Gitu Kok Ngaku Cinta al-Qur’an?

Bagi individu yang mengemban mandat dari Tuhan sebagai seorang hamba, tentu Kitab suci al-Qur’an menjadi prioritas paling utama dalam mengawal setiap tindak tanduk kita sebagai hamba.  Mengikuti dan mengamalkan al-Qur’an akan menjadikan kita terbimbing nafhul ilahiah (nilai nilai ilahiah), sebaliknya abai dan mengingkarinya akan membawa kita menuju jurang kebinasaaan. Bagi kita umat Islam yang sudah barang tentu terbebani taklif syariat. Membaca, memahami, dan mengamalkan merupakan suatu keharusan sekaligus bentuk manifestasi penghambaan kita pada Tuhan.

Zaman yang semakin tua ini memunculkan berbagai macam persoalan yang menjadi polemik khususnya bagi umat muslim saat ini. Kemajuan teknologi dan kemampuan intelektual justru menjadikan kita semakin lupa akan tujuan kita singgah di dunia ini. Al-Qur’an yang seharusnya mewarnai setiap gerak gerik kita, tereduksi dengan gadget yang menemani dan “memperdaya” kita setiap saat.  Nilai nilai al-Qur’an semakin termarjinalkan dari kehidupan ini, lebih lebih dengan perkembangan generasi milenial saat ini. Masa-masa yang seharusnya di isi dengan hal positif lagi lagi tergeser oleh peran gadget. Bahkan memberi sedikit waktu barang kali untuk mendaras al-Qur’an dalam sehari pun tak sempat. Jika di luar sana, orang saling menuntut hak dan lupa akan kewajiban, tentu kita harus introspeksi diri, sudahkah pantas kita menuntut hak kita pada orang lain. Tapi kewajiban diri kita akan diri kita sendiri justru abai. Sudahkah kita penuhi hak diri kita sendiri untuk membaca al-Qur’an dan mengamalkannya. Dalam satu hadist, Rasul berpesan pada kita semua agar memenuhi hak anggota tubuh kita, khususnya mata, bagaimana beliau menyuruh umatnya untuk membaca al-Qur’an sebagai kewajiban terhadap indera penglihatan kita sendiri. 

Baca: Opini Tentang Perempuan

Jika seperti ini yang terjadi pantaskah kita merasa menjadi hamba yang cinta al-Quran, masihkah kita merasa generasi Qurani. Kalaupun diukur, kecintaan kita hanya beberapa persen berbanding terbalik dengan kegandrungan kita pada gadget. Alih-alih mau mengamalkan al-Qur’an secara kaffah, membaca aja gak sempat.

Dalam prosesnya al-Qur’an turun dalam rentang waktu yang cukup lama, dua puluh tahun lebih al-Qur’an turun secara tadrijian kepada nabi. Proses inilai yang menengarai adanya satu hal penting bahwa al-Qur’an turun bukan hanya sekedar dibaca ataupun sebagai wacana belaka.

Al-Qur’an hadir bertahap membersamai peristiwa maupun problem yang terjadi pada saat itu, tentu tujuan Tuhan menghadirkannya agar hambanya juga memahami dan meng-internalisasikan pada setiap sendi kehidupan, tanpa terkecuali.

Dewasa ini semakin marak orang membicakan hal tentang al-Qur’an tapi semakin minim orang yang paham dan mengamalkan-nya. Acap kali kita dengar orang mudah sekali mengklaim dirinya paling benar, merasa paling faham akan makna al-Quran, paling totalitas dalam mengamalkan isi kandungan al-Qur’an. Sehingga tak jarang narasi saling menyalahkan, klaim sepihak penuh arogan kerap mewarnai perjalanan religiusitas negeri ini, yang tadinya baru mengenal Islam, baru hafal beberapa ayat sudah berani ngomong di depan publik. Bahkan yang lebih fatal, dia berani membenarkan interpretasinya, demi kepentingannya sendiri dengan legitimasi ayat al-Qur’an.  Seperti inikah pribadi yang cinta al-Quran. Kenapa yang justru mengaku paling Qur’ani justru tindak tanduknya jauh dari nilai nilai al-Qur’an.  Gitu kok ngaku cinta al-Qur’an?

Jika dulu para sahabat berlomba-lomba membaca dan memahami al-Qur’an, bahkan ada yang menghatamkan al-Qur’an dalam sekali salat. Bagaimana dengan kita sekarang? Jika dulu para sahabat tidak merendahkan dan mencerca orang lain, padahal mereka hafal al-Qur’an dan mengamalkan nilai-nilai yang ada di dalamnya. Lantas bagaimana dengan kita sekarang?

Jika orang terbaik di antara kita ialah yang belajar dan mengajarkan al-Qur’an maka dimana posisi kita sekarang, sudahkah kita melakukannya. Masihkah kita merasa terpaksa tiap kali membaca, belajar ataupun maenghafal al-Qur’an. Jika semuanya dilandasi cinta tentu tak akan ada beban sama sekali, karena cinta akan membuat Sahib-nya selalu merasa nyaman dan enggan berjauhan. Jika al-Qur’an telah menjadi “kekasih” kita, sudah barang tentu kita tak akan rela menduakannya, bahkan dengan gadget sekalipun. Jika rasa cemburu sering muncul ketika merasa terabaikan, begitulah kira-kira respon al-Qur’an ketika kita tak pernah “berhubungan” dengan-nya. 

Baca: Pro Kontra Lintas Mazhab Dalam Basmalah

Akan lebih fatal lagi jika prediksi yang telah terucap oleh Rasulullah 14 abad yang lalu bahwa nanti akan datang suatu masa dimana sangat marak orang membaca dan menghafal al-Qur’an tapi “tak melewati kerongkongan” maksudnya tak memberi bekas maupun nilai-nilai akhlakul karimah pada dirinya, justru terjadi pada kita. Bacaan dan banyaknya hafalan hanya sebatas terucap dari bibir. Tentu kita tak akan mau menjadi golongan ini

Coba kita berfikir sejenak. mungkin ada yang salah dengan diri kita. Segitu naifnya kita mengaku cinta al-Qur’an tapi kita alpa bahkan jauh dari esensi al-Qur’an sendiri. 

Oleh: Ibnu Hajar Al Qodiri (Nama Pena)

Santri Madrasah Huffadz 1 Al Munawwir

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

Picture by vecteezy.com

Obituari untuk KH R. M. Najib Abdul Qodir, Sang Pembawa Al-Qur’an

Saya mengenal beliau sejak tahun 1973, ketika itu saya kelas III MI di Klaten, ikut kakak saya KH. Drs. Ja’far A. Syakur (Pengasuh Pondok Pesantren An-Nur Srimpi Karangmojo Gunungkidul) mondok “pasanan” di Krapyak. Mas Ja’far waktu itu kelas III MTs Krapyak. Saya mondok “pasanan” hanya betah 11 hari, tetapi saya sudah merasa mencicipi ilmu membaca al-Qur’an dari Mas Najib (panggilan al-Maghfurlah KH. R. M. Najib Abdul Qadir) saat itu. Saya lupa, apakah saya lulus bacaan Surah al-Fatihah saat itu atau tidak. Tetapi nama Mas Najib sangat membekas di dalam benak saya.

Baru pada tahun 1976 saya benar-benar menjadi santri Krapyak. Saya tidak mengaji al-Qur’an kepada Mas Najib, tetapi kepada al-Maghfurlah KH Ahmad Munawwir di Komplek L. Ketika itu Mas Najib, kalau tidak salah masih mondok di Kudus untuk mengkhatamkan qira’ah sab’ah kepada al-Maghfurlah KH. Arwani Amin Kudus. Setelah Mas Najib boyong dari Kudus, baru saya mengaji al-Qur’an kepada beliau. Perlu diketahui, pada saat itu panggilan “Gus” untuk putra-putra Kyai Krapyak belum populer. Akan tetapi setahu saya, setelah al-Maghfurlah boyong dari Kudus, panggilan “Gus” baru disematkan kepada beliau dan beliau lah satu-satunya putra Kyai Krapyak yang saya panggil dengan sebutan “Gus”.

Ketika mengaji al-Qur’an kepada beliau, saya betul-betul memperhatikan cara membaca beliau. Bagaimana menepatkan makharij al-huruf, shifat al-huruf, ahkam tanwin wa nun taskun ‘ind al-hija’i (hukum tanwin dan sukun ketika bertemu huruf hija’iyah), ahkam al-mim al-sakinah (hukum mim sukun), madd, fawatih al-suwar, ghara’ib al-qira’ah dan lain-lain. Saya sangat terkesan dan mencoba membaca sebagaimana ketika beliau membaca huruf “ج”, “ص”, “ش” dll yang tidak sama dengan bacaan kebanyakan orang. Begitu juga bacaan huruf-huruf qalqalah ketika sukun. Bahkan yang sangat menarik adalah ketika beliau membaca “isymam” pada bacaan “La ta’manna” di Surah Yusuf, saya merasa hati saya bergetar, karena bacaan “isymam” beliau sangat menusuk hati dan terasa sangat sesuai dengan alur ceritanya. Saya membayangkan kakak-kakaknya Nabi Yusuf AS ketika berbicara kepada Nabi Ya’qub AS dengan intonasi dan nada suara sebagaimana yang beliau baca.

Keterangan Foto: Almaghfurlah KH R. Muhammad Najib AQ bersama KH Dr. M. Habib Abdus Syakur

Metode pengajaran al-Qur’an yang dilakukan al-Maghfurlah KH. R. M. Najib A. Qodir memang tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh Guru beliau al-Maghfurlah KH Ahmad Munawwir, yaitu dengan metode sorogan. Metode sorogan adalah metode yang mana santri membaca al-Qur’an, baik bil-hifzh (hafalan) maupun bil-nazhr (membaca dengan melihat mushaf al-Qur’an) di hadapan guru, sedangkan guru mendengarkan atau menyimak bacaan santri itu. Jika terjadi kesalahan bacaan/hafalan guru membetulkannya. Metode sorogan ini di dalam ‘Ulum al-Hadits biasa disebut dengan al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh. Namun, ada hal yang istimewa yang dilakukan oleh al-Maghfurlah KH. R. M. Najib Abdul Qodir, yaitu beliau mempercayakan kepada santri-santri tertentu yang menurut beliau sudah memiliki kompetensi yang cukup dalam bacaan/hafalan al-Qur’an untuk menyimak bacaan santri lain yang masih pemula. Istilah kerennya beliau memilih beberapa santri untuk menjadi asisten beliau dalam mengajar al-Qur’an. Dengan demikian, santri terpilih itu sudah mulai belajar untuk menjadi pengganti beliau atau paling tidak sudah memiliki pengalaman mengajar al-Qur’an sebagaimana yang beliau lakukan. Jadi santri itu dipersiapkan untuk menjadi pengajar al-Qur’an pada masa yang akan datang.

Baca: Gus Baha Di Majlis Tahlil 7 Hari Wafatnya Mbah Najib

Santri beliau yang menjadi asisten tidak berhenti pada proses pembelajaran di Pondok Pesantren dengan metode sorogan saja, akan tetapi juga berlanjut pada acara-acara semaan al-Qur’an, baik yang rutin maupun temporer. Misalnya pada pengajian rutin Ngad Pahingan (Ahad Pahing) NU Bantul. Pada pengajian rutin yang sudah berjalan lebih dari 60 tahun itu, beliau mendapat jatah semaan al-Qur’an sebagai pembuka pengajian rutin lapanan (setiap 35 hari sekali) tersebut. Untuk hal ini biasanya asisten beliau adalah para santri yang sudah khatam al-Qur’an 30 Juz bil-hifzh.

Kira-kira tahun 1980an awal, Departemen Agama RI pertama kali memasukkan cabang Musabaqah Hifzhil Qur’an (MHQ) di dalam Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ). MTQ Nasional waktu itu digelar di Propinsi Aceh. Cabang MHQ 30 Juz Krapyak betul-betul berkibar, karena Juara I dan Juara II dari Krapyak. Juara I Kang Umar (asisten al-Maghfurlah KH Ahmad Munawwir) dan Juara II Gus Najib (panggilan akrab beliau saat itu). Kang Umar, kalau tidak keliru santri komplek L dari Indramayu yang setiap shalat Tarawih di bulan Ramadhan selalu di samping imam Tarawih waktu itu al-Maghfurlah KH. Ahmad Munawwir, untuk menyimak bacaan al-Qur’an imam.

Baca: Do’a Untuk Sang Maestro Al Qur’an

Gus Najib yang Juara II Nasional diajukan untuk mengikuti MHQ Internasional di Syiria, dan seingat saya Gus Najib masuk dalam 5 besar dunia dan MHQ Internasional ini adalah MHQ yang pertama kali diikuti oleh peserta dari Indonesia. Cerita ini saya tulis, karena waktu itu saya sangat bangga dengan capaian yang diperoleh oleh al-marhum al-maghfurlah, yaitu 5 besar dunia. Berarti Pondok Pesantren Krapyak memang berkelas dunia. Berita tentang hal ini, waktu itu, saya tulis di Majalah berbahasa Arab yang diberi nama ‘Ukazh hasil karya santri-santri MA Krapyak di bawah bimbingan al-marhum KH Zainuddin Maftuhin, Lc, dan penulis menjadi salah satu Dewan Redaksi.

Editor: Chanif Ainun Naim

Picture by: Akun Facebook KH Dr. M. Habib abdus Syakur