Dua Sifat Al-Quran

Sidul memang suka resek kalau lapar. Barusaja datang ia menggebrak meja. “brakkk! Bro! Saya bawa gorengan dari pak Rt nih.. kayaknya enak yi, kalau ngajinya sambil nyemil”.

Setuju, Dul!” -jawab Ki ageng Margajul dibarengi sahutan dari jamaah.

“Ya, udahlah gas!” -ungkap Kiai Margajul.

ذالك الكتاب لا ريب فيه، هدى للمتقين

“Kitab (Al-Quran) ini, yang dibaca oleh Nabi Muhammad, tidak ada keraguan didalamnya. Benar-benar orisinil dari Tuhan. Dan menjadi petunjuk bagi orang yang bertakwa, orang yang dalam progres menaati perintah Allah dan menjauhi larangannya”

Kali ini yang baca adalah ki ageng Margajul langsung. Suaranya agak tua memang, tapi masih fasih. Pembacaan itu beliau lanjut dengan meneruskan bacaan dari tafsir Jalalain. Pada intinya kata beliau, ayat ini menyuguhkan kita tentang dua sifat Al-Quran, otentik dari Tuhan dan menjadi petunjuk orang bertakwa.

Baca: Keutamaan Dan Amalan Bulan Sya’ban

Dalam tafsir Sulaiman Ibnu Muqatil ada cerita mengenai asbab an-nuzul dari ayat ini. Suatu saat Rasul menjalankan misi dakwahnya kepada Ka’ab bin Asyraf dan Ka’ab bin Usaid. Namun bukan penerimaan yang baik yang diperoleh Rasul. Tetapi justru hinaan kepada beliau.

“Semua kitab yang diklaim diturunkan oleh Allah setelah zaman Musa semuanya palsu” -begitu ungkap mereka berdua.

Allah kemudian menurunkan ayat ini sebagai alat pendukung Nabi Muhamad dalam dakwahnya. Al-Qur’an ini memang benar-benar orisinil dari Allah. Lalu kenapa ada saja orang yang meragukan kebenaran Al-Quran, dengan menyatakan bahwa Qur’an adalah sihir, perdukunan, reruntuhan manuskrip umat terdahulu?

Dalam tafsir hasyiah As-Showi, syeikh Ahmad bin Muhamad As-Showi memberikan jawaban yang cukup menarik. Menurutnya, tidak adanya keraguan akan kebenaran Al-Quran itu hanya bagi orang yang mau berpikir dan menalar. Adakah manusia yang mampu memberikan informasi dengan begitu akurat akan segala hal di dunia? Tentu tidak ada.

Sedangkan bagi orang yang tidak mau menerima dan menalar Al-Quran maka akan terus menemui keraguan di dalamnya. Sama persis ketika orang Arab diharuskan meyakini bahwa orang Indonesia mampu melihat jin bernama pocong. Heuheuheu.

“ohhh, jadi Al-Quran pada hakikatnya tidak memiliki keraguan sedikitpun ya. Hanya saja tergantung pada penerimanya. Apakah ia akan menalarnya sehingga tidak ragu lagi, atau malah kekeh menganggapnya sebagai kebohongan Nabi Muhamad?” –ungkap Tasrif.

“ya! Bahkan Al-Quran menerima untuk dihakimi. Ia menantang orang-orang kafir untuk membuat tandingannya. Dan hasilnya mereka tidak mampu. Ada yang mencoba membuat tandingan Al-Quran dengan mengarang sebuah surat tentang gajah. Tapi akhirnya surat itu hanya menjadi olok-olok sepanjang masa.” -tegas Ki ageng Margajul.

Lalu adakah Al-Quran hanya petunjuk bagi orang-orang bertakwa? Tidak, Al-Quran adalah petunjuk bagi siapapun, baik mukmin atau kafir. Asal dia mau menerima dan menalar kebenaran Al-Quran maka dia akan mendapat petunjuk darinya. Terlepas siapapun dia.

Tetapi kenapa yang disebutkan dalam Al-Quran hanya orang-orang bertakwa? Alasannya, sebagaimana disebutkan dalam Siraj Al-Munir karya Khatib As-Syirbini, ada dua. Pertama, karena Allah memuliakan mereka daripada orang kafir. Kedua, karena mereka sudah mampu menikmati petunjuk Al-Quran baik di dunia maupun akhirat.

Syeikh Khatib lalu membagi tingkatan takwa menjadi tiga.

Pertama tingkatan orang awam. Yakni dengan menjauhi syirik, menyekutukan Allah. Takwa jenis ini yang paling banyak dianut di Indonesia. Heuheuheu.

Kedua tingkatan khowash. Yakni dengan menjauhi dosa dan larangan Allah dan menjalani segala perintahnya. Atau dalam kata lain menjalankan semua syariat Allah. Penganut takwa jenis ini juga lumayan banyak.

Baca: Alif Lam Mim, Mencoba Mengungkit Rahasia Tuhan

Ketiga adalah tingkatan khawash al-khawash. Yakni dengan mendedikasikan dirinya kepada Allah. Semua yang dikerjakan diniati karena Allah. Setiap gerak-geriknya seolah diawasi oleh Allah.

“kamu termasuk yang mana, Dul?” -ungkap ki Margajul.

“saya termasuk orang takwa yang sedang lapar. Jadi makan dulu, yi! Daripada habis ini mbahas muttaqin dalam keadaan kelaparan. Moodnya jelek nanti. Hehehehe”

Semua hadirin menyetujui Sidul.

Oleh: Ahmad Miftahul Janah

Picture by walpaperlist.com