Sekilas Tentang Asal Usul Huruf Arab

Huruf alphabet arab atau yang lebih dikenal dengan sebutan huruf hijaiyah terdiri dari 28 huruf yang dimulai dengan huruf alif dan diakhiri dengan huruf ya. Apabila dibandingkan dengan jumlah huruf dari berbagai Bahasa di dunia yang berkisar 24 sampai 26 huruf maka jumlah huruf arab ini berada di pertengahan antara keduanya. Seperti contoh bangsa Yunani, Romawi, Persia, Sisilia dan Turki memiliki huruf antara 24 sampai 26 huruf, sedangkan bangsa Ibrani, Yunani, Kopti kuna, Hindustan dan lainnya rata-rata memiliki jumlah huruf antara 32 hingga 36 huruf.

Seorang ahli gramatika Arab yang bernama Sibawaihi dan Al Khalil menyebutkan dengan al huruful ‘arabiyyah atau huruful lughatil ‘arabiyyah yang berarti huruf Bahasa Arab, yang mana dengannya tersusun Bahasa Arab. Dari catatan sejarah dikatakan bahwa alphabet Arab yang berjumlah 28 huruf tersebut berasal dari huruf Nabthiyyah (Nabatea) yang sudah mulai digunakan oleh bangsa Arab di masa jahiliyyah atau masa pra Islam di samping huruf atau abjad Ibrani yang mereka pinjam dari orang Yahudi yang mana di masa sebelum Islam mereka sudah mendiami daerah-daerah di sekitar Yatsrib.

Baca: Isra’ Mi’raj, Sains Dan Shalat

Huruf Nabthiyyah adalah huruf yang digunakan oleh bangsa Nabthy yang mendiami bagian utara jazirah Arabi, sejak tahun 150 SM mereka memiliki sebuah pemerintahan yang kokoh. Wiliyah kekuasaan mereka meliputi daerah Damaskus, Madyan, Selat Aqaba, Hejaz, Palestina dan Hirah. Akan tetapi kerajaan ini dihancurkan oleh Imperium Rumawi pada tahun 105 M. Dengan jatuhnya kerajaan mereka maka mereka melarikan diri ke daerah pedalaman jazirah Arab sambil membawa budaya mereka yang kemudian mereka kembangkan di daerah baru tersebut. Di daerah baru inilah tulisan yang mereka bawa mengalami perkembangan yang pada akhirnya menjadi aksara Arab.

Bukti lain yang menguatkan bahwasanya aksara Arab berasal dari aksara Nabthy adalah ditemukannya tulisan pada batu atau yang lebih dikenal dengan nama Naqsh an Nammarah yang berangka tahun 328 M atau hampir tiga abad sebelum kehadiran Islam di jazirah Arab. Menurut para ahli  Naqsh an Nammarah dianggap sebagai suatu jenis tulisan yang pernah berkembang di kawasan sebelah utara jazirah Arab pada masa dulu dan sangat berpengaruh terhadap tulisan Arab yang muncul kemudian. Menurut Muhammad Al Husein Abdul Aziz dinyatakan bahwa Naqsh an Nammarah merupakan suatu contoh yang ada dari tulisan Nabthy yang dipandang sebagai asal usul tulisan Arab Hejazi yang bersahaja. Demikian penejlasan Muhammad Al Husen Abdul Aziz dalam bukunya yang berjudul Dirasatu fil ‘Imarati wa Fununil Islamiyyah.

Daerah hijaz yang terletak di pedalaman jazirah Arab pada saat itu penduduknya masih belum mengenal tulis baca dikarenakan masyarakatnya masih menganut sistem badawah atau berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain (nomaden). Sebagaimana orang-orang Hijaz sebenarnya orang-orang Nabthy sendiri juga merupakan kelompok masyarakat yang suka berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah lain, dan tradisi ini mungkin sudah menajdi kebiasaan yang turun menurun oleh masyarakat kuno yang berlokasi di daerah tandus dan bergurun pasir seperti di jazirah Arab.

Baca: Ikhwan Ash-Shafa: Organisasi Think Tank Bidang Pendidikan dalam Sejarah Peradaban Islam

Pada masa selanjutnya sistem angka yang berasal dari bangsa Nabthy berkembang di daerah Hijaz dan menggeser kedudukan angka Rumawi yang mana sebelumnya pernah menduduki kedudukan yang sangat penting. Hal ini disebabkan oleh munculnya Islam di daerah Hijaz pada abad ke-6 M, yang mana salah satu ajarannya adalah bagi pemeluknya untuk belajar membaca dan menulis. Dengan demikian maka bangsa Arab Quraisy yang semula adalah suatu suku bangsa yang buta huruf kemudian berubah menjadi suku bangsa yang melek huruf. Menurut Dr. Ahmad Amin yakni seorang guru besar sastra di Universitas Qohiroh di Mesir dalam bukunya yang berjudul Fajrul Islam menyatakan bahwa bangsa Arab pada masa pra Islam hanya memiliki 17 orang yang bisa membaca dan menulis, setelah hadirnya Islam berubah menjadi bangsa yang pandai menulis dan membaca. Pernyataan tersebut memberikan bukti bahwa Arab pra Islam merupakan bangsa yang tidak pandai menulis dan membaca.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: media.neliti.com

Picture by almunawwir.com

Ikhwan Ash-Shafa: Organisasi Think Tank Bidang Pendidikan dalam Sejarah Peradaban Islam

: Chanif Ainun Naim

Masyarakat Islam di seluruh dunia seringkali memimpikan masa-masa kejayaan Islam. Masa kejayaan tersebut, atau yang sering disebut sebagai the golden age of Islam merujuk pada satu masa yang ditandai dengan berkuasanya Daulah Abbasiyah. Impian tersebut patut untuk dimaklumi, mengingat saat ini, bisa dikatakan bahwa masyarakat Islam, di seluruh dunia sedang berada dalam masa dimana peran mereka —peran Islam— untuk dunia, di bidang apapun, berada dalam garis yang stagnan (untuk tidak menyebut jumud).

Tidak dapat dipungkiri pula, bahwa masa kepemimpinan Daulah Abbasiyyah, dunia Islam memang berada dalam puncak peradabannya. Seluruh peradaban dunia pada masa itu, dalam bidang apapun, berkiblat pada Islam. Sederek ulama-ulama besar dalam dunia Islam bisa kita sebut untuk menandai era itu; taruhlah Ibnu Sina, dengan karyanya “Al-Qanun fi’t-Tibb”; Al Khwarizmi, dengan karyanya “Kitab Ikhtisar fi Hisab al Jabar wal Muqabala”; Al Farabi, dengan karyanya “Al-Madina al-Fadila”; Imam Bukhari, dengan karyanya “Shahih Bukhari”; dan Imam Muslim, dengan karya magnum opus-nya “Shahih Muslim”.

Sederet nama-nama ulama besar yang gemilang tersebut sudah cukup familiar bagi kita, khusunya para pengkaji Islamic studies. Namun, pada era Daulah Abbasiyah, atau sebut saja era the golden age of Islam, dengan sederet prestasi gemilangnya untuk peradaban dunia, beserta sederet nama ulama besar terkemuka di banyak bidang keilmuan, ada satu kelompok ilmuan cum ulama, yang seringkali luput dari pembahasan, dan tentu saja menjadi misteri yang tidak terpecahkan hingga sekarang, dengan pengaruhnya yang sedemikian besar bagi ulama-ulama besar pula, adalah kelompok ilmuan Ikhwan Ash-Shafa.[1]

Sumbangsih Ikhwan Ash-Shafa bagi dunia Islam sangatlah besar, yang mencakup banyak dimensi keilmuan, termasuk pendidikan. Lalu, siapa saja yang disebut dengan Ikhwan Ash-Shafa? Apa saja sumbangsihnya bagi pemikiran pendidikan? Serta apa saja sumbangsih pemikiran tersebut (yang masih bisa dikais) bagi dunia pendidikan kontemporer? Tulisan ini berusaha menguak pertanyaan-pertanyaan tersebut satu demi satu secara ringkas padat dan jelas sebagai pengantar dalam memahami Ikhwan Ash-Shafa, setidaknya untuk turut mernggambarkan the golden age of Islam dengan segala keagungannya.

Siapakah Ikhwan Ash-Shafa?

Bila dikatakan bahwa Ikhwan Ash-Shafa adalah nama bagi sesosok orang, maka hal tersebut adalah salah. Sebaliknya, Ikhwan Ash-Shafa adalah nama bagi sekelompok ilmuan, telektual, filsuf cum ulama yang memiliki fokus kajian pada bidang pendidikan dan dakwah.[2] Menurut Abu Hayyan At-Tauhidi dan data internal yang didapat dari karya terbesar Ikhwan Ash-Shafa; Rasail Ikhwan Ash-Shawa; bahwa pergerakan mereka dimulai dari tahun 347 H/958 M sampai tahun 373 H/983 M di pusat Kota Bashrah.[3]

Informasi lain menyebutkan bahwa organisasi Ikhwan Ash-Shafa didirikan oleh kelompok syiah Ismailiyah, yang dinisbatkan kepada imam mereka, Ismail bin Ja’far Ash-Shadiq. Pada saat Syiah menjadi penguasa, organisasi ini mulai menyeruak ke permukaan meski tetap mempertahankan kerahasiaannya.[4]

Sebagai sebuah organisasi intelektual, Ikhwan Ash-Shafa mengajarkan dasar-dasar agama Islam yang memiliki muatan nilai untuk memperkokoh ukhuwwah Islamiyyah, dengan pandangan sikap bahwa: “iman seorang muslim tidak sempurna sampai ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri”. Dalam menjalankan misi dakwah, mereka memiliki semangat untuk menyampaikan (tabligh) ilmu pengetahuan yang militan kepada orang lain. Semua anggota organisasi ini menjadi pengajar (mu’allim) bagi seluruh masyarakat di komunitasnya.[5]

Secara umum, kemunculan Ikhwan Ash-Shafa dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap pelaksanaan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran di luar Islam dan untuk membangkitkan kembali rasa cinta kepada ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam. Organisasi ini sangat merahasiakan nama-nama anggotanya. Merekas bekerja secara rahasia karena kekhawatiran akan ditindak oleh penguasa pada waktu itu yang cenderung otoriter, terlebih pada setiap pemikiran yang muncul.[6]

Dalam adikarya terbesar Ikhwan Ash-Shafa, sebuah buku yang berjudul Rasail Ikhwan Ash-Shafa disebutkan bahwa organisasi ini berarti “persaudaraan yang suci”. Persaudaraan antar anggota mereka sangat solid dan keberadaan mereka tidak hanya berpusat di Bashrah, tapi bahkan menyebar di sejumlah negara Islam. Para ikhwan berasal dari beragam profesi, mulai dari kalangan kerajaan, wazir, gubernur, sastrawan, pedagang, bangsawan, ulama, ahli hukum dan lainnya. Namun, sebagian sejarawan meragukan klaim ini, salah satunya adalah Al-Qifthi (1249). Menurutnya, apa yang tercantum dalam kitab Rasa’il masih bisa mengundang perdebatan. Sebab, menurutnya, tidak ditemukan identitas para penulis risalah tersebut. Tak heran, jika hingga kini tetap beredar berbagai spekulasi. Sebagian kalangan menganggap bahwa Rasa’il Ikhwan Ash-Shafa adalah karya keturunan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ada juga yang berpendapat bahwa penulsinya merupakan para filsuf Mu’tazilah periode pertama.

Untuk tetap merahasiakan pergerakannya, mereka kemudian tertuntut untuk lebih selektif dalam memilih anggotanya.[7] Mereka sangat selektif dalam menerima nggota baru dengan melihat berbagai indikator, di antaranya adalah: memiliki ilmu pengetahuan yang luas, memiliki loyalitas tinggi, memiliki kesungguhan dan memiliki akhlak mulia. Beberapa anggota Ikhwan Ash-Shafa yang diketahui antara lain: Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Masyar al-Basti dikenal dengan nama al-Maqdisy; (2) Abu al-Hasan Ali Ibnu Harun ad-Zanzany; (3) Abu Ahmad al-Mahrajani; (4) Al-Qufy; dan (5) Zaid Ibnu Rifa’ah (Madjidji, 1997: 66). Nama-nama tersebut hanya sebagian kecil dalam daftar kelompok gerakan pendidikan Ikhwan al-Shafa.[8]

Ikhwan Ash-Shafa: Think Tank di Bidang Pendidikan

Pemikiran dari para intelektual cum ulama yang tergabung dalam organisasi Ikhwan Ash-Shafa terkumpul dalam buku berjudul Rasa’il Ikhwan Ash-Shafa yang berisi 51 kesepakatan di antara mereka. Himpunan risalah tersebut memuat penggambaran filsafat Islam yang sudah mencapai puncak yang meliputi segala aspek pengetahuan yang masyhur kala itu. Sehingga, bisa dikatakan mereka adalah semacam think tank organization, suatu organisasi, lembaga, atau kelompok, yang melakukan riset, dalam bidang strategi sosial atau politik, teknologi, dan khususnya pendidikan. [9]

Setidaknya, terdapat tiga karakteristik dari pembahasan yang tertuang dalam himpunan risalah tersebut, yaitu: (1) risalah tersebut memuat tema-tema filsafat-filsafat yang terdapat dalam kitab filsafat pada masa itu; (2) risalah tersebut memuat daftar isi yang dijelaskan dengan panjang lebar sehingga memudahkan pembacanya dalam mempelajari apa yang dibutuhkan; (3) gaya penulisan (uslub) yang digunakan disampaikan dengan cara yang mudah dipahami dan menggunakan kata-kata yang sederhana.[10]

Kitab Risalah Ikhwan Ash-Shafa terdiri atas empat jilid yang memuat ikhtisar tentang pengetahuan yang ada ketika itu. Ikhtisar tersebut mencakup semua objek studi manusia, seperti: ilmu pasti, ilmu alam, musik, etika, biologi,` kimia, metodologi, gramatika, botani, metafisika, alam akhirat, dan lain sebagainya.[11] Informasi secara detail tentang isi risalah Ikhwan al-Shafa ini, dikemukakan oleh Friedrich Dieterici, yaitu: pertama, memuat studi-studi seperti membaca dan menulis, tata bahasa, kalkulasi dan komputasi, ilmu persajakan dan seni puisi, ilmu tentang alamat dan isyarat, ilmu magis, jimat-jimat, kimia dan permainan sulap, perdagangan dan kerajinan, jual beli, komersial, pertanian dan peternakan sapi, serta biografi dan cerita.

Kedua, memuat studi-studi religius yang terdiri dari pengetahuan tentang kitab suci (al-Qur’an), penafsiran kitab suci, ilmu hadits, fiqih dan peringatan Tuhan, kehidupan pertapa, mistisme (sufisme) dan kegembiraan atau pandangan yang membahagiakan. Ketiga, memuat studi-studi filosofikal yang terdiri dari matematika, logika, ilmu berhitung, geometri, astronomi, musik, hubungan aritmatikal dan geometrical, ilmu pengetahuan alam, antropologi, zat, bentuk, waktu dan gerak, kosmologi, produksi, meteorologi, mineralogi, esensi alam dan manifestasinya, botani, zoology, anatomi dan antropologi, daya menanggapi perasaan, embriologi, manusia sebagai mikrokosmos, perkembangan jiwa (evolusi psikis), tubuh dan jiwa, sifat yang sebenarnya tentang perasaan sakit (menderita) dan kesenangan psikis dan fisik, perbedaan bahasa (filologi), pengertian psikologi, dunia kejiwaan (ruh) dan sebagainya.[12]

Pemikiran Ikhwan Ash-Shafa dalam bidasng pendidikan termuat dalam kitab Risalah Ash-Shafa. Konsep-konsep kunci pemikiran pendidikan tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, tentang kewajiban mencari ilmu. Ikhwan Ash-Shafa berpendapat bawha mencari ilmu hukumnya wajib, sebab dengan ilmu, seorang hamba dapat mendekatkan diri kepada Tuhan, mengenal Tuhan, dan beribadah kepada-Nya. Dengan tanpa ilmu, ketiga hal di atas tidak dapat dilakukan dengan baik.[13]Selain itu, Ikhwan Ash-Shafa juga berpendapat bahwa dengan ilmu dapat membuat seorang hamba menjadi beradab dan bersih yang memungkinkan dirinya untuk mendapatkan kenikmatan hidup di dunia dan akhirat. Menurut mereka, dengan ilmu, seorang manusia dapat meningkatkan derajatnya setidngkat dengan malaikat. Seballiknya, tanpa ilmu, manusia adalah sama derajatnya dengan hewan.

Kedua, tentang kewajiban mengajarkan ilmu. Menurut mereka, mengajarkan ilmu hukumnya wajib. Sebab, hal itu merupakan tanggung jawab sosial seorang intelektual, yang harapannya, dapat membawa masyarakat seluruhnya ke dalam cahaya ilmu pula. Guru dan murid harus bekerja sama membuat jejaring pengamalan ilmu dan penyebaran ilmu untuk mencerahkan masyarakat dan membangun peradaban, membentuk masyarakat yang akrab dengan kehidupan beragama, kehidupan duniawi, dan mencapai derajat yang diridhai Allah.[14]

Ketiga, tentang tujuan pendidikan. Menurut Ikhwan Ash-shafa, ilmu adalah gambaran pengetahuan dari jiwa seseorang yang memiliki pengetahuan. Pembelajaran adalah proses mengeluarkan potensi seseorang menjadi hal yang aktual, dan tujuan utama dari proses pendidikan adalah untuk tujuan membentuk moral atau akhlak. Dengan demikian, pendidikan adalah sebuah upaya untuk merealisasikan pengembangan diri seseorang. Totalitas proses pendidikan merupakan aktivitas moral, yaitu agar moral menjadi baik, kebiasaan menjadi positif, dan tindakan seseorang menjadi lurus.[15]

Dengan memiliki nilai-nilai baik tersebut, seseorang akan mampu dan bersedia menyampaikan amanat kepada orang yang berhak, pandai mengendalikan diri, menghormati hak orang lain, bersikap baik kepada tetangga, bersikap tulus kepada sesama, penuh cinta kasih, tidak rakus, tidak suka berkeluh kesah, bersikap empatik, dan berbuat baik tanpa pamrih. Keberadaan nilai-nilai akhlak yang baik tersebut penting sebab bila seseorang pamrih untuk dibalas atas apa yang telah dilakukannya atau punya pamrih untuk disanjung, maka segala hal baik yang telak dilakukannya tidak lagi bernilai kebaikan, melainkan ke-nifaqan, dan tidak pantas bagi orang semacam itu berada di barisan makhluk ruhani yang mulia.[16]

Keempat, tentang metode mendapatkan ilmu pengetahuan. Menurut Ikhwan Ash-Shafa, pengetahuan jika ditilik dari sisi cara memperolehnya dikelompokkan menjadi dua bagian[17], yaitu:

  1. Ma’rifat al-‘aql al-gharizy, yaitu pengetahuan yang dimiliki manusia tanpa proses belajar. Pengetahuan jenis ini pada hakikatnya tidak disebut pengetahuan, tetapi ia adalah dasar bagi pengetahuan. Setiap manusia memiliki pengetahuan jenis ini.
  2. Al-‘ilm al-mustafad al-muktasab, yaitu pengetahuan yang diperoleh manusia melalui pross belajar-mengajar. Jenis pengetahuan inilah yang disebut al-ma’rifat atau al-‘ilm.

Menurut Ikhwan Ash-Shafa, pengetahuan yang diperoleh melalui belajar-mengajar ini terditi atas dua macam pula, yaitu: (a) khabariy; dan (b) nadzhariy. Pengetahuan khabariy diperoleh melalui pemberitaan, baik secara lisan maupun tulisan. Pengetahuan jenis ini mencakup hal-hal yang dapat ditangkap dan dilakukan oleh panca indera. Sedangkan pengetahuan nadzhariy diperoleh melalui penggunaan akal pikiran, yang merupakan kelanjutan dari pengetahuan al-‘aql al-ghaziry.[18]

Kelima, tentang kurikulum pendidikan. Ikhwan Ash-Shafa berpendapat bahwa kurikulu pendidika harus mencakup logika, filsafat, ilmu jiwa (psikologi), pengkajian kitab samawi (al-Qur’an), ilmu kenabian, ilmu syari’at, dan ilmu-ilmu pasti. Namun yang perlu diberi perhatian lebih adalah ilmu keagamaan yang merupakan tujuan akhir dari proses pendidikan.[19]

Keenam, tentang metode pengajaran. Menurut mereka, nbahwa dalam proses pembelajaran harus menggunakan prinsip: “mengajar dari hal yang konkret menuju hal yang abstrak”. Dengan demikian, menurut mereka, bnahwa seorang peserta didik diajarkan untuk melakukan abstraksi (penggambaran atau tashawwur) dari hal-hal konkret yang ada di sekitar mereka. Metode ini membutuhkan pemberian contoh-contoh tertentu dari hal yang konkret untuk kemudian dialukan abstraksi, eksplorasi pemikiran serta penulisan karangan-karangan dari hasil abstraksi tersebut.

Ketujuh, tentang sifat-sifat yang harus dimiliki oleh pecinta ilmu. Menurut Ikhwan Ash-Shafa, seorang pecinta ilmu harus memiliki sifat tawadlu’ (rendah hati, hormat dan ta’dhim kepada guru. Selain itu, seorang pecinta ilmu juga harus memilii sifat as-sual wa as-shumtu (bertanya dan diam); al-istima’ (mendengarkan); at-tafakkur (berpikir/mengenang); al-‘amalu fi al-‘ilmi (mengamalkan ilmu); idraku as-shidqi min nafsihi menemukan kejujuran dari dalam dirinya); katsratu adz-dzikri lini’amillahi (memperbanyak dzikir bahwa kemudahan mencari ilmu adalah nikmat Allah); tarkul ‘ujbi bima yuhsinuhu (meninggalkan kekaguman atas prestasi yangh dicapai).[20]

Kedelapan, tentang sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik. Menurut mereka, seorang pendidik harus memiliki sifat antara lain: lemah lembut dan sayang kepada murid, tidak kecewa melihat murid yang lamban dalam memahami apa yang telah diajarkan, dan tidak rakus dalam meminta imbalan, Zuhud, tidak mengutamakan materi dan niat mengajar hanya karena mencari ridha Allah semata.[21]

   Akhirnya, membayangkan the golden age of Islam tidak hanya sebatas romantisme kejayaan semata. Tetapi, lebih jauh, jika memang ingin membayangkan masa kejayaan tersebut, maka cara yang paling bermartabat adalah dengan mengkaji pemikiran yang turut memberikan sumbangsih bagi kejayaan peradaban itu. Ikhwan Ash-Shafa adalah salah satunya, sebuah organinasi para intelektual yang pergerakannya senyap, layaknya organisasi kader yang berfokus pada isu pendidikan. Mereka mengkritik praktik para penguasa yang dinilai trelah jauh melenceng dari ketentuan agama, dan jawaban mereka adalah melalui penguatan pendidikan.

Konsep pendidikan Ikhwan Ash-Shafa antara lain: (a) mencari ilmu dan mengajarkan ilmu adalah wajib. Sebab, hanya dengan ilmu seseorang mampu mengenal Tuhan dan mendekatkan diri kepada-Nya; (b) pendidikan bertujuan untuk mengoptimnalkan potensi yang dimiliki oleh murid, bukan hanya sebatas pemaksaan kepada murid untuk memahami sesuatu; (c) baik pendidik maupun murid harus memilki akhlaq al-karimah, santun, menjaga kebersihan dan sabar dalam menjalani proses pendidikan. Selain itu, kasih sayang harus emnjadi nilai dasar yang dimiliki, baik oleh guru mapun murid.

Konsep pendidikan yang digali dali pemikiran Ikhwan Ash-Shafa ini dinilai masih relevan dengan pendidikan di era sekarang, dimana pendidikan kita harus bertujuan untuk mencerdaskan seluruh elemen masyarakat, mengedepankan kasih sayang, dan semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Keseluruhan proses tersebut hanya dapat berhasil jika ada keselarasan antara pendidik, murid dan masyarakat.

Referensi:

Sri Ernawati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Safa: Telaah Terhadap Suatu Model Pendidikan Eksklusif”, Master Thesis on Postgraduate Program, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2006,

Rahman Afandi, “Konsep Pendidikan Ikhwan Al-Shafa dan Relevansinya dengan Dunia Postmodern”, Jurnal Insania, Vol. 24, No. 1, 2019 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto,

Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa bagi Pengembangan Dunia Pendidikan”, Jurnal Ta’dib, Vol. 18, No. 01,  Juni 2013,

GanaIslamika.com, “Rasa’il Ikhwanus Shafa (1): Sebuah Adikarya, Kitab Rujukan Paling Misterius”, Gana Islamika: Mozaik Peradaban Islam, Published on 31 October, 2017, https://ganaIslamika.com/ikhwanus-shafa-1-sebuah-adikarya-kitab-rujukan-paling-misterius/, diakses pada 15 Oktober 2020.

Himayatul Izzati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Shafa”, Jurnal Al-Muta`aliyah: Jurnal Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Vol. 1 No. 1 (2016).


[1] Pada dasarnya gerakan Ikhwan ash-Shafa didirikan karena kejenuhan sekelompok ulama’ atas fenomena masyarakat yang terjadi pada paroh akhir abad IV Hijriyah. Periode gemilang yang telah diraih oleh Khalifah Abbasiyah pada saat itu menghasilkan kekayaan yang luar biasa, lihat Sri Ernawati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Safa: Telaah Terhadap Suatu Model Pendidikan Eksklusif”, Master Thesis on Postgraduate Program, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2006, hlm. 113.

[2] Sri Ernawati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Safa…”, hlm. 21-22.

[3] Sri Ernawati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Safa…”, hlm. 23.

[4] Sri Ernawati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Safa…”, hlm. 23.

[5]  Rahman Afandi, “Konsep Pendidikan Ikhwan Al-Shafa dan Relevansinya dengan Dunia Postmodern”, Jurnal Insania, Vol. 24, No. 1, 2019 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto, hlm. 151-152.

[6] Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa bagi Pengembangan Dunia Pendidikan”, Jurnal Ta’dib, Vol. 18, No. 01,  Juni 2013, hlm. 45.

[7] GanaIslamika.com, “Rasa’il Ikhwanus Shafa (1): Sebuah Adikarya, Kitab Rujukan Paling Misterius”, Gana Islamika: Mozaik Peradaban Islam,    Published on 31 October, 2017, https://ganaIslamika.com/ikhwanus-shafa-1-sebuah-adikarya-kitab-rujukan-paling-misterius/, diakses pada 15 Oktober 2020.

[8] Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa…”, hlm. 46.

[9] Rahman Afandi, “Konsep Pendidikan Ikhwan Al-Shafa…”, hlm. 152-153.

[10] Rahman Afandi, “Konsep Pendidikan Ikhwan Al-Shafa…”, hlm. 153.

[11] Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhan Al-Shafa…”, hlm. 46.

[12] Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa…”, hlm. 46-47.

[13] Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa…”, hlm. 48.

[14] Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa…”, hlm. 49.

[15] Himayatul Izzati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Shafa”, Jurnal Al-Muta`aliyah: Jurnal Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Vol. 1 No. 1 (2016), hlm.  109

[16] Himayatul Izzati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Shafa”…, hlm. 110.

[17] Himayatul Izzati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Shafa”…, hlm. 107-108.

[18] Himayatul Izzati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Shafa”…, hlm. 109.

[19] Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa…”, hlm. 49.

[20] Furqon Syarief H., “Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa…”, hlm. 50.

[21] Sri Ernawati, “Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Safa…”, hlm. 92-95.

Sumber Gambar: https://id.wikipedia.org/wiki/Ikhwan_As-Shafa

Sejarah Terbentuknya Muslimat NU

Muslimat Nahdlatul Ulama adalah organisasi kemasyarakatan yang bersifat sosial keagamaan dan merupakan salah satu Badan Otonom dari Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Didirikan pada tanggal 26 Rabiul Akhir bertepatan dengan tanggal 29 Maret 1946 di Purwokerto.

Muktamar NU ke-13 di Menes, Banten, 1938 menjadi momen awal gagasan mendirikan organisasi perempuan NU itu muncul. Dua tokoh, yakni Ny R Djuaesih dan Ny Siti Sarah tampil sebagai pembicara di forum tersebut mewakili jama’ah perempuan. Ny R Djuaesih secara tegas dan lantang menyampaikan urgensi kebangkitan perempuan dalam kancah organisasi sebagaimana kaum laki-laki. Beliau menjadi perempuan pertama yang naik mimbar dalam forum resmi organisasi NU.

Baca: Dibalik Cerita Panggung Krapyak

Secara internal, di NU ketika itu juga belum tersedia ruang yang luas bagi jama’ah perempuan untuk bersuara dan berpartisipasi dalam penentuan kebijakan. Ide itu pun disambut dengan perdebatan sengit di kalangan peserta Muktamar. Setahun kemudian, tepatnya pada Muktamar NU ke-14 di Magelang, saat Ny Djuaesih mendapat tugas memimpin rapat khusus wanita oleh RH Muchtar (utusan NU Banyumas) yang waktu itu dihadiri perwakilan dari daerah-daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat, seperti Muntilan, Sukoharjo, Kroya, Wonosobo, Surakarta, Magelang, Parakan, Purworejo, dan Bandung. Forum menghasilkan rumusan pentingnya peranan wanita NU dalam organisasi NU, masyarakat, pendidikan, dan dakwah.

Akhirnya pada tanggal 29 Maret 1946, bertepatan tanggal 26 Rabiul Akhir 1365 H, keinginan jama’ah wanita NU untuk berorganisasi diterima secara bulat oleh para utusan Muktamar NU ke-16 di Purwokerto. Hasilnya, dibentuklah lembaga organik bidang wanita dengan nama Nahdlatoel Oelama Moeslimat (NOM) yang kelak lebih populer disebut Muslimat NU. Pendirian lembaga ini dinilai relevan dengan kebutuhan sejarah. Pandangan ini hanya dimiliki sebagian kecil ulama NU, di antaranya KH Muhammad Dahlan, KH Abdul Wahab Chasbullah, dan KH Saifuddin Zuhri.

Atas dasar prestasi dan kiprahnya yang demikian, Muktamar NU ke-19 di Palembang pada tahun 1952, Muslimat NU memperoleh hak otonomi. Muktamirin sepakat memberikan keleluasaan bagi Muslimat NU dalam mengatur rumah tangganya sendiri serta memberikan kesempatan untuk mengembangkan kreativitasnya di medan pengabdian. Sejak menjadi badan otonom NU, Muslimat lebih bebas bergerak dalam memperjuangkan hak-hak wanita dan cita-cita nasional secara mandiri. Dalam perjalanannya, Muslimat NU bergabung bersama elemen perjuangan wanita lainnya, utamanya yang tergabung dalam Kongres Wanita Indonesia (Kowani), sebuah federasi organisasi wanita tingkat nasional. Di Kowani, Muslimat NU menduduki posisi penting.

Baca: Sejarah Pedukuhan Krapyak-Panggungharjo

Para ketua umum PP Muslimat NU dari masa ke masa yaitu :

  1. Ny. Chodijah Dahlan (1946-1947)
  2. Ny. Yasin (1947-1950)
  3. Ny. Hj. Mahmudah Mawardi (1950-1979)
  4. Hj. Asmah Syahruni (1979-1995)
  5. Hj. Aisyah Hamid Baidlawi (1995-2000)
  6. Hj. Khofifah Indar Parawansa (2000- sekarang)

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: muslimatnu.or.id

Picture by nu.or.id