Waliyullah Gemar Zina Dan Mabuk

Cerita ini diambil dari buku harian Sultan Murad IV Sultan Turki Utsmani, memerintah sekitar Sep 1623 – Feb 1640. Di dalam buku hariannya itu diceritakan bahwa suatu malam sang Sultan Murad merasa sangat gelisah dan resah, ia ingin tahu apa penyebabnya. Maka ia pun memanggil kepala pengawalnya dan mengatakan bahwa ia akan pergi keluar dari istana dengan menyamar sebagai rakyat biasa. Sesuatu yang memang biasa beliau lakukan.


Sultan Murad berkata: “Mari kita keluar, kita blusukan melihat keadaan rakyatku”.


Mereka pun pergi, udara saat itu sangat panas. Tiba- tiba, mereka menemukan seorang laki-laki tergeletak di atas tanah. Maka Disentuh lelaki itu dan dibangunkan oleh Sultan Murad, ternyata lelaki itu telah wafat. Orang-orang yang lewat di sekitarnya tidak ada yang peduli dengan Keadaan mayat lelaki tersebut. Maka Sultan Murad yang saat itu menyamar sebagai rakyat biasa, Memanggil mereka yang saat itu lewat.

Baca: Musibah, Muhasabah, dan Mahabbah

Kemudian mereka bertanya kepada sultan: “Ada apa? Apa yang kau inginkan?”.


Sultan menjawab: “Mengapa orang ini wafat tapi tidak ada satu pun diantara kalian yang mengurus dan membawa kerumahnya? Siapa dia? Dan dimana keluarganya?”


Mereka berkata: “Orang ini Zindiq, pelaku maksiat, dia selalu minum khamar (mabuk-mabukan) dan selalu berzina  dengan pelacur”.

Sultan menjawab: “Tapi . . bukankah ia juga Umat Rasulullah Muhammad SAW? Ayo angkat dia, kita bawa ke rumahnya”.

Maka Mereka mereka pun membawa jenazah laki-laki itu ke rumahnya. Ketika sampai di rumahnya, saat istri lelaki tersebut mengetahui suaminya telah wafat, ia pun sedih dan menangis. Tapi orang-orang langsung pada pergi semua, hanya sang Sultan dan kepala pengawalnya yang masih tinggal dirumah lelaki itu. Kemudian Sang Sultan bertanya kepada istri laki-laki itu:


“Aku mendengar dari orang-orang disini, mereka berkata bahwa suamimu itu dikenal suka melakukan kemaksiatan ini dan itu, hingga mereka tidak peduli akan kematiannya, benarkah kabar itu”.?

Maka Sang istri menjawab: “Awalnya aku menduga seperti itu tuan. Suamiku setiap malam keluar rumah pergi ke toko minuman keras (khamar), kemudian membeli sesuai kemampuannya. Ia bawa khamar itu ke rumah, kemudian membuangnya ke dalam toilet, sambil berkata: “Alhamdulillah Aku telah meringankan dosa kaum muslimin”.


Suamiku juga selalu pergi ke tempat pelacuran, memberi mereka uang dan berkata kepada Sipelacur:

“Malam ini merupakan jatah waktuku, jadi tutup pintumu sampai pagi, jangan kau terima tamu lain!”.

Kemudian ia pulang ke rumah, dan berkata kepadaku:


“Alhamdulillah, malam ini aku telah meringankan dosa pemuda-pemuda Islam”.

Tapi, orang-orang yang melihatnya mengira bahwa ia selalu minum-minuman keras (khamar) dan melakukan perzinahan. Dan berita ini pun menyebar di masyarakat. Sampai akhirnya suatu kali aku pernah berkata kepada suamiku:

“Kalau nanti kamu mati, maka tidak akan ada kaum muslimin yang akan memandikan jenazahmu, dan tidak ada yang akan mensholatimu, tidak ada pula yang akan menguburkanmu”.


Ia hanya tertawa, dan menjawab: “Janganlah takut wahai istriku, jika aku mati, aku akan disholati oleh Sultannya kaum muslimin, oleh para Ulama dan para Auliya Allah”.


Maka, Sultan Murad pun menangis, dan berkata: “Benar apa yang dikatakannya, Demi Allah, akulah Sultan Murad Itu, dan besok pagi kita akan memandikan suamimu, mensholatinya dan menguburkannya bersama-sama masyarakat dan para ulama”.


Akhirnya jenazah laki-laki itu besoknya dihadiri oleh Sultan Murad, dan para ulama, para syeikh dan juga seluruh warga masyarakat.

Baca: Merasa Lebih Mulia Dari Anjing?


Terkadang kita suka menilai orang dari apa yang kita lihat dan kita dengar dari omongan orang orang. Andai saja kita mengetahui apa yang tersembunyi di dalam hati seseorang, niscaya pasti kita akan menjaga lisan kita dari membicarakan orang lain.”

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Buku harian Sultan Murad IV 

Picture by reportasependidikan.com

Kisah Uwais Al-Qarni dan Seorang Rahib yang Bijak

Suatu hari Uwais Al-Qarni dalam sebuah perjalanan melewati sebuah kampung. Di dalamnya ia menemukan seorang rahib tua yang pembawaannya begitu tenang dan bicara teratur. Uwais Al-Qarni tidak melewatkan kesempatan baik tersebut.

Ia bertanya kepada rahib tersebut soal anak tangga pertama yang harus dipijak oleh seorang yang menapaki jalan ibadah. Uwais Al-Qarni benar-benar ingin mengetahui pandangan rahib tua dan bijaksana tersebut. “Apakah derajat pertama yang akan ditempati seorang murid (orang yang ingin bersuluk)?” Rahib itu menjawab, “mengembalikan hak orang yang dizalimi dan meringankan punggung dari hak-hak orang lain karena amal seorang hamba tidak akan naik ke langit selagi ia masih memiliki tanggungan hak orang lain atau hak orang orang yang terzalimi.”

Uwais Al-Qarni adalah pemuda saleh yang tinggal di Yaman. Ia pernah menempuh perjalanan dari Yaman menuju Madinah untuk menemui Rasulullah SAW. Tetapi Rasulullah sedang keluar kota untuk suatu kepentingan yang entah sampai kapan kembali pulang. Uwais Al-Qarni terpaksa meninggalkan Kota Madinah untuk menuju kampong halaman tanpa sempat bertemu dengan Rasulullah SAW. Uwais tidak bisa berlama-lama di Madinah karena ibunya yang sudah tua sedang sakit di Yaman dan berpesan kepada untuk tidak berlama-lama keluar kota. *** Kisah pertemuan Uwais Al-Qarni dan rahib yang bijak dikisahkan oleh Syekh Nawawi Banten dalam Kitab Nashaihul Ibad, (Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun), halaman 4. Kisah ini diangkat terkait hadits keimanan kepada Allah dan keutamaan memberikan manfaat kepada orang lain.

Dari riwayat ini berbagai hadits terkait, Syekh Nawawi Banten menyimpulkan, “Inti semua perintah Allah berpulang pada dua hal, ketakziman kepada Allah dan kasih sayang terhadap makhluk-Nya.” Wallahu a‘lam.

Photo by islam.nu.or.id

Sumber islam.nu.or.id