang lain akan menilai kita dengan bagaimana kita sendiri. “Apabila orang bodoh mengajak berdebat denganmu, maka sikap yang terbaik adalah diam.” Namun berdebat tidak lah terlarang secara mutlak, karena terkadang untuk meluruskan sebuah syubhat memang harus dilalui dengan berdebat. Dan debat itu terkadang terpuji, terkadang tercela, terkadang membawa mafsadat (kerusakan), dan terkadang membawa mashlahat (kebaikan), terkadang merupakan sesuatu yang haq dan terkadang merupakan sesuatu yang bathil.
Oleh : Tim Redaksi
Picture by bincangsyariah.com