Ibadah Tanpa Riya’

             Kata riya sendiri berasal dari kata ru’  dan yah, artinya “melihat” ini karena pelakunya merasakan keinginan buruk di hatinya yaitu orang lain harus melihat amal baiknya. Ada seorang yang mengerjakan amal baik denganmaksud agar Allah memberikan anugerah sejumlah ke-untungan duniawi sehingga ia tak perlu meminta-minta pada orang lain dan bisa mengabdikan dirinya untuk beribadah dengan khusyu.

Bila dengan suatu amal baik kita berharap mendapat keuntungan duniawi sebagai bekal agar menjalankan ibadah dengan khusyu maka itu tidak termasuk riya’. Tapi harus diingat bahwa keuntungan duniawi itu hanya digunakan untuk kepentingan akhiratmu saja bukan untuk kebutuhan dunia. Jika kondisinya demikian maka bukanlah riya’ untuk memperoleh keuntungan dari amal baiknya itu. Sebuah niat bukanlah riya’.

Sebuah keinginan untuk memperoleh kebaikan bukan termasuk riya’, demikian pula jika engkau menginginkan dihormati oleh manusia atau dicintai ulama dan para pemimpin dimana tujuanmu supaya dapat memperkuat madzhab pendukung kebenaran atau untuk menolak ahli bid’ah atau untuk menyebarkan ilmu, atau menganjurkan manusia untuk beribadah dan semacamnya, bukan bermaksud mencari kemuliaan pribadi atau dunia. Itu semua adalah keinginan yang terpuji, tidak satupun diantara perbuatan itu yang masuk kategori  riya’, sebab pada hakikatnya itu menyangkut masalah akhirat.

Kita mungkin bertanya: Bagaimana halnya dengan seorang hamba yang beramal lebih karena keinginan untuk mendapatkan keuntungan di dunia dan di akhirat dari Allah bukan demi mendapatkan  ridha Allah? Dan hamba itu juga tidak mengharapkan mendapat keuntungan dunia atau pujian dari manusia lain. Apakah itu juga termasuk perbuatan riya’? Jawaban dari pertanyaan itu sudah jelas bahwa perbuatan seorang hamba itu murni riya’.

Para ulama telah berkata bahwasanya yang dipandang dalam riya’ itu adalah tujuannya bukan apa yang diinginkannya. Jika tujuan amal baiknya itu untuk mendapatkan keuntungan dunia itu adalah riya’ baik kita menginginkan hal itu dari Allah atau dari manusia.

Bagaimana dengan kebiasaan membaca surah al-Waqi’ah saat mengalami kesulitan rezeki, bukankan itu dimaksudkan agar Allah melepaskan mereka dari kesulitan tersebut dan menganugerahi mereka kemampuan agar bisa beribadah dengan tenang? Bagaimana bisa dibenarkan kalau kita menghendaki kesenangan dunia dengan amalan akhirat? Yang dimaksud dengan kebiasaan tersebut yakni agar Allah memberi rasa qana’ah yakni rezeki yang cukup menjadi bekal dalam beribadah kepada-Nya dan agar kuat dalam menuntut ilmu. Dan ini termasuk dari keinginan-keinginan yang baik bukankeinginan dunia.

Riya’ itu sendiri ada dua macam, yakni riya’ murni dan riya’ campuran. Riya’ yang murni adalah jika kita menginginkan manfaat dunia tidak lain. Sedangkan riya campuran adalah kita mengingnkan keduanya secara bersamaan antara manfaat dunia dan manfaat akhirat. Perbuatan buruk berupa riya itu menjadikan amal seseorang tak layak untuk diterima oleh Allah. Dan tidaklah benar kalau sampai diukur dengan setengah atau seperempat pahala akan hilang. Semoga kita semua diajuhkan dari perbuatan riya’ dan tetap dalam lindungan Allah Swt.

Antara Ilmu Dan Ibadah, Mana Yang Lebih Utama?

Ilmu dan ibadah sebagai pokok karena dengan keduanya kita bisa membaca dan mendengar baik berupa tulisan, pengajaran oleh para guru, nasihat-nasihat maupun penelitian oleh peneliti. Bahkan karena ilmu dan ibadah tersebut kitab-kitab suci telah diturunkan kepada para Rasul dan diciptakannya langit serta bumi berikut segala apa yang ada diantara keduanya. Jadi, diagungkannya kedua perkara tersebut (ilmu dan ibadah) adalah karena keduanya merupakan tujuan diciptakannya dunia dan akhirat. Maka, seorang hamba hendaknya tidak menyibukkan diri kecuali dengan kedua hal tersebut dan ketahuilah bahwa perkara-perkara selain keduanya adalah menipu dan tidak ada kebaikan di dalamnya hanya senda gurau yang tidak ada hasilnya.

Perlu diketahui bahwa ilmu itu pada intinya lebih mulia dari sekedar ibadah tanpa ilmu, akan tetapi disamping mempelajari dan mengetahui ilmu seorang hamba harus pula melakukan ibadah. Sebab ilmu itu bagaikan sebuah batang pohon, sedangkan ibadah bagai buahnya, sebuah pohon tanpa buah tidak bermanfaat. Kemuliaan memang milik pohonnya karena ia yang menjadi asal dari buahnya, akan tetapi kita mendapat manfaat dari pohon itu dengan merasakan buahnya. Oleh karena itu seorang hamba harusnya memiliki keduanya yakni ilmu dan ibadah.

Imam Hasan al-Bashi pernah berkata:

“Tuntutlah ilmu tanpa melalaikan ibadah dan taatlah beribadah tanpa lupa menuntut ilmu.”

Ada dua alasan mengapa ilmu harus didahulukan daripada ibadah. Yang pertama ialah supaya ibadah itu dapat dipraktekkan secara benar, untuk itu seorang hamba atau ahli ibadah wajib memiliki pengetahuan yang cukup tentang Dzat yang harus mereka sembah baru kemudian menyembah-Nya. Apa jadinya bila menyembah sesuatu yang tidak diketahui nama dan sifat-sifat Dzat-Nya? Jika itu terjadi maka ibadahmu hanya akan menjadi sia-sia dan tidak berguna. Sebab, mungkin saja seorang hamba melakukan sesuatu dalam ibadah selama bertahun-tahun yang merusak wudhu dan akibatnya juga bisa merusak shalat atau mungkin juga melakukan wudhu dan shalat yang tidak sesuai dengan sunnah dan semua itu terjadi tanpa disadari.

Demikian pula ketika kita mengadukan kesedihan, derita, ketidaksabaran dan ketidaksenangan yang kita alami kepada Allah, dimana kita mengira hal itu merupakan sebagai bagian dari usaha untuk merendahkan diri dan memohon belas kasihan kepada Allah. Padahal kita melakukannya dengan riya’, kita mungkin menyerukan manusia pada kebaikan supaya berbuat benar tapi kita tetap melakukan dosa dan yakin dosanya itu akan dihapuskan oleh Allah karena kita telah menyerukan orang-orang untuk berbuat baik. Ini merupakan salah satu tipu muslihat syetan dan telah salah memahami dan bersikap sembrono. Konsekuensi buruk itu harus diterima oleh orang-orang yang beramal tanpa disadari ilmu tentang amalnya.

Dan alasan yang kedua yang menyebabkan ilmu lebih didahulukan karena ilmu yang bermanfaat itu membuahkan perasaan takut kepada Allah dan segan terhadap-Nya. Orang yang tidak mengenal Allah secara benar, tidak akan segan, hormat dan takut kepada-Nya. Maka dengan ilmu itu seorang hamba mengetahui dan mengenal-Nya, mengagungkan-Nya dan segan terhadap-Nya. Ilmu itu membuahkan ketaatan secara keseluruhan dan membendung kemaksiatan seluruhnya, oleh karena itu hendaknya kita semua mencari ilmu tersebut. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita semua bimbingan sebelum segala sesuatunya menyibukan kita semua.

Oleh: Taufik ilham

Sumber : Kitab Minhajul Abidin

Pictur by googleusercontent.com