Mengenal Karya Mama Sempur Idhahul-Karathaniyyah: Tentang Kesesatan Wahabi

Kajian kitab mengenai kesesatan kaum Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1701-1793 M) tidak sedikit ulama yang telah membahasnya dalam pelbagai karangan meraka, pun ulama yang ada di Nusantara. Salah satu ulama yang menaruh perhatian akan bahayanya ajaran Wahabi ialah KH. Tb (Tubagus) Ahmad Bakri bin KH. Tb. Sayida atau yang akrab dipanggil Mama Sempur (1839-1975 M).

Kakeknya bernama Kiai Tb. Hasan Arsyad ialah seorang Qadhi Kerajaan Banten, ia memiliki seorang putra yang kelak akan menggantikan dirinya sebagai penerus Qadhi di Banten yaitu Kiai Tb. Sayida. Namun karena Kiai Sayida enggan meneruskan tongkat kepemimpinan tersebut, akhirnya dengan berbagai pertimbangan beliau memutuskan untuk meninggalkan Banten.

Dari perjalanan itu, Kiai Sayida sampai di suatu daerah yang bernama Citeko, Plered, Purwakarta. Di sinilah beliau bertemu dengan seorang perempuan (bernama Umi) yang kelak melahirkan seorang putra bernama Ahmad Bakri (Mama Sempur).

Sebutan Mama dalam bahasa Sunda murafid dengan sebutan Romo dalam bahasa Jawa (baca: Bapak). Dikalangan Sunda sendiri sebutan Mama kerap disematkan kepada Ajengan atau Kiai sehingga disebut Mama Ajengan atau Mama Kiai. Sementara kata Sempur merupakan nisbat dari suatu desa kecil bernama Sempur, Plered, Purwakarta.

Di usia kecil Mama Sempur sudah mendalami ilmu Agama dibawah asuhan ayahnya, Kiai Sayida. Ilmu yang telah beliau pelajari kala itu adalah ilmu Fikih, Tauhid, Nahwu, Sharaf, Hadis dan Tafsir. Dalam menyelami samudera ilmu di negeri sendiri, Mama Sempur merasa dahaga akan ilmu belum kunjung terpenuhi, akhirnya beliau bertolak ke negeri orang, menuju tanah suci “Makkah al-Mukarramah”.

Pendidikan yang diperoleh baik dari tanah air ataupun luar negeri, mampu membuat Mama Sempur meneruskan perjuangan ayahandanya. Oleh karenanya, tidak sedikit karya-karya beliau yang ditulis dengan tangan produktifnya dalam berbagai topik pembahasan.

Seperti kitab Cempaka Dilaga tentang wajibnya etos kerja bagi seorang muslim, Mashlahat al-Islamiyah tentang konsep kemaslahatan bagi umat Islam, Maslak al-Abrar tentang ilmu tauhid, Fawaid al-Mubtadi tentang hal yang perlu diajarkan oleh orang tua kepada anaknya, Futuhat al-Taubah tentang pembahasan seputar thariqah, Idhah al-Karathaniyah tentang pembahasan yang akan diuraikan setelah ini, dan masih banyak lagi.

Dari puluhan karangan Mama Sempur, di sini penulis lebih tertarik membahas kitab yang berjudul Idhahul-Karathaniyah. Nama lengkap kitab ini adalah Idhahul-Karathaniyah: Fi Ma Yata’alaq bi Dhalalatil-Wahabiyah.

Alasan mendasar penulis mengangkat kitab ini adalah sebab fenomena gerakan pemahaman Wahabi sudah bukan menjadi bahan obrolan semata, perlu dari kita semua untuk mengenal dan men-counter pemahaman tersebut. Mengingat bahaya dan sesatnya ajaran mereka.

Baca: Dibalik Cerita Panggung Krapyak

Sebagaimana dinamika sejarah akan sepak terjangnya kelompok Wahabi memang sudah sangat meresahkan kaum Muslimin dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Sebab basis gerakan kaum Wahabi adalah gerakan takfiri (mengkafirkan sesama kaum Muslim yang tidak sependapat dengan dirinya).

Syahdan melihat fenomena demikian, rupanya Mama Sempur memiliki antusias untuk memberikan kontribusi melawan ajaran Wahabi, setidaknya beliau telah memberikan sumbangsih secara pemikiran yang dituangkan dalam karya ini sebagai wujud perlawanan beliau terhadap kesesatan Wahabiyah.

Akhirnya goresan demi goresan tertuanglah sebuah maha karya yang cukup panjang kira-kira kurang lebih 47 halaman. Dalam kitab hasil fotocopy ini, diketahui bahwa kitab tersebut diduga masih berupa tulisan tangan muallif sendiri (manuskrip), salah satunya terlihat ada satu kata yang salah tulis (pada hal. 31) namun muallif tidak mencoret tulisan tersebut hanya cukup menulis ulang pada tulisan setelahnya.

Tentunya dalam kepenulisan karya tersebut, Mama Sempur tidak serta merta menulis sesuai kapabilitasnya, beliau tetap menghadirkan pendapat-pendapat ulama salaf, bahkan dijelaskan sendiri oleh beliau dalam muqodimahnya, kitab pegon Sundaini merupakan nukilan dari kitab Durarus-Saniyah fi Raddil-Wahabiyah karya Syekh Ahmad Zaini Dahlan (1818-1886 M) yang menjadi mufti Syafi’i di Haramain kala itu, Shawa’iqul-Muhriqah karya Ibnu Hajar al-Haitami (1503-1566 M), dan lainnya.

Pimpinan PP. Al-Faridiyah ini membagi pembahasan kitabnya dalam delapan pasal, terkadang beliau menggunakan bahasa Arab, terkadang pula menggunakan pegon bahasa Sunda. Pasal pertama, menjelaskan hadis-hadis tentang prediksi Nabi bahwa kelak akan ada seseorang dari umat Nabi Muhammad yang memporak-poranda agama Islam. Tidak lain orang itu adalah Muhammad bin Abdul Wahab At-Tamimi An-Najdi.

Pasal kedua, menjelaskan urgensinya berpegang teguh kepada kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah, yakni dalam ihwal bolehnya ziarah kubur serta tawasul kepada Nabi, Sahabat dan ulama-ulama salafush-shalih. Muallif juga menghadirkan dalil-dalil yang kredibel atas kebolehannya. Berbeda dengan kepercayaan golongan “minhum” (Wahabi) mereka menyatakan bahwa ritual ziarah dan tawasul merupakan kegiatan bid’ah yang tidak pernah ada sejak zaman Nabi.

Pasal ketiga, menjelaskan tentang gerakan takfiri (tuduhan kafir)kaum Wahabi yang disponsori oleh Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Tamim. Mereka melancarkan gerakan takfiri-nya kepada sesama Muslim yang melakukan tawasul, mengucapkan “ya rasulallah”, membaca shalawat menggunakan toa masjid, tidak mengikuti ajarannya sendiri, dan lain sebagainya.

Pasal selanjutnya (hal. 28), Mama Sempur menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan tawasul. Di sini beliau membeberkan hal-hal yang terkait dengan tawasul yang telah dijalankan oleh ulama-ulama madzhab empat. Bagaimana para Sahabat di masa Rasullah hidup mereka saling berlomba-lomba mengharap dan mendapatkan barakah dari Rasulullah.

Pasal kelima dan keenam, menjelaskan tentang bagaimana cara mendapakan Ilmun-Nafi’ (ilmu yang bermanfaat) dan hukum diwajibkannya laki-laki dan perempuan untuk mengikuti سِوَادُ اْلأَعْظَمْ, di sini Mama Sempur menyebut siwadul-a’zham adalah madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) karena keempat madzhab ini merupakan golongan madzhab yang terbanyak pengikutnya.

Pasal ketujuh adalah pasal yang menjelaskan tentang hadis Nabi Saw yang melarang berteman atau mengikuti seseorang yang membenci kepada para Sahabat dan keturunan Rasulullah Saw.

Berikutnya pasal terakhir, Mama Sempur menjelaskan secara singkat atas ketidak sepemahaman beliau dengan Tuan Ahmad bin Muhammad Surkati (1875-1943 M), pendiri Jam’iyah Al-Irsyad. Mama menganggap Ahmad Surkati ini kontroversi terhadap kalangan Aswaja.

Baca: Sejarah Terbentuknya Muslimat NU

Terlepas dari semua itu, Kiai Sempur ini turut mengingatkan kepada kita semua untuk senantiasa berpegang teguh pada golongan Aswaja serta tidak saling merendahkan sesama muslim yang berbeda pandangan dengan kita, tetap menaruh sikap toleran dan tidak menyimpan rasa hasud (iri dengki) terhadap muslim lainnya.

Sebagai penutup penulis sajikan sebuah riwayat dalam kitab ini,yang dirasa cukup untuk menjawab fenomena sekarang:

روى ابن عساكر عن مالك “لاَ تَحْمِلِ اْلعِلْمَ عَنْ اَهْلِ اْلبِدَعِ وَلَا تَحْمِلْهُ عَمَّنْ لَمْ يُعْرَفْ بِالطَّلَبِ وَلَا عَمَّنْ يَكْذِبُ فِيْ حَدِيْثِ النَّاسِ وَاِنْ كَانَ فِي حَدِيْثِ رَسُوْلِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَكْذِبُ

Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari Imam Malik: “Janganlah mengambil ilmu dari orang yang suka membid’ahkan, jangan pula dari orang yang belum diketahui dari mana ia mendapatkan ilmu tersebut, juga dari orang yang suka berdusta kepada orang banyak meskipun ia benar dalam menyampaikan hadis-hadis Rasulullah Saw.” (hal. 31). Wallahu’alam.

Oleh: Irfan Fauzi

Picture by wikimedia.org

Mengenal Kitab Hasyiyah Al-Bajuri

Secara genalogis, “Hasyiyah Al-Bajuri” sebenarnya berasal dari Matan Abu Syuja’ yang telah saya buatkan catatannya dalam artikel berjudul “Mengenal Matan Abu Syuja’”. Matan Abu Syuja’ yan terkenal dikalangan Asy-Syafi’iyyah ini memiliki syarah yang juga sangat terkenal dan banyak dipelajari di masyarakat yang bernama “Fathu Al-Qorib’ karya Ibnu Qosim Al-Ghozzi (w.918 H). Nah, “Fathu Al-Qorib” inilah yang dibuatkan Hasyiyah oleh Al-Bajuri sehingga karyanya kemudian terkenal dengan nama Hasyiyah Al-Bajuri.

Pengarang kitab ini bernama Ibrohim Al-Bajuri atau secara singkat bisa disebut Al-Bajuri. Nama lengkap beliau; Burhanuddin Abu Ishaq Ibrohim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri Al-Manufi Beliau lahir pada tahun 1197 H. Di usia 14 tahun beliau sudah masuk ke Al-Azhar dan belajar di sana. Dengan ketekunannya dalam belajar dan ber-mulazamah dengan sejumlah syaikh, akhirnya sampai ke derajat Syaikhul Azhar Asy-Syarif di zamannya. Beliau sempat mengalami masa penjajahan Prancis di Mesir yang dipimpin oleh Napoleon. Di antara murid Al-Bajuri yang terkenal adalah Ath-Thohthowi.

Adapun motivasi penulisan hasyiyah ini, hal itu ditulis Al-Bajuri dalam muqaddimah kitabnya. Al-Bajuri melihat Matan Abu Syuja’ adalah mukhtashor yang penuh berkah dan banyak dimanfaatkan. Demikian pula syarahnya yang bernama “Fathu Al-Qorib”. Termasuk pula hasyiyah “Fathu Al-Qorib” yang bernama “Hasyiyah Al-Birmawi”. Hanya saja, beliau melihat dalam “Hasyiyah Al-Birmawi banyak ungkapan-ungkapan yang tidak mudah dipahami untuk pelajar pemula. Oleh karena itu, setelah melihat problem ini, beliau didorong berkali-kali oleh kolega dan ulama sezamannya un membuat hasyiyah dengan bahasa yang enak dan mudah dicerna oleh para pemula dan beliaupun tergerak untuk melakukannya. Karena itu lahirlah “Hasyiyah Al-Bajuri”.

Hasyiyah Al-Bajuri populer di masyarakat karena bahasanya enak, indah dan mudah dicerna. Kemudahan bahasa ini menjadi salah satu ciri yang menonjol dari kitab ini sekaligus menjadi keistimewaan jika dibandingkan dengan hasyiyahhasyiyah yang lain. Keistimewaan lain “Hasyiyah Al-Bajuri” adalah menjelaskan semua istilah dalam berbagai bidang ilmu sehingga akan sangat memudahkan pembacanya untuk memahami isinya. Jika ada ‘illat sebuah kata, maka Al-Bajuri akan menjelaskan wazan-nya, proses i’lal-nya, proses ibdal-nya, proses pembentukan jamak-nya, asal mufrod-nya, bentuk mudzakkar-nya, dan bentuk muannats-nya. Jik ungkapan yang salah dalam “Fathu Al-Qorib”, maka beliau mengoreksinya. Jika ada ungkapan yang kurang jelas maka beliau memperjelasnya. Jadi, “Hasyiyah Al-Bajuri” itu detail, padat isi, dan luas jangkauannya.

Keistimewaan yang lain, meskipun kitab ini dinamai hasyiyah, tapi secara fakta justru malah lebih dekat ke syarah. Syarah lebih mudah “ditelan” oleh pemula daripada hasyiyah. Oleh karena itu Bajuri tidak mensyaratkan pengkajinya harus mencapai level “expert” dalam mazhab Asy-Syafi’i untuk memahaminya.

Sudah dikenal sejak zaman dulu bahwa pelajar pemula akan dianggap menyia-nyiakan waktu jika langsung mencoba menelaah hasyiyah. Hal itu karena ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam memang diperuntukkan untuk pengkaji fikih level tinggi. Bagi pemula, seharusnya mereka mempelajari matan/muktashar dan menghafalnya bukan langusng mengkaji hasyiyah. Ahmad bin Ha Al-‘Atthos (w.1334 H) berkata:

من قرأ الحواشي ما حوى شي

“Barangsiapa (di kalangan pemula) mengkaji hasyiyah, maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa.”

Hasyiyah hanya akan bermanfaat bagi orang yang level keilmuannya sudah tingkat lanjut/advanced, karena hal-hal yang umumnya sudah diketahui oleh pelajar tingkat lanjut tidak akan diterangkan pengarang hasyiyah. Pengarang hasyiyah hanya akan menerangkan hal-hal yang paling sulit sehingga tetap bermanfaat bagi pelajar tingkat lanjut itu. Tapi “Hasyiyah Al-Bajuri” ini beda. Karena pendekatan menulisnya lebih ke arah syarah, pelajar pemula yang merangkak menuju level menengah insya Allah bisa memanfaatkannya.

Baca Juga: Guy Debord Menjelaskan Problem The Society of the Spectacle, Tasawuf Menjawabnya

Adapun metode penulisannya, Al-Bajuri dalam menerangkan ungkapan dalam “Fathu Al-Qorib”, beliau memberikan “quyud” (batasan-batasan) dan “amtsilah” (contoh-contoh) agar maksudnya mudah ditangkap. Untuk kata-kata dan ungkapan tertentu kadang-kadnag Al-Bajuri membahas juga aspek i’rab dan nahwunya. Jika ada pembahasan furu’ fikih, maka Al-Bajuri akan menjelaskan kaidah ushul yang mendasarinya, termasuk aspek nahwu, dan al-asybah wa al-nazhoir-nya. Jika dibahas nahwu, maka Al-Bajuri akan menyertakan syawahid (dalil kebahasaan) yang relevan dengan pembahasan nahwu tersebut. Jadi kitab ini sungguh kaya cita rasa. Orang akan merasakan pembahasan fikih, ushul fikih, bahasa, dan “rasa-rasa” yang lainnya.

Adapun referensi yang dipakai Al-Bajuri untuk menulis hasyiyah ini, hal itu meliputi karya-karya Asy-Syafi’i, nukilan-nukilan dari ashabul wujuh, syarahsyarah, mukhtashar Al-Muzani, kitab-kita Al-Ghazali, kitab-kitab Syaikhan (Imam Al-Rafi’i dan Imam Al-Nawawi), kitab-kitab Ibnu Ar-Rif’ah, syarahsyarah Minhaj Ath-Thalibin, dan kitab-kitab Zakariyya Al-Anshori dan syarahsyarahnya. Beliau juga banyak mengambil rujukan syarah matan Abu Syuja’, Al-Iqna’ karya Al-Khothib Asy-Syirbini, “Fathu Al-Ghoffar” karya Ibnu Qosim Al-‘Abbadi, hasyiyahhasyiyah “Fathu Al-Qorib” seperti “Hasyiyah Al-Qalyubi”, “HasyiyahHasyiyah Athiyyah Al-Ujhuri”, “Hasyiyah Al-Bulbaisi” dan lain-lain. Dengan referensi sebanyak ini wajar jika mutu “Hasyiyah Al-Bajuri” masuk dalam jajaran kitab syarah dan hasyiyah level tinggi.

Dalam menulis hasyiyah, Al-Bajuri juga menjelaskan mana pendapat mu’tamad (dapat dijadikan pegangan), mana yang bukan mu’tamad, mana yang rajih (unggul), dan mana yang marjuh (diunggulkan). Dalam kitab ini, Al-Bajuri juga menyebut ikhtilaf (perbedaan pendapat) antara Ibnu Hajar Al-Haitami dan Syamsuddin Ar-Ramli. Seringkali beliau menguatkan pendapat Ar-Romli. Hal ini wajar, karena Al-Bajuri dan banyak pada ulama Mesir dan bahkan menjadi Syaikh Al-Azhar di negeri tersebut, sementara kita tahu mayoritas tumpuan ulama-ulama Mesir adalah kitab-kitab Ar-Ramli, terutama kitab “Nihayatu Al-Muhtaj”. Al-Kurdi dalam Al-“Fawaid Al-Madaniyyah” menyebutkan, bahwa ulama-ulama Mesir telah “diikat perjanjian” bahwa mereka hanya akan mengambil ijtihad dan fatwa Ar-Ramli saja. Hanya saja, Al-Bajuri kadang-kadang menguatkan pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami pada persoalan-persoalan yang beliau pandang cocok dengan masanya. Tapi, yang seperti ini jumlahnya sedikit dan terbatas.

Di antara urgensi kitab ini, Al-Bajuri banyak membahas isu-isu yang sering terjadi dan kasus-kasus aktual seperti hukum melihat (wanita/aurat), hukum dokter lelaki mengobati pasien wanita ajnabiyah, hukum menunda kehamilan, hukum vasektomi/tubektomi, masalah riba dan lain-lain. Al-Bajuri wafat pada hari kamis, 28 Dzul Qo’dah tahun 1276/1277 H.

 رحم الله الباجوري رحمة واسعة

اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين

Dimuat ulang dari: https://irtaqi.net/2018/03/02/mengenal-kitab-hasyiyah-al-bajuri/

Uchiha Itachi Terinspirasi Dari Kitab Ulama Abad Ke-16

Bagi para penggemar anime Naruto Shippuden, Uchiha Itachi adalah salah satu shinobi penting yang keberadaannya turut serta dalam menentukan alur cerita yang tidak terduga (plot twist). Itachi sering dianggap sebagai pengkhianat Desa Konoha sebab ia telah membantai seluruh anggota klan-nya dan hanya menyisakan adiknya yang masih kecil, Uchiha Sasuke.

Tidak hanya itu, Uchiha Itachi juga bergabung dengan organisasi berbahaya, Akatsuki. Organisasi tersebut adalah kumpulan ninja pelarian dengan tingkat kejahatan tinggi dari berbagai desa. Akatsuki dengan Uzumaki Nagato sebagai pemimpinnya adalah semacam kumpulan para villain yang bertujuan menguasai dunia shinobi dengan cara-cara jahat.

Dilihat dari namanya, Uchiha Itachi adalah bagian dari klan Uchiha, salah satu klan terkuat dengan kekuatan mata sharingan yang diwariskan (kekkei genkai) berdasarkan genetika. Dengan manipulasi kekuatan mata, anggota klan Uchiha dapat menghasilkan chakra yang besar dengan kekuatan yang menakutkan, bahkan membunuh.

Baca: Kisah Uwais Al-Qarni dan Seorang Rahib yang Bijak

Kekuatanm mata Itachi berkembang dari Sharingan biasa sampai dapat membangkitkan Mangekyo Sharingan. Dengan Mangekyo Sharingan, Itachi dapat membangkitkan Susanoo (sebuah monster chakra raksasa). Bahkan Susanoo Itachi memiliki Pedang Totsuka, sebuah pedang chakra yang mampu menyegel siapapun yang terkena serangan tersebut ke dalam toples Sake. Mereka akan tersegel di dalamnya untuk selamanya. Itachi sendiri sangat handal dalam menggunakan Totsuka Blade, dimana dia berhasil menyegel beberapa orang.

Yang unik, Uchiha Itachi selalu identik dengan burung gagak. Dalam bebrapa episode, Itachi beberapa kali memunculkan gagak, seperti ketika ia menggunakan bunshin atau ketika ia menyerang menggunakan genjutsu (kekuatan memanipulasi pikiran musuh). Mengapa Itachi yang memiliki kekuatan mata yang luar biasa itu identik dengan burung gagak?

Dalam kitab Bada’i al-Zuhur fi Waqa’i al-Duhur, Syaikh al-‘Alim al-Fadhil Muhammad ibn Ahmad bin Iyas al-Hanafi (lahir: Juni 1448; wafat November 1522; salah satu sejarawan terpenting dalam sejarah Mesir modern yang berasal dari Sirkasia) menyebutkan tentang kisah menakjubkan tentang burung gagak. Dalam bab dzkr akhbar ma baina al-sama’ wa al-ardl, Syaikh Muhammad ibn Iyas menyebutkan:

وروي أن إسم الغراب أعور, وإنما سمي بذلك لأنه يغمض إحدى عينيه من قوة بصره, ويقتصر على الأخرى, وقد قيل في المعني

وقد ظلموه حين سموه سيدا # كما ظلم الناس الغراب بأعورا

(Diriwayatkan): Sesungguhnya nama burung gagak adalah pecak (buta sebelah mata). Hal itu karena burung gagak menutup sebelah matanya karena penghilatannya yang terlalu kuat, sehingga gagak memfokuskan pandangannya pada satu matanya. Sebagaimana diriwayatkan makna serupa dalam sebuah syair:

“Dan mereka menganiaya dia ketika mereka memanggilnya tuan # Sama seperti orang-orang menganiaya gagak dengan matanya yang buta sebelah”

Dari penjelasan di atas, Syaikh Muhammad ibn Iyas menjelaskan bahwa burung gagak memiliki penglihatan (kekuatan mata) yang kuat. Saking kuatnya kekuatan itu, gagak memfokuskan penglihatannya pada satu mata, sedangkan matanya yang lain ditutup. Hal ini bukan berarti gagak hanya memiliki satu mata yang berfungsi, tetapi agar lebih fokus, gagak hanya menggunakan satu matanya.

Baca: Kisah Juraij Dan Seorang Pelacur

Apa yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad ibn Iyas tentang gagak tersebut sangatlah relevan dengan apa yang terjadi pada Uchiha Itachi. Dalam bebrapa kesempatan, terutama ketika ia menggunakan mangekyo sharingan (kekuatan mata di atas Sharingan biasa) Itachi seringkali menutup satu matanya dan berfokus menggunakan matanya yang lain. Tidak jarang, karena besarnya kekuatan mata itu menyebabkan mata Itachi mengeluarkan darah. Dengan ini, maka sangat masuk akal jika karakter Uchiha Itachi memang terinspirasi oleh burung gagak. Apa yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad ibn Iyas pada abad ke-16 itu menjadi semacam penyelidikan tentang ilmu biologi, khusunya tentang anatomi tubuh hewan. Apakah kisah inilah yang dalam perkembangannya menjadi inspirasi Masashi Kisimoto membuat karakter Itachi? Wallahu a’lam 😀

Oleh: Chanif Ainun N

Sumber: kitab Bada’i al-Zuhur fi Waqa’i al-Duhur

Picture by wallpaperaccess.com