Dalam Bingkai Tugung
Memang Kyai Abbas tidak memaksa untuk harus menerimanya. Beliau menyerahkan semua keputusan kepadanya. Hal itulah yang malahan membuat hatinya gelisah akhir-akhir ini.
Ia kembali memantapkan hatinya tentang pilihan yang akan ia ambil. Pilihan yang masih membuat pikirannya terus menerawang. Antara ya dan tidak.
***
وانْصَبْ فَإنَّ لَذِيذَ الْعَيْشِ فِي النَّصَبِ سافرْ تجد عوضاً عمَّن تفارقه
“Safarlah, engkau akan menemukan pengganti orang-orang yang engkau tinggalkan. Berpeluhlah engkau dalam usaha dan upaya, karena lezatnya kehidupan baru terasa setelah engkau merasakan payah dan peluh dalam bekerja dan berusaha.”
Itulah salah satu gubahan syair Imam Syafi’i kepada mereka para pencari ilmu. Begitu pula dengan Gus Mad. Mungkin Gus Mad merasa tersindir dengan isi syair tersebut. Walaupun di Krapyak Gus Mad sudah ngaji berbagai kitab fan ilmu agama dengan KH. Ali Maksum pun sudah menghatamkan hafalan Al Quran dengan KH. R. Abdul Qodir Munawwir, semua itu lantas tidak membuat Gus Mad merasa puas. Rasa haus terhadap ilmu semakin mendorong keingiannya untuk nyantri di luar Krapyak.
Singkat cerita, atas restu dari Ibundanya, Ny. Khodijah dan juga izin dari para guru, akhirnya ia mantap meninggalkan Krapyak. Ngudi kawruh.
Di daerah Banyuwangi Gus Mad bertemu pengganti orang-orang yang dia tinggalkan. Nama pondok pesantren itu adalah Pondok Pesantren Al-Azhar Tugung. Pondok yang terletak di Dusun Tugung, Kecamatan Sempu Kabupaten Banyuwangi ini didirikan oleh KH.R.Abbas Hasan, salah satu murid Almukarom KH. Muhammad Khalil Al-Maduri. Kyai Abbas merupakan keturunan dari Bapak Raden Mas Wongso Diprodjo alias Hamengkubuwono ke IV.
Di pondok Tugung, Gus Mad diterima sebagai santri ndalem. Entah atas keinginan siapa, antara motivasi Gus Mad untuk bisa lebih banak ngalap berkah dengan Kyai Abbas ataukah permintaan KH. Abbas sendiri.
Sebagai santri ndalem, tentunya Gus Mad harus membantu keperluan keluarga ndalem. Namun itu tidak bisa menjadi alasannya untuk bermalas-malasan untuk mengikuti kegiatan pondok.
Semua kegiatan pondok diikutinya dengan istiqomah. Mulai dari pengajian bandongan Talimulmuta’alim, Bidayah Wan Nihayaah, Durrotun Nashihin, Nashoihud Diniyyah, Sulamuttaufiq, hingga Tafsir Jalalain semuanya ia ikuti dengan sungguh-sungguh. Pengajian kitab-kitab yang dilaksanakan mulai setelah Jamaah Sholat Ashar sampai Isya’ tersebut diampu langsung oleh Kyai Abbas. Setelah jamaah sholat isya , dilanjutkan dengan pengajian beberapa ayat Al Quran yang dibaca oleh Kyai Abbas.
Selain itu, Gus Mad juga mengikuti pengajian takhosshus di ndalem dengan Kyai Abbas hingga kira-kira jam sepuluh malam. Kitab yang dikaji adalah Ihya Uluuddin. Karena tidak ingin menyianyiakan waktu, setelah ngaji ihya’ Gus Mad pergi mengikuti pengajian kitab lagi di komplek-komplek yang diampu oleh santri-santri senior. Biasanya setelah mengampu pengajian di komplek kebanyakan dari mereka juga meminta Gus Mad untuk mengajari Al Quran. Mungkin itu bukti bahwa penguasaan Al Quran Gus Mad memang sudah teruji.
Tidak hanya santri senior, Kyai Abbas juga mengakuinya. Memang Gus Mad tergolong santri istimewa menurut Kyai Abbas. Bukan karena dia sebagai salah satu putra KH. M. Munawwir, gurunya para guru Quran. Akan tetapi mungkin karena kengaliman Gus Mad terutama dalam bidang Al Quran.
Buktinya Kyai Abbas mengutus Gus Mad untuk memimpin majlis sima’an Al Quran setiap Juma’at pagi. Majlis itu diikuti sekitar dua ribuan santri Al-Azhar. Setiap satu majlis, Gus Mad mampu membacakan dua juz dengan hafalan yang lanyah.
Selain karena Ahli Quran, semangat dan rasa haus akan ilmu membuat Kyai Abbas terpikat kepada sosok Gus Mad. Ya, Tempo kemarin Kyai Abbas memberi tawaran kepada Gus Mad. Tawaran seorang Kyai yang menurut kebanyakan para santri mungkin langsung menerimanya. Kyai Abbas menawari Gus Mad untuk menikahi salah satu putrinya.
Pernikahan memang bukan hal yang sepele. Apalagi menikahi Ning dari seorang Kyai Abbas. Tentunya tanggungjawabnya akan lebih berat.
***
Ia kembali memantapkan hatinya tentang pilihan yang akan ia ambil. Keputusan yang sudah ia bicarakan dengan keluarga di Krapyak. Keputusan yang sudah ia istikhorohi. Kuputusan yang juga sesuai isi hatinya.
Ya, tekad Gus Mad sudah bulat. Rasa hausnya terhadap ilmu mengalahkan tawaran Kyai Abbas. Gus Mad lebih memilih untuk melanjutkan perjalanan ngudi kaweruh yang dirasa masih panjang. (*)
*Gus Mad adalah nama kecil dari Al-Maghfurlah KH. Ahmad Munawwir (1937-2001), pendiri PP. Al-Munawwir Komplek L. Di masa muda, beliau pernah nyantri di Al-Azhar selama empat tahun (sekitar1960 -1964 M).