Tasawuf, Perilaku Manusia, dan Kritik Sosial

Oleh: Chanif Ainun Naim

Dalam suatu kesempatan, Kiai Said Aqil Siradj panjang lebar menjelaskan perihal psikoanalisa metafisik.Mengenai teori kebutuhan dasar insani (basic human needs) itu disebut juga sebagai teori motivasi. Menurut Maslow pada diri manusia ada sejumlah kebutuhan dasar, kebutuhan yang asasi, yang mau tidak mau harus dipenuhi.Kebutuhan itu bersifat intuitif, ada dengan sendirinya, seperti juga ada pada hewan, walau tentu tidak sama kandungannya. Oleh karena ada kebutuhan yang harus dipenuhi tersebut, maka manusia terdorong (termotivasi) untuk mencari jalan (upaya) memenuhi kebutuhan tersebut. Jika kebutuhannya itu terpenuhi, maka manusia akan merasa “puas” (satisfied), dan sebaliknya, menjadi unsatisfied. Sehingga, kebutuhan itu yang mendorong munculnya motivasi untuk melakukan sesuatu.

Pada diskusi itu, Kiai Said, mengutip pendapat Al Ghazali, menyebut bahwa kebutuhan dasar (need) manusia, yang mengilhami seseorang melakukan suatu tindakan, muncul dari intuisi (khawatir). Penjelasan Kiai Said, ada empat jenis intuisi yang membisikkan hati. Bisikan pertama dinamakan khatir (bisikan hati), datang dari Allah SWT, yang dipenuhi dengan kebaikan. Kedua, bisikan hati yang biasa diterima oleh manusia, dinamakan hawa nafsu. Nafsu apapun, menginginkan apapun, bahkan menginginkan surga atau pahala sekalipun muncul dari jenis kedua ini. Ketiga, bisikan daripada Malaikat Mulhin, bisikan yang membawa kebaikan, ia adalah penasihat kita, yang boleh dipanggil juga (irsyad). Dalam bahasa lain, bisa juga disebut ilmu laduni, ‘ilm al yaqin, haqq al-yaqin. Bisikan keesmpat adalah dari syaitan yang dinamakan waswasah (khathir al-nafs) merupakan keburukan yang menghalangi kebaikan dan menyesatkan.

Baca Juga: Sebuah Kisah Habib Quraisy Bin Qosim Cirebon

Nah, bertasawuf dengan jalan yang dipilih oleh Al Ghazali adalah dengan melakukan penjarakan (distansi) dengan dunia materi yang disebutnya sebagai sesuatu yang berdaya ‘menghancurkan’ hati (muhlikah). Ditengah dunia modern yang sangat destruktif, yang ditandai dengan eksploitasi, baik kepada manusia maupun alam, konsumerisme dan irrasionalnya rasionalitas modern, agama harus mampu menjadi jembatan dalam kritik sosial. Sehingga, tasawwuf (meminjam istilah di buku Kiai Said) dengan sifat dasarnya untuk melakukan penjarakan dengan dunia sebagai kritik sosial sangatlah relevan. Dengan memahami dan menganalisis setiap tindakan manusia, mulai lingkup terkecil muncul dari bisikan (intuisi, khathir) sebagaimana dijelaskan sebelumnya serta pemahaman bahwa dalam diri manusia terdapat dua unsur kekuatan (quwwah) yang berpotensi pada timbulnya tindakan melukai, menyerang (agresi) kepada orang lain, atau potensi kekuatan (quwwah) konsumtif seperti yang dijelaskan oleh Ghazali, kiranya, bagi saya, hal itu sudah cukup untuk menolak segala bentuk tindakan yang merugikan, seperti terorisme, eksploitasi alam atau pula konsumsi tiada henti dan segala bentuk perilaku impulsif. Itu semua dalam gerak yang padu akan mampu mendukung upaya-upaya untuk melestarikan lingkungan, dimulai dari lingkup-lingkup terkecil sekalipun.

Merujuk pada kosmologi Syed Hosen Nasr dalam perspektif environmental theology, bahwa kesadaran akan alam semesta adalah kesadaran akan lingkungan (environtment) dan kesadaran akan diri kita sendiri (mikrokosmos). Artinya, bila kita memiliki kesadaran itu, maka kita tidak akan merusak alam semesta dan lingkungan, karena tidak mungkin kita merusak diri kita sendiri. Jalan menuju kepada proses kesadaran itu adalah dengan pendidikan, karena pendidikan mengajari manusia untuk mengenal Sang Pencipta (Rabbah) dan diri mereka sendiri (nafsah) dalam gerak dimensi vertikal, dan mengenal lingkungan sekitar (dimensi horizontal). []

Sumber Gambar: https://www.mimbar-rakyat.com/detail/alam-semesta-adalah-guru-yang-bijak/