Frasa ‘mau ke belakang’ dan frasa ‘mau buang hajat’ adalah frasa yang dinilai sopan untuk mengatakan ‘mau bab’. Tidak tahu secara pasti mengapa kata ‘belakang’ bisa merepresentasikan maksud hati pergi ke WC, selain dugaan sementara bahwa itu karena jalan keluar air besar berada di belakang.
Hajat ditafsirkan oleh KBBI sebagai: 1) maksud, keinginan, kehendak; 2) kebutuhan atau keperluan; 3) selamatan; dan 4) kotoran atau tinja. Artinya, ‘kotoran’ atau ‘tinja’ sebagai arti kata hajat adalah opsi makna terakhir. Dengan kata lain, kata tersebut jarang digunakan. Karena aslinya dari bahasa Arab, kata hajat (al-hajah) yang diasalkan kepada kata al-hawju berarti as-salamah (keselamatan). Oleh orang Jawa dirumuskan dalam kegiatan selametan yang seringkali di Indonesiakan dengan ‘hajatan’. Sama dengan arti ketiga kata hajat dalam KBBI di atas. Korelasi keduanya jelas, orientasi buang hajat dan selametan satu: selamat dalam hidup.
Selamat dalam hidup? Ya. Mengeluarkan kotoran berarti mengeluarkan penyakit dan meraih keselamatan; dan orientasi orang tua membuat selametan untuk anaknya ialah berharap keselamatan untuk anaknya. Pemaknaan ini dilihat dari aspek leksikal. Sedangkan dari aspek pemakaian kata, kata hajat menurut dua literatur Arab. Pertama, dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfadz at-Taqrib karya Muhammad ibn Qasim al-Ghazziy. Kedua, dalam kitab al-Hikam karya Ahmad ibn Muhammad ibn Abdul Karim ibn ‘Atha’illah as-Sakandariy, kumpulan kata-kata mutiara sugistik yang dikomentari oleh ibn ‘Ibad an-Nafaziy ar-Ranadiy.
Baca: Uchiha Itachi Terinspirasi Dari Kitab Ulama Abad Ke-16
Fiqih-secara sederhana dapat kita sebut sebagai serangkaian tata cara mengatur jasmani kita, sedangkan Tasawwuf juga secara sederhana dapat kita kategorikan sebagai serangkaian tata cara menata rohani kita. Jika kita memahami orientasi masing-masing dari dua disiplin ini, kita dapat menghindar dari persepsi umum yang menyatakan dua ilmu yang bersebrangan. Kata hajat dalam literatur pertama digunakan untuk merepsentasikan makna ‘bab’, dan dalam literatur kedua digunakan untuk mewakili makna ‘hakikat kehambaan’. Hal ini mengindikasikan bahwa bab dan hakikat kehambaan bersatu dalam dua sudut pandang yang berbeda.
Dalam literatur pertama disebutkan “demi tata krama, seorang qadli al-hajjat dianjur menghindari kencing dan bab di air diam dan dibawah pohon berbuah.” Di sini kata hajat merangkum dua kebutuhan esensial; kebutuhan untuk kencing dan kebutuhan untuk bab. Ya, kencing dan bab dengan segala sistemnya. Sementara itu dalam literatur kedua disebutkan “janganlah engkau adukan kepada selain Nya suatu hajat yang mana dialah pembuatnya untukmu. Sebab bagaimana mungkin selain Nya akan menuntaskan suatu hajat yang Dia sendirilah peletaknya?! Siapapun yang tiada mampu menuntaskan hajatnya sendiri, maka bagaimana mungkin ia akan menuntaskan hajat (orang) lain?!”
Ketika hajat datang kepada kita, di manakah tempat yang tepat untuk kita mengadu? Kalau hajat itu berupa kencing dan bab jelas kita akan pilih wc kalau ada tempat yang sepi atau kita anggap sepi dimana hanya aku dan hajat ku. Dahulu tempat semacam itu di Arab disebut al-Khala secara leksikal al-khala berarti tempat sepi. Jika hajat itu bersifat rohani kita punya tempat bernama al-khalwat yangs ering dipahami sebagai tempat aktifitas menyendiri tempat dimana hanya ada aku dan hajat ku. Di perbendaharaan Jawa kita punya semedi suatu aktifitas kontemplatif yang melibatkan hati, pikiran dan integritas keduanya guna menuntaskan hajat. Dalam aktifitas ini kita dipanggil Allah dengan qadliyal hajat, seperti halnya literatur pertama memanggil orang yang hendak bab dan atau kencing dengan qadli hajah.
Percaya atau tidak kata al-khala’ dan al-khalwat ternyata satu akar kata, sama-sama berasal dari huruf Kha’-lam-wawu. Wc (al-khala’) dan semedi (al-khalwat) terhubung secara morfologis. Mungkin ini kebetulan saja, tapi suatu kebetulan adalah bahasa lain keterbatasan wawasan dan pengetahuan teknologi manusia. Dan yang mengherankan ialah bahwa penghubung paling elementer dua hal itu adalah hajat. Ia menghubungkan secara tak kasat mata wilayah yang begitu jorok dengan wilayah yang begitu indah. Maka tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa hajat merupakan jaringan tanpa kabel tercanggih yang dapat menghubungkan yang najis dan yang suci.
Baca: Opini Tentang Perempuan
Dari hajat lahir al-khala’, al-khalwat dan baru kemudian agama. Setiap orang punya hajat nya masing-masing, hanya saja yang perlu dipertimbangkan ialah dimana ia akan menuntaskannya. Sebab wc dan semedi berbeda secara operasional namun sama secara substansial yaitu wc tempat buangan kotoran jasmani sementara semedi tempat buangan kotoran rohani.
Oleh: Tim Redaksi
Sumber: Buku Islam Musiman
Picture by i.ytimg.com