Murojaah dan Ziyadah bagi Hafidzoh yang Haid

Menjalani hidup sebagai seorang hafidzoh tidaklah mudah. Selain membutuhkan ketekunan dan disiplin dalam menghafal Al-Qur’an, mereka juga harus mempertahankan hafalan tersebut seiring waktu. Namun, tantangan besar muncul ketika seorang hafidzoh harus berhadapan dengan masa haid. Sebagaimana diketahui, ada berbagai pendapat dan aturan terkait membaca Al-Qur’an bagi wanita yang sedang dalam kondisi hadas besar, termasuk haid. Lantas bagaimana hukum murojaah (mengulang hafalan) dan ziyadah (menambah hafalan) Al-Qur’an bagi wanita yang sedang haid dengan mengacu pada berbagai sumber dan pandangan ulama.

Hukum muroja’ah (mengulangi hafalan) ketika dalam masa haid.

Ghirah (tekad) untuk selalu dekat dengan Al-Qur’an akan selalu tertancap pada para pecintanya, apalagi sebagai hafidz atau hafidzoh, namun ghirah tersebut acap kali terhalang ketika masa udzur tiba bagi hafidzoh.  Sebagaimana yang telah diketahui, hukum dasar bagi wanita haid adalah tidak boleh menyentuh mushaf dan membacanya. Perinciannya, jika seorang hafidzoh membaca Al-Qur’an dengan niat membaca Al-Qur’an saja atau dibarengi niat berdzikir, membaca kisah-kisah dalam Al-Qur’an, atau tahafudz (menjaga hafalan), maka hukumnya haram. Namun, jika membaca Al-Qur’an tanpa niat qira’ah (membaca) tetapi hanya berniat dzikir, membaca kisah-kisah dalam Al-Qur’an, atau tahafudz maka hukumnya boleh. Dalam Kitab Hasyiah I’anatut Thalibin disebutkan:

قوله: (وقراءة قرآن) أي ويحرم قراءة قرآن, بقصده أي القرآن، أي وحده أو مع غيره.

والحاصل أنه إن قصد القرآن وحده أو قصده مع غيره كالذكر ونحوه فتحرم فيهما. وإن قصد الذكر وحده أو الدعاء أو التبرك أو التحفظ أو أطلق فلا تحرم

“Membaca Al-Qur’an dengan niat qira’ah (membaca) adalah haram (bagi wanita yang sedang haid), baik membaca Al-Qur’an itu sendiri atau bersama niat lainnya. Alhasil, jika bermaksud untuk qira’ah saja atau membaca disertai niat lain seperti dzikir maka haram, tapi jika niat dzikr saja, doa, tabarruk, menghafal atau bahkan membaca tanpa niat tertentu atau sekadar lisannya mengucap ayat Al-Qur’an, maka tidak haram”.

Akan tetapi dalam prakteknya, ada pendapat ulama yang mewanti-wanti para hafidzoh jika hal demikian diatas terjadidengan maksud menjaga kemuliaan Al-Qur’an itu sendiri. Salah satunya adalah Romo KH. R. Muhammad Najib A.Q (Mbah Najib Krapyak) yang cenderung memilih pendapat melarang wanita haid untuk membaca Al-Qur’an. Beliau berpendapat bahwa larangan ini bertujuan untuk lebih menjaga keagungan dan kemuliaan Al-Qur’an al-Karim. Oleh karena itu, para santri di Al Munawwir dianjurkan untuk sam’an wa tho’athan (mendengar dan taat) terhadap dawuh (perintah) beliau.

Hukum Ziyādah (Menambah Hafalan) saat Haid

Dalam pesantren yang mewajibkan santri untuk menghafalkan Al-Qur’an dikenal istilah ziyādah (menambah hafalan Al-qur’an). Hal ini dilakukan setiap hari. Terkadang terdapat kendala bagi seorang santriwati dengan datangnya siklus haid tiba. Jika kita membaca keterangan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan, hukum ziyadah juga diperbolehkan selagi tidak ada shārif (hal yang mengalihkan niat dari batas-batas yang dibolehkan). Jika ada shārif, hukumnya tidak boleh.

Adapun alternatif lain terkait muroja’ah atau ziyadah bagi wanita yang sedang haid untuk untuk tetap bisa dekat dengan Al-Qur’an dimasa sedang udzur, bisa menerapkan cara yang dijelaskan dalam kitab Fiqh Al-Ibadah ‘Ala Madzhab Syafi’i sebagai berikut:

قراءة القرآن أي التلفظ به بحيث تسمع نفسها إذا كانت معتدلة السمع لحديث عبد الله بن عمر عن النبي ﷺ قال (لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئًا من القرآن) (الترمذي ج ١ / أبواب الطهارة باب ٩٨/‏١٣١) ولا مانع إذا أجرت القرآن على قلبها، أو نظرت في المصحف أو حركت لسانها وهمست همسًا بحيث لا تسمع نفسها، فكل ذلك لا يحرم لأنه لا يسمى قراءة.

Membaca Al-Qur’an yakni melafadzkan dengan menggerakkan bibir tanpa suara sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah ibnu Umar, dari Nabi Muhammad berkata “Tidak Boleh seorang yang haid dan junub membaca sesuatupun dari Al-Qur’an” (H.R. Tirmidzi juz 1/ Bab-bab thaharah 98/131). Dan tidak termasuk penghalang jika membaca Al-Qur’an tersebut didalam hati, atau melihat salinan mushaf tanpa mengucapkan ayat-ayat Al-Qur’an, atau menggerakkan mulut tanpa terdengar oleh telinga sendiri. Maka semua itu tidaklah haram karena tidak dinamakan qiraah. (Fiqh Al-Ibadah ‘Ala Madzhab Syafi’i, Juz 1, halaman 197)

Berdasarkan berbagai pendapat ulama dan referensi yang ada, dapat disimpulkan bahwa:

  1. Membaca Al-Qur’an dengan niat semata-mata membaca saat haid hukumnya haram, namun jika dengan niat dzikir, tahaffudz atau ithlaq (membaca Al Qur’an tanpa niat apapun) saja maka diperbolehkan.
  2. Ziyadah (menambah hafalan) juga diperbolehkan selama tidak ada niat yang melanggar aturan.
  3. Hafidzoh dapat menggunakan alternatif metode murojaah yang tidak melanggar aturan membaca Al-Qur’an saat haid (membaca dalam hati, melihat tuisan mushaf tanpa membacanya atau menggerakkan mulut tanpa terdengar telinga sendiri/komat-kamit).

Dengan memahami aturan-aturan ini, diharapkan para hafidzoh dapat tetap menjaga hafalan Al-Qur’an mereka dengan cara yang sesuai dengan syariat, bahkan dalam kondisi haid.

Wallahu a’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *