Meramadhankan Puasa

Entah, sepertinya berjubel-jubel orang di luar sana memberi makna puasa sebagai sekedar menahan lapar dan haus. Sekedar menahan di siang hari dan berbuka di waktu magrib. Atau mungkin menjaga pandangan dari hal yang diharamkan. Atau mungkin puasa itu sekedar sebagai menunaikan kewajiban, tetapi di malam hari aktivitas “dunia malam” tetap dilaksanakan secara istiqomah.

Rupanya dalam tinjauan fikih memang seperti itu, yo ndak salah juga sebenarnya. Tetapi sebagai seorang manusia sing nduwe ati opo iyo kowe maknani poso koyo ngono tok? Di berbagai literatur keilmuan Islam, ulama kita terdahulu tidak sekedar memaknai puasa demikian saja.

Tidak perlu ditanyakan bagaimana para sahabat riang gembira saat bulan Ramadhan tiba. Ubay bin Kab membaca sekitar 200 ayat setiap rakaat qiyaamul lail. Ibrahim bin Adham, salah seorang tabiin, tidak pernah tidur malam. Imam Syafii khatam Al-Quran dua kali dalam sehari. Dan masih banyak kisah ulama terdahulu yang begitu antusias selama bulan Ramadhan berlangsung. Kisah mereka menjadi indikasi kuat bahwa mereka tidak memaknai puasa sebagai laku spiritual secara zahir saja, tetapi juga secara batin.

Baca: Lebih Utama Mana Membaca Al-Qur’an Sambil Melihat Mushaf atau Sambil Dihafal?

Dimensi Puasa

Tentu salah total jika kita berspekulasi bahwa puasa sekedar merupakan kondisi eksternal. Saya minta tolong untuk bedakan puasa eksternal dan puasa internal. Konsep fikih (Islamic jurisprudence) yang berserakan dalam kitab-kitab (al-kutub al-fiqhiyyah), hanya membahas seputar eksternalitas puasa yang terhimpun dalam teks-teks (nash) Al-Quran dan hadis. Hal demikian karena memang aksentuasi kajian ulama fikih tidak mengungkit makna esoteris yang tersirat (esoteric hidden meaning) dari teks Al-Quran dan hadis.

Dulu ketika mondok, guru-guru saya banyak memberi dawuh, “Kalau kamu belajar fikih, harus diimbangi dengan belajar tasawuf”. Terbukti dewasa ini mayoritas masyarakat lalai untuk menangkap esensi puasa yang hendak dilakukan Kanjeng Nabi saw. “Wis pokoke aku poso, ora peduli karo esensi-esensian”. Penyakit semacam inilah yang harus kita sembuhkan bersama-sama.

Pada taraf esensi, tentu fungsi utama puasa (the purpose of fasting) mengarah kepada pengendalian emosi dan nafsu dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Bertekuk lutut dari esensi dan tegak bersandar hanya kepada substansi saja tidak cukup dalam hal ini. Sepertinya sinyal esensi puasa yang selama ini kita sering lalai dalam menangkapnya. Poso iku gawe ati, kiro-kiro opo sing dipengeni karo Pengeran.

Sakralitas Ramadhan

Mboh opo sing garai awake bodho koyo saiki, semacam manusia-manusia modern yang selalu menghindar dari dimensi kesunyian batin. Berlari menghindar, bersimpang-siur dari satu tempat ke tempat lainnya. Berkeliaran tertiup angin tanpa memiliki prinsip dan kemandirian sikap. Tanpa disadari mereka tenggelam di dalam ombak kemewahan hidup yang menipu.

Jika saya sedikit meninjau surah Al-Baqarah ayat 185, setidaknya ada tiga poin penting yang disampaikan pada narasi Al-Baqarah tersebut. Pertama, Syahru ramadhaanallazi unzila fiihil Quraanu hudal linnaasi wa bayyinaati minal hudaa wal furqaan. Narasi tersebut memberi aksentuasi bahwa pada bulan Ramadhan Al-Quran diturunkan, artinya telah turun penjelasan akbar dari Sang Pencipta kepada umat manusia berupa “huda” (the guidance) dan “furqan” (the criterion).

Kedua, Fa man syahida mingkumusy syahra falyasumh. Puasa menjadi perintah langsung (direct command) dari Sang Kekasih ketika umat Muslim tiba pada bulan Ramadhan. Ketiga, Wa litukabbirullaaha ala maa hadaakum. Agungkanlah Allah atas petunjuk yang telah Ia beri padamu. Tiga poin di atas menjadi jelas bahwa bulan suci Ramadhan bukan sembarangan bulan yang ada dalam sirkulasi bulan-bulan Islam lainnya.

Baca: Soal Toa Masjid Yang Harusnya Tak Perlu Disoal

Puasa yang Ramadhan

Konsep yang tertuang pada surah Al-Baqarah itu memberi gambaran (tashawwur) bahwa untuk memperoleh hidayah harus berangkat dari keinginan kuat serta momentum yang tepat. Hemat saya, masyarakat modern sekarang kurang mengaplikasikan puasa pada taraf esensi. Akibat negatif dari pemahaman itu berimplikasi kepada huda dan furqan yang tidak mereka peroleh. Ibarate wong mudik tapi ra ono wong tuwone lan sedulure.

Jika yang terlukis di kepala kita sekarang adalah “puasa itu di bulan Ramadhan”, menurut saya harus ditingkatkan pemahamannya menjadi “puasa itu harus yang Ramadhan”. Maksudnya fokus yang harus terus diperjuangkan bahwa Allah selalu mengiringi setiap hembus nafas, setiap kedip mata, setiap gerak yang berlangsung setiap detik. Karena sejatinya Ramadhan tidak terletak pada satu ukuran waktu tertentu saja, tetapi menembus seluruh pagar dimensi waktu yang ada tanpa limitasi.

Di samping itu, puasa bukan sekedar aktivitas kaku yang simetris dengan hal yang berkaitan seputar anggota badan, tetapi juga pada segenap gerak yang terjadi di seluruh alam ini. Jadi nilai puasa itu selalu berlangsung pada segenap aliran kesadaran manusia. Gelombang “unzila” selalu mengalir tanpa henti seiring berjalannya roda aktivitas nalar, dan itu berkaitan erat dengan turunnya butir huda dan furqan di lubuk hati manusia.

Meski hal tersebut sepertinya cukup sulit untuk dicapai, tetapi tidak ada salahnya kita berjuang menggapai tujuan puasa yang sesungguhnya. Jadi mari kita Ramadhankan puasa kita. Mungkin selama ini kita terbelenggu kedangkalan berfikir sehingga kita lengah untuk menerapkan puasa internal di setiap aktivitas sehari-hari. Yaa ayyuhal muddassir, qum faanzir.

Oleh: Afda Muhammad

Tingkatan Orang Yang Berpuasa

Tiga Tingkatan Orang Berpuasa Menurut Imam Ghazali. Menurut Imam Ghozali r.a, Tingkatan orang berpuasa ada 3, yaitu;

Pertama, Puasanya Orang Awam

“Puasa umum adalah menahan perut dan kemaluan dari menunaikan syahwat.”

Maksudnya, puasa umum atau puasa orang-orang awam adalah “sekedar” mengerjakan puasa menurut tata cara yang diatur dalam hukum syariat. Seseorang makan sahur dan berniat untuk puasa pada hari itu, lalu menahan diri dari makan, minum dan melakukan hubungan badan dengan suami atau istrinya sejak dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari. Jika hal itu telah dikerjakan, maka secara hukum syariat ia telah melaksanakan kewajiban puasa Ramadhan. Puasanya telah sah secara dzahir dari segi ilmu fikih.

Baca: Lima Harapan Pegiat Ramadhan

Kedua yaitu, puasanya orang yang khusus

“Puasa khusus adalah menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan seluruh anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa.”

Tingkatan puasa ini lebih tinggi dari tingkatan puasa sebelumnya. Selain menahan diri dari makan, minum dan melakukan hubungan suami istri, tingkatan ini menuntut orang yang berpuasa untuk menahan seluruh anggota badannya dari dosa-dosa, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Tingkatan ini menuntut baik dzahir maupun batin untuk senantiasa berhati-hati dan waspada.

Ia akan menahan matanya dari melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan menahan telinganya dari mendengarkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan menahan lisannya dari mengucapkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan menahan tangannya dari melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan menahan kakinya dari melangkah menuju hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan seluruh anggota badannya yang lain ia jaga agar tidak terjatuh dalam tindakan maksiat.Tingkatan puasa ini adalah tingkatan orang-orang shalih.

Ketiga, Puasanya orang yang sangat khusus

“Puasa sangat khusus adalah berpuasanya hati dari keinginan-keinginan yang rendah dan pikiran-pikiran duniawi serta menahan hati dari segala tujuan selain Allah secara totalitas.”

Tingkatan ini adalah tingkatan puasa yang paling tinggi, sehingga paling berat dan paling sulit dicapai. Selain menahan diri dari makan, minum dan berhubungan, serta menahan seluruh anggota badan dari perbuatan maksiat, tingkatan ini menuntut hati dan pikiran orang yang puasa untuk selalu fokus pada akhirat, memikirkan hal-hal yang mulia dan memurnikan semua tujuan untuk Allah semata.

Puasanya hati dan pikiran, itulah hakekat dari puasa sangat khusus. Puasanya hati dan pikiran dianggap batal ketika ia memikirkan hal-hal selain Allah, hari akhirat dan berfikir tentang (keinginan-keinginan) dunia, kecuali perkara dunia yang membantu urusan akhirat. Inilah puasa para nabi, shiddiqin dan muqarrabin. (Imam Abu Hamid al-Ghozali, Ihya’ Ulumiddin, 1/234)

Betapa banyak orang berpuasa namun balasan dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga semata. Dan betapa banyak orang melakukan shalat malam (tarawih dan witir) namun balasannya dari shalatnya hanyalah begadang menahan kantuk semata.

Baca: Keutamaan Shalat Berjamaah Shaf Paling Belakang

Demikian penjelasan Tiga Tingkatan Orang Berpuasa Menurut Imam Ghazali.  Semoga kita tidak termasuk dalam golongan yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam diatas, Aamiin ya Rabbal ‘Aalamiin.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: bangkitmedia.com

Picture by darunnajah.com

Lima Harapan Pegiat Ramadhan

Apa sebenarnya cita-cita dan harapan seorang muslim yang giat di bulan Ramadhan? Jawabannya tergambar dalam doa yang sering dipanjatkannya di sepanjang malam bulan Ramadhan. Tentu saja doa-doa itu banyak sekali. Penulis membatasi pada “Doa Kamilin” saja yang biasa dibaca usai Shalat Tarawih. 

Nama “Kamilin” diambil dari salah satu kalimat awal dalam doa tersebut. Doa itu lumayan panjang hingga satu halaman. Ada sekitar 24 permintaan dan harapan yang dipanjatkan dalam doa tersebut. Kita hanya mengambil 5 kalimat doa saja untuk diuraikan secara singkat dan padat. 

Dalam kitab Mutiara Ramadhan yang disusun oleh Abuya KH Abdurrahman Nawi, doa tersebut berbunyi: 

اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا بِالْإِيْمَانِ كَامِلِيْنَ وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ وَلِلصَّلَاةِ حَافِظِيْنَ وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ. 

Artinya: “Ya Allah, jadikalah kami golongan yang sempurna dengan (di dalam) iman, yang mampu menunaikan berbagai kewajiban, memelihara shalat, melaksanakan zakat dan hanya mencari (ridha) di sisi Engkau.” Hadlirin yang berbahagia, Ada 5 (lima) harapan dan cita-cita dalam doa tersebut. 

Harapan pertama yaitu kesempurnaan iman (اَلْكَامِلِيْنَ بِالْإِيْمَانِ). Bagaimanakah kesempurnaan itu didapat. Baginda RasulullahSaw bersabda:

 اَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ 

Artinya: Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah yang berlaku baik kepada istrinya. (HR Turmudzi) Dalam kitab Mauidhatul Mu’minin karya Syekh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi dikatakan bahwa empat pokok akhlak yang mulia adalah: keberanian, keadilan, kebijaksanaan, dan menjaga kehormatan. 

Harapan kedua, yaitu dapat menunaikan segala kewajiban (وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ) . Maknanya, mampu bertakwa kepada Allah, menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi larangannya. Kemampuan itu dinamakan taufiq yang diciptakan Allah. Apa itu taufiq? Dalam kitab Syarah An-Nawâwi alâ Muslim I/73, taufiq adalah   خَلْقُ قُدْرَةِ الطَّاعَةِ Artinya: “Diciptakannya kemampuan untuk taat kepada Allah.  Berdasarkan QS al-Baqarah ayat 183, kemampuan itu dapat diraih dengan berpuasa di bulan Ramadhan. Allah menjanjikan kita dapat bertakwa dengan ungkapan “la’allakum tattaqun” yang artinya, pasti kalian menjadi orang yang bertakwa jika kalian melaksanakan kewajiban puasa di bulana Ramadhan. 

Baca: Syekh Abdul Qadir Al-Jailani: Orang Yang Berpengaruh di Sekitar Kita

Harapan ketiga, yaitu shalat yang terpelihara (وَلِلصَّلاَةِ حَافِظِيْنَ). Bagaimanakah caranya agar shalat kita terpelihara?. Pertama-tama harus kita pahami bahwa Allah tidak hanya memerintahkan shalat tapi memelihara dan menegakkan shalat.  Allah SWT berfirman:   

أَقِمِ الصّلَاةَ لِذِكْرِيْ 

Artinya: “Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku (Allah).” 

(QS Thaha: 14) 

حَافِظٌوْا عَلىَ الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وقُوْمُوْا للهِ قَانِتِيْنَ  

Artinya: “Peliharalah shalat 5 waktu dan shalat wustha (Ashar). Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (QS al-Baqarah: 238) 

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّيْنَ. اَلَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَ. اَلَّذِيْنَ هُمْ يُرَاؤُوْنَ وَيَمْنَعُوْنَ اْلمَاعُوْنَ 

Artinya: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”

(QS al-Ma‘un: 4-6) Kita tidak diperintahkan shalat saja. Tapi menegakkan, mendirikan, dan memelihara shalat kita. Shalat kita harus lurus, tegak, dan terpelihara. Niatnya lurus. Caranya lurus. Hatinya khusyu’. Maka hasilnya pun juga insyaallah lurus dan benar. Yaitu tercegah dari perbuatan keji dan mungkar.   

Harapan keempat, menjadi golongan penunai zakat (وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ).  Harapan ini adalah harapan yang sangat penting diwujudkan bagi pegiat Ramadhan. Sebab zakat tidak hanya zakat mal saja. Tapi juga zakat fitrah. Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan pada saat bulan Ramadhan. Rasulullah bersabda:  

 فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةٌ لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ 

Artinya: “Rasulullah mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih orang yang berpuasa dari ucapan yang tidak berfaidah dan jelek.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah) 

Baca: Hisab Dunia Meringankan Hisab Akhirat

Harapan kelima, mencari tempat yang mulia dan keridhaan di sisi Allah (وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ).  Harapan ini menjadi harapan penyempurna bagi seluruh harapan pegiat Ramadhan. Artinya, semua amal ibadah kita harus ditujukan semata-mata hanya karena mengharap ridha Allah (ikhlas).  Al-Imam Al-Haddad berkata dalam kitabnya an-Nashâ’ihud Dîniyyah:  

مَعْنىَ الْإِخْلاَصِ أَنْ يَكُوْنَ قَصْدُ اْلإِنْسَانِ فِيْ جَمِيْعِ طَاعَاتِهِ وَأَعْمَالِهِ مُجَرَّدَ التَّقَرُّبِ إِلىَ اللهِ تَعَالىَ وَإِرَادَةِ قُرْبِهِ وَرِضَاهُ, دُوْنَ غَرْضٍ أَخَرَ مِنْمُرَاءَاةِ النَّاسِ وَطَلَبِ مَحْمَدَةٍ مِنْهُمْ أَوْ طَمَعٍ  

“Pengertian ikhlas adalah seseorang di dalam seluruh ketaatan dan perbuatannya ditujukan semata-mata karena berusaha mendekat kepada Allah dan menginginkan kedekatan dan keridhaannya. Tidak ada maksud yang lain seperti ingin pamer, dipuji atau mengharap sesuatu dari makhluk (tamak).” 

Semoga Allah mengabulkan semua harapan dan doa tersebut. Amîn ya rabbal ‘alamin.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: islam.nu.or.id

Picture by indonesiainside.id