Mengenal Karya Mama Sempur Idhahul-Karathaniyyah: Tentang Kesesatan Wahabi

Kajian kitab mengenai kesesatan kaum Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1701-1793 M) tidak sedikit ulama yang telah membahasnya dalam pelbagai karangan meraka, pun ulama yang ada di Nusantara. Salah satu ulama yang menaruh perhatian akan bahayanya ajaran Wahabi ialah KH. Tb (Tubagus) Ahmad Bakri bin KH. Tb. Sayida atau yang akrab dipanggil Mama Sempur (1839-1975 M).

Kakeknya bernama Kiai Tb. Hasan Arsyad ialah seorang Qadhi Kerajaan Banten, ia memiliki seorang putra yang kelak akan menggantikan dirinya sebagai penerus Qadhi di Banten yaitu Kiai Tb. Sayida. Namun karena Kiai Sayida enggan meneruskan tongkat kepemimpinan tersebut, akhirnya dengan berbagai pertimbangan beliau memutuskan untuk meninggalkan Banten.

Dari perjalanan itu, Kiai Sayida sampai di suatu daerah yang bernama Citeko, Plered, Purwakarta. Di sinilah beliau bertemu dengan seorang perempuan (bernama Umi) yang kelak melahirkan seorang putra bernama Ahmad Bakri (Mama Sempur).

Sebutan Mama dalam bahasa Sunda murafid dengan sebutan Romo dalam bahasa Jawa (baca: Bapak). Dikalangan Sunda sendiri sebutan Mama kerap disematkan kepada Ajengan atau Kiai sehingga disebut Mama Ajengan atau Mama Kiai. Sementara kata Sempur merupakan nisbat dari suatu desa kecil bernama Sempur, Plered, Purwakarta.

Di usia kecil Mama Sempur sudah mendalami ilmu Agama dibawah asuhan ayahnya, Kiai Sayida. Ilmu yang telah beliau pelajari kala itu adalah ilmu Fikih, Tauhid, Nahwu, Sharaf, Hadis dan Tafsir. Dalam menyelami samudera ilmu di negeri sendiri, Mama Sempur merasa dahaga akan ilmu belum kunjung terpenuhi, akhirnya beliau bertolak ke negeri orang, menuju tanah suci “Makkah al-Mukarramah”.

Pendidikan yang diperoleh baik dari tanah air ataupun luar negeri, mampu membuat Mama Sempur meneruskan perjuangan ayahandanya. Oleh karenanya, tidak sedikit karya-karya beliau yang ditulis dengan tangan produktifnya dalam berbagai topik pembahasan.

Seperti kitab Cempaka Dilaga tentang wajibnya etos kerja bagi seorang muslim, Mashlahat al-Islamiyah tentang konsep kemaslahatan bagi umat Islam, Maslak al-Abrar tentang ilmu tauhid, Fawaid al-Mubtadi tentang hal yang perlu diajarkan oleh orang tua kepada anaknya, Futuhat al-Taubah tentang pembahasan seputar thariqah, Idhah al-Karathaniyah tentang pembahasan yang akan diuraikan setelah ini, dan masih banyak lagi.

Dari puluhan karangan Mama Sempur, di sini penulis lebih tertarik membahas kitab yang berjudul Idhahul-Karathaniyah. Nama lengkap kitab ini adalah Idhahul-Karathaniyah: Fi Ma Yata’alaq bi Dhalalatil-Wahabiyah.

Alasan mendasar penulis mengangkat kitab ini adalah sebab fenomena gerakan pemahaman Wahabi sudah bukan menjadi bahan obrolan semata, perlu dari kita semua untuk mengenal dan men-counter pemahaman tersebut. Mengingat bahaya dan sesatnya ajaran mereka.

Baca: Dibalik Cerita Panggung Krapyak

Sebagaimana dinamika sejarah akan sepak terjangnya kelompok Wahabi memang sudah sangat meresahkan kaum Muslimin dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Sebab basis gerakan kaum Wahabi adalah gerakan takfiri (mengkafirkan sesama kaum Muslim yang tidak sependapat dengan dirinya).

Syahdan melihat fenomena demikian, rupanya Mama Sempur memiliki antusias untuk memberikan kontribusi melawan ajaran Wahabi, setidaknya beliau telah memberikan sumbangsih secara pemikiran yang dituangkan dalam karya ini sebagai wujud perlawanan beliau terhadap kesesatan Wahabiyah.

Akhirnya goresan demi goresan tertuanglah sebuah maha karya yang cukup panjang kira-kira kurang lebih 47 halaman. Dalam kitab hasil fotocopy ini, diketahui bahwa kitab tersebut diduga masih berupa tulisan tangan muallif sendiri (manuskrip), salah satunya terlihat ada satu kata yang salah tulis (pada hal. 31) namun muallif tidak mencoret tulisan tersebut hanya cukup menulis ulang pada tulisan setelahnya.

Tentunya dalam kepenulisan karya tersebut, Mama Sempur tidak serta merta menulis sesuai kapabilitasnya, beliau tetap menghadirkan pendapat-pendapat ulama salaf, bahkan dijelaskan sendiri oleh beliau dalam muqodimahnya, kitab pegon Sundaini merupakan nukilan dari kitab Durarus-Saniyah fi Raddil-Wahabiyah karya Syekh Ahmad Zaini Dahlan (1818-1886 M) yang menjadi mufti Syafi’i di Haramain kala itu, Shawa’iqul-Muhriqah karya Ibnu Hajar al-Haitami (1503-1566 M), dan lainnya.

Pimpinan PP. Al-Faridiyah ini membagi pembahasan kitabnya dalam delapan pasal, terkadang beliau menggunakan bahasa Arab, terkadang pula menggunakan pegon bahasa Sunda. Pasal pertama, menjelaskan hadis-hadis tentang prediksi Nabi bahwa kelak akan ada seseorang dari umat Nabi Muhammad yang memporak-poranda agama Islam. Tidak lain orang itu adalah Muhammad bin Abdul Wahab At-Tamimi An-Najdi.

Pasal kedua, menjelaskan urgensinya berpegang teguh kepada kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah, yakni dalam ihwal bolehnya ziarah kubur serta tawasul kepada Nabi, Sahabat dan ulama-ulama salafush-shalih. Muallif juga menghadirkan dalil-dalil yang kredibel atas kebolehannya. Berbeda dengan kepercayaan golongan “minhum” (Wahabi) mereka menyatakan bahwa ritual ziarah dan tawasul merupakan kegiatan bid’ah yang tidak pernah ada sejak zaman Nabi.

Pasal ketiga, menjelaskan tentang gerakan takfiri (tuduhan kafir)kaum Wahabi yang disponsori oleh Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Tamim. Mereka melancarkan gerakan takfiri-nya kepada sesama Muslim yang melakukan tawasul, mengucapkan “ya rasulallah”, membaca shalawat menggunakan toa masjid, tidak mengikuti ajarannya sendiri, dan lain sebagainya.

Pasal selanjutnya (hal. 28), Mama Sempur menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan tawasul. Di sini beliau membeberkan hal-hal yang terkait dengan tawasul yang telah dijalankan oleh ulama-ulama madzhab empat. Bagaimana para Sahabat di masa Rasullah hidup mereka saling berlomba-lomba mengharap dan mendapatkan barakah dari Rasulullah.

Pasal kelima dan keenam, menjelaskan tentang bagaimana cara mendapakan Ilmun-Nafi’ (ilmu yang bermanfaat) dan hukum diwajibkannya laki-laki dan perempuan untuk mengikuti سِوَادُ اْلأَعْظَمْ, di sini Mama Sempur menyebut siwadul-a’zham adalah madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) karena keempat madzhab ini merupakan golongan madzhab yang terbanyak pengikutnya.

Pasal ketujuh adalah pasal yang menjelaskan tentang hadis Nabi Saw yang melarang berteman atau mengikuti seseorang yang membenci kepada para Sahabat dan keturunan Rasulullah Saw.

Berikutnya pasal terakhir, Mama Sempur menjelaskan secara singkat atas ketidak sepemahaman beliau dengan Tuan Ahmad bin Muhammad Surkati (1875-1943 M), pendiri Jam’iyah Al-Irsyad. Mama menganggap Ahmad Surkati ini kontroversi terhadap kalangan Aswaja.

Baca: Sejarah Terbentuknya Muslimat NU

Terlepas dari semua itu, Kiai Sempur ini turut mengingatkan kepada kita semua untuk senantiasa berpegang teguh pada golongan Aswaja serta tidak saling merendahkan sesama muslim yang berbeda pandangan dengan kita, tetap menaruh sikap toleran dan tidak menyimpan rasa hasud (iri dengki) terhadap muslim lainnya.

Sebagai penutup penulis sajikan sebuah riwayat dalam kitab ini,yang dirasa cukup untuk menjawab fenomena sekarang:

روى ابن عساكر عن مالك “لاَ تَحْمِلِ اْلعِلْمَ عَنْ اَهْلِ اْلبِدَعِ وَلَا تَحْمِلْهُ عَمَّنْ لَمْ يُعْرَفْ بِالطَّلَبِ وَلَا عَمَّنْ يَكْذِبُ فِيْ حَدِيْثِ النَّاسِ وَاِنْ كَانَ فِي حَدِيْثِ رَسُوْلِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَكْذِبُ

Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari Imam Malik: “Janganlah mengambil ilmu dari orang yang suka membid’ahkan, jangan pula dari orang yang belum diketahui dari mana ia mendapatkan ilmu tersebut, juga dari orang yang suka berdusta kepada orang banyak meskipun ia benar dalam menyampaikan hadis-hadis Rasulullah Saw.” (hal. 31). Wallahu’alam.

Oleh: Irfan Fauzi

Picture by wikimedia.org