LIBERALISASI PEMIKIRAN NU

Nahdlatul Ulama (NU) sebagaimana sering diperkirakan memiliki anggota sekitar sembilan puluh juta orang, adalah organisasi sosial keagamaan (jam’iyah) terbesar di indonesia bahkan mungkin di dunia. Warga Nahdliyyin tersebar hampir di seluruh penjuru indonesia terutama di daerah-daerah pedesaan, khususnya dengan basis terkuat di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Bartat di bawah kepemimpinan ulama.

Sekitar tahun 1980-an kekuatan NU seolah-olah diabaikan begitu saja oleh para peneliti, penelitian terhadap NU Masih Kurang proposional dibanding dengan penelitian organisasi Islam Lainnya. Menurut Mitsuo Nakamura[1] mengaku pernah memiliki semacam bias yang muncul dan menganggap bahwa NU adalah organisasi ulama yang ketinggalan zaman di pedesaan Jawa, yang secara intelektual tidak canggih yang secara politik oportunis dan yang secara kultural sinkretik. Akibat bias intelektual itu adalah terdapatnya kecendrungan kuat di kalangan para ahli atau pengamat tentang Islam-baik pada tingkat Indonesia maupun internasional-untuk lebih memberikan perhatian pada organisasi-organisasi yang biasa dikategorisasikan sebagai “modernis” atau reformis.

Bahkan, organisasi dan kaum modernis serta reformis ini cenderung mendapat pemberitaan lebih luas dan ekstensif dalam media massa. Oleh karena itu, tidak aneh jika terdapat complaints dari kalangan “tradisionalis” bahwa media massa di negara-negara muslim termasuk indonesia semacam memiliki “bias” modernis dengan mengorbankan kaum “tradisionalis”. Selain karena adanya bias intelektual juga karena kalangan tradisonalis pada umumnya dianggap tidak menarik, lantaran mereka dipandang sebagai orang-orang jumud yang ketinggalan zaman, berpikiran sempit, dan picik; mereka adalah remants (sisa-sisa) masa lampau yang tidak relevan lagi dengan situasi masa sekarang. Sebaliknya, kalangan modernis dan reformis sangat menarik karena mereka dipandang sebagai orang-orang yang maju dan progresif; berpikiran luas, dan mampu menjawab tantangan masa modern.

Dengan terjadinya perubahan-perubahan sosiologis dalam pemikiran dan gerakan Islam pada beberapa dasawarsa terakhir ini, tipologi itu kelihatan semakin tidak mampu menggambarkan dengan lebih akurat peta bumi perkembangan pemikiran dan gerakan Islam. Pada dataran pemikiran belakangan ini kalangan NU telah muncul fenomena baru. Terdapat sejumlah pemikir NU yang cenderung berpikiran liberal. Mereka memiliki dua basis pendidikan, yaitu pendidikan pesantren yang melakukan banyak kajian terhadap literatur klasik pada suatu pihak dan pendidikan di perguruan tinggi yang memperknalkan metodologi ilmiah termasuk pengembangan wawasan pada pihak lain. Dengan berbekal dua basis pendidikan itu memungkinkan mereka melakukan kombinasi khazanah intelektual di pesantren dan perguruan tinggi secara dinamis dan longgar.

Munculnya fenomena baru liberalisasi pemikiran Islam di kalangan NU yang kemudian mengalami perkembangan yang semakin intens menunjukan kemampuan meraka menampilkan pemikiran yang adaptif dan responsif terhadap tuntutan zaman. Realitas ini sekaligus merupakan indikator bahwa penilaian tradisionalisme terhadap NU semakin tidak relevan lagi bagi NU sekarang. Justru realitas yang sedang terjadi adalah tumbuhnya kecendrungan liberalisasi pemikiran.

Oleh : Taufik Ilham

Picture by muslimoderat.net

Sumber : Buku NU “Liberal” Dari Tradisionalisme Ahlussunnah Ke Universalisme Islam

[1] Mitsuo Nakamura, “The Radical Tradisionalsm of the Nahdlatul Ulama in Indonesia: Personal Account of the 26 National Congress”, Semarang, Juni 1979.