Refleksi Haul ke-32 Almaghfurlah KH. Ali Maksum #3

Rais ‘Amm, Madzhab Politik & Pemikiran

Tepat pada tanggal 30 Agustus hingga 2 September 1981 dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama yang diselenggarakan oleh organisasi keislaman NU di Kaliurang Yogyakarta, memutuskan beberapa hal penting yang kaitannya dengan pergantian pimpinan tertinggi organisasi (Rais ‘Amm) setelah wafatnya Rais ‘Amm sebelumnya, KH. Bisri Syansuri (Pendiri Pesantren Denanyar). Dalam Munas tersebut menghasilkan beberapa poin, diantaranya memilih KH. Ali Maksum sebagai Rais ‘Amm ke 4 Nahdlatuth Ulama. Pada awalnya Kyai Ali menolak untuk dijadikan Rais ‘Amm, penolakan tersebut bukanlah tanpa alasan, karena menurut beliau Rais ‘Amm merupakan tanggung jawab yang hubungannya dengan umat baik di dunia hingga akhirat. Akan tetapi, karena pertimbangan lain serta adanya sebagian peserta Munas yang menjemput Kyai Ali di Krapyak, maka tanggung jawab tersebut tidak bisa dielakkan lagi meskipun Kyai Ali sendiri harus muwun (jawa: menangis) ketika di baiat di hadapan ribuan peserta Munas.

Dalam kepemimpinan Kyai Ali, NU mengeluarkan beberapa keputusan-keputusan penting dalam sejarah, diantaranya menerima asas Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam berorganisasi dan bernegara. Selain itu, melalui Muktamar NU ke-27 di Situbondo, menetapkan bahwa NU harus kembali ke Khittah 1926, artinya secara resmi NU melepaskan diri dari hal-hal yang kaitan formal dengan segala organisasi politik serta memberi hak kepada warga NU untuk mengartikulasikan aspirasi politiknya melalui partai politik yang diinginkan secara bebas, bermartabat dan bertanggung jawab.

Keterangan Foto (ki-ka): KH. Mahrus Ali (Lirboyo), KH As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), KH Ali Maksum (Krapyak)

Selain berjuang di organisasi para ulama’, Kyai Ali juga sosok yang aktif dalam perhelatan politik dan masuk dalam anggota Partai NU. Berbagai langkah nyata yang dilakukan oleh Kyai Ali diantaranya ialah mendukung Partai NU untuk keluar dari barisan Masyumi, dan berusaha keras untuk mengenalkan NU kepada masyarakat pedesaan khususnya di kalangan muslimin yang masih bersifat tradisionalis dengan cara melakukan ceramah pengajian saat momentum hari besar keagamaan.

Terkait pemikiran Kyai Ali, beliau dikenal sebagai sosok yang moderat. Salah satu ungkapan yang dilontarkan oleh Kyai Ali ialah bahwa pintu ijtihad akan tetap terbuka dan bisa dilakukan oleh siapapun, tentunya dengan koridor atau persyaratan yang telah berlaku. Pernyataan tersebut dianggap berani karena bertentangan dengan arus besar pemikiran ummat saat itu yang sebagian besar masih terbelenggu oleh fanatic madzhab serta taklid buta. Pada dasarnya pernyataan tersebut bukanlah tanpa alasan, hal ini beliau sampaikan di tengah kegelisaan intelektualnya. Dari kegelisaan tersebut Kyai Ali menginginkan bahwa NU dan umat Islam lainnya sudah waktunya melakukan pembaharuan, dan hal tersebut harus dimulai dari para tokohnya yang berkompeten.

Sumber:

1) KH. Ali Maksum Ulama, Pesantren dan NU. Ahmad Athoillah (2019).

2) Jejak Sang Pionir Kamus al-Munawwir: KH. A. warson Munawwir. Khalimatun Nisa, Fahma Amirotulhaq, dkk. (2020)

3) Biografi 5 Rais ‘Amm Nahdlatuth Ulama. Badrun Alaina dan Humaidy Abdussami (1995)

4) Antologi NU Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah. Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan (2007)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *