Sisi Lain Sujud Sahwi yang Terkadang Dilupakan

          Sujud Sahwi merupakan sujud yang dilakukan (salah satunya karena) melupakan sunnah ab’adl dalam shalat. Sujud sahwi ini dilakukan sebelum salam dan dikerjakan dua kali sebagaimana sujud biasa. Adapun yang termasuk ke dalam sunnah ab’adl dalam shalat adalah membaca tasyahud awal, membaca shalawat pada tasyahud awal, membaca shalawat atas keluarga Nabi Saw pada tasyahud akhir, dan membaca qunut pada shalat Subuh serta shalat witir dalam pertengahan bulan Ramadhan.

          Dalam kasus tertentu, terdapat misinterpretasi terkait konsep sujud sahwi. Contohnya, menganggap bahwa meninggalkan sunnah haiat juga berimbas kepada sujud sahwi. Hal ini apabila dilakukan dengan kesadaran penuh maka tidak diperbolehkan karena menambah gerakan shalat di luar rukun.

حاشية القليوبي ج ١ ص ٢٢٥

قَوْلُهُ: (وَلَا تَجْبُرُ سَائِرَ السُّنَنِ) فَلَوْ سَجَدَ لِشَيْءٍ مِنْهَا عَامِدًا عَالِمًا، بَطَلَتْ صَلَاتُهُ وَإِلَّا لَمْ تَبْطُلْ

“Apabila seseorang melakukan sujud sahwi dikarenakan meninggalkan selain sunnah ab’adl dengan mengetahui (konsep sujud sahwi) dan disengaja, maka shalatnya batal”. (Hasyiyah Al-Qalyubiy, juz 1, hal. 225).

          Namun kalau dilakukan sebab kepolosan ilmu (jahl) musholli maka dapat dipertimbangkan dengan melihat kondisinya. Status jahl yang ma’dzur (dianggap sebagai udzur) berlaku bagi 2 golongan yang disebutkan dalam Nihayatul Muhtaj:

نهاية المحتاج الى شرح المنهاج ج٧ ص٤٦٢

(قَوْلُهُ: وَجَاهِلٌ مَعْذُورٌ بِجَهْلِهِ) أَيْ بِأَنْ قَرُبَ عَهْدُهُ بِالْإِسْلَامِ أَوْ نَشَأَ بَعِيدًا عَنْ الْعُلَمَاءِ.

“Orang yang ketidaktahuannya dapat dijadikan udzur adalah orang yang baru masuk Islam (masa keislamannya masih sangat dini) atau ia tinggal di tempat yang jauh dari para ulama (sehingga sulit baginya untuk belajar dan memahami hukum-hukum agama).” (Nihāyatul Muhtāj ‘ala Syarhil Minhaj, juz 7, hal. 462).

Sedangkan orang yang memiliki kesempatan untuk belajar (cth: santri di pondok) tidak memiliki alasan apabila tidak mengetahui hukum islam, terlebih hukum-hukum fikih yang sifatnya fundamental (basic). Dalam kitab Fatawa-nya, Imam Syihabbuddin Ar-Romli mengatakan:

(سُئِلَ) هَلْ تَارِكُ التَّعَلُّمِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهِ الْوَاقِعُ فِي مَعْصِيَةٍ آثِمٌ بِمَنْزِلَةِ تَرْكِ التَّعَلُّمِ وَارْتِكَابِ الْمَعْصِيَةِ أَمْ بِالْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي؟ (فَأَجَابَ) بِأَنَّ مَنْ تَرَكَ تَعَلُّمَ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ تَعَلُّمُهُ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهِ عَالِمًا بِوُجُوبِهِ آثِمٌ بِذَلِكَ فَإِنْ وَقَعَ بِسَبَبِ ذَلِكَ فِي مُحَرَّمٍ جَاهِلًا حُرْمَتَهُ لَمْ يَأْثَمْ بِهِ؛ لِأَنَّ الْآثِمَ فِي الْفُرُوعِ الْمُحَرَّمَةِ شَرْطُهُ الْعِلْمُ بِالْحُرْمَةِ.

“Soal: Apakah orang yang meninggalkan kewajiban belajar ilmu agama (padahal mampu lalu jatuh dalam maksiat karena ketidaktahuannya) berdosa karena meninggalkan belajar dan bermaksiat, atau hanya karena meninggalkan belajar? Jawab: Barang siapa yang tidak mempelajari ilmu yang wajib baginya untuk dipelajari, padahal ia mampu dan mengetahui kewajibannya, maka ia berdosa. Jika kemudian ia terjatuh ke dalam hal yang diharamkan karena tidak tahu keharamannya, ia tidak berdosa atas perbuatan tersebut, karena dosa dalam perkara-perkara terlarang bergantung kepada pengetahuan tentang keharaman itu.” (Kitab Fatawa Ar-Ramli, juz 1, hal. 129).

Mau muncak tapi masih isykal soal sujud? Wajib Baca Ini!

Rukun sujud dalam shalat adalah menempelkan 7 anggota badan ke tempat sujud, seperti dahi, kedua telapak tangan dan kaki. Namun, tak banyak yang mengetahui kalau terdapat diferensiasi antara anggota-anggota sujud tersebut. Dalam sujud, wajib hukumnya untuk membuka dahi sehingga menyentuh tempat sujud, sedangkan kedua telapak tangan dan kaki hukumnya sunnah untuk dibuka. Hal ini dapat diketahui dari keterangan yang termaktub dalam Hasyiyah Al-Bajuri:

(مباشرة الخ) فيجب كشف الجبهة، و يسن كشف اليدين و الرجلين.

“Wajib hukumnya untuk membuka dahi ketika sujud, sedangkan bagi telapak tangan dan kaki hukumnya sunnah.” (Hasyiyah Al-Bajuri, Juz 1, hal. 295).

Sedangkan keterangan dalam Hasyiyah Asy-Syarwani menyebutkan bahwa menutup telapak tangan ketika sujud dihukumi makruh:

(قوله ويسن كشفها الخ) قال في شرح العباب: وينبغي كراهة الستر في الكفين للخلاف في امتناعه ثم رأيت الشافعي رضي الله تعالى عنه نص على ذلك فإنه كره الصلاة وبإبهامه الجلدة التي يجر بها وتر القوس بل قضيته كراهة الصلاة وبيده خاتم أو نحوه انتهى.

حواشي الشرواني – الشرواني والعبادي – ج ٢ – الصفحة ٧٢

“Dan disunnahkan untuk membuka telapak tangan. Dalam Syarh al ‘Ubab, disebutkan bahwa menutup kedua telapak tangan ketika sujud sebaiknya dihukumi makruh, karena adanya perbedaan pendapat tentang tidak dibolehkan untuk menutupnya. Kemudian aku melihat Imam Syafi’i secara tegas menyatakan hal ini. Beliau memakruhkan shalat dengan menutupi bagian tubuh yang tipis, seperti kulit yang digunakan untuk menarik tali busur. Ini menunjukkan bahwa makruh shalat dalam keadaan memakai cincin atau benda serupa di tangan.” (Hasyiyah Asy-Syarwani, Juz 2, hal. 72).

Dalam kondisi tertentu, memang terdapat kendala untuk membuka telapak tangan, seperti ketika kondisi dingin yang sampai taraf darurat (hipotermia dll). Karena sudah diketahui bahwa menutup telapak tangan ketika sujud tidak mempengaruhi keabsahan shalat, maka perlu ditelisik lebih dalam: bagaimana hukum menutup telapak tangan ketika sujud dalam kondisi darurat (hipotermia dll)?

Dalam Ushul Fikih, kita mengenal term ‘azimah dan rukhsah. ‘Azimah diberlakukan ketika keadaan normal (tidak ada ‘udzur), sedangkan rukhsah berlaku ketika ada ‘udzur. Dari prinsip ini, dapat disimpulkan bahwa menutupi telapak tangan ketika sujud dalam kondisi darurat tidaklah dihukumi makruh sebagaimana kondisi normal, karena terdpat unsur udzur (kedinginan/hipotermia). Yang terpenting, dahi tetap dibuka dan sarung tangan yang dipakai tetap memungkinkan sebagian telapak tangan untuk menempel ke tempat sujud meskipun secara tidak langsung (munfashil).

Murojaah dan Ziyadah bagi Hafidzoh yang Haid

Menjalani hidup sebagai seorang hafidzoh tidaklah mudah. Selain membutuhkan ketekunan dan disiplin dalam menghafal Al-Qur’an, mereka juga harus mempertahankan hafalan tersebut seiring waktu. Namun, tantangan besar muncul ketika seorang hafidzoh harus berhadapan dengan masa haid. Sebagaimana diketahui, ada berbagai pendapat dan aturan terkait membaca Al-Qur’an bagi wanita yang sedang dalam kondisi hadas besar, termasuk haid. Lantas bagaimana hukum murojaah (mengulang hafalan) dan ziyadah (menambah hafalan) Al-Qur’an bagi wanita yang sedang haid dengan mengacu pada berbagai sumber dan pandangan ulama.

Hukum muroja’ah (mengulangi hafalan) ketika dalam masa haid.

Ghirah (tekad) untuk selalu dekat dengan Al-Qur’an akan selalu tertancap pada para pecintanya, apalagi sebagai hafidz atau hafidzoh, namun ghirah tersebut acap kali terhalang ketika masa udzur tiba bagi hafidzoh.  Sebagaimana yang telah diketahui, hukum dasar bagi wanita haid adalah tidak boleh menyentuh mushaf dan membacanya. Perinciannya, jika seorang hafidzoh membaca Al-Qur’an dengan niat membaca Al-Qur’an saja atau dibarengi niat berdzikir, membaca kisah-kisah dalam Al-Qur’an, atau tahafudz (menjaga hafalan), maka hukumnya haram. Namun, jika membaca Al-Qur’an tanpa niat qira’ah (membaca) tetapi hanya berniat dzikir, membaca kisah-kisah dalam Al-Qur’an, atau tahafudz maka hukumnya boleh. Dalam Kitab Hasyiah I’anatut Thalibin disebutkan:

قوله: (وقراءة قرآن) أي ويحرم قراءة قرآن, بقصده أي القرآن، أي وحده أو مع غيره.

والحاصل أنه إن قصد القرآن وحده أو قصده مع غيره كالذكر ونحوه فتحرم فيهما. وإن قصد الذكر وحده أو الدعاء أو التبرك أو التحفظ أو أطلق فلا تحرم

“Membaca Al-Qur’an dengan niat qira’ah (membaca) adalah haram (bagi wanita yang sedang haid), baik membaca Al-Qur’an itu sendiri atau bersama niat lainnya. Alhasil, jika bermaksud untuk qira’ah saja atau membaca disertai niat lain seperti dzikir maka haram, tapi jika niat dzikr saja, doa, tabarruk, menghafal atau bahkan membaca tanpa niat tertentu atau sekadar lisannya mengucap ayat Al-Qur’an, maka tidak haram”.

Akan tetapi dalam prakteknya, ada pendapat ulama yang mewanti-wanti para hafidzoh jika hal demikian diatas terjadidengan maksud menjaga kemuliaan Al-Qur’an itu sendiri. Salah satunya adalah Romo KH. R. Muhammad Najib A.Q (Mbah Najib Krapyak) yang cenderung memilih pendapat melarang wanita haid untuk membaca Al-Qur’an. Beliau berpendapat bahwa larangan ini bertujuan untuk lebih menjaga keagungan dan kemuliaan Al-Qur’an al-Karim. Oleh karena itu, para santri di Al Munawwir dianjurkan untuk sam’an wa tho’athan (mendengar dan taat) terhadap dawuh (perintah) beliau.

Hukum Ziyādah (Menambah Hafalan) saat Haid

Dalam pesantren yang mewajibkan santri untuk menghafalkan Al-Qur’an dikenal istilah ziyādah (menambah hafalan Al-qur’an). Hal ini dilakukan setiap hari. Terkadang terdapat kendala bagi seorang santriwati dengan datangnya siklus haid tiba. Jika kita membaca keterangan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan, hukum ziyadah juga diperbolehkan selagi tidak ada shārif (hal yang mengalihkan niat dari batas-batas yang dibolehkan). Jika ada shārif, hukumnya tidak boleh.

Adapun alternatif lain terkait muroja’ah atau ziyadah bagi wanita yang sedang haid untuk untuk tetap bisa dekat dengan Al-Qur’an dimasa sedang udzur, bisa menerapkan cara yang dijelaskan dalam kitab Fiqh Al-Ibadah ‘Ala Madzhab Syafi’i sebagai berikut:

قراءة القرآن أي التلفظ به بحيث تسمع نفسها إذا كانت معتدلة السمع لحديث عبد الله بن عمر عن النبي ﷺ قال (لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئًا من القرآن) (الترمذي ج ١ / أبواب الطهارة باب ٩٨/‏١٣١) ولا مانع إذا أجرت القرآن على قلبها، أو نظرت في المصحف أو حركت لسانها وهمست همسًا بحيث لا تسمع نفسها، فكل ذلك لا يحرم لأنه لا يسمى قراءة.

Membaca Al-Qur’an yakni melafadzkan dengan menggerakkan bibir tanpa suara sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah ibnu Umar, dari Nabi Muhammad berkata “Tidak Boleh seorang yang haid dan junub membaca sesuatupun dari Al-Qur’an” (H.R. Tirmidzi juz 1/ Bab-bab thaharah 98/131). Dan tidak termasuk penghalang jika membaca Al-Qur’an tersebut didalam hati, atau melihat salinan mushaf tanpa mengucapkan ayat-ayat Al-Qur’an, atau menggerakkan mulut tanpa terdengar oleh telinga sendiri. Maka semua itu tidaklah haram karena tidak dinamakan qiraah. (Fiqh Al-Ibadah ‘Ala Madzhab Syafi’i, Juz 1, halaman 197)

Berdasarkan berbagai pendapat ulama dan referensi yang ada, dapat disimpulkan bahwa:

  1. Membaca Al-Qur’an dengan niat semata-mata membaca saat haid hukumnya haram, namun jika dengan niat dzikir, tahaffudz atau ithlaq (membaca Al Qur’an tanpa niat apapun) saja maka diperbolehkan.
  2. Ziyadah (menambah hafalan) juga diperbolehkan selama tidak ada niat yang melanggar aturan.
  3. Hafidzoh dapat menggunakan alternatif metode murojaah yang tidak melanggar aturan membaca Al-Qur’an saat haid (membaca dalam hati, melihat tuisan mushaf tanpa membacanya atau menggerakkan mulut tanpa terdengar telinga sendiri/komat-kamit).

Dengan memahami aturan-aturan ini, diharapkan para hafidzoh dapat tetap menjaga hafalan Al-Qur’an mereka dengan cara yang sesuai dengan syariat, bahkan dalam kondisi haid.

Wallahu a’lam.

Bau Najis Bikin Ragu

Hal yang populer diketahui dalam bab najis adalah pembagiannya kepada 3 sub; mukhaffafah, mutawassitah dan mughallazah. Pembagian ini didasarkkan menurut cara mensucikannya. Acapkali contoh yang diberikan adalah najis-najis yang dapat diidentifikasi secara indrawi (‘ainiyyah) maupun perkiraan (hukmiyyah). Sedangkan aspek najis lain jarang disorot dalam penjelasan kitab-kitab fikih dasar, salah satunya bau dari hasil pembakaran benda najis.

Secara umum terdapat 2 term dalam mendefinisikan hal yang sekilas hampir mirip ini, yakni dukhān (hasil pembakaran benda najis dengan api/asap) dan buhūr (hasil penguapan benda najis). Ketika asap atau uap ini mengenai badan atau pakaian, maka terdapat perincian hukum tersendiri. Jika asap tersebut mengenai baju yang basah maka dihukumi najis, akan tetapi jika bajunya kering maka tidak dihukumi najis karena di-ma’fu (dengan syarat najisnya sedikit,di luar kesengajaan dan bukan hasil pembakaran najis mughalladzah). Dari keterangan ini dapat dipahami bahwa baju yang basah/lembab menjadi najis seketika apabila terkena asap pembakaran benda najis dan memiliki atsar (bau sangit).

قَوْلُهُ دُخَانُ النَّجَاسَةِ) وَكَذَا دُخَانُ الْمُتَنَجَّسِ كَحَطَبٍ تَنَجَّسَ بِبَوْلٍ قَالَ شَيْخُنَا: وَبِهِ يُعْلَمُ مَا عَمَّتْ بِهِ الْبَلْوَى فِي الشِّتَاءِ شَوْبَرِيٌّ، وَهَذَا مُكَرَّرٌ مَعَ قَوْلِهِ فِي أَوَّلِ الطَّهَارَةِ وَمِنْ دُخَانٍ نَجَسٍ إلَّا أَنْ يُقَالَ أَتَى بِهِ تَوْطِئَةً لِقَوْلِهِ وَكَذَا بُخَارُهَا إلَخْ.

(قَوْلُهُ يُعْفَى عَنْ قَلِيلِهِ) مَا لَمْ تَكُنْ هُنَاكَ رُطُوبَةٌ وَإِلَّا فَلَا يُعْفَى عَنْهُ لِتَنْزِيلِهِمْ الدُّخَانَ مَنْزِلَةَ الْعَيْنِ، فَلَوْ زَالَ الرِّيحُ الْكَثِيرُ مِنْ الثَّوْبِ وَلَمْ تَكُنْ رُطُوبَةٌ جَازَتْ الصَّلَاةُ فِي ذَلِكَ الثَّوْبِ، ح ل

“(Asap Najis) dan juga asap dari benda yang terkena najis, seperti kayu bakar yang terkontaminasi dengan air seni. Dikatakan oleh Syekh kami: Dengan ini, diketahui apa yang umum terjadi di musim dingin. Ini diulang dalam pernyataannya tentang thaharah, dan dari asap najis, kecuali jika dikatakan bahwa hal ini digunakan sebagai pengantar untuk pernyataannya, dan juga uapnya, dan seterusnya. (Di-ma’funya najis yang sedikit) selama tidak ada basah/lembap. Jika ada kelembapan, maka tidak ma’fu, karena mereka menyamakan asap dengan zat najis. Jika sebagian besar dari bau hilang dan tidak ada kelembapan, maka shalat dalam pakaian itu diperbolehkan.” (Hasyiyah Al-Bujairami ‘ala Syarh al-Minhaj, juz 1, hal. 102).

Tidak Ada Air, Tidak Ada Batu. Tidak Ada Tisu Bagaimana Tata Caranya Beristinja’ dengan Barang Lainnya?

Ilustrasi Air dan Batu sebagai Alat Istinja. Sumber: Islami.co

Istinja’ dengan barang yang dimuliakan

Istinja hendaknya dilakukan oleh setiap orang muslim yang mukalaf ketika sudah selesai buang air. Istinja ini hukumnya wajib baginya, karena jikalau tidak istinja setelah buang air maka orang tersebut masih dikategorikan orang yang masih membawa najis. Sehingga apabila demikan masih berlangsung orang tersebut tidak sah untuk melaksanakan sholat. Istinja ini dapat dilakukan dengan menggunakan air ataupun batu yang memang bersifat padat, suci, kasar, dan tidak dimuliakan.

Jika menengok baru baru ini, banyak orang-orang melakukan perjalanan jarak jauh yang kurang memperhatikan perihal istinja ini. Beberapa dari mereka tidak menyiapkan media-media untuk beristinja sehingga cenderung menggunakan benda seadanya saja. Padahal dalam istinja ada larangan-larangan untuk menggunakan benda benda yang dimuliakan (muhtarom). Padahal bisa saja di tempat ia melakukan perjalanan mereka menggunakan benda untuk istinja’ yang mana benda itu dimuliakan oleh orang-orang di daerah setempat. Sehingga jika mustanji menggunakan benda yang seadanya saja, akan terdapat kemungkinan penggunaan benda yang dimuliakan ini untuk beristinja’. Tidak jarang pula sebagian dari mreka mengguankan benda yang bisa dibilang perhiasan seperti emas, perak atau bahkan alat transaksi seperti uang.

Lantas apa saja benda yang tergolong muhtarom (dimuliakan) itu? Bagaimana jika benda yang dianggap mulia didaerah tertentu dan tidak dianggap mulia di daerah lain? Dan bagaimanakah hukumnya bersitinja’ dengannya?

Barang yang dimuliakan oleh syariat

Barang ini dimuliakan sehingga tidak diperbolehkan digunakan untuk beristinja’. Termasuk dalam kategori ini adalah buku atau kitab syariat, sampulnya jika masih bersambung dengan nama yang diagungkan (asma al-a’dzam) sampul mushaf baik bersambung atau tidak. Termasuk juga kedalam barang yang dimuliakan adalah bagian dari masjid namun belum hilang persifatannya sebagai bagian dari masjid, bagian tubuh manusia meskipun tergolong kafir al-harbi (orang kafir yang wajib diperangi), serta bagian tubuh hewan yang masih tersambung. Dalam Kitab Hasyiyah al-Bajuri ala Syarhi al-Allamah Ibn al-Qasim al-Ghazi dikatakan :  

ومن المحترم كتب العلم الشرعي وما ينتفع به فيه كالحديث والفقه والنحو والحساب والطب والعروض لا كفلسفة ومنطق مشتمل عليها, وكتب التورة والإنجيل غير المبدلين وما كتب عليه اسم معظم مالم يقصد به غير المعظم, ويلحق بذلك جلده المتصل به دون المنفصل عنه نعم جلد المصحف يمتنع الإستنجاء به مطلقا. ومن المحترم أيضا جزء المسجد ولو منفصلا إلا إذا انقطعت نسبته عنه بأن بيع وحكم بصحة بيعه كما مر. وجزء الأدمي ولو مهدرا كالحربي لأنه محترم من حيث الخلقة وإن كان غير محترم من حيث الإهداء

Termasuk benda-benda yang dimuliakan adalah buku-buku yang bertuliskan ilmu syariat dan yang dapat bermanfaat didalamnya seperti hadis, fiqih, nahwu, hisab, pengobatan, dan arudl. Dikecualikan buku yang bertuliskan tentang filsafat,mantiq dan sesamanya. Termasuk yang dimuliakan pula yakni kitab taurat dan injil yang masih terjaga keasliannya (tidak ada yang diubah). Juga sesuatu yang didalamnya terdapat asma yang diagungkan walaupun tidak bermaksud menulis asma yang diagungkan tersebut. Dan diilhaqkan pula atau termasuk kedalam benda yang dimuliakan yaitu sampul yang masih bersambung dengan buku buku yang dimuliakan diatas, tidak dengan sampul yang sudah terpisah dengannya. Karena sampul mushaf tidak boleh digunakan untuk istija’ secara mutlak.  Dan termasuk kedalam barang yang dimuliakan juga adalah bagian dari masjid walaupun sudah terpisah dari masjid namun masih mengandung persifatan dari masjid itu sendiri seperti halnya ketika bagian tersebut dijual dan dihukumi sah untuk dijual seperti penjelasan sebelumnya. Dan termasuk pula kedalam benda yang dimuliakan adalah bagian tubuh dari anak adam walaupun termasuk dalam kafir harby. Hal ini disebabkan karena kafir harby tersebut masih dimuliakan sebagai manusia, walau tidak dimuliakan dari segi mendapatkan hidayah”.

Bersuci dengan menggunakan alat yang dimuliakan di daerah tertentu dan tidak dimuliakan ditempat lain.

Tidak diperbolehkannya istinja dengan menggunakan benda yang dimuliakan menimbulkan pertanyaan yaitu apakah daerah yang sedah ditempati itu memuliakan atau tidak barang yang tersebut? Adapun benda yang dimuliakan disini adalah benda yang dimuliakan secara syariat, bukan benda yang dimuliakan oleh penduduk tertentu. Sedangkan benda yang dimuliakan berupa emas, perak, dan alat tukar masih boleh digunakan untuk istinja ketika memang tidak dicetak untuk tujuan istinja. Dalam kitab Asna al-Matholib fii Syarhi Roudli at-Tholib karya Syeikh Zakaria Al-Anshari mengatakan :

(ويجوز) ‌الاستنجاء (بذهب، وفضة، وجوهر) ، وبقطعة ديباج نعم حجارة الحرم، والمطبوع من الذهب، والفضة

“Dan diperbolehkan beristinja dengan menggunakan emas, perak, dan permata dan dengan potongan batu hiasan, yaitu batu mulia dan sesuatu yang dicetak dari emas dan perak”. Asna al-Matholib fii Syarhi Roudli at-Tholib Juz :1, hal : 50

Sehingga dapat disimpulkan bahwa istinja yang mana musatnja’ bih-nya menggunakan benda berupa emas dan perak masih diperbolehkan.

Keabsahan beristinja dengan menggunakan emas dan perak ataupun alat tukar berupa uang.

Dalam keadaan ini hendaknya mustanji melihat terlebih dahulu apakah pada emas, perak, atau uang tersebut terdapat asma mu’adzom atau tidak kalau tidak maka sah Namun, kalau ada maka diharamkan menggunakkannya untuk beristinja’. Beristinja pada keadaan ini dikatakan sah ketika memenuhi syarat benda sebagai mustanja bih padat, suci, dapat melepas najis dan tidak terdapat asma mu’adzomnya. Dalam kitab Hasyiyah Bujairomi ala al-Khatib dikatakan :

وشمل غير المهيأ الدراهم والدنانير المضروبة، فإنها لم تطبع للاستنجاء بل للتعامل بها، فيجوز ‌الاستنجاء بها على ما اقتضاه كلامه

Dan termasuk (benda yang diperbolehkan digunakan untuk istinja,) adalah dirham dan dinar yang dicetak tidak untuk dipersiapkan untuk istinja’. Karena pada umumnya dirham dan dinar tidak dicetak untuk untuk istinja’, akan tetapi (dicetak) untuk bertransaksi. Maka diperbolehkan istinja’ jika memang sesuai dengan pernyataan memang uang tersebut dicetak untuk tujuan istinja’.”Hasyiyah Bujairomi ala al-Khatib Juz : 1,Hal : 182.

Maka dapat disimpulkan sah sah saja beristinja’ dengan menggunakan uang jika uang tersebut dicertak atau dibuat tidak dengan tujuan untuk beristinja’, namun untuk bertransaksi. Juga dikatakan sah beristinja’ dengan menggunakan emas dan perak dengan dasar ibaroh yang telah disebutkan sebelumnya.

Wallahu’alam

Kesunahan Wudhu seperti Tastlist dapat berubah menjadi Keharaman. Begini Penjelasannya

Ilustrasi pelaksanaan Tastlits pada basuhan wajah dalam wudhu. Sumber: NyantriYuk.id

Pengaruh Ketersediaan Air untuk Pelaksanaan Tastlits

Tidak bisa dipungkiri bahwa air merupakan sumber utama bagi kehidupan, baik bagi manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan bagi makhluk hidup yang lainnya. Tidak jarang pada kehidupan sehari-hari, kita menemukan dimana disuatu tempat ataupun pada musim-musim tertentu persediaan air sangat terbatas.

Seperti ketika musim kemarau yang menyebabkan persediaan air berkurang, debit sungai menurun, sumur-sumur kering sehingga masyarakat mengalami kekurangan air. Dengan kondisi seperti itu, masyarakat akan berupaya mencari persediaan air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan tak jarang bagi masyarakat untuk membeli air dan berusaha menghemat penggunaan air. Dengan itu, kebutuhan akan persediaan air merupakan kebutuhan pokok bagi manusia.

Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam hal ini setiap muslim memiliki kewajiban sholat, yang mensyaratkan berwudhu. Dan salah satu syarat dalam berwudhu adalah dengan menggunakan air suci mensucikan. Dengan kondisi seperti itu, bagaimana jika seseorang ingin mendapatkan kesunnahan-kesunnahan dalam berwudhu, seperti tastlist, sementara persediaan air terbatas? Atau bagaimana jika ingin mendapatkan kesunnahan-kesunnahan dalam berwudhu, sementara waktu menunjukkan mendekati batas berakhirnya waktu sholat? Berikut penjelasannya.

Keharaman Tatslits. Apakah mungkin?

Imam Syarbini dalam kitab Al-Iqna’ Fi Halli Alfadz Abi Syuja’ meperingatkatkan untuk meninggalkan kesunnahan tastlist dalam berwudhu jika dikhawatirkan berakhirnya batas waktu sholat, bahkan diharamkam ketika mengerjakan kesunnahan tastlist sedangkan waktu sudah menunjukkan batas berakhirnya sholat. Juga diharamkan mengerjakan kesunnahan tastlist dalam kondisi persediaan air terbatas atau kekurangan air dan hanya cukup digunakan untuk mengerjakan fardhu wudhu saja. Selain itu, Imam Syarbini dengan mengutip Imam Al-Jilli dalam kitab Al-I’jaz menejelaskan bahwa batasan air yang terbatas adalah ketika air tersebut cukup untuk melaksanakan fardhu wudhu masing-masing satu kali basuhan dan masih tersisa untuk minum dan kebutuhan lain. Atau air yang jika digunakan untuk taslist menyebabkan air tidak cukup digunakan untuk menyelesaikan fardhu wudhu. Berikut penjelasan dari Imam Syarbini,

(القول في طلب ترك التثليث) تنبيه قد يطلب ترك التثليث كأن ضاق الوقت بحيث لو اشتغل به لخرج الوقت فإنه يحرم عليه التثليث أو قل الماء بحيث لا يكفيه إلا للفرض فتحرم الزيادة لأنها تحوجه إلى التيمم مع القدرة على الماء كما ذكره البغوي في فتاويه وجرى عليه النووي في التحفة أو احتاج إلى الفاضل عنه لعطش بأن كان معه من الماء ما يكفيه للشرب لو توضأ به مرة مرة ولو ثلث لم يفضل للشرب شيء فإنه يحرم عليه التثليث كما قاله الجيلي في الإعجاز

(Pendapat dalam perintah untuk meninggalkan taslist) sebagai pengingat bahwa terkadang diperintahkan untuk meninggalkan taslist seperti ketika sedikitnya waktu sekiranya jika seseorang menyibukkan diri dengannya maka waktu (salat) akan berakhir maka diharamkan baginya untuk menunaikan taslist. Atau ketika sedikitnya persediaan air sekiranya tidak mencukupi baginya kecuali untuk menunaikan kefardhuan maka diharamkan untuk menambahkan (dari yang difardhukan) karena tambahan tersebut memaksa seseorang untuk bertayamum disertai cukupnya air sebagaimana Imam al-Baghawi menyebutkannya dalam kitab fatwanya dan Imam Nawawi sepakat kepadanya sebagaimana dalam kitab Tuhfah. Atau ketika seseorang membutuhkan sisa air dari wudhu karena haus seperti ketika dia memiliki air yang cukup untuk minum jika seseorang berwudu dengan air tersebut satu anggota satu kali basuhan dan jika dia melakukan taslis maka tidak tersisa air sama sekali untuk minum maka haram baginya menunaikan taslist sebagaimana Imam al-Jilli menyebutkannya dalam kitab al-I’jaz. [Imam as-Syirbiny, al-Iqna’ Fi Hilli Alfadzi Abi Syuja’, Dar al-Fikr, 1/51]

Demikian juga Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj menjelaskan tentang tastlist, bahwa diharamkan mengerjakan kesunnahan tastlist ketika waktu sholat terbatas, atau ketika mengerjakan kesunnahan tastlist dapat menyebabkan tidak dapat melakukan sholat secara sempurna. Meninggalkan kesunnahan tastlist dalam kondisi seperti itu merupakan kesunnahan tersendiri bahkan wajib bagi orang tersebut. Atau meninggalkannya sekiranya membutuhkan persediaan air untuk menghilangkan rasa haus, maupun sekiranya air cukup untuk untuk menjaga kesucian dirinya. Jadi, dalam hal ini, itu juga dilarang untuk menggunakan air tersebut untuk segala macam ibadah sunnah. Selain itu, bisa dianjurkan untuk meninggalkannya jika seseorang takut kehilangan waktu yang cukup untuk menyelesaikan shalat berjamaah dan tidak ada alternatif lain. Berikut penjelasan Ibnu Hajar Al-Haitami,

وقد يحرم بأن ضاق الوقت بحيث لو ثلث لم يدرك الصلاة كاملة فيه وقول الشارح أن تركه حينئذ سنة صوابه واجب أو احتاج لمائه لعطش محترم أو لتتمة طهره ولو ثلث لم يتم بل لو كان معه ماء لا يكفيه حرم استعماله في شيء من السنن أيضا وقد يندب تركه بأن خاف فوت نحو جماعة لم يرج غيرها

Dan terkadang (taslist) diharamkan ketika sedikitnya waktu sekiranya jika seseorang menunaikan taslist maka dia tidak dapat menunaikan salat secara sempurna dalam waktu tersebut. Pendapat pensyarah bahwa sesungguhnya meninggalkan (taslist) pada saat itu merupakan hal sunnah adapun yang benar adalah wajib. Atau ketika seseorang membutuhkan airnya karena rasa haus atau karena (untuk) menyempurnakan (ibadah) bersucinya dan jika dia menunaikan taslist maka bersucinya tidak sempurna. Bahkan jika seseorang memiliki air yang tidak mencukupi maka juga diharamkan penggunaannya untuk menunaikan sesuatu dari kesunahan. Dan terkadang disunahkan untuk meninggalkan taslist seperti ketika seseorang khawatir berakhirnya semisal salat jamaah yang tidak bisa diharapkan selain (jamaah) tersebut. [Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, al-Maktabah at-Tijariyyah Kubro, 1/230]

Ketetapan Sunah-Sunah Wudhu pada Seseorang yang Kehilangan Anggota Wudhunya

Ilustrasi pelaksanaan sunah mengusap kedua telinga pada wudhu. Sumber: PesonaPengantin.my

Kesunahan Mengusap Telinga pada Wudhu

Terdapat banyak sekali ibadah yang mensyariatkan wudhu, seperti shalat, tawaf, memegang mushaf, dan lain sebagainya. Berwudhu di samping memiliki syarat dan rukun juga memiliki banyak hal yang sunnah dilakukan untuk menyempurnakannya. Demikian juga termasuk mengusap kedua telinga, yang merupakan salah satu kesunnahan dalam wudhu.

Lalu bagaimana jika seseorang tidak lagi memiliki daun telinga dikarenakan kecelakaan, yang kemudian telinga tersebut diharuskan untuk diperban? Apakah orang tersebut masih dapat melakukan kesunnahan dalam berwudhu? Hal ini sebagaimana dijelaskon oleh Syaikh Ibrahim Al-Baijuri dalam kitab Hasyiyah Al-Baijuri, yang mengatakan bahwa:

وظاهر تقييد الشارح بالجميع أن استيعاب الأذنين بالمسح شرط لأصل السنة, ولكن الأقرب أنه شرط لكمالها حتى لو مسح البعض فقط حصل أصل السنة

Adapun dhahir batasan (dari) pensyarah dengan keseluruhan adalah sesungguhnya meratakan kedua telinga dengan usapan adalah syarat terpenuhinya pokok kesunahan, tetapi yang paling dekat adalah sesungguhnya (meratakan usapan) merupakan syarat untuk kesempurnaan (mengusap telinga) sehingga jika seseorang mengusap sebagian saja maka dia berhasil (menunaikan) pokok kesunahannya. [Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1/106]

Dalam kesunahan mengusap telinga terdapat ashlu sunnah-nya atau pokok kesunahannya tersendiri yaitu dengan mengusap sebagian dari kedua telinga saja. Jika masih tersisa sebagian dari telinga maka masih tetap disunahkan untuk mengusapnya. Sehingga dengan mengusap sebagian telinga saja sudah mendapatkan kesunnahan mengusap telinga dalam wudhu. Bahkan untuk bagian dalam lubang telinga juga terdapat kesunahannya tersendiri.

Bagaimana dengan telinga yang diperban?

Adapun cara mengusap telinga yang masih diperban yaitu cukup dengan mengusap sebagian telinga yang memungkinkan untuk diusap. Sehingga orang tersebut masih dapat melaksanakan ashlu sunnah dari mengusap telinga. Jika sudah tidak memungkinkan untuk diusap, maka disunahkan untuk bertayamum. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj, yang mengutip pendapat dari Imam Al-Isnawi dalam Syarah Al-‘Ubab, yang mengatakan bahwa:

ويسن إذا تعذر مسح الأذنين أن يتيمم عنهما لأنه ‌يسن تطهيرهما

Disunnahkan jika sulit untuk mengusap kedua telinga, maka dapat melakukan tayammum sebagai gantinya karena disunnahkan bersuci dengan kedua telinga tersebut. [Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, al-Maktabah at-Tijariyyah Kubro, 1/347]

Dengan demikian kesimpulan dari penjelasan diatas bahwa jika seseorang tidak memiliki daun telinga atau kedua telinganya dalam keadaan diperban, maka masih dapat melakukan kesunnahan dalam berwudhu dengan mengusap sebagaian dari telinga dan jika kedua telinganya diperban, maka disunnahkan untuk maka dapat melakukan tayammum sebagai gantinya. Wallahua’lam.

Pengaruh Pentingnya Kebersihan Kuku terhadap Kegiatan Bersuci Sehari-hari

Ilustrasi kotor pada kuku. Sumber: Dream.co.id

Memotong kuku merupakan kegiatan yang disunahkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad saw. Syariat kesunahan tersebut dapat diketahui secara seksama dalam banyak hadis yang diriwayatkan oleh para ulama. Seperti yang dikutip oleh Imam As-Syairozy dalam kitab al-Muhadzdzab dari kitab Shahih Muslim

ويستحب أن يقلم الأظافر ويقص الشارب ويغسل البراجم وينتف الإبط ويحلق العانة لما روى عمار بن ياسر رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : { الفطرة عشرة : المضمضة ، والاستنشاق ، والسواك ، وقص الشارب ، وتقليم الأظافر ، وغسل البراجم ، ونتف الإبط ، والانتضاح بالماء ، والختان ، والاستحداد{

Disunahkan untuk memotong kuku dan memendekkan kumis, mencuci ruas jari, mencabut bulu ketiak, dan mencukur rambut kemaluan karena sesuai dengan hadis yang diriwayatkan dari Ammar bin Yasir ra. sesungguhnya Nabi saw. bersabda {kesucian itu ada 10: berkumur, menghisap air ke dalam hidung, bersiwak, memendekkan kumis, memotong kuku, mencuci ruas jari, mencabut bulu ketiak, bersuci dengan air, khitan, dan mencukur rambut kemaluan} [As-Syairozy, Al-Muhadzdzab, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,1/34]

Dalam hal melaksanakan kesunahan-kesunahan di atas seperti memotong kuku dan lain-lain terdapat batasan jarak waktu maksimal. Jarak waktu tersebut disepakati oleh jumhur ulama baik dari ulama ahli hadis maupun ulama ushul fiqh yaitu 40 hari lamanya. Sedangkan anjuran dari ketetapan yang diberikan oleh Imam Syafii dan para ulama Syafiiyyah adalah setiap jumat.

Pengambilan ketetapan tersebut bukan tanpa alasan, melainkan disebabkan oleh perintah Rasulullah saw. untuk memotong kuku dan beliau juga tidak menyukai adanya kotoran di bawah kuku dikarenakan menghalangi sampainya air wudhu ke sela-sela antara kuku dan kulit. Meskipun demikian, dalam beberapa kasus mungkin saja ada beberapa orang yang membutuhkan kuku yang panjang untuk memudahkan urusan mereka. Dampak dari memelihara kuku agar panjang tersebut adalah bertumpuknya kotoran di bawah kuku tersebut. Berikut perbedaan pendapat antara ulama mengenai kotoran di bawah kuku

ولو كان تحت الأظفار وسخ فإن لم يمنع وصول الماء إلى ما تحته لقلته صح الوضوء وإن منع فقطع المتولي بأنه لا يجزيه ولا يرتفع حدثه: كما لو كان الوسخ في موضع آخر من البدن وقطع الغزالي في الإحياء بالإجزاء وصحة الوضوء والغسل وانه يعفى عنه للحاجة

Apabila dibawah kuku terdapat kotoran maka jika tidak menghalangi sampainya air ke bawahnya karena sedikitnya kotoran tersebut maka (tetap) sah wudhunya. Dan jika menghalangi maka Imam al-Mutawally menetapkan bahwa hal tersebut tidak mencukupi bagi orang yang berwudu dan tidak hilang hadasnya. Sebagaimana jika terdapat kotoran di tempat lain pada anggota bahan. Imam al-Ghazali menetapkan dalam kitab Ihya’ dengan memperbolehkannya dan sahnya wudhu dan mandi. Dan sesungguhnya (kotoran) tersebut ditolerir karena adanya kebutuhan [An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, al-Muniriyyah, 1/286]

Sehingga menurut para ulama jika kotoran dibawah kuku tergolong sedikit dengan batasan tidak mencegah sampainya air ke kulit. Namun ketika kotoran tersebut tergolong banyak maka Imam al-Mutawalli menetapkan tidak sahnya wudhu bagi orang yang memiliki banyak kotoran dibawah kukunya. Sedangkan menurut Imam al-Ghazali menetapkan tetap sah wudhunya dikarenakan adanya kebutuhan dan kotoran tersebut ditolerir. Dikuatkan oleh pendapat dari Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fath al-Bari nya

قال القرطبي في المفهم ذكر الأربعين تحديد لأكثر المدة ولا يمنع تفقد ذلك من الجمعة إلى الجمعة والضابط في ذلك الاحتياج وكذا قال النووي المختار أن ذلك كله يضبط بالحاجة وقال في شرح المهذب ينبغي أن يختلف ذلك باختلاف الأحوال والأشخاص والضابط الحاجة في هذا وفي جميع الخصال المذكورة قلت لكن لا يمنع من التفقد يوم الجمعة فإن المبالغة في التنظف فيه مشروع والله أعلم

Imam al-Qurtubi berkata dalam pemahaman penyebutan 40 hari adalah membatasi banyaknya waktu dan tidak dilarang tidak sesuainya dengan bilangan tersebut (jika melakukan kesunahan di atas) dari Jumat ke Jumat (yang akan datang). Batasan dari hal itu adalah kebutuhan begitu pula Imam an-Nawawi berkata bahwa pendapat yang terpilih adalah kesunahan di atas dibatasi dengan kebutuhan. Beliau berkata dalam kitab Syarh al-Muhadzdzab seyogyanya perbedaan waktu tersebut sesuai dengan perbedaan keadaan dan (karakter) manusia dan adapun batasannya adalah kebutuhan dalam perkara ini (memotong kuku) dan semua perkara-perkara yang telah disebutkan. Aku berkata tetapi tidak dilarang pula tidak sesuai dengan hari Jumat karena sesungguhnya berlebihan dalam bersuci pada perkara tersebut merupakan sesuatu yang disyariatkan. Adapun Allah lebih mengetahui [Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Dar al-Ma’rifat, 10/346]

Dari penjelasan diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa memotong kuku merupakan salah satu kegiatan yang dianjurkan oleh Rasulullah saw. Anjuran tersebut dapat diketahui melalui hadis yang diriwayatkan para ulama. Dalam pembahasan lain, waktu maksimal memotong kuku adalah 40 hari atau bisa dilaksanakan setiap hari Jumat. Ketika dilaksanakan lebih sering dari itu maka juga diperbolehkan karena bersungguh-sungguh dalam membersihkan diri merupakan sesuatu yang disyariatkan.

Meskipun demikian, terdapat beberapa orang yang membutuhkan kuku yang panjang untuk memudahkan urusan mereka. Sehingga mereka memelihara kuku mereka dan tidak memotongnya. Oleh sebab kuku yang panjang memungkinkan untuk bertumpuknya kotoran dibawahnya sehingga memungkinkan juga air tidak sampai ke kulit yang wajib terkena air ketika berwudhu. Beberapa ulama membolehkannya dengan berpegangan pada batasan memotong kuku adalah sesuai kebutuhan masing-masing. Sehingga memanjangkan kuku dikarenakan ada kebutuhan merupakan sesuatu yang diperbolehkan namun menyelisihi sunah Nabi saw. yang merupakan pembimbing kita di dunia dan akhirat.

Wallahu a’lam bisshowab.

Teknologi Merambah Tubuh dengan Prostesis, Lalu Bagaimana Hukum Bersucinya?

Ilustrasi Penggunaan Prostesis pada tubuh manusia. Sumber: Sehatq.com

Apa itu Prostesis? dan Bagaimana Islam menanggapinya?

Perkembangan teknologi di era sekarang sudah memasuki berbagai aspek kehidupan dalam rangka memudahkan kehidupan manusia seperti aspek komunikasi, industri, olahraga, juga aspek kesehatan atau medis. Contoh yang dapat kita ambil dari perkembangan teknologi pada aspek medis adalah munculnya prostesis. Prostesis merupakan suatu alat bantu yang menyerupai bentuk bagian tubuh untuk menggantikan bagian tubuh yang terputus atau rusak akibat trauma, penyakit, atau kondisi kelahiran.

Prostesis sangat membantu manusia terlebih jika penggunaannya adalah untuk menggantikan anggota motorik tubuh seperti tangan dan kaki. Prostesis digunakan untuk membantu pasien mendapatkan kembali fungsi tertentu setelah bagian tubuhnya cedera berat karena kecelakaan atau terkena penyakit. Bahkan sekarang sudah mulai dikembangkan organ bionic/robotic di mana kerjanya sudah terintegrasikan dengan sistem syaraf ditubuh. Selain itu prostetis ini juga tahan air sehingga tidak mudah rusak. Sebagai alat bantu manusia, alat ini ada yang dibuat melekat permanen dan ada yang bisa dilepas dengan mudah.

Sedangkan dalam Islam sendiri tangan dan kaki merupakan anggota yang wajib dibasuh ketika seseorang melaksanakan wudhu yang jika tidak dibasuh maka wudhu dianggap tidak sah. Namun, kewajiban membasuh tersebut menjadi gugur ketika seseorang kehilangan tangan atau kakinya. Imam Nawawi menyebutkan dalam kitab Majmu’

وإن كان أقطع اليد ولم يبق من محل الفرض شئ فلا فرض عليه فيه احتراز مما إذا بقى من محل الفرض شئ فإنه يجب غسله بلا خلاف لحديث أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال وإذا أمرتكم بشئ فأتوا منه ما استطعتم رواه البخاري ومسلم

Jika seseorang tidak memiliki tangan dan tidak tersisa tempat (anggota) fardhu (wudhu) sama sekali maka ia tidak memiliki kewajiban pada anggota tersebut. Berbeda jika masih tersisa sebagian  tempat (anggota) fardhu (wudhu) maka wajib membasuhnya. Tidak ada perbedaan pendapat ulama dalam hal tersebut. Karena (sesuai) dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda ketika aku memerintahkan kalian suatu perkara maka lakukanlah semampu kalian HR. Bukhari dan Muslim [An-Nawawi, Majmu’ Syarh Muhadzdzab, al-Muniriyyah, 1/392]

Lantas bagaimana jika seseorang menggunakan prostesis untuk menggantikan anggota tubuhnya dalam hal ini tangan atau kaki kemudian digunakan untuk berwudhu? Apakah mendapat kewajiban untuk membasuh prostesis tersebut? Dalam artikel singkat ini, penulis mencoba menjabarkannya dengan menggunakan kitab turast dan membagi hukum prostesis dengan dua pembagian sebagai berikut

Prostesis Non-Permanen

Dalam berwudhu, seseorang diwajibkan untuk membasuh bagian luar (dhahir) dari anggota tubuh yang diwajibkan dalam wudhu. Dan bagi orang yang terpotong tangan/kakinya wajib pula membasuh bekas bagian potongan jika masih termasuk dalam anggota wajib. Kewajiban membasuh tersebut juga ketika aman untuk dibasuh maksudnya adalah tidak ada kekhawatiran bertambahnya rasa sakit pada bekas potongan tersebut.

Penggunaan prostesis pada bagian tubuh yang terpotong akan menutupi tempat bekas potongan tersebut. Disisi lain, bagian terluar bekas potongan tersebut merupakan sesuatu yang wajib dibasuh ketika wudhu. Imam Ibnu Hajar menjelaskan dalam fatwanya

إن كان ذلك البدل بحيث يمكن بلا خشية مبيح تيمم إزالته وعوده وجبت إزالته وغسل ما تحته

Jika pengganti tersebut sekiranya memungkinkan dengan tanpa kekhawatiran hingga kondisi yang membolehkan tayamum untuk melepasnya dan mengembalikannya maka wajib untuk melepasnya dan membasuh apa yang ada di bawahnya [Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawy al-Fiqhiyyah al-Kubra, al-Maktabah al-Islamiyyah, 1/60]

Kondisi yang membolehkan tayamum maksudnya adalah ketika pelepasan prostesis tidak ada kekhawatiran timbulnya rasa sakit/penyakit, bertambahnya rasa sakit, memperlambat penyembuhan dan lain sebagainya.

Bagian yang wajib dibasuh adalah apa yang tersisa dari anggota tubuh yang terpotong, jika seluruh tangan hingga siku terputus (anggota yang wajib dibasuh dalam wudhu) maka tidak perlu dibasuh dan tidak ada kewajiban melepas prosthetis (tidak dihukumi anggota asli). Jika masih ada pergelangan tangan (sebagian yang wajib dibasuh) maka setiap wudlu prosthesis harus dilepas agar bagian yang ditempeli prostesis (anggota yang wajib) dapat terbasuh.

Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa prostesis non-permanen dengan batasan tidak ada kekhawatiran ketika melepasnya tidak dapat disamakan dengan anggota tubuh asli yang wajib dibasuh ketika berwudhu. Dan wajib dibasuh bagian terluar tubuh yang ditempeli alat prostesis. Sehingga prostesispun wajib dilepas ketika hendak berwudhu.

Batasan-batasan Alat Bersiwak, Bagaimana dengan Pasta Gigi Berperisa Siwak?

Ilustrasi Pasta Gigi dan Siwak. Sumber: Alodokter.com

Pasta Gigi Rasa Siwak

Pohon Arok memiliki nama latin Salvadora Persica banyak ditemukan di kawasan Timur Tengah dan tergolong pohon semak belukar. Batang dari kayu tersebut seringkali dimanfaatkan untuk membersihkan gigi. Menyikat gigi dengan siwak akan membersihkan gigi dan biasanya terdapat sensasi rasa agak pedas karena mengandung minyak esensial di dalamnya. Selain itu terdapat pula beberapa manfaat dari Kayu Arok yaitu memperkuat gigi, mengurangi bau mulut, menghambat terbentuknya plak, dan lain-lain.

Seiring berkembangnya zaman, muncul penggunaan sikat dan pasta untuk membersihkan kotoran di sela-sela gigi. Mengetahui khasiat Kayu Arok untuk membersihkan gigi, beberapa produk akhirnya membuat terobosan baru dengan mengambil ekstrak Kayu Arok dan memadukannya dalam pasta gigi produk mereka.

Kendati demikian, timbul pertanyaan mengenai perpaduan Kayu Arok dan zat lain yang menjadikannya pasta gigi ini. Terlebih lagi Kayu Arok sendiri merupakan alat yang digunakan untuk bersiwak yang jikalau tidak memberatkan umat, Nabi akan mewajibkan bersiwak kepada seluruh umatnya untuk bersiwak ketika akan melaksanakan sholat. Sehingga terkadang muncul keraguan seperti apa saja batasan alat yang digunakan bersiwak? Ditambah lagi apakah penggunaan pasta gigi yang mengandung varian rasa siwak tersebut termasuk kesunahan seperti halnya disunahkannya bersiwak?

Apa saja batasan alat yang digunakan untuk bersiwak

Munculnya brand tertentu yang memproduksi pasta gigi rasa siwak menandakan bahwa zaman ini kian berkembang pesat dari segi ekonominya dan mulai meranah ke produk-produk yang memiliki kesan Islami guna menarik konsumen. Adakalanya mereka menggaungkan dan mengunggulkan produknya yang terlihat sejalan dengan sunah Nabi Muhammad Saw seperti halnya pasta gigi rasa siwak. Maka dari itu, perlunya mengetahui batasan apa saja alat yang mampu digunakan untuk siwak agaknya penting untuk diketahui.

Dalam pembahasan terkait batasannya. Tulisan ini akan mengacu redaksi yang ada pada kitab Fath al-Qarib karya Ibnu al-Qasim al-Ghazi yang berbunyi :

و يطلق السواك أيضا علي ما يستاك به من أراك و نحوه

Siwak diungkapkan juga terhadap barang yang digunakan untuk bersiwak seperti kayu arok dan sesamanya/semisalnya.

Dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri juga disebutkan bahwa yang dimaksud dengan sesamanya adalah segala sesuatu yang kasar yang dapat menghilangkan bau mulut. Dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri ala Syarhil al-Allamah Ibnu al-Qasim al-Ghazi karya Syekh Ibrahim al-Bajuri mengatakan :

Yang dimaksud terkait alat yang disamakan dengan kayu arok adalah setiap benda yang kasar dan suci serta mampu membersihkan karang gigi yaitu warna kuning dari gigi, walapun dengan menggunakan kain atau jari yang tersambung (tidak putus) dari orang yang hidup dan atas seizinnya. Sedangkan menurut qaul mu’tamad meperselisihkan hal tersebut jika menggunakan jarinya sendiri walapun bertekstur kasar, namun tidak mencukupi untuk dikatakan bersiwak. Hal ini dikarenakan tidak dapat dinamakan bersiwak jika menggunakan bagian dari tubuh manusia”. (Hasiyah al-Bajuri juz 1 hal. 80)

والمراد بنحوه : كل خشن طاهر يزيل القلح, أي صفرة الأسنان ولو بنحو خرقة أو أصبع غير الخشنة المتصلة من حي بإذنه بخلاف أصبع نفسه ولو خشنة علي المعتمد لأن جزء الانسان لا يسمي سواكا له

Yang dimaksud terkait alat yang disamakan dengan kayu arok adalah setiap benda yang kasar dan suci serta mampu membersihkan karang gigi yaitu warna kuning dari gigi, walapun dengan menggunakan kain atau jari yang tersambung (tidak putus) dari orang yang hidup dan atas seizinnya. Sedangkan menurut qaul mu’tamad meperselisihkan hal tersebut jika menggunakan jarinya sendiri walapun bertekstur kasar, namun tidak mencukupi untuk dikatakan bersiwak. Hal ini dikarenakan tidak dapat dinamakan bersiwak jika menggunakan bagian dari tubuh manusia”. (Hasiyah al-Bajuri juz 1 hal. 80)

Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa batasan dari siwak ini adalah menggunakan dari kayu, atau kain atau apapun asal memiliki tekstur yang kasar dan mampu menghilangkan bau mulut.