Kiai Zainal Abidin merupakan salah satu putra dari KH. Muhammad Munawwir, pendiri Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak, Yogyakarta. Nama panggilan beliau sejak kecil yakni ‘Zainal’, namun Mbah Ali Maksum memiliki penulisan unik untuk nama ‘Zainal’ sendiri apabila ditulis menggunakan tulisan arab; زينال menjadi tidak memiliki arti atau menjadi lain artinya.
Kiai Zainal ini memiliki perawakan yang kurus, tidak gemuk sama seperti dengan Kiai Sahal Mahfudz serupa dan sulit untuk dibedakan. Bagi yang belum kenal dengan Kiai Zainal, mungkin akan menyangka bahwa Kiai Zainal itu sebagai santri biasa atau orang biasa yang sedang mondok.
Baca: Mbah Zainal: Tiga Tanda Orang Shaleh
Sewaktu Kiai Zainal masih muda kira-kira sekitar tahun 60-an, ketika sore hari beliau berada di depan pondok datang seorang santri baru yang baru saja turun dari becaknya. Santri dulu kalau mondok tentu membawa beras, disamping membawa pakaian secukupnya. Dengan tanpa sungkan santri baru tadi yang turun dari becak meminta tolong kepada orang yang ada di depan pondok.
“Tolong Mas, bawakan kantong beras saya yang satu ini ya” perintah santri baru
“Ayo dibawa ke kantor pondok saja” jawab Kiai Zainal
“Ya iya” sahut santri baru sambil membayar becak
Ketika sampai di kantor pondok, kantong beras 20 Kg itu diletakan di depan pintu. Santri baru pun mengucapkan terima kasih karena sudah mau membawakan kantong beras miliknya itu, kemudian Kiai Zainal pamit meninggalkan santri baru tadi.
Kira-kira 3 hari setelah kejadian tersebut, santri baru pun sudah mulai beraktifitas dengan kegiatannya. Setelah maghrib ketika dia sedang mengaji tiba-tiba pandangan matanya tertuju tajam kedepan. Melihat Sang Guru yang sedang membacakan kitab, sambil angan-angannya melayang membayangkan kejadian 3 hari yang lalu.
Dalam benaknya timbul perasaan tidak enak dan menjadi sebuah pertanyaan besar dalam dirinya.
Baca: Kyai Muhammad Tanwir Abdul Jalil Dan Ketawadhuannya
“Apakah orang itu yang kemarin saya mintai tolong? Betulkah Kiai itu yang membawa kantong berasku kemarin?” santri baru bertanya dengan dirinya sendiri.
Muncul perasaan gelisah dan resah, hingga malamnya dia tidak bisa tidur. Akhirnya diputuskan pagi harinya untuk sowan dan meminta maaf dan pamit pulang. Setelah beberapa hari Kiai Zainal bertanya kepada teman-teman satu kamarnya terkait keberadaan santri tersebut, teman-teman satu kamarnya pun menjawab sudah pulang. Kiai Zainal pun paham dan hanya tersenyum. Allahu Yarham.
Oleh: Tim Redaksi
Sumber: Majalah Al Munawwir