Hisab Dunia Meringankan Hisab Akhirat

Al-hisab secara bahasa berarti al-‘addu wa al-muhâsabatu yang artinya hitungan, perhitungan (Kamus Al-Bisyri, hal. 113). Kata hisab dapat dipahami sebagai usaha menghitung-hitung amaliah negatif diri. Sebagaimana pasien yang menginginkan dirinya sehat maka ia akan datang ke dokter untuk memeriksakan dirinya. Setelah dilakukan diagnosa dan ditemukan salah satu jenis penyakit maka dokter akan segera mengambil tindakan pengobatan.

Konsistensi hisab memungkinkan pelakunya semakin menyadari kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat. Dan diharapkan tidak akan kembali mengulanginya di masa-masa yang akan datang. Setiap hembusan dan tarikan napas, setiap gerak dan diam, setiap ucapan dan perbuatan, akan disaksikan kembali di hari perhitungan (yaum al-hisab). Bahkan seluruh anggota badan akan bersaksi dan menjawab segala pertanyaan malaikat.

Amirul mukminin Umar Ibn al-Khattab mengingatkan, 

حَاسِبُوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا 

Hitunglah (amal) diri kalian semua sebelum kalian semua dihisab.

Dijelaskan dalam kitab ihya, barangsiapa menghitung-hitung amaliah dirinya sebelum dihisab, akan diringankan hisabnya di hari kiamat, dimudahkan dalam menjawab pertanyaan (malaikat), dan akan menempati tempat terbaik (Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha Dimyati, Kifayatul Atqiya, Indonesia: Daru Ihya, hal. 16). Terang saja jika hisab di dunia akan menjadi sebab ringannya hisab di akhirat. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa dengan senantiasa melakukan muhasabah diri, seseorang dapat menyadari kesalahan, dan tidak akan mengulangi kesalahannya untuk yang kedua kali. Artinya semakin mendekati kematian semakin baik pula kualitas hidup. Senantiasa meningkatkan keimanan, ketakwaan dan amal shaleh dalam mempersiapkan kehidupan mendatang (akhirat).

Baca: KH. Said Aqil Siradj: Indonesia Lebih Toleran dari Eropa

Meyakini adanya hari perhitungan amal merupakan bagian dari ciri orang bertakwa. Sebagaimana dijelaskan pada ayat 2-3 surah al-Baqarah,

 ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (٢) الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (٣

Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka (QS. Al-Baqarah[2]: 2-3).  Kata يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ oleh Syekh Nawawi dalam Tafsir al-Munir diartikan dengan,

 يصدقون بما غاب عنهم من الجنة والنار والصراط والميزان والبعث والحساب وغير ذلك 

Orang-orang yang membenarkan adanya perkara ghaib, diantaranya surga, neraka, shirat, timbangan amal, kebangkitan dari alam kubur, perhitungan amal dan sebagainya (Syekh Nawawi, Tafsir al-Munir, Surabaya: Dar al-‘Ilmi, hal. 4, juz 1). Keyakinan yang kuat adanya yang ghaib akan menambah kewaspadaan manusia dalam menjalani kehidupan di dunia.

Baca: Aforisme Ibnu Atho’illah As-Sakandari Untuk Para Hamilul Qur’an

Tidak bisa dibayangkan berapa banyak ucapan, perbuatan, gerak juga diamnya manusia dalam sehari-semalam. Dari sejumlah tersebut berapa banyak yang bernilai baik dan berapa banyak bernilai buruk.  Maka Syekh Syatha Dimyati menambahkan dalam Kifayatul Atqiya,  

يجب عليك ان تقي المتاب أيضا بحفظ الأعضاء السبعة فيجب عليكحفظ العين عن النظر الى الحرام حفظ اللسان من الكذب والإستهزاء بالمسلم 

“Wajib atas kamu menjaga tobat, dengan menjaga anggota badan yang tujuh. Wajib menjaga mata dari melihat hal-hal yang diharamkan, menjaga lidah dari berbohong dan menyakiti Muslim lainnya” (Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha Dimyati, Kifayatul Atqiya, Indonesia: Daru Ihya, hal. 17).

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: islam.nu.or.id

Picture by sambalabcde.blogspot.com