Lima Harapan Pegiat Ramadhan

Apa sebenarnya cita-cita dan harapan seorang muslim yang giat di bulan Ramadhan? Jawabannya tergambar dalam doa yang sering dipanjatkannya di sepanjang malam bulan Ramadhan. Tentu saja doa-doa itu banyak sekali. Penulis membatasi pada “Doa Kamilin” saja yang biasa dibaca usai Shalat Tarawih. 

Nama “Kamilin” diambil dari salah satu kalimat awal dalam doa tersebut. Doa itu lumayan panjang hingga satu halaman. Ada sekitar 24 permintaan dan harapan yang dipanjatkan dalam doa tersebut. Kita hanya mengambil 5 kalimat doa saja untuk diuraikan secara singkat dan padat. 

Dalam kitab Mutiara Ramadhan yang disusun oleh Abuya KH Abdurrahman Nawi, doa tersebut berbunyi: 

اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا بِالْإِيْمَانِ كَامِلِيْنَ وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ وَلِلصَّلَاةِ حَافِظِيْنَ وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ. 

Artinya: “Ya Allah, jadikalah kami golongan yang sempurna dengan (di dalam) iman, yang mampu menunaikan berbagai kewajiban, memelihara shalat, melaksanakan zakat dan hanya mencari (ridha) di sisi Engkau.” Hadlirin yang berbahagia, Ada 5 (lima) harapan dan cita-cita dalam doa tersebut. 

Harapan pertama yaitu kesempurnaan iman (اَلْكَامِلِيْنَ بِالْإِيْمَانِ). Bagaimanakah kesempurnaan itu didapat. Baginda RasulullahSaw bersabda:

 اَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ 

Artinya: Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah yang berlaku baik kepada istrinya. (HR Turmudzi) Dalam kitab Mauidhatul Mu’minin karya Syekh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi dikatakan bahwa empat pokok akhlak yang mulia adalah: keberanian, keadilan, kebijaksanaan, dan menjaga kehormatan. 

Harapan kedua, yaitu dapat menunaikan segala kewajiban (وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ) . Maknanya, mampu bertakwa kepada Allah, menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi larangannya. Kemampuan itu dinamakan taufiq yang diciptakan Allah. Apa itu taufiq? Dalam kitab Syarah An-Nawâwi alâ Muslim I/73, taufiq adalah   خَلْقُ قُدْرَةِ الطَّاعَةِ Artinya: “Diciptakannya kemampuan untuk taat kepada Allah.  Berdasarkan QS al-Baqarah ayat 183, kemampuan itu dapat diraih dengan berpuasa di bulan Ramadhan. Allah menjanjikan kita dapat bertakwa dengan ungkapan “la’allakum tattaqun” yang artinya, pasti kalian menjadi orang yang bertakwa jika kalian melaksanakan kewajiban puasa di bulana Ramadhan. 

Baca: Syekh Abdul Qadir Al-Jailani: Orang Yang Berpengaruh di Sekitar Kita

Harapan ketiga, yaitu shalat yang terpelihara (وَلِلصَّلاَةِ حَافِظِيْنَ). Bagaimanakah caranya agar shalat kita terpelihara?. Pertama-tama harus kita pahami bahwa Allah tidak hanya memerintahkan shalat tapi memelihara dan menegakkan shalat.  Allah SWT berfirman:   

أَقِمِ الصّلَاةَ لِذِكْرِيْ 

Artinya: “Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku (Allah).” 

(QS Thaha: 14) 

حَافِظٌوْا عَلىَ الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وقُوْمُوْا للهِ قَانِتِيْنَ  

Artinya: “Peliharalah shalat 5 waktu dan shalat wustha (Ashar). Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (QS al-Baqarah: 238) 

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّيْنَ. اَلَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَ. اَلَّذِيْنَ هُمْ يُرَاؤُوْنَ وَيَمْنَعُوْنَ اْلمَاعُوْنَ 

Artinya: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”

(QS al-Ma‘un: 4-6) Kita tidak diperintahkan shalat saja. Tapi menegakkan, mendirikan, dan memelihara shalat kita. Shalat kita harus lurus, tegak, dan terpelihara. Niatnya lurus. Caranya lurus. Hatinya khusyu’. Maka hasilnya pun juga insyaallah lurus dan benar. Yaitu tercegah dari perbuatan keji dan mungkar.   

Harapan keempat, menjadi golongan penunai zakat (وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ).  Harapan ini adalah harapan yang sangat penting diwujudkan bagi pegiat Ramadhan. Sebab zakat tidak hanya zakat mal saja. Tapi juga zakat fitrah. Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan pada saat bulan Ramadhan. Rasulullah bersabda:  

 فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةٌ لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ 

Artinya: “Rasulullah mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih orang yang berpuasa dari ucapan yang tidak berfaidah dan jelek.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah) 

Baca: Hisab Dunia Meringankan Hisab Akhirat

Harapan kelima, mencari tempat yang mulia dan keridhaan di sisi Allah (وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ).  Harapan ini menjadi harapan penyempurna bagi seluruh harapan pegiat Ramadhan. Artinya, semua amal ibadah kita harus ditujukan semata-mata hanya karena mengharap ridha Allah (ikhlas).  Al-Imam Al-Haddad berkata dalam kitabnya an-Nashâ’ihud Dîniyyah:  

مَعْنىَ الْإِخْلاَصِ أَنْ يَكُوْنَ قَصْدُ اْلإِنْسَانِ فِيْ جَمِيْعِ طَاعَاتِهِ وَأَعْمَالِهِ مُجَرَّدَ التَّقَرُّبِ إِلىَ اللهِ تَعَالىَ وَإِرَادَةِ قُرْبِهِ وَرِضَاهُ, دُوْنَ غَرْضٍ أَخَرَ مِنْمُرَاءَاةِ النَّاسِ وَطَلَبِ مَحْمَدَةٍ مِنْهُمْ أَوْ طَمَعٍ  

“Pengertian ikhlas adalah seseorang di dalam seluruh ketaatan dan perbuatannya ditujukan semata-mata karena berusaha mendekat kepada Allah dan menginginkan kedekatan dan keridhaannya. Tidak ada maksud yang lain seperti ingin pamer, dipuji atau mengharap sesuatu dari makhluk (tamak).” 

Semoga Allah mengabulkan semua harapan dan doa tersebut. Amîn ya rabbal ‘alamin.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: islam.nu.or.id

Picture by indonesiainside.id

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani: Orang Yang Berpengaruh di Sekitar Kita

Syekh M Nawawi bin Umar Al-Bantani mengutip pembagian jenis orang berpengaruh yang kemungkinan ada di sekitar kita dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Dalam karyanya, Nasha’ihul Ibad, halaman 15, Syekh M Nawawi bin Umar Al-Bantani menyebut empat jenis orang berpengaruh di sekitar kita. 

Sebagian darinya terbilang buruk. Sementara sebagian lainnya terbilang orang baik. Dua dari empat jenis manusia tersebut patut dijauhi. Sedangkan dua jenis lainnya layak dijadikan sahabat.

Pertama, jenis orang yang tidak banyak bicara dan gelap hatinya. Orang jenis pertama ini adalah ahli maksiat, jahat, dan bodoh. Waspadalah kalian, kata Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, menjadi bagian dari orang jenis pertama ini. Waspadalah kalian berada di tengah orang-orang jenis pertama ini karena mereka adalah ahli azab.

Kedua, jenis orang yang pandai berbicara dan gelap hatinya. Orang-orang jenis kedua ini sangat cakap dan fasih membahas hikmah dan kearifan-kearifan ilahiah. Tetapi mereka tidak mengamalkannya. Mereka mengajak orang lain kepada Allah, tetapi mereka sendiri melarikan diri dari-Nya. Jauhilah mereka, pesan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, agar kau tidak termakan oleh ucapan manis dan keindahan bahasa mereka karena api maksiat mereka dapat membakarmu dan kebusukan hati mereka dapat membunuhmu. 

Baca: Hisab Dunia Meringankan Hisab Akhirat

Ketiga, jenis orang yang tidak banyak bicara dan terang benderang hatinya. Orang-orang jenis ketiga adalah orang-orang yang disembunyikan oleh Allah dari pandangan makhluk-Nya. Mereka dibukakan matanya oleh Allah pada aib mereka sendiri. Hati mereka diterangi oleh Allah. Mereka diberitahu oleh Allah akan bahaya pergaulan terlalu intensif dengan manusia dan kesialan terlalu banyak berbicara (termasuk menulis status), terlebih di era digital di mana hampir semua manusia individu terkoneksi satu sama lain melalui jaringan internet. Jenis ketiga ini adalah para wali Allah yang terjaga (mahfuzh) dalam perlindungan-Nya. Segala sesuatu yang ada pada mereka mengandung kebaikan. Hendaklah kalian, kata Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, mengambil bagian dalam bergaul dan berkhidmah pada mereka; niscaya Allah mencintai kalian karena mereka.

Keempat, jenis orang yang mempelajari ilmu agama, mengajarkan, dan mengamalkannya. Mereka adalah orang yang mengenal Allah dan ayat-ayat-Nya (al-alim billah wa āyātih atau ulama).

Pada hati mereka, Allah menitipkan ilmu-Nya yang gharib (asing, jarang diketahui orang kebanyakan). Allah melapangkan hati mereka untuk menerima keluasan ilmu-Nya. Waspadalah kalian, pesan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, untuk menentang, menjauhi, dan meninggalkan nasihat mereka.

Baca: Aforisme Ibnu Atho’illah As-Sakandari Untuk Para Hamilul Qur’an

Demikianlah empat jenis orang berpengaruh yang kemungkinan ada di sekitar kita kata Syekh Abdul Qadir Al-Jailani yang dikutip Syekh M Nawawi Banten dalam Kitab Nashaihul Ibad. Wallahu a’lam.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: nu.or.id

Picture by wikimedia.org

Hisab Dunia Meringankan Hisab Akhirat

Al-hisab secara bahasa berarti al-‘addu wa al-muhâsabatu yang artinya hitungan, perhitungan (Kamus Al-Bisyri, hal. 113). Kata hisab dapat dipahami sebagai usaha menghitung-hitung amaliah negatif diri. Sebagaimana pasien yang menginginkan dirinya sehat maka ia akan datang ke dokter untuk memeriksakan dirinya. Setelah dilakukan diagnosa dan ditemukan salah satu jenis penyakit maka dokter akan segera mengambil tindakan pengobatan.

Konsistensi hisab memungkinkan pelakunya semakin menyadari kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat. Dan diharapkan tidak akan kembali mengulanginya di masa-masa yang akan datang. Setiap hembusan dan tarikan napas, setiap gerak dan diam, setiap ucapan dan perbuatan, akan disaksikan kembali di hari perhitungan (yaum al-hisab). Bahkan seluruh anggota badan akan bersaksi dan menjawab segala pertanyaan malaikat.

Amirul mukminin Umar Ibn al-Khattab mengingatkan, 

حَاسِبُوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا 

Hitunglah (amal) diri kalian semua sebelum kalian semua dihisab.

Dijelaskan dalam kitab ihya, barangsiapa menghitung-hitung amaliah dirinya sebelum dihisab, akan diringankan hisabnya di hari kiamat, dimudahkan dalam menjawab pertanyaan (malaikat), dan akan menempati tempat terbaik (Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha Dimyati, Kifayatul Atqiya, Indonesia: Daru Ihya, hal. 16). Terang saja jika hisab di dunia akan menjadi sebab ringannya hisab di akhirat. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa dengan senantiasa melakukan muhasabah diri, seseorang dapat menyadari kesalahan, dan tidak akan mengulangi kesalahannya untuk yang kedua kali. Artinya semakin mendekati kematian semakin baik pula kualitas hidup. Senantiasa meningkatkan keimanan, ketakwaan dan amal shaleh dalam mempersiapkan kehidupan mendatang (akhirat).

Baca: KH. Said Aqil Siradj: Indonesia Lebih Toleran dari Eropa

Meyakini adanya hari perhitungan amal merupakan bagian dari ciri orang bertakwa. Sebagaimana dijelaskan pada ayat 2-3 surah al-Baqarah,

 ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (٢) الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (٣

Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka (QS. Al-Baqarah[2]: 2-3).  Kata يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ oleh Syekh Nawawi dalam Tafsir al-Munir diartikan dengan,

 يصدقون بما غاب عنهم من الجنة والنار والصراط والميزان والبعث والحساب وغير ذلك 

Orang-orang yang membenarkan adanya perkara ghaib, diantaranya surga, neraka, shirat, timbangan amal, kebangkitan dari alam kubur, perhitungan amal dan sebagainya (Syekh Nawawi, Tafsir al-Munir, Surabaya: Dar al-‘Ilmi, hal. 4, juz 1). Keyakinan yang kuat adanya yang ghaib akan menambah kewaspadaan manusia dalam menjalani kehidupan di dunia.

Baca: Aforisme Ibnu Atho’illah As-Sakandari Untuk Para Hamilul Qur’an

Tidak bisa dibayangkan berapa banyak ucapan, perbuatan, gerak juga diamnya manusia dalam sehari-semalam. Dari sejumlah tersebut berapa banyak yang bernilai baik dan berapa banyak bernilai buruk.  Maka Syekh Syatha Dimyati menambahkan dalam Kifayatul Atqiya,  

يجب عليك ان تقي المتاب أيضا بحفظ الأعضاء السبعة فيجب عليكحفظ العين عن النظر الى الحرام حفظ اللسان من الكذب والإستهزاء بالمسلم 

“Wajib atas kamu menjaga tobat, dengan menjaga anggota badan yang tujuh. Wajib menjaga mata dari melihat hal-hal yang diharamkan, menjaga lidah dari berbohong dan menyakiti Muslim lainnya” (Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha Dimyati, Kifayatul Atqiya, Indonesia: Daru Ihya, hal. 17).

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: islam.nu.or.id

Picture by sambalabcde.blogspot.com

Isra’ Mi’raj, Sains Dan Shalat

Seringkali orang mempertanyakan kebenaran Islam lewat perspektif keilmuan, sementara metode keilmuan selama ini yang dipakai adalah metode keilmuan Barat yang sekuler. Inilah yang seringkali menimbulkan bias. Jika orang hendak melihat Islam secara ilmiah, maka perspektifnya harus dibangun dari perspektif keilmuan Islam. Bagaimana pendekatan studi Islam?

Dalam studi Islam dapat digunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan rasional-spikulatif-idealistik dan pendekatan rasional-empirik. Pendekatan pertama adalah pendekatan filosofis, yaitu pendekatan yang digunakan terhadap teks-teks yang terkait dengan masalah yang bersifat metafisik, termasuk dalam hal ini adalah perisatiwa mi’raj nabi Muhammad saw. dari Masjidil Aqsha ke Sidrat al-Muntaha yang tidak membutuhkan jawaban empirik karena keterbatasan rasio manusia; kedua adalah pendekatan scientific (keilmuan), yaitu pendekatan terhadap teks-teks yang terkait dengan sunnatullah (ayat-ayat kauniyah), teks-teks hukum yang bersifat perintah dan larangan dan sejarah masa lampau umat manusia.

Mi’raj Nabi Muhammad saw.  dari  Masjid al-Aqsha ke Sidrat al-Muntaha pada  27 Rajab dalam waktu yang amat cepat merupakan peristiwa spektakuler yang mengundang reaksi keras dari kalangan kafir Quraisy saat itu, bahkan hingga sekarang. Ada yang mengatakan peristiwa itu terjadi dalam mimpi, bukan dalam alam nyata, atau terjadi pada diri Muhammad dengan ruhnya bukan jasadnya. 

Baca: Kisah KH. Zainal Abidin Munawwir Selamat Dari Gempa

Kaum emipris dan rasionalis boleh mempersoalkan dan menggugat dengan sejumlah sanggahan: Bagaimana mungkin kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui Muhammad tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang membakar tubuhnya? Bagaimana mungkin ia dapat melepaskan diri dari daya tarik bumi? Menurut kaum empiris dan rasionalis hal ini tidak mungkin terjadi.

Ya, bisa dimaklumi jika kaum empiris dan rasionalis mempertanyakan peristiwa yang spektakuler itu. Sebab mereka memandang segala sesuatunya berdasarkan realita empiris dan yang rasional saja. Padahal Isra’ Mi’raj merupakan peristiwa yang sublim.

Sebagaiman konsep keilmuan Barat, bahwa sesuatu disebut ilmiah (secara ontologis) jika lingkup penelaahannya berada pada daerah jelajah atau jangkuan akal pikiran manusia. Dan sesuatu dianggap benar jika didasarkan pada tiga hal: koherensi, korespondensi dan pragmatisme. Penganut positivisme hanya mengakui satu kebenaran, yaitu kebenaran yang bersifat inderawi, yang teramati dan terukur, yang dapat diulangbuktikan oleh siapa pun.  Dalam konsep keilmuan Barat, ilmu berhubungan dengan masalah empiri-sensual (induktif), empiri-logik (deduktif) atau logico-hipotetico-verificatif, artinya baru disebut sebagai ilmu jika telah dibuktikan kebenarannya secara empiris. Jelaslah dari sini, jika peristiwa Mi’raj dilihat dari perspektif keilmuan Barat, maka ia tidak dipandang sebagai sesuatu yang ilmiah melainkan hanya bersifat dogma dan sistem kepercayaan (credo).

Namun, jika dilihat dari prespektif keilmuan Islam, maka persoalannya menjadi lain, ia tetap ilmiah dan benar, sebab dalam konsep Islam, ilmu di samping memiliki paradigma deduktif-induktif juga mengakui paradigma transenden, yaitu pengakuan adanya kebenaran yang datang dari Tuhan. Pengakuan terhadap hal-hal yang bersifat metafisik (misalnya adanya Tuhan, malaikat, hari kebangkitan, surga, neraka dan seterusnya) merupakan kebenaran agama yang tak perlu adanya bukti empiris, melainkan persolan-persoalan metafisik tersebut benar adanya (realistis). Sesuatu yang tidak atau belum terjangkau oleh akal pikiran manusia tidaklah selalu menjadi dalih akan ketidakbenaran sesuatu itu sendiri, sebab al-Qur’an menyebutkan : …. “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali” (QS.17 : 85).

Baca: Sejarah Metode Halaqah dalam Pengajaran Al-Qur’an

Apa yang ditegaskan Al-Qur’an tentang keterbatasan pengetahuan manusia tersebut juga diakui oleh para ilmuwan abad 20. Schwart misalnya –seorang pakar matematika kenamaan Perancis—menyatakan, bahwa fisikawan abad ke-19 berbangga diri dengan kemampunnya menghakimi segenap problem kehidupan, bahkan sampai kepada sajak sekalipun. Sedangkan fisikawan abad 20 yakin benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya meski yang disebut materi sekalipun. Teori Black Holes menyatakan bahwa pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai 3 persen saja, sedangkan 97 persennya di luar kemampuan manusia. Itulah sebabnya seorang Kierkegaard tokoh eksistensialisme menyatakan, “Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, melainkan karena ia tidak tahu“. Lalu Imanual Kant juga berkata, “Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi penyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya“.

Sebetulnya peristiwa Isra’ Mi’raj ini memiliki arti penting bagi pembinaan keperibadian manusia, karena dalam peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut Nabi menerima perintah shalat lima waktu dalam sehari. Shalat inilah yang merupakan inti dari peristiwa besar tersebut, karena shalat merupakan tiang agama dan dasar dari pembangunan keperibadian manusia. Dalam pengertian lebih luas, shalat memiliki arti dzikir dan senantiasa mengingat Allah dalam segala tindakannya, sehingga dengan menegakkan shalat ini diharapkan manusia tidak pernah memiliki kesempatan untuk melakukan kejahatan dan segala macam tindakan keji lainnya. Pertanyaanya kemudian, shalat yang bagaimanakah yang mampu mencegah perilaku keji dan munkar itu? Kenapa sudah banyak orang yang melaksanakan shalat tetapi justru kejahatan makin menjadi-jadi? Pertanyaan inilah yang sering terdengar di telinga kita.

Baca: Dibalik Cerita Panggung Krapyak

Ada tiga kategori manusia yang digolongkan sebagai “manusia yang melalaikan shalat” itu: Pertama, lalai waktu. Mereka ini suka mengolor-olor waktu shalat, sudah waktunya shalat, tetapi masih ditunda-tunda untuk melaksakannya, alias mereka tidak disiplin dan tidak tepat waktu. Itulah sebabnya ketika Nabi ditanya salah seorang sahabatnya mengenai amal yang afdhal, beliau menjawab “shalat yang tepat waktu”. Kedua, lalai tidak mengingat Allah dalam shalatnya, artinya selama dalam shalat, mereka lisannya mengucapkan bacaan-bacaan shalat, tetapi hatinya keluar dari kontesks shalat, pikirannya tertuju pada urusan duniawi, bahkan mereka tidak menghayati gerakan yang ada dalam shalat itu. (tiadak thuma’ninah). Ketiga, orang yang shalat, tetapi di luar shalat mereka tidak shalat, artinya mereka shalat, mungkin thuma’ninah dan tepat waktu, tetapi di luar tindakan shalat formal itu mereka tetap melakukan kejahatan. Contoh sederhananya, selesai melaksanakan shalat berjamaah di masjid misalnya, mereka masih mau mengambil sandal atau sepatu orang lain. Jika pada contoh yang lebih luas, mereka masih mau korupsi, manipulasi dan eksploitasi. Jadi mereka memisahkan antara shalat sebagai ibadah dengan urusan kehidupan dunia sehari-hari, inilah sesungguhnya yang disebut dengan “orang sekuler” atau sahun dalam bahasa Qur’an-nya.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: uin-malang.ac.id

Picture by waspada.co.id

Pensiun Dini

Suatu ketika iblis galau dan ingin mengajukan pensiun dini sebagai penggoda manusia kepada Tuhan. Kemudian terjadilah percakapan antara Tuhan dengan iblis.


Iblis: “Tuhan, rasanya hamba sudah tidak betah lagi menggoda manusia, hamba minta pensiun dini”.


Tuhan: “Kenapa kau mengajukan pensiun wahai iblis, bukankah maumu untuk selamanya menggoda manusia?”


iblis: “Hamba minta ampun Tuhan, kelakuan manusia sekarang sudah melampaui batas bahkan melebihi hamba. Hamba khawatir justru hamba yang akan tergoda oleh manusia. Manusia nyabu, yang merasakan enak dia, tetapi yang disalahkan hamba. Manusia korupsi yang enak dia yang jadi kambing hitam hamba. manusia selingkuh atas kesadarannya, katanya digoda hamba. Dan yang paling pedih, setiap musim haji, hamba dilempari batu oleh berjuta-juta manusia, padahal yang melempari itu kawan-kawan hamba juga.”

Baca: Kabar Yang Selalu Dibawa Oleh Para Nabi

Hamba minta ampun Tuhan, hamba ikhlas dipensiun dini, dan profesi hamba sebagai penggoda manusia, biarkan diambil alih oleh manusia saja. Hamba sekali saja tidak mengikuti perintah Engkau Tuhan, dengan tidak sujud kepada Adam, Engkau menjadikanku sebagai penghuni neraka, lantas bagaimana dengan manusia yang tidak pernah mengikuti-Mu dengan meninggalkan shalat, lupa bersedekah, menyuburkan korupsi dan mengkhianatiku dengan melempar jumrah?

Oleh: Tim Redaksi

Picture by arabnews.com

Biografi KH. Nawawi Berjan #2

Pendiri Jam’iyyah Ahli Thariqot al-Mu’tabaroh

Secara singkat, sejarah Thariqohal-Qhadiriyyah wa Naqsyabandiyyah berkembang di Berjan adalah merupakan hasil gabungan antara dua aliran, yakni aliran Thariqoh Qhadiriyyah dan aliran Thariqoh Naqsyabandiyyah yang gagas oleh Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Ghaffar daerah Sambas Kalimantan Barat (1802-1872 M). Sedangkan aliran Thariqoh al-Qhadiriyyah pencetusnya adalah Syaikh Abdul Qhodir al-Jailani sebagai pelopor cikal-bakal aliran-aliran organisasi thariqoh dengan cabang-cabangnya di belahan penjuru dunia Islam.

Sementara aliran Thariqoh Naqsyabandiyyah adalah dirintis oleh Syaikh Muhammad bin Muhammad Bahauddin al-Bukhari al-Naqsyabandi (717 H/1318 M-791 H/1389 M) seorang tokoh sufi yang memulai belajar tentang tasawuf kepada gurunya Baba al-Samsyi pada saat berusia 18 tahun. Syekh Ahmad Khatib Sambas telah berhasil untuk menggabungkan dua aliran Thariqoh tersebut sebagaimana tertulis dalam karya kitabnya Fath al-Arifin dengan metode jenis Dzikir yaitu Dzikir Jahr dalam Thariqoh Qhadiriyyah dan Dzikir Khafi dalam Thariqoh Naqsybandiyyah.

Baca: Mbah Zainal: Tiga Tanda Orang Shaleh

Syekh Ahmad Khatib Sambas menjadi pelopor pemikiran Thariqoh Qhadiriyyah wa Naqsyandiyyah walaupun lama bermukim di Mekah pada pertengahan abad ke-19, maka banyak yang bersedia menjadi muridnya baik dari Negara Malaysia, Jawa dan luar Jawa. Pada perkembangannya Thariqoh wa Naqsyabandiyyah di Nusantara banyak yang bersumber kepada salah satu atau ketiga menjadi Mursyid pertama, mulai dan Syaikh Abdul Karim paman Syekh Nawawi  Banten sebagai pimpinan Thariqoh.

Sedangkan muridnya meneruskan dan berjasa besar untuk mengembangkan Thariqoh wa Naqsyabandiyyah di Nusantara yaitu, Kiai Asnawi Caringan Banten (w.1937), Syekh Zarkasyi (1830-1914 M), pada tahun 1860. Sementara Syekh Zarkasyi pada periode pertama mengembangkan Thariqoh wa Naqsyabandiyyah diteruskan pada periode kedua Muhammad Siddiq dan diteruskan ke periode ketiga yaitu KH. Nawawi Berjan Purworejo Jawa Tengah.

Pada periode KH. Nawawi  pada mulanya tidak bersedia untuk di baiat menjadi mursyid karena alasan berjuang bersama laskar Hizbullah pada saat itu, lalu pamannya, memberanikan diri Kiai Abdul Majid Pagedangan matur untuk di baiat sebagai mursyid tapi KH. Nawawi jawabannya tetap sibuk berjuang bersama laskar Hizbullah, maka sementara kedudukan mursyid dilanjutkan oleh pamannya sendiri, Simbah Kiai Munir bin Zarkasyi.

Setelah pasca perjuangan melawan penjajah, dan saudara kandung mirip ayahandanya wafat bernama Muhammad Kahfi pada hari kamis tanggal 6 Dzulqo’dah 1371/1950 M, maka barulah KH. Nawawi  berkenan untuk di baiat sebagai mursyid kepada Simbah Kiai Munir (w. 1958) Amanah yang berat sebagai pewaris pimpinan pondok pesantren dan juga sebagai mursyid Thariqoh wa Naqsyabandiyah selama 35 tahun (1947-1982). Pada saat itulah, KH. Nawawi  mulai merasakan keadaan terhadap aliran dan organisasi Thoriqoh yang berkembang dengan saling menyalahkan dan bahkan mengkafirkan antara aliran Thariqoh seperti Thariqoh Tijaniyyah dan Thariqoh Syathoriyyah yang sejatinya sama-sama berasal dari organisasi NU.

Pada tanggal 31 Desember Tahun 1955 KH. Nawawi  Berjan dan KH Masruhan berdialog untuk berusaha meluruskan para penganut Thariqoh dan perlunya menyepakati dalam bentuk Jam’iyyah thariqoh yang benar dan lurus, mana yang mu’thabaroh maupun yang tidak. Sekitar dua tahun kemudian, KH. Nawawi  bersilaturrahim kebeberapa daerah Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah bersama Kiai Mahfudz Rembang, maka pada tahun 1957 yang didampingi oleh Kiai Abdurrahim Pagedangan sehingga melahirkan Tim Pentasheh Thariqoh yang beranggotakan enam orang diantaranya Kyai Muslih Mranggen, dan Kiai Baedlowi Lasem.

Dengan keperihatinan dalam menyaksikan maraknya perpecahan dikalangan para penganut Thariqoh ini, kemudian KH. Nawawi  mengabadikan dalam catatan buku hariannya dengan menulis yaitu cara-cara yang menjalin hubungan persatuan berbagai panganut Thariqoh.

Menurut catatan-catatan buku harian KH. Nawawi , cara-cara mengeratkan ukhuwah di antara ikhwan thoriqoh. Pertama, para mursyid diberi tuntunan-tuntunan asas Thoriqoh yang semuanya asas-asas tadi dimengerti sampai tahu betul para murid dengan asas tujuan Thoriqoh hingga paham adab-adabnya murid Thoriqoh, adab kepada guru dan adab teman-teman Thoriqoh dengan inshaf, dan patuh terutama adab ma’a Allah dan Rasulnya. Kedua, supaya dianjurkan tazawur diantara mursyidin dengan para abdal satu sama lain, dengan tukar pikiran bagaimana caranya mentarbiyah murid-murid mana yang baik ditiru oleh ikhwan lain agar menambah amal khair.

Ketiga, para mursyid menganjurkan kepada abdal-abdal supaya berangkat khataman, tawajuhan dan riyadloh jasmaniyah dan rohaniyah serta tafakkur yang dapat mendekatkan muroqobah hingga para ikhwan Thoriqoh bisa melatih diri inshaf kepada ajaran-ajaran Sufi yang mana bisa sabar dan Ridho pada hukum Allah, dan membuat kebaikan kepada makhluk serta cinta kepada teman-teman dan menjauhi larangan-larangan tuhan dan terus mengabdi tambahannya ilmu serta ingat kepada mati agar giat beribadah.

Baca: Ibu Nyai Hindun Dari Krapyak Hingga Kempek

Dengan terbentuknya panitia sementara dalam rencana penyelenggarakan kongres pertama. Maka pada tanggal 11 Agustus tahun 1956 dengan susunan kepanitiaan Pelindung KH. Romli Tamim Rejo Jombang dan Ketua I KH. Nawawi  Berjan serta pembantu-pembantu I KH. Khudlori Magelang. Hasil Presidium Kepengurusan Kongres perdana dengan Anggota KH. Mandhur, KH. Chudlori Tegalrejo, KH. Usman, KH. Chafidz Rembang, KH. Nawawi, KH. Masruchan Brumbung, dengan sidang pertama di Rejoso Jombang. Kesepakatan kongres pada tanggal 19/20 Rabiul awal 1377 atau 10 Oktober 1957 sebagai hari lahir Jam’iyyah Ahli Thariqoh al-Mu’tabaroh. Pendirian Jam’iyyah ini telah direstui oleh KH. Dalhar Watucongol, walaupun pada saat itu beliau tidak berkenan naik panggung. 

Dalam kongres Jam’iyyah Ahli Thoriqoh ke 1 pada tanggal 12-13 Oktober 1957 di Tegalrejo Magelang dalam kapasitasnya sebagai ketua Panitia Kongres, KH. Nawawi dan Kyai Siraj Payaman yang paling banyak memberikan Jawaban setiap pertanyaan dari peserrta, termasuk dari Kiai Mahrus Lirboyo.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: laduni.id

Picture by annawawiberjan.or.id

Biografi KH. Nawawi Berjan #1

KH. Muhammad Nawawi lahir pada hari Selasa Kliwon tanggal Robi’ul Awwal 1334 H atau bertepatan pada 10 Januari 1916 M, di Berjan Purworejo. Beliau merupakan putra dari pasangan KH. Muhammad Shiddiq dengan Nyai Fatimah.

KH. Muhammad Nawawi merupakan keturunan dari keluarga ningrat bernasab keturunan dari Sultan Agung Mataram dari jalur ayahnya yaitu; Muhammad Nawawi bin KH. Muhammad Shiddiq bin Kiai Zarkasyi bin Asnawi Tempel bin Kiai Nuriman Tempel bin Kiai Burhan Joho bin Kiai Suratman Pacalan bin Jindi Amoh Plak Jurang bin Kiai Dalujah Wunut bin Gusti Oro-oro Wanut bin Untung Suropati bin Sinuwun Sayyid Tegal Arum bin Sultan Agung bin Pangeran Senopati.

Baca: Biografi KH Dalhar Munawwir

Dari jalur ibunya bernama Nyai Fatimah bin Muhyiddin (w.137 H/1948 M) kakek KH. Muhammad Nawawi dari garis ibunya adalah cikal bakal desa Rending, sebuah desa disebelah utara desa Gintungan. Di desa yang didirikannya tersebut, kakeknya pernah menjabat sebagai lurah Desa. Pada sebagian wilayah desa Rendeng inilah terdapat sebuah pedukuhan bernama Tirip, tempat mukim simbah Kiai Zaid, seorang Ulama besar dan juga saudara ipar KH. Abdullah Termas Pacitan.

Masih kecilnya KH. Nawawi  termasuk keluarga yang religius, dan sering membaca buku dan kitab kuning walaupun bermain dengan teman sebaya dan bersama keluarga besarnya. Masa remajanya terkenal rajin belajar yang sangat tinggi bahkan membawa catatan sambil diskusi-musyawarah. Pada tahun 1970 yang ditulis oleh KH. Nawawi  sendiri, di mulai dengan belajar al-Quran, fath al-Qorib, Sanusi, Minhaj al-Qawim, Ta’lim al-Muta’allim, Tanqikh al-Qaul, dan Shahih Bukhari kepada ayahnya sendiri KH. Muhammad Shiddiq.

KH. Nawawi nyantri di berbagai daerah di Jawa Timur, Jawa Tengah dan daerah Yogyakarta, seperti; Pondok Lirboyo di Kediri, Pondok Watucongol, Pondok Lasem, Pondok Jampes, Pondok Termas di Pacitan dan Pondok Tebuireng di Jombang. Di Bidang pendidikan al-Quran bin Nadhor diperdalam langsung oleh KH. M. Munawwir Krapyak Yogyakarta.

KH. Nawawi berajar banyak kiai-guru di pulau Jawa bahkan mampu mengusai kitab kuning. Dalam catatan beliau terhadap kitab Faidul Barry Fi Manaqibi al-Imam Bukhari al-Ju’fy tahun 1377 H tentang sanad yang telah ditulisnya sebagaimana pada saat belajar Shahih al-Bukhari di Pondok Pesantren Tebuireng oleh KH. Hasyim Asyari Jombang dan belajar Dalail Al-Khairat kepada Syekh Ahmad Alawy Jombang.

Baca: Kisah Ibu Nyai Sukis Dan Jangan

Pada perkembangannya, KH. Nawawi  tidak pula meninggalkan dunia lembaga pendidikan formal di dalam usaha dengan nalar idenya untuk menawarkan di pesantren yang dipimpinnya sebagai alternatif tempat penyelenggaraan lembaga Pendidikan Guru Agama (PGA), tiga tahun mengalami penurunan jumlah murid secara drastis walaupun dalam transisi infrastruktur pendidikan sebagaimana yang telah dianjurkan oleh Menteri Agama untuk mendirikan lembaga pendidikan sejenis. Pembangunan ruang kelas baru dilaksanakan sejak pada tahun 1963 berkat bantuan Menteri Agama KH. Saifuddin Zuhri.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: laduni.id

Picture by annawawiberjan.or.id

Do’a Tolak Sihir Atau Jin

Membaca adzan 1 kali di telinga orang yang sakit sambil memegang benjolan yang ada pada pangkal lengan atau persendian, diteruskan dengan membaca ayat:

وَ قُلْ جَاءَالْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا, وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَزِيْدُالظَّالِمِيْنَ إِلاَّ خَسَارًا

Do’a ini diriwayatkan oleh KH. R. Abdullah Afandi Munawwir

Sumber: Almunawwiriyyah; Wirid Dan Do’a Sesepuh Krapyak

Syair-Syair Simbah KH. Muhammad Munawwir

KH. Muhammad Munawwir rahimahullah memiliki beberapa syair atau petuah-petuah bijak yang menjadi favorit beliau. Berikut syair-syair tersebut sebagaimana dalam buku manaqib sejarah beliau, antara lain:

– Mengutip Imam Abu Sulayman al-Khaththabi, sebagaimana diriwayatkan oleh KH. Umar (Kempek, Cirebon):

وَلَسْتُ بِسَائِلٍ مَا دُمْتُ حَيًّا #  أَسَارَ الخَيْلُ أَمْ رَكِبَ الأَمِيْرُ

(Selama aku hidup, aku tidak akan bertanya (dan tidak peduli), apakah yang berlari kuda, ataukah Amir yang menaikinya)

Barangkali antara maksudnya: Ketika seseorang sudah menetapkan diri untuk mondok ya harus siap dengan segala konsekuensinya, yaitu beruzlah dan mengasingkan diri dari berbagai hal yang mungkin terjadi di sekitarnya dan mengganggu konsentrasi belajarnya.

Baca: Ijazah Surah al-Fatihah Dari KH. M. Munawwir Oleh Gus Mus

– Riwayat dari KH. Umar (Kempek, Cirebon):

وَلَسْتُ بِمُدْرِكٍ مَا فَاتَ مِنِّي # بِلَهْف وَلاَ بِلَيْتَ وَلاَ لَوْ أَنِّي

(Aku tidak bisa lagi mendapatkan apa yang telah berlalu meninggalkanku, baik dengan cara melamun menyesalinya, melalui ungkapan “layta” (seandainya) atau dengan “law anni” (andaikata saya) )

Antara maknanya barangkali adalah: seseorang tidak dapat mengulang hal-hal yang telah terjadi, meskipun dengan berbagai upaya. Apabila takdir sudah berlaku, ya sudah, berarti dalam peribahasa bahasa Indonesia dikatakan: nasi sudah menjadi bubur.

Syair ini memberi anjuran agar seseorang membiasakan diri bersungguh-sungguh dalam setiap yang dikerjakannya. Penyesalan hanya akan terjadi belakangan. Syair ini juga mengajarkan agar apapun yang sudah terlanjur terjadi agar dicari jalan keluarnya yang terbaik.

– Riwayat dari KH. Umar (Kempek, Cirebon):

اطْلُبْ وَلاَ تَضَّجَّرَنْ مِنْ مَطْلَبٍ # فَأَفَةُ الطَّالِبِ أَنْ يَضَّجَّرَا

أَلَمْ تَرَى المَاءَ بِتِكْرَارِهِ # فِي الصَّحْرَةِ الصَّمَّاءِ قَدْ آَثَرَ

(Cari dan upayakan (semampunya), dan jangan sekali-kali kamu bosan mencari, sebab kelemahan orang yang mencari adalah munculnya rasa bosan.

Tidakkah kamu tahu bahwa air itu bila berkali-kali menetes meskipun di atas batu cadas, maka air itu tetap akan memberi pengaruh yang nyata)

Baca: Wejangan Simbah KH. Muhammad Munawwir

Syair ini menganjurkan siapapun agar memiliki keteguhan dan kegigihan dalam mengupayakan sesuatu, termasuk dalam hal ini adalah pencari ilmu.

Semoga bermanfaat.

Oleh: Tim Redaksi

Kisah Kiai Zainal Dengan Santri Baru

Kiai Zainal Abidin merupakan salah satu putra dari KH. Muhammad Munawwir, pendiri Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak, Yogyakarta. Nama panggilan beliau sejak kecil yakni ‘Zainal’, namun Mbah Ali Maksum memiliki penulisan unik untuk nama ‘Zainal’ sendiri apabila ditulis menggunakan tulisan arab; زينال menjadi tidak memiliki arti atau menjadi lain artinya.

Kiai Zainal ini memiliki perawakan yang kurus, tidak gemuk sama seperti dengan Kiai Sahal Mahfudz serupa dan sulit untuk dibedakan. Bagi yang belum kenal dengan Kiai Zainal, mungkin akan menyangka bahwa Kiai Zainal itu sebagai santri biasa atau orang biasa yang sedang mondok.

Baca: Mbah Zainal: Tiga Tanda Orang Shaleh

Sewaktu Kiai Zainal masih muda kira-kira sekitar tahun 60-an, ketika sore hari beliau berada di depan pondok datang seorang santri baru yang baru saja turun dari becaknya. Santri dulu kalau mondok tentu membawa beras, disamping membawa pakaian secukupnya. Dengan tanpa sungkan santri baru tadi yang turun dari becak meminta tolong kepada orang yang ada di depan pondok.

“Tolong Mas, bawakan kantong beras saya yang satu ini ya” perintah santri baru

“Ayo dibawa ke kantor pondok saja” jawab Kiai Zainal

“Ya iya” sahut santri baru sambil membayar becak

Ketika sampai di kantor pondok, kantong beras 20 Kg itu diletakan di depan pintu. Santri baru pun mengucapkan terima kasih karena sudah mau membawakan kantong beras miliknya itu, kemudian Kiai Zainal pamit meninggalkan santri baru tadi.

Kira-kira 3 hari setelah kejadian tersebut, santri baru pun sudah mulai beraktifitas dengan kegiatannya. Setelah maghrib ketika dia sedang mengaji tiba-tiba pandangan matanya tertuju tajam kedepan. Melihat Sang Guru yang sedang membacakan kitab, sambil angan-angannya melayang membayangkan kejadian 3 hari yang lalu.

Dalam benaknya timbul perasaan tidak enak dan menjadi sebuah pertanyaan besar dalam dirinya.

Baca: Kyai Muhammad Tanwir Abdul Jalil Dan Ketawadhuannya

“Apakah orang itu yang kemarin saya mintai tolong? Betulkah Kiai itu yang membawa kantong berasku kemarin?” santri baru bertanya dengan dirinya sendiri.

Muncul perasaan gelisah dan resah, hingga malamnya dia tidak bisa tidur. Akhirnya diputuskan pagi harinya untuk sowan dan meminta maaf dan pamit pulang. Setelah beberapa hari Kiai Zainal bertanya kepada teman-teman satu kamarnya terkait keberadaan santri tersebut, teman-teman satu kamarnya pun menjawab sudah pulang. Kiai Zainal pun paham dan hanya tersenyum. Allahu Yarham.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Majalah Al Munawwir