Batasan Najis yang Tidak Di-ma’fu

Pertanyaan :

Bagaimana batasan najis tidak di-ma’fu (kedatangan najis yang tidak dima’fu) pada redaksi “وحدوث النجاسة التي لا يعفى عنها” ,?

Jawaban:

Pembahasan najis sangatlah luas. Secara umum najis yang mudah dihindar dan dibersihkan maka tidak di-ma’fu. Dalam redaksi tersebut dijelaskan bahwa salah satu batalnya shalat adalah terdapatnya najis yang tidak di-ma’fu. Maksudnya adalah terdapatnya najis yang tidak di-ma’fu pada badan, pakaian, dan tempat orang yang sedang shalat. Oleh sebab itu untuk mengetahui secara rinci batasan najis yang tidak di-ma’fu tersebut maka perlu diketahui pembahasan batasan najis yang di-ma’fu pada badan, pakaian, dan tempat[1] ketika shalat dilaksanakan. Adapun beberapa macam najis-najis yang di-ma’fu sudah dibahas dalam musyawarah Fathul Qorib edisi pertama tanggal 28 Agustus 2020.

Perlu diketahui pula, bahwa permasalahan tentang najis ini sudah dijelaskan dalam fashl tentang syarat sah shalat. Sedangkan syarat sah tersebut menuntut harus terus-menerus terpenuhi selama shalat berlangsung (istimrar ila akhiris shalat). Bila tidak terpenuhi, maka shalatnya batal. Sehingga, dengan demikian, syarat sah shalat berupa harus suci dari najis di badan, pakaian dan tempat shalat mushalli ini harus terus terpenuhi sejak sebelum shalat hingga shalat selesai ditunaikan.

Selanjutnya, yang membatalkan shalat adalah ketika di tengah shalat mushalli terkena najis yang tidak di-ma’fu, baik kering atau basah, baik di pakaian atau badan, dan mushalli mengetahui bahwa benda tersebut adalah najis yang dapat membatalkan shalat, tetapi tidak seketika dibuang.[2] Berbeda jika mushalli seketika membuang najis tidak di-ma’fu yang mengenai badan atau pakaiannya tersebut, atau seketika melepas pakaian yang terkena najis tanpa menggenggamnya, maka hal tersebut tidak membatalkan shalat.[3]

Referensi:

[محمد نووي بن عمر الجاوي, توشيح على ابن قاسم ص 66]

(و) الرابع (حدوث النجاسة) الرطبة أو اليابسة (التي لا يعفى عنها) على بدنه وثوبه وعلم بها من غير إزالتها حالا (ولو وقع على ثوبه) أو بدنه (نجاسة يابسة) أو رطبة (فنفض ثوبه) أو نزعه من غير قبض ولا حمل أو غسلها بصب الماء عليها أو غمس محلها في ماء كثير عنده (حالا) أي قبل مضي أقل الطمأنينة (لم تبطل صلاته) فإن لم يعلم بها إلا بعد الفراغ من الصلاة وجبت عليه الإعادة.


[1] Definisi mengenai badan, pakaian dan tempat shalat sudah dibahas dalam musyawaroh Fathul Qarib seri kedua, tanggal 11 September 2020.

[2] Batasan “seketika” di sini adalah sebelum melewati paling sedikitnya thuma’ninah dalam shalat, dihitung sejak awal mushalli mengetahui ada najis di tubuh atau pakaiannya.

[3] Jika mushalli setelah shalat baru mengetahui bahwa di tubuh atau pakaiannya terdapat najis yang tidak di-ma’fu, maka wajib baginya untuk mengulangi shalatnya (i’adah).

Photo by detik.net.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *