Sejarah Pedukuhan Krapyak-Panggungharjo

Desa Panggungharjo merupakan gabungan dari tiga kelurahan yakni Kelurahan Cabeyan, Kelurahan Prancak dan Kelurahan Krapyak.

Keberadaan Desa Panggungharjo tidak bisa dipisahkan dari keberadaan “Panggung Krapyak” atau oleh masyarakat sekitar disebut sebagai “Kandang Menjangan”, yang berada di Pedukuhan Krapyak Kulon, Desa Panggungharjo.

Sebagaimana diketahui, bahwa Panggung Krapyak merupakan salah satu elemen dari ‘sumbu imajiner’ yang membelah Kota Yogyakarta, yaitu garis Gunung Merapi – Tugu Pal Putih – Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat – Panggung Krapyak dan Parangkusumo yang berada di pantai selatan.

Sedangkan berdasarkan bukti sejarah, Desa Panggungharjo sendiri dibentuk berdasarkan maklumat nomor 7, 14, 15, 16, 17 dan 18 monarki Yogyakarta tahun 1946 yang mengatur tentang tata kalurahan di kala itu. Dari maklumat tersebut, kemudian ditetapkan tanggal hari jadi Desa Panggungharjo yang jatuh pada 24 Desember tahun 1946. Setelah adanya maklumat tersebut, kemudian dikuatkan kembali dengan Maklumat Nomor 5 Tahun 1948 Pemerintah Daerah Istimewa Negara Republik Indonesia Yogyakarta tentang Hal Perubahan Daerah-daerah Kalurahan dan Nama-namanya.

Dalam salah satu isian maklumat tersebut menyatakan bahwa dilakukan penggabungan dari tiga kalurahan, yaitu Kalurahan Cabeyan, Prancak dan Krapyak menjadi kalurahan baru yang disebut Kalurahan Panggungharjo.

Sumber foto: www.panggungharjo.desa.id

Berdasarkan fakta dan bukti sejarah, akar budaya di Desa Panggungharjo tumbuh dan berkembang berhubungan erat dan dipengaruhi oleh komunitas dan intervensi budaya yang berkembang pada masanya, yaitu :

  1. Pada abad ke 9-10 Desa Panggungharjo adalah merupakan kawasan agraris, hal ini dibuktikan dengan adanya Situs Yoni Karang Gede di Pedukuhan Ngireng-Ireng. Sehingga dari budaya agraris ini muncul budaya seperti: Gejok Lesung, Thek-thek/Kothek-an, Upacara Merti Dusun, Upacara Wiwitan, Tingkep Tandur, dan budaya-budaya lain yang sifatnya adalah merupakan pengormatan kepada alam yang telah menumbuhkan makanan sehingga bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan umat manusia.
  2. Pada abad ke 16 di wilayah Krapyak Kulon dan Glugo adalah merupakan kawasan wisata berburu (Pangeran Sedo Krapyak – 1613), sedangkan pada Abad ke-17 kawasan ini merupakan sebagai tempat olahraga memanah kijang/menjangan dan sebagai tempat pertahanan (Sultan HB I – Panggung Krapyak 1760). Budaya yang dibawa dari intervensi keberadaan Keraton Mataram sebagai pusat budaya sehingga menumbuhkan budaya adiluhung seperti: Panembromo, Karawitan, Mocopat, Wayang, Ketoprak, Kerajinan Tatah Sungging, Kerajinan Blangkon, Kerajinan Tenun Lurik, Batik, Industri Gamelan, Tari-tarian Klasik, dan lain-lain.
  3. Pada tahun 1911 di wilayah Krapyak Kulon didirikan Pondok Pesantren Al Munawwir, sehingga berkembang budaya seperti : Sholawatan, Dzibaan, Qosidah, Hadroh, Rodad, Marawis, dan juga budaya-budaya yang melekat pada kegiatan peribadatan seperti: Syuran (peringatan 1 Muharram), Mauludan (peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW), Rejeban (peringatan Isro’ Mi’roj), Ruwahan/Nyadran (mengirim doa untuk leluhur menjelang Bulan Ramadhan), Selikuran (Nuzulul Qur’an), dan lain-lain.
  4. Sekitar tahun 1900-1930 berkembanglah budaya yang tumbuh dan berkembang karena adanya kebutuhan bersosialisasi dimasyarakat, sehingga berkembanglah bermacam-macam dolanan anak seperti: Egrang, Gobak Sodor, Benthik, Neker-an, Umbul, Ulur/layangan, Wil-wo, dan lain-lain. Bahkan di kampung Pandes berkembang sebuah komunitas “Kampung Dolanan” yang memproduksi permainan anak tempo doeloe, seperti: Othok-Othok, Kitiran, Angkrek, Keseran, Wayang Kertas, dan lain-lain
  5. Pada Tahun 1980 di desa Panggungharjo yang merupakan wilayah sub-urban mulai berkembang Budaya Modern Perkotaan dan banyak mempengaruhi Generasi Muda, sehingga berkembanglah kesenian Band, Drumband, Karnaval Takbiran, Tari-tarian Modern, Campur Sari, Outbond, Playstation/Game Rental, dan lain-lain.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: panggungharjo.desa.id

Dibalik Cerita Panggung Krapyak

Panggung Krapyak tak bisa dilepaskan keberadaannya dari Kraton Yogyakarta, baik dalam tinjauan makro urban, maupun dalam tinjauan makrokosmos sebagai bentuk poros imajiner kota, bangunan ini selesai dibangun tahun 1788, merupakan  rangkaian bangunan paling akhir yang didirikan oleh raja yang berkuasa saat itu Sultan Hamengkubuwana I atau dikenal sebagai Pangeran Mangkubumi. Bangunan Panggung Krapyak pada awalnya dimaksudkan sebagai tempat panggung tempat sultan dan keluarganya beristirahat dan mengawasi anggota keluarganya berburu rusa, Panggung Krapyak merupakan bangunan yang terdiri dari dua lantai, terbagi dalam 9 segmen dan mempunyai pintu ke 4 arah mata angin.

Struktur atau susunan kota Yogyakarta pada dasarnya terkait erat dengan keberadaan Kraton Yogya yang mulai eksis sejak adanya Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, mulai saat itu Sultan Hamengkubuwana I mendirikan kraton dengan berbagai macam sarana dan prasarana untuk mewadahi berbagai aktivitas kerajaan. Para Sultan penerusnya juga melakukan pengembangan sarana dan lingkungan sesuai konteks jamannya. Lingkungan binaan yang dibuat untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan hidup dan mewadahi berbagai aktivitas, baik melakukan kegiatan sosial, budaya, usaha, dan tempat tinggal. Kelengkapan fisik, sarana, prasarana, estetik, etik, simbol dan filosofis-religius eksistensinya mempunyai koherensi dengan berbagai rancangan sebagaimana fungsi dan maknanya.

Pada zaman dahulu, daerah tempat Panggung Krapyak masih berupa hutan yang dinamakan Hutan Krapyak. Oleh karena itu, tempat ini digunakan sebagai sebuah tempat perburuan karena terletak di dekat hutan. Selain itu, bangunan ini digunakan sebagai tempat pertahanan dari binatang buas di Hutan Krapyak agar tidak sampai ke keraton.

Panggung Krapyak berbentuk menyerupai kotak ini memiliki ukuran luas 17,6 m x 15 m dan tinggi 10 m. Arsitektur bangunannya cukup unik. Setiap sisi bangunan memiliki sebuah pintu dan dua buah jendela. Pintu dan jendela ditutup dengan pagar besi yang tidak rapat sehingga bagian dalam bisa terlihat dari luar. Bagian bawah pintu dan jendela berbentuk persegi tetapi bagian atasnya melengkung, seperti rancangan pintu dan jendela di masjid. Bangunan ini terdiri dari dua lantai. Pada lantai atas berupa ruangan terbuka yang cukup luas dan dibatasi pagar dengan ketinggian sedang.

Bentuk tata kota yang vertikal dari selatan ke utara melambangkan hubungan manusia kepada Sang Pencipta. Laut Selatan yang merupakan titik terendah dan Gunung Merapi yang lebih tinggi melambangkan sikap manusia yang semakin dekat dengan Sang Pencipta seiring berjalannya waktu.

Baca: LIBERALISASI PEMIKIRAN NU

Bagian garis dari Panggung Krapyak ke Tugu Pal Putih dari selatan ke utara merupakan perjalanan Sangkaning Dumadi yakni proses perjalanan manusia menuju eksistensi. Diawali dengan pertemuan antara wiji (benih) yang merupakan proses terjadinya manusia (dumadi) dilambangkan oleh Panggung Krapyak yang berupa bentuk yoni dan bentuk Tugu Pal Putih yang berupa bentuk lingga. Dari hal itu, maka lahirlah manusia yang tumbuh dan berkembang hingga menjadi dewasa.

Sementara itu, garis dari utara ke selatan bermakna perjalanan manusia kembali ke Sang Penguasa yakni Paraning Dumadi. Keraton yang berada di tengah melambangkan manusia yang telah mapan dan dewasa. Pada akhirnya manusia akan mati dan kekal di akhirat yang dilambangkan Lampu Kyai Wiji di Gedhong Prabayeksa Keraton yang tak pernah padam sejak zaman Sultan Hamengkubuwana I.

Sumber gambar: kebudayaan.kemdikbud.go.i

Penduduk di sekitar Panggung Krapyak dan para peneliti berasumsi bahwa dahulu pada abad ke-18 Masehi, bangunan ini dikelilingi oleh pagar berupa tembok. Sisa-sisa struktur tembok tersebut berada di sisi selatan dan barat Panggung Krapyak. sayangnya, struktur tersebut tidak dapat dilihat karena tertutup warung dan rumah warga. Selain struktur tembok, ditemukan juga sumur dan sisa-sisa kolam yang masih berasosiasi dengan Bangunan Panggung Krapyak ini.

Baca: Sebuah Kisah Habib Quraisy Bin Qosim Cirebon

Kawasan Panggung Krapyak berjakar sekitar 2 kilo meter dari alun-alun selatan yogyakarta, berada di sekitarnya adalah Jalan Jogokaryan, Jalan mangukuyudan serta Jalan Tirtodipuran. Sosial ekonomi penduduk sekitar kawasan Krapyak didominasi oleh Industri Jasa Guest House, Kafe, serta rumah pondokan. Mata pencaharian penduduknya disamping dari produk jasa diatas, juga dari sektor informal (warung makan, toko kelontong) juga dikenal sebagai pusat industri batik (tulis/ cetak) melengkapi kawasan Jalan Prawirotaman yang sudah terlebih dahulu dikenal khalayak.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id, id.wikipedia.org, dosen.univpancasila.ac.id

Picture by correcto.id