Empat Tingkatan Manusia

Imam al Ghazali atau bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i adalah ulama produktif. Tidak kurang 228 kitab telah ditulisnya, meliputi berbagai disiplin ilmu; tasawuf, fikih, teologi, logika, hingga filsafat.

Hingga beliau mendapat predikat Sang Hujjatul Islam (kemampuan daya ingat yang kuat dan bijak dalam berhujjah). Beliau ulama yang sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah, yang merupakan pusat kebesaran Islam pada zamannya.

Baca: Lima Harapan Pegiat Ramadhan

Menurut Imam Al-Ghazali manusia menjadi empat (4) golongan:

 الرجال أربعة، رجل يدري ويدري أنه يدري فذلك عالم فاتبعوه، ورجل يدري ولا يدري أنه يدري فذلك نائم فأيقظوه، ورجل لا يدري ويدري انهلا يدري فذلك مسترشد فأرشدوه، ورجل لا يدري ولا يدري أنه لا يدري فذلك جاهل فارفضوه

Pertama, Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri, ‘seseorang yang berilmu, dan dia mengerti kalau dirinya berilmu.’

Orang ini bisa disebut ‘alim (berilmu). Golongan ini boleh dikuti. Apalagi bagi orang awam yang masih memerlukan pengetahuan, maka sudah selayaknya orang awam duduk bersama dengannya bakal menjadi pengobat hati.

Golongan ini adalah manusia yang paling baik. Manusia yang memiliki kemapanan ilmu, dan dia memahami kalau dirinya itu berilmu, maka ia akan menggunakan ilmunya. Ia berusaha semaksimal mungkin agar ilmunya benar-benar bermanfaat bagi dirinya, orang sekitarnya, dan bahkan bagi seluruh umat manusia. Golongan ini adalah manusia unggul. Manusia yang sukses dunia dan akhirat.

Golongan ini menyadari dirinya mengetahui dan mengamalkan ilmu pengetahuannya. Misalnya orang berilmu itu tahu bahwa “Islam” itu serumpun dengan “salm” yang berarti damai. Kemudian, dia berupaya untuk bersikap santun, merangkul semua pihak, dan menebarkan kasih kepada para penghuni bumi. Ketika dimusuhi dan dimaki pun, orang berilmu tersebut memaafkan pihak yang memusuhi dan memakinya. Orang berilmu semacam itulah yang termasuk ulama yang layak diikuti.

Kedua, Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri, ‘seseorang yang berilmu, tapi dia tidak memahami kalau dirinya mengetahui.’

Golongan ini diumpamakan orang yang tengah tertidur. Manusia yang memiliki ilmu dan kecakapan, tapi dia tidak pernah menyadari kalau dirinya memiliki ilmu dan kecakapan. Golongan ini sering di jumpai di sekeliling pergaulan manusia. Adakalanya ditemukan golongan yang sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa, tapi ia tidak memahami kalau memiliki potensi. Karena keberadaan dia seakan tak berguna, selama dia belum bangun manusia ini sukses di dunia tapi rugi di akhirat.

Golongan kedua ini bukan termasuk manusia ideal. Manusia kedua itu sebenarnya berilmu. Tapi dia tidak benar-benar menerapkan ilmunya dengan baik. Misalnya dia tahu bahwa “Allahu Akbar” berarti Allah Maha Besar. Seyogyanya dia sadar bahwa hanya Allah yang Maha Besar. Mengucapkan kalimat takbir “Allahu Akbar” selain Allah itu kecil. Sebagaimana pada saat shalat, sepatutnya pengucap  “Allahu Akbar” mengucapkan kata-kata baik, bertindak tertib, penuh kerendah hati (sebagaimana tercermin dalam rukuk dan sujud), berhati teduh, berpikiran jernih dan menebar damai. Mengeratkan hubungan dengan Allah (sebagaimana tampak pada gerakan dan ucapan salm di akhir shalat).

Ketiga, Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri, Seseorang yang tidak mengetahui (tidak berilmu), tapi dia memahami alias sadar diri kalau dirinya tidak berilmu.’

Golongan ini masih tergolong manusia baik. Sebab, manusia yang bisa menyadari kekurangannnya. Ia bisa mengintropeksi dirinya dan bisa menempatkan dirinya di tempat yang sepantasnya. Karena dia tahu dirinya tidak berilmu, maka dia belajar.

Dengan belajar itu, sangat diharapkan suatu saat dia bisa berilmu dan tahu kalau dirinya berilmu. Manusia seperti ini sengsara di dunia tapi bahagia di akhirat.

Golongan ketiga ini, adalah manusia yang memang tidak tahu. Namun, dia menyadari bahwa dirinya tidak tahu, sehingga dia selalu belajar dan siap bertanya kepada siapapun yang layak untuk ditanya tentang ilmu dan informasi. Hasilnya, manusia yang tak berilmu semacam ini lambat laun menjadi manusia yang berilmu. Seumpama manusia berilmu bertemu dengan orang golongan ketiga ini, sepatutnya orang berilmu itu berkenan mengajarinya, karena orang golongan ketiga ini adalah pembelajar yang perlu diajari untuk perbaikan masa kini dan masa depan.

Baca: Merasa Lebih Mulia Dari Anjing?

Keempat, Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri, ‘seseorang yang Tidak memahami (tidak berilmu), dan dia paham kalau dirinya tak berilmu.’

Golongan keempat adalah manusia paling buruk. Dia adalah orang bodoh, tapi tidak menyadari kebodohannya. Seharusnya orang bodoh belajar pada orang yang ‘Alim. Tapi orang bodoh yang tidak menyadari dirinya bodoh adalah orang yang enggan belajar. Dia merasa puas dengan kondisi dirinya. Cenderung menolak untuk diajari, bahkan sering berlagak tahu, meski aslinya cuma tidak paham atau tak tahu. Golongan semacam itu adalah manusia bodoh yang tidak bisa diubah dan berubah menjadi baik.

Golongan ini tergolong manusia yang paling buruk. Manusia yang selalu merasa mengerti, selalu merasa tahu, selalu merasa memiliki ilmu, padahal ia tidak tahu apa-apa.

Golongan seperti ini susah disadarkan, kalau diingatkan ia akan membantah sebab ia merasa tahu atau merasa lebih tahu. Paling susah dicari kebaikannya. Golongan seperti ini dinilai tidak sukses di dunia, juga merugi di akhirat.

Untuk itu mari kita intropeksi diri masing-masing. Masuk golongan manakah kita berada?

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: laduni.id

Picture by bincangsyariah.com

Tingkatan Orang Yang Berpuasa

Tiga Tingkatan Orang Berpuasa Menurut Imam Ghazali. Menurut Imam Ghozali r.a, Tingkatan orang berpuasa ada 3, yaitu;

Pertama, Puasanya Orang Awam

“Puasa umum adalah menahan perut dan kemaluan dari menunaikan syahwat.”

Maksudnya, puasa umum atau puasa orang-orang awam adalah “sekedar” mengerjakan puasa menurut tata cara yang diatur dalam hukum syariat. Seseorang makan sahur dan berniat untuk puasa pada hari itu, lalu menahan diri dari makan, minum dan melakukan hubungan badan dengan suami atau istrinya sejak dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari. Jika hal itu telah dikerjakan, maka secara hukum syariat ia telah melaksanakan kewajiban puasa Ramadhan. Puasanya telah sah secara dzahir dari segi ilmu fikih.

Baca: Lima Harapan Pegiat Ramadhan

Kedua yaitu, puasanya orang yang khusus

“Puasa khusus adalah menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan seluruh anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa.”

Tingkatan puasa ini lebih tinggi dari tingkatan puasa sebelumnya. Selain menahan diri dari makan, minum dan melakukan hubungan suami istri, tingkatan ini menuntut orang yang berpuasa untuk menahan seluruh anggota badannya dari dosa-dosa, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Tingkatan ini menuntut baik dzahir maupun batin untuk senantiasa berhati-hati dan waspada.

Ia akan menahan matanya dari melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan menahan telinganya dari mendengarkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan menahan lisannya dari mengucapkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan menahan tangannya dari melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan menahan kakinya dari melangkah menuju hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan seluruh anggota badannya yang lain ia jaga agar tidak terjatuh dalam tindakan maksiat.Tingkatan puasa ini adalah tingkatan orang-orang shalih.

Ketiga, Puasanya orang yang sangat khusus

“Puasa sangat khusus adalah berpuasanya hati dari keinginan-keinginan yang rendah dan pikiran-pikiran duniawi serta menahan hati dari segala tujuan selain Allah secara totalitas.”

Tingkatan ini adalah tingkatan puasa yang paling tinggi, sehingga paling berat dan paling sulit dicapai. Selain menahan diri dari makan, minum dan berhubungan, serta menahan seluruh anggota badan dari perbuatan maksiat, tingkatan ini menuntut hati dan pikiran orang yang puasa untuk selalu fokus pada akhirat, memikirkan hal-hal yang mulia dan memurnikan semua tujuan untuk Allah semata.

Puasanya hati dan pikiran, itulah hakekat dari puasa sangat khusus. Puasanya hati dan pikiran dianggap batal ketika ia memikirkan hal-hal selain Allah, hari akhirat dan berfikir tentang (keinginan-keinginan) dunia, kecuali perkara dunia yang membantu urusan akhirat. Inilah puasa para nabi, shiddiqin dan muqarrabin. (Imam Abu Hamid al-Ghozali, Ihya’ Ulumiddin, 1/234)

Betapa banyak orang berpuasa namun balasan dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga semata. Dan betapa banyak orang melakukan shalat malam (tarawih dan witir) namun balasannya dari shalatnya hanyalah begadang menahan kantuk semata.

Baca: Keutamaan Shalat Berjamaah Shaf Paling Belakang

Demikian penjelasan Tiga Tingkatan Orang Berpuasa Menurut Imam Ghazali.  Semoga kita tidak termasuk dalam golongan yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam diatas, Aamiin ya Rabbal ‘Aalamiin.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: bangkitmedia.com

Picture by darunnajah.com