Waliyullah Gemar Zina Dan Mabuk

Cerita ini diambil dari buku harian Sultan Murad IV Sultan Turki Utsmani, memerintah sekitar Sep 1623 – Feb 1640. Di dalam buku hariannya itu diceritakan bahwa suatu malam sang Sultan Murad merasa sangat gelisah dan resah, ia ingin tahu apa penyebabnya. Maka ia pun memanggil kepala pengawalnya dan mengatakan bahwa ia akan pergi keluar dari istana dengan menyamar sebagai rakyat biasa. Sesuatu yang memang biasa beliau lakukan.


Sultan Murad berkata: “Mari kita keluar, kita blusukan melihat keadaan rakyatku”.


Mereka pun pergi, udara saat itu sangat panas. Tiba- tiba, mereka menemukan seorang laki-laki tergeletak di atas tanah. Maka Disentuh lelaki itu dan dibangunkan oleh Sultan Murad, ternyata lelaki itu telah wafat. Orang-orang yang lewat di sekitarnya tidak ada yang peduli dengan Keadaan mayat lelaki tersebut. Maka Sultan Murad yang saat itu menyamar sebagai rakyat biasa, Memanggil mereka yang saat itu lewat.

Baca: Musibah, Muhasabah, dan Mahabbah

Kemudian mereka bertanya kepada sultan: “Ada apa? Apa yang kau inginkan?”.


Sultan menjawab: “Mengapa orang ini wafat tapi tidak ada satu pun diantara kalian yang mengurus dan membawa kerumahnya? Siapa dia? Dan dimana keluarganya?”


Mereka berkata: “Orang ini Zindiq, pelaku maksiat, dia selalu minum khamar (mabuk-mabukan) dan selalu berzina  dengan pelacur”.

Sultan menjawab: “Tapi . . bukankah ia juga Umat Rasulullah Muhammad SAW? Ayo angkat dia, kita bawa ke rumahnya”.

Maka Mereka mereka pun membawa jenazah laki-laki itu ke rumahnya. Ketika sampai di rumahnya, saat istri lelaki tersebut mengetahui suaminya telah wafat, ia pun sedih dan menangis. Tapi orang-orang langsung pada pergi semua, hanya sang Sultan dan kepala pengawalnya yang masih tinggal dirumah lelaki itu. Kemudian Sang Sultan bertanya kepada istri laki-laki itu:


“Aku mendengar dari orang-orang disini, mereka berkata bahwa suamimu itu dikenal suka melakukan kemaksiatan ini dan itu, hingga mereka tidak peduli akan kematiannya, benarkah kabar itu”.?

Maka Sang istri menjawab: “Awalnya aku menduga seperti itu tuan. Suamiku setiap malam keluar rumah pergi ke toko minuman keras (khamar), kemudian membeli sesuai kemampuannya. Ia bawa khamar itu ke rumah, kemudian membuangnya ke dalam toilet, sambil berkata: “Alhamdulillah Aku telah meringankan dosa kaum muslimin”.


Suamiku juga selalu pergi ke tempat pelacuran, memberi mereka uang dan berkata kepada Sipelacur:

“Malam ini merupakan jatah waktuku, jadi tutup pintumu sampai pagi, jangan kau terima tamu lain!”.

Kemudian ia pulang ke rumah, dan berkata kepadaku:


“Alhamdulillah, malam ini aku telah meringankan dosa pemuda-pemuda Islam”.

Tapi, orang-orang yang melihatnya mengira bahwa ia selalu minum-minuman keras (khamar) dan melakukan perzinahan. Dan berita ini pun menyebar di masyarakat. Sampai akhirnya suatu kali aku pernah berkata kepada suamiku:

“Kalau nanti kamu mati, maka tidak akan ada kaum muslimin yang akan memandikan jenazahmu, dan tidak ada yang akan mensholatimu, tidak ada pula yang akan menguburkanmu”.


Ia hanya tertawa, dan menjawab: “Janganlah takut wahai istriku, jika aku mati, aku akan disholati oleh Sultannya kaum muslimin, oleh para Ulama dan para Auliya Allah”.


Maka, Sultan Murad pun menangis, dan berkata: “Benar apa yang dikatakannya, Demi Allah, akulah Sultan Murad Itu, dan besok pagi kita akan memandikan suamimu, mensholatinya dan menguburkannya bersama-sama masyarakat dan para ulama”.


Akhirnya jenazah laki-laki itu besoknya dihadiri oleh Sultan Murad, dan para ulama, para syeikh dan juga seluruh warga masyarakat.

Baca: Merasa Lebih Mulia Dari Anjing?


Terkadang kita suka menilai orang dari apa yang kita lihat dan kita dengar dari omongan orang orang. Andai saja kita mengetahui apa yang tersembunyi di dalam hati seseorang, niscaya pasti kita akan menjaga lisan kita dari membicarakan orang lain.”

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Buku harian Sultan Murad IV 

Picture by reportasependidikan.com

Sekilas Tentang Asal Usul Huruf Arab

Huruf alphabet arab atau yang lebih dikenal dengan sebutan huruf hijaiyah terdiri dari 28 huruf yang dimulai dengan huruf alif dan diakhiri dengan huruf ya. Apabila dibandingkan dengan jumlah huruf dari berbagai Bahasa di dunia yang berkisar 24 sampai 26 huruf maka jumlah huruf arab ini berada di pertengahan antara keduanya. Seperti contoh bangsa Yunani, Romawi, Persia, Sisilia dan Turki memiliki huruf antara 24 sampai 26 huruf, sedangkan bangsa Ibrani, Yunani, Kopti kuna, Hindustan dan lainnya rata-rata memiliki jumlah huruf antara 32 hingga 36 huruf.

Seorang ahli gramatika Arab yang bernama Sibawaihi dan Al Khalil menyebutkan dengan al huruful ‘arabiyyah atau huruful lughatil ‘arabiyyah yang berarti huruf Bahasa Arab, yang mana dengannya tersusun Bahasa Arab. Dari catatan sejarah dikatakan bahwa alphabet Arab yang berjumlah 28 huruf tersebut berasal dari huruf Nabthiyyah (Nabatea) yang sudah mulai digunakan oleh bangsa Arab di masa jahiliyyah atau masa pra Islam di samping huruf atau abjad Ibrani yang mereka pinjam dari orang Yahudi yang mana di masa sebelum Islam mereka sudah mendiami daerah-daerah di sekitar Yatsrib.

Baca: Isra’ Mi’raj, Sains Dan Shalat

Huruf Nabthiyyah adalah huruf yang digunakan oleh bangsa Nabthy yang mendiami bagian utara jazirah Arabi, sejak tahun 150 SM mereka memiliki sebuah pemerintahan yang kokoh. Wiliyah kekuasaan mereka meliputi daerah Damaskus, Madyan, Selat Aqaba, Hejaz, Palestina dan Hirah. Akan tetapi kerajaan ini dihancurkan oleh Imperium Rumawi pada tahun 105 M. Dengan jatuhnya kerajaan mereka maka mereka melarikan diri ke daerah pedalaman jazirah Arab sambil membawa budaya mereka yang kemudian mereka kembangkan di daerah baru tersebut. Di daerah baru inilah tulisan yang mereka bawa mengalami perkembangan yang pada akhirnya menjadi aksara Arab.

Bukti lain yang menguatkan bahwasanya aksara Arab berasal dari aksara Nabthy adalah ditemukannya tulisan pada batu atau yang lebih dikenal dengan nama Naqsh an Nammarah yang berangka tahun 328 M atau hampir tiga abad sebelum kehadiran Islam di jazirah Arab. Menurut para ahli  Naqsh an Nammarah dianggap sebagai suatu jenis tulisan yang pernah berkembang di kawasan sebelah utara jazirah Arab pada masa dulu dan sangat berpengaruh terhadap tulisan Arab yang muncul kemudian. Menurut Muhammad Al Husein Abdul Aziz dinyatakan bahwa Naqsh an Nammarah merupakan suatu contoh yang ada dari tulisan Nabthy yang dipandang sebagai asal usul tulisan Arab Hejazi yang bersahaja. Demikian penejlasan Muhammad Al Husen Abdul Aziz dalam bukunya yang berjudul Dirasatu fil ‘Imarati wa Fununil Islamiyyah.

Daerah hijaz yang terletak di pedalaman jazirah Arab pada saat itu penduduknya masih belum mengenal tulis baca dikarenakan masyarakatnya masih menganut sistem badawah atau berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain (nomaden). Sebagaimana orang-orang Hijaz sebenarnya orang-orang Nabthy sendiri juga merupakan kelompok masyarakat yang suka berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah lain, dan tradisi ini mungkin sudah menajdi kebiasaan yang turun menurun oleh masyarakat kuno yang berlokasi di daerah tandus dan bergurun pasir seperti di jazirah Arab.

Baca: Ikhwan Ash-Shafa: Organisasi Think Tank Bidang Pendidikan dalam Sejarah Peradaban Islam

Pada masa selanjutnya sistem angka yang berasal dari bangsa Nabthy berkembang di daerah Hijaz dan menggeser kedudukan angka Rumawi yang mana sebelumnya pernah menduduki kedudukan yang sangat penting. Hal ini disebabkan oleh munculnya Islam di daerah Hijaz pada abad ke-6 M, yang mana salah satu ajarannya adalah bagi pemeluknya untuk belajar membaca dan menulis. Dengan demikian maka bangsa Arab Quraisy yang semula adalah suatu suku bangsa yang buta huruf kemudian berubah menjadi suku bangsa yang melek huruf. Menurut Dr. Ahmad Amin yakni seorang guru besar sastra di Universitas Qohiroh di Mesir dalam bukunya yang berjudul Fajrul Islam menyatakan bahwa bangsa Arab pada masa pra Islam hanya memiliki 17 orang yang bisa membaca dan menulis, setelah hadirnya Islam berubah menjadi bangsa yang pandai menulis dan membaca. Pernyataan tersebut memberikan bukti bahwa Arab pra Islam merupakan bangsa yang tidak pandai menulis dan membaca.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: media.neliti.com

Picture by almunawwir.com

Metode Shorof KH. Ali Maksum

اعلم، أن الصرف أم العلوم والنحو أبوها. فعليك أن تقدم الأم على الأب، فإن الجنة تحت أقدام الأمهات

“Ketahuilah, bahwa shorof adalah ibu (induk) dari segala ilmu dan nahwu adalah ayahnya. Hendaklah kamu mendahulukan ibu atas ayah, karena surga dibawah telapak kaki ibu”.

Ungkapan di atas merupakan salah satu ungkapan untuk memotivasi seseorang untuk mempelajari kaidah bahasa arab. Ilmu shorof dilambangkan sebagai induk atau ibu dari segala ilmu, oleh karenanya seorang santri atau pembelajar hendaknya mempelajari ilmu shorof terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya. Ilmu shorof merupakan ilmu yang mempelajari akar kata dalam bahasa arab, Abdullah Abdul Hamid dalam bukunya yang berjudul Durus Fi Syarh ‘Ilm As Shorf Li Al Mubtadien mengungkapkan bahwa shorof merupakan kaidah-kaidah untuk mengetahui struktur kata secara lafadz maupun makna.

Ilmu shorof sendiri lebih fokus membahas berbagai kata dari segi tashrif, i’lal, idgham dan pergantian huruf. KH. Ahmad Warson Munawwir juga menyampaikan bahwa shorof dan tashrif sebagai cabang utama ilmu bahasa arab, mula-mula disusun-kembangkan oleh orang ‘ajam (non arab). Pengembangan ini dimaksudkan untuk memberi bekal bagi orang ‘ajam bukan penutur asli (ghoiru nathiqin) agar dapat mempelajari dan akhirnya menguasai bahasa arab.

Baca: Menjelang Haul Sang Maestro Kamus Al Munawwir

KH. Ali Maksum pernah mengatakan bahwasanya bahasa arab merupakan kunci pembuka yang paling utama, sebab al-Quran, sunnah nabi dan kitab-kitab tafsir beserta syarahnya semuanya menggunakan teks berbahasa arab. Tanpa menguasai ilmu bahasa arab seorang santri mustahil bisa menguasai kitab kuning secara baik. KH. Ali Maksum mengakui bahwasanya metode belajar konvensional yang biasa diterapkan di pesantren terlalu memakan waktu yang lama, sehingga menghabiskan umur yang sangat lama. Akibat dari anggapan ini maka minat belajar bahasa arab di kalangan kaum muslimin terutama di kalangan generasi muda semakin menurun dari waktu ke waktunya.

Oleh karena itu, KH. Ali Maksum memiliki pandangan bahwasanya mereka kesulitan untuk mempelajari bahasa arab bukan karena dari segi ilmu ataupun kosa katanya yang rumit melainkan lebih karena ketidaksesuaian metode yang diterapkan. Maka kemudian KH. Ali Maksum menawarkan metode belajar bahasa arab dengan pendekatan tashrif, dengan adanya pendekatan ini semua kesulitan dan kerumitan kosakata bisa diatasi juga bisa mempersingkat masa tempuh belajar oleh santri.

Metode shorof yang ditawarkan oleh KH. Ali Maksum ini pada dasarnya tidak berbeda dengan metode shorof pada umumnya, perbedaannya hanya pada metode dan sistematika pengajaran yang menekankan pada fungsionalitas dan efektivitas muatan pelajaran shorof. Salah satu ciri yang menonjol dari metode ini adalah pentashrifan antara fi’il dan isim yang dipisahkan, begitu pula ada beberapa bentuk kata yang tidak dicantumkan dalam pentashrifan seperti: isim alat, masdar mim, fi’il nahi dan dhomir فَهَوَ dan وَذَاكَ. Hal ini diupayakan untuk membuat pola pentashrifan menjadi lebih sederhana, praktis dan sistematis sehingga lebih mempermudah para santri dalam mempelajari ilmu shorof dan bahasa arab pada umumnya.

Baca: Kiai Umar Mangkuyudan Wafat, Kiai Ali Maksum Nangis di Atas Podium

Shorof metode Krapyak ini merupakan salah satu alternatif metode belajar bahasa arab dengan pendekatan tasrif yang menjamin sistem saling menguntungkan baik guru maupun murid karena keduanya sama-sama bisa aktif. Metode ini merupakan sebuah temuan yang diciptakan oleh KH. Ali Maksum ketika masih menjadi santri di Tremas Pacitan Jawa Timur sekitar tahun 1927-1935, dan terbukti shorof temuan KH. Ali Maksum ini masih digunakan dan dihafalkan dengan baik oleh sebagian alumni Pondok Tremas bahkan keluarga pondok.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Shorof Praktis “Metode Krapyak”

Picture by santrijagad.org

Biografi Ibu Nyai Zuhriyyah #2

Dalam mengarungi bahtera rumah, Kyai Mundzir maupun Bu Nyai Zuhri senantiasa saling menjaga dan menghormati keistiqomahan masing-masing pihak. Seringkali tatkala Kyai Mundzir selesai shalat dan dzikir beliau ingin bercengkrama dengan Bu Nyai Zuhri, namun begitu melihat Bu Nyai Zuhri sedang nderes niat beliau diurungkan dan kembali shalat dan dzikir lagi. Begitu juga sebaliknya ketika Bu Nyai Zuhri ada waktu senggang dan ingin bercengkrama dengan Kyai Mundzir ternyata beliau masih khusu’ menjalankan shalat dan dzikir sehingga Bu Nyai Zuhri pun mengurungkan niat tersebut.

Baca: Biografi Ibu Nyai Zuhriyyah #1

Selama 13 tahun menjalin rumah tangga dengan Kyai Mundzir Bu Nyai Zuhri tidak dikarunia anak, karena memang sejak awal Kyai Mundzir sudah dawuh kepada Bu Nyai Zuhri; “Nyai, tidak usah punya anak ya, hidupnya dihabiskan untuk deres quran saja”. Hidup beliau dihabiskan untuk bermakrifat kepada-Nya. Selain menjadi ibu rumah tangga Bu Nyai Zuhri juga membantu mengajar di Pondok Pesantren Ma’unah Sari Kediri. Pondok Pesantren Ma’unah Sari lebih fokus di bidang Tashawwuf terutama mengistiqomahkan shalat berjamaah dan dzikir. Pesantren ini pun awalnya hanya menerima santri putra, akan tetapi dengan kehadiran Bu Nyai Zuhri berpengaruh sekali dalam perjalanan panjang Pesantren Ma’unah Sari Kediri ini. Kemudian Pondok Pesantren Ma’unah Sari pun mulai menerima santri putri yang langsung dibimbing oleh Bu Nyai Zuhri, program pengajian al-Qur’an bil ghoib maupun bin nadzri juga dibuka. Pada akhirnya Pondok Pesantren Ma’unah sari menjadi pesantren al-Qur’an yang terkenal hingga sekarang.

Bu Nyai Zuhri terkenal dengan kedermawanannya, uang yang dikumpulkan sedikit demi sedikit tidak serta merta beliau gunakan untuk kebutuhan pribadi. Dari uang yang terkumpul itu beliau pernah gunakan untuk menghajikan sekitar sepuluh orang. Kedermawanan beliau yang sudah di luar nalar manusia biasa pada umumnya. “Sabar, syukur, nerimo (tawakkal), ngalah, dan loman (dermawan). Beliau mengamalkan lima hal tersebut, kalua kita belum tentu bisa mengamalkan salah satu diantaranya. Beliau mengamalkan semuanya dan saya percaya seratus persen bahwa beliau itu wali, ungkap Kyai Hafidz Tanwir (cucu dan santri ndalem Bu Nyai Zuhri).

Baca: Dua Murid KH M Munawwir Beda Nasib Bertemu Nasab

Berdasarkan sifat dan sikap yang ada pada Bu Nyai Zuhri banyak yang beranggapan bahwa beliau adalah seorang wali. Tidak semua orang bisa berkumpul dengan Kyai Mundzir yang juga sudah terkenal masyhur akan kewaliannya. “Tentunya perempuan yang bisa mendampingi Kyai Mundzir sebagai istrinya adalah perempuan yang sederajat dengan beliau” terang KH. Nurul Jazuli Ploso. Terlepas dari pernyataan apakah beliau wali atau bukan, yang jelas beliau adalah sosok yang harus kita teladani. Seorang guru al-Qur’an yang menghabiskan hidupnya hanya untuk mencintai al-Qur’an. Hamba Allah yang tidak sekedar penghafal al-Qur’an tetapi juga Hamilul qur’an.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: El Tasrih Komplek L

Picture by jaringansantri.com

Biografi Ibu Nyai Zuhriyyah #1

Ndreso ben lanyah Qurane” (Dereslah supaya lancar hafalan qur’an nya). Kalimat yang populer dari Ibu Nyai Zuhriyyah di kalangan santri Pondok Pesantren Ma’unah sari Kediri. Nok Huri panggilan kecilnya Bu Nyai Zuhri ini merupakan salah satu putri KH. M. Munawwir Bin Abdullah Rosyad pendiri Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak, dari hasil pernikahan dengan istri ke-lima yakni dengan Ibu Nyai Khodijah. Nok Huri merupakan saudara kandung dengan KH. Ahmad Munawwir dan Nyai Hj. Walidah Nawawi Ngerukem An Nur Bantul. Bu Nyai Zuhri lahir pada hari Rabu tanggal 2 Jumadi Tsani 1358 H atau 19 Juli 1939 M.

Nok Huri mengaji quran di bawah bimbingan kakaknya yakni KH. Abdul Qodir Munawwir, ketika beliau berusia 3 tahun sejak sang ayah wafat. Kemudian setelah beranjak dewasa beliau melanjutkan nyantri di Pondok Pesantren Yanbu’ul Quran di Kudus di bawah bimbingan KH. Arwani Amin sampai hafalan al-Qur’annya khatam. Setelah boyong dari Kudus beliau membantu ibunya mengurus  Rubatut Tahfidz (sekarang bernama Komplek L) bersama KH. Ahmad Munawwir.

Baca: Kisah Kiai Zainal Dengan Santri Baru

Bu Nyai Zuhri senaniasa selalu istiqomah menjaga hafalan al-Qur’annya dengan nderes, bahkan ketika ada tamu pun yang berkunjung hanya untuk berbincang dengannya, beliau hanya menemui sebentar guna menunaikan kewajiban menerima tamu. Kemudian beliau meminta izin untuk ke belakang dan berlama-lama, sehingga sang tamu segera pulang dengan sendirinya. Kemudian setelah itu beliau melanjutkan deresannya.

Bu Nyai Zuhri mengalami penyakit yang misterius, yakni ketika melafadzkan lafadz Allah dalam al-Qur’an beliau mengalami kejang bahkan sampai pingsan. Kejadian ini terjadi tidak hanya satu atau dua kali saja, melainkan bisa berkali-kali karena memang terdapat banyak sekali lafadz Allah di dalam al-Qur’an. Menurut KH. Munawwar Ahmad (pengasuh Komplek L) Bu Nyai Zuhri merupakan hamba-Nya yang telah sampai pada tingkatan Iman. Hal ini sesuai dalam al-Qur’an surah al-Anfal ayat 2:

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَٰنًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah bergetarlah hati mereka dan bila dibacakan ayat-ayat Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal”.

Bu Nyai Zuhri sangat menjaga sikapnya ketika berhadapan dengan lawan jenis, ketika berpapasan di jalan dengan lawan jenis Bu Nyai Zuhri akan berpura-pura cacat atau seperti pura-pura juling. Hal itu beliau lakukan supaya tidak menimbulkan syahwat diantara lawan jenis. Menginjak usia 35 tahun Bu Nyai Zuhri belum juga menikah bahkan banyak yang hendak mengkhitbah beliau tetapi selalu beliau tolak.

Di lain pihak KH. M. Mubasyir Mundzir yang merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Ma’unah Sari Kediri yang terkenal dengan kewaliannya sejak masih muda juga belum kunjung menikah, padahal usia beliau pada saat itu sudah 55 tahun, usia yang sudah tidak muda lagi. Kyai Mundzir disarankan oleh seseorang untuk melamar Bu Nyai Zuhri, padahal saat itu beliau belum mengenali Bu Nyai Zuhri sama sekali. Akhirnya KH. Mundzir meminta Gus Thoha (KH. Thoha Yasin) yang notabene merupakan salah satu murid juga keponakan beliau untuk melihat dari mata kebatinan Gus Thoha, Gus Thoha mengisyaratkan Bu Nyai Zuhri sebagai seekor burung merpati putih yang berparuhkan emas. Burung merpati yang senantiasa menyanyikan ayat-ayat al-Qur’an.

Baca: Biografi KH Dalhar Munawwir

Kyai Mundzir dan Bu Nyai Zuhri belum pernah bertemu sebelumnya, akan tetapi bila sudah jodoh tidak akan pergi kemana dan pula tidak akan tertukar. Akhirnya pada hari Jum’at (akhir bulan Juni 1973) berlangsunglah pernikahan KH. M. Mubasyir Mundzir dengan Ibu Nyai Zuhriyyah binti KH. Munawwir dengan suasana sederhana. Uang sebesar Rp. 10.000 sebagai mahar dilaksanaknlah pernikahan antara keduanya di Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek L. Dimana yang bertindak selaku wali adalah KH. Ahmad Munawwir, adapun yang mengakadkan adalah KH. Ali Maksum, sedangkan sebagai saksinya adalah Bapak Syal’an dan Gus Thoha. Gus Thoha pun yang bertindak sebagai pembaca doa.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: El Tasrih Komplek L

Picture by jaringansantri.com

KH. Dimyathi Syafi’ie #2

Pesantren yang pertama ia singgahi terletak di Pesantren Termas, Pacitan. Kemudian ia meneruskan pengembaraan ke Pesantren Cemoro di bawah asuhan KH Abdullah Fakih, di sini kurang lebih selama 6 Tahun. Setelah dirasa cukup ia meneruskan ke Pesantren Pesantren IdhamSari, Genteng di bawah bimbingan KH Abdullah Syuja disinilah ia memperdalam pengkajian ilmu Al-Quran. Lalu ia melanjutkan pendidikan terakhir di dua pesantren yang berada di wilayah Banyuwangi.

Dalam sistem pendidikan di pesantrennya, KH Dimyathi lebih mengandalkan sistem sorogan. Sistem ini menjadikan santri-santrinya menyimak dengan saksama. Karena sorogan yang dipakai oleh KH Dimyathi adalah “sorogan tak langsung”. Artinya para santri mengulangi membaca kitab yang telah dibaca oleh sang kyai beberapa hari sebelumnya. Jadi para santri secara otomatis akan mendengarkan dengan saksama ketika sang Kyai sedang membacakan, karena mereka harus mengulanginya secara terjadwal.

Baca: KH. Dimyathi Syafi’ie #1

Sementara cara lain yang digunakan oleh KH Dimyathi di Pesantrennya adalah metode bandongan. Dalam mekanisme bandongan sang kyai bebas menerangkan agar para santri mengerti maksud-maksud tersirat dari teks-teks kitab yang sedang dipelajari. Cara ini lazim digunakan di madrasah-madrasah Blambangan selatan sebagaimana juga pesantren-pesantren Nusantara lainnya.

Selama mengasuh Pesantren, selain terlibat dalam perjuangan fisik secara langsung pada malam hari, KH Dimyathi juga sempat membuat karangan tentang akhlak karakter yang semestinya dimiliki oleh para remaja Islam. Karangan ini berbentuk nadzam semacam pantun dalam bahasa Arab, yang menggunakan susunan rima ab ab. Nadzam karangan KH Dimyati ini berjudul Muidzotus Syibyan Nasihat untuk para Remaja

Pondok Pesantren Nahdlatuth Thullabb / Pondok Pesantren Kepundungan sendiri sangat mengutamakan penguasaan ilmu alat, nahwu dan shorof. Meski tentu saja kitab2 tafsir juga menjadi kajian utama para santrinya. Menurut beberapa santri yang sempat menimba ilmu kapada KH Dimyati, kehebatan Pesantren Nahdlatut Thullab adalah dalam pengembangan aqoid 50-nya. Melalui pembinaan Aqoid 50 ini para santri yang telah boyongan dapat memberikan solusi untuk masalah-masalah ke-Tuhanan kepada masyarakat di daerah alumni itu sendiri.

Beberapa santri bahkan menyatakan ilmu-ilmu tersebut dapat mereka kuasai secara ladunni. Artinya, dulu ketika diajar langsung terkadang mereka tidak memahami pelajaran saat itu juga, namun setelah keluar dan mengabdi untuk masyarakat, mereka tiba-tiba teringat dan mengerti maksud penjelasan KH Dimyathi sewaktu di Pesantren dahulu.

Metodenya pembelajaran KH Dimyathi sebenarnya sangat sederhana sekali. Namun karena keyakinan tinggi dari para santrinya, maka mereka mendapatkan semacam pencerahan. Hal pertama yang ditancapkan kepada para santri adalah Al-Qur’an. Para santri diwajibkan senantiasa mendawamkan membaca Al-Qur’an di sepanjang hari, di setiap aktivitas mereka. Kemudian barulah didoktrin dengan Aqoid 50 dan baru belajar nahwu shorof serta ilmu-ilmu lainnya.

Hal penting lain yang diajarkan KH Dimyathi adalah pendidikan bilhal/ bifi’li. Yakni pendidikan praktik langsung, bukan hanya teori. KH Dimyathi terkenal suka mengajak para santrinya untuk bersilaturrahim. Hal ini adalah salah satu aspek pendidikan yang terus tertanam di hati para santrinya sepanjang hidup mereka.

Pada zaman-zaman perjuangan merebut kemerdekaan, banyak sekali korban yang harus dipertaruhkan oleh bangsa Indonesia. Tak terhitung lagi korban yang telah dipersembahkan demi sebuah emerdekaan. Bukan sekadar harta dan nyawa, namun juga perasaan terhinakan karena terus dikejar-kejar dan terusir dari kampung halaman.

Baca: Biografi KH. Faqih Abdul Jabbar Maskumambang

Namun tentu saja banyak sekali para pahlawan yang justru memanfaatkannya untuk berjuang di dua ranah, yakni perjuangan fisik dengan mengangkat senjata dan perjuangan dakwah dengan mendidik generasi penerus bangsa. Salah satu di antara sekian banyak para pahlawan bangsa yang berjuang di dalam dua medan perjuangan sekaligus ini adalah KH Dimyathi Pengasuh Pondok Pesantren Nahdlatuth Thullabb Kabupaten Banyuwangi.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: nahdlatululama.id

Picture by nahdlatululama.id

KH. Dimyathi Syafi’ie #1

KH. Dimyathi Syafi’ie lahir tahun 1912 M di desa Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta, putra dari Kyai Syafi’ie. Thobiri adalah nama kecilnya. Saat usia 14 tahun, mulailah ia melalang dalam menimba ilmu agama dan saat itu ia diajak bersama sang kakak (Kiai Maksum) ke tanah Blambangan Banyuwangi.

KH Dimyathi ketika masa-masa remaja, ia ingin menuntut ilmu ke luar dari wilayah Blambangan Banyuwangi. Maka, ia pun mengutarakan maksudnya ini kepada ibundanya. Namun sang ibu menyatakan bahwa keluarganya sedang tidak memiliki bekal yang cukup untuk membiayai keinginannya. Keluarga di Banyuwangi hanya memiliki tanah persawahan yang tidak dapat diharapkan banyak karena sulitnya zaman akibat penjajahan.

Baca: Biografi KH. Faqih Abdul Jabbar Maskumambang

Namun Dimyathi nampaknya telah teguh dengan keinginannya. Ia menginginkan untuk menjual sawah yang menjadi bagian warisannya kelak ketika dewasa. Kendati terheran-heran dan hampir tak percaya, Ibunya pun kemudian menyanggupi ketika melihat tekad bulat anaknya ini. Ibunya lebih heran lagi ketika melihat bahwa semua uang hasil penjualan sawah satu hektare bagiannya, dibelikan kitab. Saking herannya ibunya bahkan sempat mengatakan, ”Makan tuh kitab.”

Walhasil Dimyathi pun segera meninggalkan rumahnya untuk mondok ke Pesantren Termas, di Pacitan. Karena seluruh uangnya telah dibelikan kitab, maka ia hanya dibekali oleh ibunya dengan sekarung cengkaruk/ karak campur jagung. Bahan makanan ini berupa bahan yang menunjukkan betapa sebenarnya keluarga Dimyathi di Banyuwangi juga sama-sama susah akibat penjajahan Belanda.

Namun rupanya dengan bekal hanya sekarung cengkaruk ini, Dimyathi mampu bertahan hingga tiga tahun di Pesantren Termas. Rupanya ia bertahan di Termas dengan cara bekerja ke sawah untuk mencukupi kebutuhannya selama mondok. Karenanya Dimyathi kemudian menerapkan metode ini di pesantrennya yang telah ia bangun kembali.

Selama di Pesantren Dimyathi memang terkenal sebagai santri yang tekun, konon ia adalah santri kesayangan sang pengasuh Pesantren Termas. Pada saat itu Pesantren Termas berada di bawah bimbingan KH. Hafidz Dimyathi. Karena saking sayangnya, di sinilah Dimyathi berganti namanya menjadi Dimyathi, nama yang digunakannya hingga akhir hayatnya. Sebelumnya, nama lahirnya adalah Muhibbut Thobari. Maka setelah boyongan dari Pesantren Termas, ia pun menggunakan nama Dimyathi. Sementara nama lahirnya, Muhibbut Thobari, tak lagi digunakan.

Dalam pandangan KH Dimyathi, para santri sah-sah saja bekerja selama menimba ilmu di Pesantren, karena justru akan membantu mereka untuk mandiri sejak dini dan tidak membebani orang tua di rumah. Pesantren dapat menyediakan lahan yang digunakan oleh para santri untuk bercocok tanam atau membuka usaha, asalkan tidak mengesampingkan tugas utamanya, yaitu belajar ilmu agama. Dengan demikian para santri dapat menopang sendiri hidupnya, sehingga tidak perlu dikirim oleh orangtua dari rumah.

Begitulah yang dijalani Dimyathi selama mengaji di tiga Pesantren, yakni Pesantren Termas Pacitan, Pesantren Cemoro di bawah asuhan KH Abdullah Fakih dan Pesantren Idham Sari, Genteng di bawah bimbingan KH Abdullah Syuja’. Kedua pesantren yang terakhir berada di wilayah Banyuwangi sendiri.

Maka demikian pun ia mempraktikkan ilmunya ketika telah mengasuh Pesantren. Para santri di Pondok Pesantren Nahdlatuth Thullabb tidak harus membawa bekal atau dibekali oleh orang tuanya dari rumah. Asalkan santrinya bekerja keras tentu dapat menopang kehidupan dan membiayai pendidikannya selama di pesantren. Karenanya, dana pembangunan pesantren yang diperoleh dari Presiden Soekarno disisakan untuk membeli lahan, agar para santri tidak membebani orang tua masing-masing.

Baca: Biografi KH. Nawawi Berjan #1

Kenyataan ini adalah yang sebenarnya, karena entah kebetulan atau tidak, jumlah santrinya tidak pernah lebih dari kapasitas lahan yang tersedia yang digunakan untuk menopang kehidupan dan kebutuhan belajar santri. Sehingga KH Dimyathi dapat benar-benar mendidik santri dengan saksama, termasuk ketika harus membina mereka sebagai laskar Hizbullah pada kegelapan malam. Mengendap-endap dan menyergap musuh, untuk merangkul kitab kuning pagi harinya di pesantren.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: nahdlatululama.id

Picture by nahdlatululama.id

Musibah, Muhasabah, dan Mahabbah

Tak ada manusia yang tak membutuhkan rasa aman. Namun dalam realitas kehidupan, kesulitan, musibah, atau kondisi tak aman mustahil dihindari. Manusia memang hidup dalam serba-dua kemungkinan: siang dan malam, sehat dan sakit, hidup dan mati, aman dan taka man, dan sebagainya. 

Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan, ayat tersebut bermakna bahwa pencipta segala yang berpasangan adalah satu, yakni Allah, maka sembahlah Allah (Syekh Jalaluddin, h. 377). Artinya, di balik keberpasangan setiap kondisi tersebut ada Dzat Tunggal yang perlu disadari. Allah subhanahu wata’ala adalah satu-satunya tempat bergantung, kembali, dan berserah diri.   Bersamaan dengan datangnya tahun baru, Indonesia mengalami berbagai musibah, mulai dari angin besar, banjir, tanah longsor, kecelakaan, dan lainnya. Yang perlu disikapi dari musibah ini adalah mengembalikan semuanya kepada Yang Maha Memiliki, Allah subahanhu wata’ala.

Baca: Tingkatan Orang Yang Berpuasa

Bumi, langit, dan seisinya adalah milik Allah maka Allah berhak mau menjadikannya seperti apa. Bahkan seandainya seluruhnya diluluhlantakkan manusia tidak akan bisa berbuat apa-apa. Namun demikian, manusia juga harus bermuhasabah (introspeksi), apakah musibah yang ia terima merupakan bentuk ujian, peringatan, atau yang lain. Sehingga, manusia lebih berhati-hati dalam menjaga amanah alam ini.

Imam Jalaludin dalam Tafsir Jalalain menjelaskan lafal بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ (karena perbuatan tangan manusia) dengan arti مِنَ الْمَعَاصِى, yang berarti “karena maksiat”.   Artinya bahwa kerusakan di bumi ataupun di langit timbul karena ulah manusia, persisnya sebab kemaksiatan yang mereka lakukan. Kemaksiatan di sini tentu bukan hanya berbentuk pelanggaran atas norma “halal-haram” yang biasa kita dengar, seperti minuman keras, berjudi, zina, atau sejenisnya. Selain berkenaan dengan urusan privat, kemaksiatan juga bisa berupa dosa yang berkaitan dengan masyarakat dan lingkungan. Segala bentuk perbuatan merusak alam adalah kemaksiatan.

Karena dengan merusak alam secara tidak langsung telah mengurangi keseimbangan alam, sehingga akan menyebabkan masalah pada hari ini dan masa-masa yang akan datang.   Tanah longsor terjadi bisa jadi sebab adanya penebangan pohon secara brutal. Banjir dating karena dipicu perilaku buang sampah sembarangan, sungai-sungai menyempit karena bangunan pemukiman, area resapan air berkurang drastis akibat kian meluasnya aspal dan beton, dan lain sebagainya.

Segala musibah yang menimpa menjadi alat untuk berdzikir dan muhasabah diri, sehingga manusia dapat mengambil sisi positif terutama dalam meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah subhanahu wata’ala. Bukan sebaliknya: saling menghujat, saling menyalahkan antarsesama, rakyat dengan pemerintahnya, atasan dengan bawahannya, dan sebagainya. Namun benar-benar menjadikan musibah sebagai pembenahan terhadap diri dan lingkungan agar tercipta kehidupan yang lebih baik, aman, dan tenteram.  

Sebagaimana kisah Rabiah Al-Adawiyah yang selama hidupnya mengalami kesulitan demi kesulitan, dengan dasar iman maka diraihlah ahwal hubb atau kecintaan kepada Allah yang tiada tara. Hal ini membuktikan bahwa di setiap musibah atau kesulitan ada kebaikan yang Allah selipkan di dalamnya. Hanya orang-orang yang sadar dan sabarlah yang akan meraih kebaikan tersebut. Dengan bahasa lain, musibah pun bisa memicu mahabbah (rasa cinta).   Selain dari kebaikan-kebaikan yang bersifat relatif, kesabaran dalam menerima musibah adalah cara Allah menghapuskan dosa-dosa.

Yang ditekankan dalam konteks musibah adalah kesabaran menghadapinya. Memang, di kalangan ulama berbeda pendapat apakah kesabaran atau musibah itu sendiri yang menyebabkan terhapusnya dosa-dosa.   Menurut Syekh Izuddin bin Salam sebagaimana dijelaskan dalam kitab Irsyadul Ibad, sesungguhnya musibah yang menimpa orang mukmin tidak mengandung pahala, sebab musibah bukanlah atas usahanya. Akan tetapi, pahala itu terletak pada kesabaran atas musibah tersebut. Namun, dijelaskan berikutnya bahwa musibah adalah pelebur dosa sekalipun orang mukmin yang ditimpanya tidak sabar, sebab tidak ada syarat bagi pelebur dosa untuk diusahakan oleh seorang mukmin.  

Baca: Empat Tingkatan Manusia

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa apa pun bentuknya musibah adalah sebuah cobaan dari Allah untuk makhluknya yang di dalamnya mengandung maksud dan tujuan baik bagi yang menerimanya. Tinggal bagaimana menyikapinya: sabar atau justru ingkar.   Dengan demikian, musibah adalah sarana untuk mengingat sang pemberi musibah, upaya untuk meningkatkan kualitas keimanan, yang pada akhirnya menumbuhkan rasa cinta yang mendalam kepada Allah setelah merasakan kenikmatan di balik musibah yang menimpanya. Mahasuci Allah yang senantiasa memberikan yang terbaik untuk makhluk-Nya.   Semoga kita semua senantiasa dijadikan orang-orang yang mampu menyikapi segala musibah sebagai sarana peningkatan iman dan takwa. Sehingga hilangnya musibah berbekas kebahagiaan baik untuk dunia maupun akhirat.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: nu.or.id

Kiai Umar Mangkuyudan Wafat, Kiai Ali Maksum Nangis di Atas Podium

Siapapun tahu Mbah Umar di Mangkuyudan menghuni sebuah rumah sederhana. Apa yang disebut nDalem Mbah Umar hanyalah sebuah bangunan kecil berdinding anyaman bambu alias gedek dengan sedikit tembok diatas pondasi. Ketika ndalem tersebut diperlukan untuk perluasan pondok putri, Mbah Umar mengalah dan rela pindah kamar di pondok putra yang sebelumnya dihuni para santri. Di sebuah kamar yang sederhana itulah Mbah Umar wafat dalam usia 63 tahun di waktu sahur.

Mbah Umar semasa hidupnya memang tidak suka ngematke atau nggondeli hal-hal yang bersifat duniawi. Beliau tidak kersa mirsani TV ataupun mendengarkan musik-musik yang hanya akan mengganggu dzikir beliau kepada Allah SWT. Beliau seorang sufi dan hafidz Quran yang senantiasa menjaga hafalannya. Beliau tidak meninggalkan rumah dan tanah yang beliau miliki semasa hidupnya kecuali telah diwakafkan untuk pondok.

Ketika jam bandul di masjid telah menunjukkan pukul 12.03 Waktu Istiwak, dikumandangkanlah adzan Dzuhur. Para pelayat pun kemudian melakukan shalat Dzuhur berjamaah yang juga bergelombang. Saat itu keadaan di masjid dan sekitarnya sudah semakin padat dan berjejal dengan tamu-tamu yang hendak memberikan penghormatan terakhir pada Mbah Umar. Hampir semuanya ingin mendekat pada jenazah Mbah Umar secara fisik dengan harapan dapat menyentuh atau setidaknya mendekat peti jenazah yang sedang disemayamkan di masjid. Tua dan muda berebut kesempatan mendekat pada peti jenazah Mbah Umar.

Ketika jamaah shalat Dzuhur sudah dirasa cukup, dan upacara pemakaman yang ditandai dengan beberapa pidato sambutan dari berbagai pihak telah usai, maka dilaksanakan shalat jenazah terakhir. Pidato sambutan paling singkat adalah yang disampaikan Mbah Kiai Ali Ma’shum. Beliau tak mampu berkata apa-apa selain uluk salam di awal dan akhir, Selebihnya beliau hanya menangis dan menangis sesunggukan di atas podium.

Ketika waktu telah menjelang pukul 13.30 WIB, tibalah saatnya mengusung peti jenazah Mbah Umar untuk kemudian diturunkan dari masjid. Selanjutnya peti akan dibawa ke tempat pemakaman yang jaraknya dari mihrab masjid tak lebih dari 3 meter. Dengan diiringi bacaan La ilaha illallah Muhammadur rasulullah yang terus menerus diulang oleh ribuan pelayat sambil menderaikan air mata, baik putra maupun putri, peti jenazah Mbah Umar diangkat oleh sanak saudara, handai tolan dan para santri senior.

Suasana duka semakin terasa ketika peti jenazah Mbah Umar mulai diusung. Tak ada wajah ceria. Semuanya murung dalam kesedihan yang mendalam. Tak ada canda dan tawa. Tak ada kata terucap dari bibir para pelayat kecuali lantunan dzikir dan tahlil dalam linangan air mata. Semua merasa kehilangan Mbah Umar, seorang kiai hafidz Quran sejak usia belasan tahun. Seorang kiai yang dikenal saleh sejak masa kecil. Beliau tak pernah menyakiti orang lain. Beliau rendah hati, suka bermusyawarah dan berlaku adil. Mbah Umar sangat halus dalam sikap dan tutur kata. Namun kelembutan hati Mbah Umar mampu menghentikan kenakalan dan kekerasan hati santri-santri yang dicintainya.

Pada saat peti jenazah Mbah Umar mulai bergerak, saat itulah awal krisis terjadi karena para pelayat yang jumlahnya ribuan itu tiba-tiba ingin mengungkapkan rasa hormat dan baktinya kepada Mbah Umar dengan cara masing-masing. Ada yang ingin melihat peti jenazah Mbah Umar dari jarak dekat. Ada yang ingin menyentuh peti jenazah atau kain yang menutupinya meski hanya sekejap. Tetapi kebanyakan ingin ikut mengusung peti jenazah beliau hingga makam yang telah dipersiapkan. Padahal mereka yang telah berhasil memegang peti jenazah enggan melepaskannya. Mereka bersikukuh untuk tetap mengusungnya hingga tempat pemakaman.

Sementara itu mereka yang belum berhasil memegang peti jenazah, terus bergerak dari semua arah. Mereka berdesak-desakan dan berebut kesempatan. Tentu saja ini menghambat perjalalan peti jenazah Mbah Umar terutama mereka yang bergerak dari arah depan. Peti jenazah itu terhenti dan tak mampu dimajukan kedepan barang selangkahpun. Saat itu posisi peti jenazah sudah berada di sebelah utara masjid yang memang ruangnya tidak cukup luas.

Meskipun jarak tempuh menuju makam tinggal beberapa meter saja, perjalanan untuk sampai ke sana tidak semudah yang dibayangkan. Banyak pelayat yang mencintai Mbah Umar ingin menunjukkan cintanya kepada beliau dalam waktu yang sama. Mereka juga bermaksud tabarruk. Apalagi hari itu di bulan Puasa yang penuh berkah. Mereka berharap dicatat malaikat sebagai santri Mbah Umar ila yaumil qiyamah.

Dalam keadaan seperti itu, tampillah seorang tentara Angkatan Darat berpangkat mayor. Beliau adalah Mayor Mashadi, seorang wali santri yang tinggalnya di kampung Sampangan Pasar Kliwon. Dengan suaranya yang lantang, Mayor Mashadi menghimbau agar para pelayat tidak berebut mengusung peti jenazah. Mereka diminta kesadarannya demi memperlancar jalannya peti jenazah. Himbauan Mayor Mashadi tak segera diindahkan. Mayor Mashadi menaikkan nada suaranya dengan berbicara lebih lantang. Mayor Mashadi terpaksa berteriak untuk mencegah mereka yang bermaksud mendekat peti jenazah Mbah Umar. Mayor Mashadi mulai kehabisan suaranya.

Dengan dibantu banyak orang, Mayor Mashadi tidak putus asa. Beliau terus berusaha menertibkan para pelayat agar tidak mendekat apalagi menyentuh peti jenazah yang memang sudah ada orang-orang yang dipersiapkan untuk itu. Usaha keras Mayor Mashadi mulai membuahkan hasil. Perlahan-lahan peti jenazah Mbah Umar mulai bergerak lagi hingga akhirnya sampai di makam. Perjalanan jarak pendek yang hanya sejauh kira-kira 45 meter itu ternyata harus ditempuh dalam waktu cukup lama. Kira-kira 45 menit atau bahkan satu jam. Sulit dipercaya. Namun itulah keadaannya sejauh yang kuingat.

Sesampai di makam, jenazah Mbah Umar kemudian dimasukkan ke liang lahat disertai ritual pemakaman seperti adzan dan iqomah. Aku tidak tahu atau sudah tak ingat lagi siapa kiai yang memimpin ritual pemakaman beliau. Jarak pandangku ke makam Mbah Umar dari tempat aku berdiri di sudut barat laut masjid, yang sekarang dibangun tempat wudhu dan kamar kecil, tidak memungkinkan aku untuk menyaksikan dan mendengar setiap peristiwa yang terjadi di sana. Terlalu banyak orang berjejal di depanku. Mereka berebut kesempatan untuk dapat mengantarkan jenazah Mbah Umar hingga beliau dikebumikan, dibacakan talqin dan doa.

Menjelang Ashar upacara pemakaman Mbah Umar telah usai. Beberapa orang mulai meninggalkan makam. Tapi aku tak segera beranjak dari tempat aku berdiri termangu dan kaku. Air mataku yang sejak dini hari beku, di sore hari itu mulai meleleh dan menitik setetes demi setetes. Aku tak mampu menahan tangis itu. Aku biarkan air mataku jatuh bercucuran membasahi bumi. Hanya tangis itu yang bisa aku lakukan untuk mengungkapkan seluruh kesedihanku. Aku sangat terpukul dengan kepergian Mbak Umar untuk selamanya. Aku sangat bersedih karena belum mampu melaksanakan dhawuh beliau hingga beliau wafat. Padahal beliau sudah berbuat banyak dalam memberikan kesempatan sejak masa kanak-kanakku hingga remaja.

Sejak hari itu aku hanya bisa merindukan Mbah Umar. Beliau tidak saja guruku yang mengajariku mengaji Al-Quran dari alif ba ta, tetapi sekaligus Pakdeku, abang dari ibuku. Ketika ayahku Mbah Dullah dalam kesulitan, Mbah Umar memberi solusi. Beliau yang memberi namaku dan mengkhitankan aku ketika umurku telah cukup. Beliau sering memberiku uang untuk potong rambut. Ketika aku menangis di pagi hari pada tanggal 10 setiap bulan karena belum bisa membayar SPP, Mbah Umar selalu mendengar tangis itu. Diutusnya Mbah Ti ke rumahku untuk memberikan uang SPP. Lalu bergegaslah aku berangkat ke sekolah SD dengan berlari dan rasa bangga pada Mbah Umar.

Kini tinggallah rinduku pada beliau dalam seluruh hidup dan jiwaku. Rinduku abadi. Rindu yang takkan pernah terobati.

Allahummaj’al qabrahu raudhatan min riyadhil jinan. Wala taj’al qabrahu khufratan min khufarin niran. Amin.

(Dimuat di Majalah Serambi Al-Muayyad, Edisi 04/Th. II/Juli 2013/Ramadhan 1434 H, halaman 3 – 5, dengan beberapa editing.)

Jihad Ilmu Imam Nawawi

Imam Nawawi adalah Al-Imam, Al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin, Yahya bin Syaraf bin Murry bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam An-Nawawi. Beliau disebut juga sebagai Abu Zakariya, padahal beliau tidak mempunyai anak yang bernama Zakariya. Sebab, beliau belum sempat menikah. Beliau termasuk salah seorang ulama yang membujang hingga akhir hayatnya. Dan mendapatkan gelar “Muhyiddin” (orang yang menghidupkan agama), padahal ia tidak menyukai gelar ini. Dan ia memang pernah mengemukakan: “Aku tidak perbolehkan orang memberikan gelar “Muhyiddin” kepadaku.” Beliau lahir pada pertengahan bulan Muharram, atau pada sepuluh pertama bulan Muharram pada tahun 631 H. di kota Nawa, sebuah daerah di bumi Hauran, Damaskus.

Baca: Peristiwa Bersejarah Di Bulan Sya’ban

Beliau diasuh dan dididik atau dibina oleh ayahnya dengan gigih, sang ayah menyuruhnya untuk menuntut ilmu sejak kecil. Hingga beliau telah berhasil menghafal al-Qur-an ketika mendekati usia baligh. Beliau menghafalkan Al-Qur’an tersebut di kotanya (Nawa) yang lingkungannya tidak kondusif untuk belajar. Setelah melihat lingkungan di Nawa yang tidak kondusif tersebut, ayahnya membawa ia pergi ke Damaskus pada tahun 649 H. Pada saat itu, usianya telah menginjak sembilan belas tahun. Dan akhirnya beliau tinggal di sebuah Lembaga Pendidikan Rawahiyah. Di sana beliau memulai perjalanannya menuntut ilmu. Beliu tidak pernah berhenti menuntut ilmu. Beliau rajin dan memberikan seluruh waktunya untuk menuntut ilmu sehingga ilmu-pun memberikan kepadanya sebagian darinya.          

Imam Nawawi bercerita tentang dirinya: “Ketika usiaku telah mencapai 19 tahun, ayahku memboyongku pindah ke Damaskus sampai berusia 49 tahun. Di sana aku belajar di Madrasah Rawahiyyah. Selama kurang lebih 2 tahun di sana, aku jarang tidur nyenyak; penyebabnya, tidak lain adalah karena aku sangat ingin mendalami semua pelajaran yang diberikan di Madrasah tersebut. Akupun berhasil menghafal At-Tanbih  kurang lebih selama 4,5 bulan. Selanjutnya, aku berhasil menghafal 114 Ibadat (sekitar seperempat) dari kitab Al-Muhadzdzab, di sisa bulan berikutnya dalam tahun tersebut. Aku juga banyak memberikan komentar dan masukan kepada syaikh kami, Ishaq Al-Maghribi. Aku juga sangat intens dalam bermulazamah dengan beliau. Beliaupun lalu merasa tertarik kepadaku ketika melihatku begitu menyibukkan diri dalam semua aktifitasku dan tidak pernah terpengaruh dengan kebanyakan orang. Beliaupun sangat senang kepadaku dan akhirnya beliau mengangkatku menjadi assisten dalam halaqahnya, mengingat jama’ahnya yang begitu banyak.”

Setiap hari, Imam an-Nawawi membaca dua belas pelajaran dalam bentuk syarah dan komentar. Beliau selalu memberikan komentar terhadap segala sesuatu yang berkenaan dengannya, baik menerangkan bahasa yang sulit dimengerti, penjelasan terhadap ungkapan yang tidak jelas, memberi harakat maupun penguraian kata-kata yang asing. Dan Allah SWT. telah memberi berkah kepadanya dalam pemanfaatan waktu. Sehingga beliau berhasil menjadikan apa yang telah disimpulkannya sebagai sebuah karya dan menjadikan karyanya sebagai hasil maksimal dari apa yang telah disimpulkannya.

Beliau adalah manusia yang sangat wara dan zuhud. Adz-Dzahabi berkata: “Beliau adalah profil manusia yang berpola hidup sangat sederhana dan anti kemewahan. Beliau adalah sosok manusia yang bertaqwa, qana’ah, wara, memiliki muraqabatullah baik di saat sepi maupun ramai. Beliau tidak menyukai kesenangan pribadi seperti berpa-kaian indah, makan-minum lezat, dan tampil mentereng. Makanan beliau adalah roti dengan lauk seadanya. Pakaian beliau adalah pakaian yang seadanya, dan hamparan beliau hanyalah kulit yang disamak.”   Beliau selalu berusaha untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar sekalipun terhadap penguasa. Beliau sering berkirim surat kepada mereka yang berisi nasihat agar berlaku adil dalam mengemban kekuasaan, menghapus cukai, dan mengembalikan hak kepada ahlinya. Abul Abbas bin Faraj berkata: “Syaikh (An-Nawawi) telah berhasil meraih 3 tingkatan yang mana 1 tingkatannya saja jika orang biasa berusaha untuk meraihnya, tentu akan merasa sulit. Tingkatan pertama adalah ilmu (yang dalam dan luas).Tingkatan kedua adalah zuhud (yang sangat). Tingkatan ketiga adalah keberanian dan kepiawaiannya dalam beramar ma’ruf nahi munkar.”

Baca: Rahasia Dibalik Makna Malam Nisfu Sya’ban 

Pada tahun 676 H. beliau kembali ke kampung halaman-nya Nawa, sesudah mengembalikan berbagai kitab yang di-pinjamnya dari sebuah badan waqaf, selesai menziarahi makam para guru beliau, dan sehabis bersilaturrahim dengan para sahabat beliau yang masih hidup. Di hari keberangkatan beliau, para jama’ah yang beliau bina melepas kepergian beliau di pinggiran kota Damaskus, mereka lalu bertanya:”Kapan kita bisa bermuwajahah lagi (wahai syaikh)?” Beliau menjawab: “Sesudah 200 tahun.” Akhirnya mereka paham bahwa yang beliau maksud adalah sesudah hari kiamat.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber : Mukhtashor Riyadhush Shalihin, Bahjatun Naazhiriin Syarh Riyaadhish Shaalihiin

Picture by islam.com