Naskh dalam al-Quran

Perubahan setiap zaman dengan sendirinya akan menawarkan problem dan masalah yang berbeda-beda. Hal itu tentunya menyaratkan adanya cara penyelesaian problem yang variatif pula. Oleh karena itu, setiap Nabi yang diutus oleh Allah untuk menuntun umat manusia  selalu membawa visi menasakh/menghapus ajaran Nabi sebelumnya, kecuali dalam urusan bertauhid.

Peradaban yang dihadapi Nabi Isa tentunya sangat kontras dengan peradaban umat Nabi Musa. Sebab itu, melalui Nabi Isa, Allah perlu melakukan beberapa “revisi” hukum supaya menjadi fleksibel dengan zaman yang dihadapi. Fenomena ini bisa kita lihat dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 50. Demikian paparan Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi dalam kitab Tafsirnya.

Selanjutnya, tentu bisa kita tebak, risalah yang dibawa Nabi Muhammad secara otomatis menasakh/menghapus syariat Nabi sebelumnya yang sudah tidak relevan dengan zaman, sebab beliaulah Nabi pamungkas. Jadi ia memikul visi yang paling berat, yaitu menghapus syariat Nabi-Nabi sebelumnya yang sudah tidak relevan lagi diterapkan pada masa beliau dan membawa ajaran yang berisikan hukum-hukum baru. Contoh, hukum mengenai tata cara pensucian najis. Pada zaman Nabi Musa, pakaian yang terkena najis diharuskan dipotong, namun pada zaman Nabi Muhamad hanya perlu dibasuh saja.

Walhasil, bisa kita simpulkan bahwa umat Nabi Muhamad telah berada di puncak peradaban manusia. Sebab risalah hukum yang beliau bawalah yang akan menuntun umat manusia hingga akhir zaman. Pada masa Nabi Muhammad hidup pun terdapat beberapa naskh, seperti ketika perintah melakukan salat menghadap Baitul Maqdis yang diganti dengan perintah shalat dengan menghadap kakbah.

Dalam Tafsir Al-Kasyaf, Syeikh al-Zamakhsyari menceritakan, setelah melihat adanya penghapusan hukum yang ditetapkan Nabi Muhamad oleh beliau sendiri, kaum Yahudi tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menjatuhkan beliau. Tradisi naskh dalam agama Islam menurut Yahudi adalah sebuah kejanggalan, karena hukum yang ditetapkan oleh Nabi Muhamad harus dinasakh sendiri oleh beliau.

Kaum Yahudi kemudian aktif untuk mencela Nabi Muhamad agar keyakinan para pengikutnya mengendur. “Adakah kalian tidak merasa heran dengan Muhamad? Satu waktu ia menyuruh umatnya untuk melakukan ini, dan di lain waktu dia melarangnya dan justru memerintah umatnya melakukan yang lain? Ini bukti jelas bahwa Al-Quran adalah karangan Muhamad sendiri!”, begitu cercaan yang dilayangkan kaum Yahudi.

Untuk menjawab cercaan itu, Allah kemudian menurunkan ayat yang menjelaskan tentang naskh (perevisian hukum), yakni surat Al-Baqarah ayat 106:

ما ننسخ من آية أو ننسها نأت بخير منها أو مثلها

“Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya”

Dalam ayat di atas dengan tegas Allah menyatakan bahwa ia memiliki tradisi menghapus hukum dan menggantinya dengan yang baru. Namun perlu kita ingat hukum pengganti tersebut tentunya memiliki kualitas yang lebih baik daripada hukum sebelumnya, atau setidaknya sepadan. Hal ini tentunya karena skenario kehidupan yang dibuat Tuhan itu bersifat progresif.

Tradisi naskh/penghapusan hukum yang terdapat dalam ayat diatas oleh para ulama dipetakan menjadi tiga bagian.

  1. Naskh tilawah wa hukm (menghapus bacaan dan hukum).

Bagian ini sudah tidak boleh dibaca sebagai Al-Quran lagi dan juga tidak boleh diamalkan. Sebab ayat ini sudah dinasakh secara keseluruhan, baik hukum ataupun bacaannya. Seperti, ayat Tahrim dengan sepuluh kali susuan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah, “Dahulu ada ayat Al-Quran yang meriwayatkan bahwa, untuk menjadi saudara/i sesusuan butuh sepuluh kali penyusuan. Namun setelah itu ayat ini dinasakh dengan lima kali susuan”.

  • Naskh Tilawah wa Baqa hukm (menghapus bacaan dan menetapkan hukumnya)

Bagian ini sebagaimana dikomentari oleh syeikh Zarkasyi dalam kitab Al-Burhan, wajib untuk diamalkan jika memang sudah melewati konsensus untuk ditetapkan hukumnya.  Diantara contohnya adalah ayat tentang rajam yang berbunyi:

الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموها

“Orang tua laki-laki dan perempuan jika melakukan zina maka rajamlah keduanya”

Bagian satu dan dua sangat sedikit jumlahnya dalam Al-Quran, sebab Allah menurunkan Al-Quran untuk dibaca dan diterapkan hukumnya.

  • Naskh hukm wa baqa’ tilawah (menghapus hukumnya dan menetapkan bacaannya)

Bagian ketiga ini sangat banyak dalam Al-Quran. Salah satu contohnya dalam Al-Quran adalah ayat tentang masa ‘iddah selama setahun yang telah dinaskh hukumnya. Mengenai bagian yang ketiga ini, mungkin ada satu pertanyaan menarik, apa hikmah dari hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap? Pertanyaan ini terjawab dengan cermat dalam Kitab Rawa’i al-Bayan. Setidaknya ada dua hikmah yang bisa kita ambil:

Pertama, al-Quran disamping dibaca untuk dipahami dan diamalkan hukumnya ia juga dibaca sebagai kalamullah, sehingga pembacanya mendapat pahala. Oleh karena itu, sekalipun hukumnya telah dihapus, tetapi bacaannya masih tetap ada. Kedua, sebagian besar nasakh itu bertujuan meringankan. Oleh karena itu, ditetapkanlah tilawah dari ayat yang telah dihapus hukumnya sebagai pengingat akan nikmat dihapuskannya kesulitan (masyaqqah).

Untuk menutup tulisan ini saya kira perlu mengutip komentar Syeikh Ali As-Shabuni. Dalam tafsirnya, Rawaiul Bayan, Syeikh Ali As-Shabuni memberikan sebuah komentar menarik tentang masalah naskh, kenapa hukum yang diturunkan kepada umat Nabi Muhamad masih harus ada naskh lagi, padahal syariatnya telah dianggap menasakh syariat Nabi sebelumnya? Islam sebagai agama yang super komprehensif tentu terlampau modern untuk diterapkan secara serentak. Sehingga perlu sebuah tahapan (tadriji) supaya bisa diterima dengan legowo oleh umatnya. Contohnya dalam masalah khamr. Pada awalnya khamr tidaklah diharamkan, meski sudah tampak jelas ia bisa menghilangkan akal peminumnya. Namun Rasul tidak langsung mengharamkannya, butuh empat tahapan untuk mengharamkannya. Karena jika serta merta langsung diharamkan dikhawatirkan muncul konflik. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

Mengenal Pemikiran Tafsir Al-Kabir Fakhruddin Al-Razi #1

Kalangan pegiat tafsir secara keseluruhan nyaris mengenal kitab yang kondang bernama Mafatihul Ghaib, atau dikenal juga Tafsir Al-Razi atau juga Tafsir Al-Kabir. Kehebatan yang terkandung dalam kitab ini sungguh sangat memukau bagi para pembacanya, ia akan banyak menemukan perdebatan di antara para ulama, seolah-olah ia sedang berdialog dengan mufasirnya.

Bahkan yang sampai sekarang penulis kagumi dari Al-Razi adalah beliau menafsirkan surat Al-Fatihah dengan penulisan satu juz penuh, tentu beratus-ratus halaman beliau habiskan demi menafsirkan surat Al-Fatihah itu. Untuk menghilangkan rasa penasaran terkait sosok ulama dan karyanya, penulis sajikan sepak terjangnya secara ringkas.

Baca: Karomah Kiai As’ad Syamsul Arifin

 Sejarah Hidup dan Pendidikan

Ulama tafsir ini biasanya dikenal Al-Razi, lengkapnya adalah Muhammad bin Umar bin Al-Husain bin Hasan bin Ali Al-Quraisyi Al-Tamimi Al-Bakri Al-Tabariztani Al-Razi. Beliau lahir pada tanggal 28 Ramadhan 543 H/1149 M, tepatnya di kota Ray yaitu sebuah kota terkenal di negara Dailan dekat kota Khurasan dan beliau meninggal di daerah Herat (Ray) pada tahun 1290 M. Beliau termasuk ulama besar yang hidup di kawasan Persia bagian utara yang berada dibawah kekuasaan kesultanan Khawarzan dan sebagian di bawah kekuasaan kesultanan Gutiyah.

Awal pendidikan Al-Razi bermula dengan ayahnya sendiri, Dliya’uddin Umar, salah seorang ulama madzhab Syafi’i dan tokoh Asy’ariyyah dalam Ilmu Kalam. Berbagai ilmu ia kuasai, terlihat dari kemampuan Al-Razi dalam penguasaan ilmunya yakni menghafal kitab al-Syamil Ushul Fiqih al-Din karya Imam Al-Haramain tentang Ilmu Kalam dan al-Mustasyfa karya Imam Abu Hamid Al-Gazali tentang Ushul Fiqih.

Setelah ayahnya wafat Al-Razi meneruskan pendidikannya dari sejumlah ulama terkemuka lainnya. Diantaranya ia mendalami Teologi dan Filsafat kepada Al-Majid Simani, guru dari seorang pemikir besar, termasuk juga Al-Suhrawardi. Aktifitas keilmuan Al-Razi sudah tampak dari pertama kali meninggalkan kota kelahiran disekitar Persia. Meskipun tidak menetap lama, namun Al-Razi tercatat pernah pergi ke Khawarizan,  Bukhara,  Samarkhan,  Gazual,  dan India.  Kemampuan berbagai bidang keilmuan memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupannya.

Magnum Ovus Tafsir Al-Kabir

Beberapa karyanya ada yang masih berbentuk manuskrip (tulisan tangan). Adapun karya-karya beliau yang masih bisa ditemukan seperti, dalam bidang Tafsir; Tafsir al-Kabir al-Musamma bi Mafatih al-Ghaib, Tafsir Surah al-Fatihah dan al-Baqarah. Dalam bidang Kalam atau Teologi; al-Mathalib al-‘Aliyah min al-‘Ilmillah, Asas al-Taqdis al-Arba’in fi Ushuluddin, dan Muhassal Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Muta’akhirin min al-Ulama wa al-Hukama’ wa al-Mutakallimin.

Tafsir Mafatih al-Ghaib atau yang dikenal sebagai Tafsir Al-Kabir dikategorikan sebagai Tafsir bir-Ra’yi (tafsir yang menggunakan pendekatan akal), dengan pendekatan Madzhab Syafi’iyyah dan Asy’ariyah. Tafsir ini merujuk pada kitab az-Zujaj fi Ma’ani al-Quran, al-Farra’ wa al-Barrad dan Gharib al-Quran, karya Ibnu Qutaibah dalam masalah Gramatika.

Ada riwayat yang menjelaskan bahwa Al-Razi tidak menyelesaikan tafsir ini secara utuh. Ibnu Qadi Syuhbah mengatakan, “Imam Al-Razi belum menyelesaikan seluruh tafsirnya”. Ajal menjemputnya sebelum ia menyelesaikan Tafsir al-Kabir. Ibnu Khulakan dalam kitabnya Wafiyatul-A’yan  juga berkata demikian.

Baca: Jihad Ilmu Imam Nawawi

Lantas yang menjadi pertanyaan siapakah yang menyempurnakan dan menyelesaikan tafsir beliau? Sampai dimanakah beliau mengarang tafsirnya?.

Ibnu hajar Al-‘Asqalani berpendapat dalam kitabnya, “Yang menyempurnakan tafsir Al-Razi adalah Ahmad bin Muhammad bin Abi Al-Hazm Makky Najamuddin Al Makhzumi Al-Qammuli (w. 727 H) dari Mesir. Penulis Kasyfu Al-Dzunnun juga menuturkan, “Yang merampungkan Tafsir al-Razi adalah Najmuddin Ahmad bin Muhammad Al-Qamuli dan beliau wafat  tahun 727 H. Qadi Al-Qudat Syahabuddin bin Khalil Al-Khuway Ad-Dimasyqi (w. 639 H), juga menyempurnakan apa yang belum terselesaikan dalam tafsir Al-Razi.

Oleh: Irfan Fauzi