Ibu Nyai Hindun Dari Krapyak Hingga Kempek

Nyai Hj. Hindun lahir pada hari Selasa Kliwon, jam 01.00, tanggal 17 Shoffar 1340 H tahun Ha (1852), Nyai Hindun merupakan putri pertama dari K.H. M. Munawwir sebagai pendiri Pondok Pesantren Al Munawwir dari istri ke 3 yakni Ibu Nyai Salimah dari Wonokromo, Bantul. Adapun adik-adik beliau diantaranya yakni; Aminah, Ny. Zulaikha, Hidayatullah, Washil, Ja’far, K.H. Dalhar Munawwirr, Ny. Hj.  Jauharoh dan Ny. Hj. Badi’ah.

Nyai Hj. Hindun menikah dengan Kiai Yusuf Harun yakni putra pertama dari K.H. Harun Abdul Jalil dari istri Ny.Ummi Laila, Kempek Cirebon dan kemudian setelah menikah Nyai Hj. Hindun menetap di Kempek. Setelah K.H. Yusuf Harun wafat dalam usia muda karena sakit cacar kemudian Nyai Hindun menikah dengan K.H. Umar Sholeh yakni putra kedua dari K.H. Harun Abdul Jalil dari istri Ny. Mutimmah, Kempek Cirebon. Karena atas permintaan guru dan ayahandanya sebagai bukti sam’an watho’atan supaya tetap mengembangkan ilmu al-Qur’an dan juga demi mendapatkan rida dari sang Kiai. K.H. Umar Sholeh merupakan salah satu murid K.H. M. Munawwir diantara banyaknya murid yang pernah mengaji dengan K.H. M. Munawwir bin Abdullah Rosyad. Hal ini semata-mata untuk menjaga kelangsungan persaudaraan Nyai Hindun agar terus menetap di Kempek tanpa harus kembali ke Yogyakarta untuk mengasuh putri tunggalnya yakni buah pernikahannya dengan Kiai Yusuf Harun.

Baca: Hubungan Silsilah Kempek dan Krapyak: Mengenal Sosok K. Zainuddin (1)

Adapun dari pernikahan Nyai Hindun dan K.H. Yusuf Harun melahirkan seorang putri tunggal yang bernama Nyai Hj. Jazilah Yusuf. Beliau Nyai Hj. Hindun merupakan sosok yang bersahaja dan suka bersedekah, beliau merupakan seorang putri yang patuh terhadap orang tuanya. Dibuktikan dengan kesungguhan beliau dalam mengaji dan mempelajari al-Qur’an langsung dengan orang tuanya yakni K.H. M. Munawwir dan kakaknya yaitu K.H. Abdul Qodir (putra ke 5 dari pernikahan K.H. M. Munawwir dengan RA.Mursidah) sehingga beliau menjadi sosok yang dikagumi dan dihormati oleh keluarga dan masyarakat. Dari situlah awal penyebaran al-Qur’an yang beliau bawa sampai di Pondok Pesantren Kempek dan berkembang sampai sekarang.

Dokumentasi oleh: Khaskempek.com-Ibu Nyai Hj. Jazilah Yusuf

Sepeninggalan K.H. Yusuf Harun estafet kepemimpinan pesantren digantikan oleh adiknya yaitu K.H. Umar Sholeh. Pada masa ini Pondok Pesantren Kempek berkembang pesat. Pengelolaan pembelajaran pesantren dikelola secara bersama-sama, saling bahu-membahu dengan adik dan ipar-ipar beliau seperti K.H. Aqil Siroj, K.H. Nashir, Kiai Hasan, Kiai Maksum, Kiai Muslim, Kiai Judhi dan lain-lain. Kiai Umar wafat pada 3 Dzul Hijjah 1999 dengan meninggalkan seorang putra H. M Nawawi dari istri ke 2 yakni Nyai ‘Aisyah binti KH. Ahmad Syathori dari Pondok Pesantren Arjawinangun Cirebon.

Nyai Hj. Hindun memperkenalkan dan mengajarkan al-Qur’an kepada santri-santri putri dengan metode sama persis yang didapatkan langsung dari K.H. M.  Munawwir yang tak lain merupakan ayahanda sekaligus guru beliau. Dari dulu sampai sekarang santri di Pondok Pesantren Kempek mengaji al-Qur’an dimulai dari hafalan surat al-Fatihah kemudian bacaan Tahiyyat, kemudian dilanjut surat an-Nas sampai surat an-Naba’ (Juz ‘Amma bil hifdzi). Setelah khatam Juz ‘Amma dilanjutkan dengan mengaji al-Qur’an yang dimulai dari surat al-Fatihah diteruskan ke surat al-Baqarah sampai khatam surat an-Nas (al-Qur’an bin nadzor).

Baca: Biografi KH Dalhar Munawwir

Jadi santri putri yang mengaji al-Qur’an di Pondok Pesantren Kempek itu secara otomatis sanadnya tersambung sampai ke K.H. M. Munawwir Krapyak yakni lewat jalur Nyai Jazilah Yusuf yang mengaji al-Qur’an dari Nyai Hindun dan Nyai Hindun belajar langsung dengan ayahandanya, yaitu K.H. M. Munawwir bin Abdullah Rosyad. Salah satu dawuh dari K.H. M. Munawwir kepada Nyai Hj. Hindun yakni “Orang hafal al-Quran, mengamalkan isi kitab Majmu’ dan Mudzakarat, insya Allah menjadi orang shalihah.”

Nyai Hj. Hindun wafat saat wukuf di Arafah tanggal 8 Dzul Hijjah 1975. Sedangkan dikutip dari Khaskempek.com bahwasanya Nyai Hj. Jazilah Yusuf pernah bercerita bahwasanya Nyai Hj. Hindun itu wafat ketika sedang menunaikan ibadah haji di Makkah. “Mimie isun wafat ning tanah Arafah, tanggal 8 Dzul Hijjah,” tutur beliau. Kemudian Nyai Hj. Jazilah melanjutkan ceritanya “Ibu berangkat haji sekitar tahun 1971 bersama Kiai Dalhar” (adik dari Nyai Hj. Hindun).

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Khaskempek.com, Kempek-online.com

Keterangan Foto: Almarhumah Nyai Hj. Hindun Munawwir dan putrinya, Nyai Hj. Jazilah Yusuf (Pengasuh Pondok Pesantren Putri Al-Munawwiroh Kempek, Cirebon) Foto: KHASMedia

Dibalik Cerita Panggung Krapyak

Panggung Krapyak tak bisa dilepaskan keberadaannya dari Kraton Yogyakarta, baik dalam tinjauan makro urban, maupun dalam tinjauan makrokosmos sebagai bentuk poros imajiner kota, bangunan ini selesai dibangun tahun 1788, merupakan  rangkaian bangunan paling akhir yang didirikan oleh raja yang berkuasa saat itu Sultan Hamengkubuwana I atau dikenal sebagai Pangeran Mangkubumi. Bangunan Panggung Krapyak pada awalnya dimaksudkan sebagai tempat panggung tempat sultan dan keluarganya beristirahat dan mengawasi anggota keluarganya berburu rusa, Panggung Krapyak merupakan bangunan yang terdiri dari dua lantai, terbagi dalam 9 segmen dan mempunyai pintu ke 4 arah mata angin.

Struktur atau susunan kota Yogyakarta pada dasarnya terkait erat dengan keberadaan Kraton Yogya yang mulai eksis sejak adanya Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, mulai saat itu Sultan Hamengkubuwana I mendirikan kraton dengan berbagai macam sarana dan prasarana untuk mewadahi berbagai aktivitas kerajaan. Para Sultan penerusnya juga melakukan pengembangan sarana dan lingkungan sesuai konteks jamannya. Lingkungan binaan yang dibuat untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan hidup dan mewadahi berbagai aktivitas, baik melakukan kegiatan sosial, budaya, usaha, dan tempat tinggal. Kelengkapan fisik, sarana, prasarana, estetik, etik, simbol dan filosofis-religius eksistensinya mempunyai koherensi dengan berbagai rancangan sebagaimana fungsi dan maknanya.

Pada zaman dahulu, daerah tempat Panggung Krapyak masih berupa hutan yang dinamakan Hutan Krapyak. Oleh karena itu, tempat ini digunakan sebagai sebuah tempat perburuan karena terletak di dekat hutan. Selain itu, bangunan ini digunakan sebagai tempat pertahanan dari binatang buas di Hutan Krapyak agar tidak sampai ke keraton.

Panggung Krapyak berbentuk menyerupai kotak ini memiliki ukuran luas 17,6 m x 15 m dan tinggi 10 m. Arsitektur bangunannya cukup unik. Setiap sisi bangunan memiliki sebuah pintu dan dua buah jendela. Pintu dan jendela ditutup dengan pagar besi yang tidak rapat sehingga bagian dalam bisa terlihat dari luar. Bagian bawah pintu dan jendela berbentuk persegi tetapi bagian atasnya melengkung, seperti rancangan pintu dan jendela di masjid. Bangunan ini terdiri dari dua lantai. Pada lantai atas berupa ruangan terbuka yang cukup luas dan dibatasi pagar dengan ketinggian sedang.

Bentuk tata kota yang vertikal dari selatan ke utara melambangkan hubungan manusia kepada Sang Pencipta. Laut Selatan yang merupakan titik terendah dan Gunung Merapi yang lebih tinggi melambangkan sikap manusia yang semakin dekat dengan Sang Pencipta seiring berjalannya waktu.

Baca: LIBERALISASI PEMIKIRAN NU

Bagian garis dari Panggung Krapyak ke Tugu Pal Putih dari selatan ke utara merupakan perjalanan Sangkaning Dumadi yakni proses perjalanan manusia menuju eksistensi. Diawali dengan pertemuan antara wiji (benih) yang merupakan proses terjadinya manusia (dumadi) dilambangkan oleh Panggung Krapyak yang berupa bentuk yoni dan bentuk Tugu Pal Putih yang berupa bentuk lingga. Dari hal itu, maka lahirlah manusia yang tumbuh dan berkembang hingga menjadi dewasa.

Sementara itu, garis dari utara ke selatan bermakna perjalanan manusia kembali ke Sang Penguasa yakni Paraning Dumadi. Keraton yang berada di tengah melambangkan manusia yang telah mapan dan dewasa. Pada akhirnya manusia akan mati dan kekal di akhirat yang dilambangkan Lampu Kyai Wiji di Gedhong Prabayeksa Keraton yang tak pernah padam sejak zaman Sultan Hamengkubuwana I.

Sumber gambar: kebudayaan.kemdikbud.go.i

Penduduk di sekitar Panggung Krapyak dan para peneliti berasumsi bahwa dahulu pada abad ke-18 Masehi, bangunan ini dikelilingi oleh pagar berupa tembok. Sisa-sisa struktur tembok tersebut berada di sisi selatan dan barat Panggung Krapyak. sayangnya, struktur tersebut tidak dapat dilihat karena tertutup warung dan rumah warga. Selain struktur tembok, ditemukan juga sumur dan sisa-sisa kolam yang masih berasosiasi dengan Bangunan Panggung Krapyak ini.

Baca: Sebuah Kisah Habib Quraisy Bin Qosim Cirebon

Kawasan Panggung Krapyak berjakar sekitar 2 kilo meter dari alun-alun selatan yogyakarta, berada di sekitarnya adalah Jalan Jogokaryan, Jalan mangukuyudan serta Jalan Tirtodipuran. Sosial ekonomi penduduk sekitar kawasan Krapyak didominasi oleh Industri Jasa Guest House, Kafe, serta rumah pondokan. Mata pencaharian penduduknya disamping dari produk jasa diatas, juga dari sektor informal (warung makan, toko kelontong) juga dikenal sebagai pusat industri batik (tulis/ cetak) melengkapi kawasan Jalan Prawirotaman yang sudah terlebih dahulu dikenal khalayak.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id, id.wikipedia.org, dosen.univpancasila.ac.id

Picture by correcto.id

Biografi KH Dalhar Munawwir

K.H. Dalhar Munawwir lahir pada hari Kamis Pon, pukul 13.00 WIB pada tanggal 14 Sya’ban tahun Dal atau 6 Juli 1933. Beliau merupakan putra ketujuh dari sembilan bersaudara dari pasangan K.H. Muhammad Munawwir bin Abdul Rosyad dari istri yang ketiga yaitu Nyai Hj. Salimah. Beliau memiliki enam orang kakak, yakni; Nyai Hj. Hindun (sebagai kakak pertama), Nyai Aminah, Nyai Hj. Akikah, Nyai Hj. Baidah, Gus Wasil, Gus Jafar dan dua adik beliau adalah Nyai Hj. Jauharoh dan Gus Hidayatullah.

K.H. Dalhar Munawwir merupakan pengasuh di salah satu bagian pesantren otonom dari Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta yakni Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek Nurussalam yang terletak diantara Komplek Q dan Komplek L dan terletak di perbatasan Kota Yogyakarta.

K.H. Muhammad Munawwir merupakan ayahanda sekaligus guru pertama beliau dalam mempelajari al-Quran. Dari kecil beliau sudah menggeluti ilmu al-Quran kepada ayahandanya hingga K.H. M. Munawwir wafat pada tahun 1942. Ketika beliau sudah dewasa, beliau melanjutkan mendalami al-Quran kepada K.H. Abdul Qodir Munawwir yang tidak lain adalah kakak beliau sendiri. Tidak hanya itu, beliau juga mempelajari kitab-kitab klasik kepada kakak iparnya, yaitu K.H. Ali Maksum. Pada waktu itu, K.H. Dalhar Munawwir beserta saudara- saudaranya yang lain; K.H. Ahmad Warson Munawwir, K.H. Zuhdi Dakhlan, K.H. Hasyim dan K.H. Nursidi mengaji kepada K.H. Ali Maksum.

Baca: Kisah Ibu Nyai Sukis Dan Jangan

Seperti tradisi para Kiai pesantren lainnya, rihlah keilmuan beliau tidak hanya didalami di lingkungan Pondok Krapyak saja, sekitar tahun 1959 beliau juga belajar kepada K.H. Nahrowi Dalhar (salah satu kiai kharismatik di pulau Jawa) yang merupakan pengasuh serta pendiri pesantren di Watucongol Magelang sewaktu posonan (pengajian di bulan Ramadhan). K.H. Dalhar Munawwir juga pernah menimba ilmu langsung kepada K.H. Siroj (Payaman), K.H. Musyafa’ (Kaliwungu), K.H. Dimyathi (Comal Pemalang), K.H. Bisri Mustofa (Rembang), dan K.H. Suyuthi (Rembang).

Pada tahun 1958 di usia 25 tahun K.H. Dalhar Munawwir mempersunting Nyai Hj. Rr. Makmunah, putri seorang Kiai dari Purworejo Jawa Tengah, yaitu K.H. Raden Ahmad Siroj atau Kiai Ahmad Jambul. Beliau dikaruniai lima anak laki- laki, yakni; K.H. Fuad Asnawi, K.H. Fathoni, K.H. Fairuzi Afiq, K. Faishol Majdi, dan K. Fahmi, serta seorang anak perempuan bernama Fanny Rifqoh.

Sumber foto dari instagram @nurussalamkrapyak

Di bawah asuhan K.H. Dalhar Munawwir, pesantren ini menjadi semakin berkembang dengan masuk dan bertambahnya santri putra yang datang dari berbagai penjuru daerah di Jawa bahkan hingga luar Jawa seperti Bali, Sumatera, dan daerah lainnya. Pada masa inilah bersamaan dengan berubahnya nama Pondok Pesantren Putri Krapyak, menjadi Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek Nurussalam. Kata “Nurussalam” (cahaya keselamatan) sendiri disandarkan kepada pendiri pertama Pondok Putri yaitu Ibu Nyai Hj Salimah Munawwir yang tak lain merupakan ibunda K.H. Dalhar Munawwir.

Baca: Kyai Muhammad Tanwir Abdul Jalil Dan Ketawadhuannya

Hubungan K.H. Dalhar Munawwir dengan para santri seperti seorang bapak dengan anak-anaknya, beliau lebih senang memanggil santrinya dengan sebutan anak-anakku. Begitu juga beliau tidak begitu senang dipanggil Kiai oleh para santrinya, beliau lebih senang dipanggil “Bapak” atau “Mbah”. Kedekatan K.H. Dalhar Munawwir dengan para santrinya bagaikan sebuah keluarga besar, hal ini bisa dilihat dari berbagai kegiatan atau rutinitas yang ada di pesantren, beliau sering terjun langsung setiap hari mengawal kegiatan santri-santrinya di Pondok Pesantren Nurussalam. K.H. Dalhar Munawwir tidak pernah membedakan antara santri yang satu dengan santri yang lain, baik santri itu merupakan anak kyai atau bukan dalam pandangan beliau semua santri itu sama yaitu sebagai anak-anak yang ingin menuntut ilmu.

An-Namiqotu fil Qowa’idil Fiqhhiyyah merupakan karya K.H. Dalhar Munawwir yang ditulis langsung oleh beliau pada waktu itu, yang berisi 40 kaidah fiqih menggunakan bahasa Indonesia-Arab. Tidak hanya itu beliau juga menulis sebuah kumpulan tulisan Khutbah Jum’at yang beliau tulis sendiri ketika beliau menjadi Khotib Sholat Jum’at.

Pada hari Rabu, 18 November 2009, jam 10.00 WIB, Kiai yang istiqomah dalam kesederhanaan itu ‘berpulang’ di usianya yang ke-76 tahun. Pada waktu itu beliau di rawat di RSUD Wirosaban Kota Gede Yogyakarta, karena beliau mempunyai penyakit radang paru-paru.

Sebelum disemayamkan, jenazah disholatkan di Masjid Pondok Pesantren Al- Munawwir. Kemudian dibawa ke tempat peristirahatannya yang terakhir yakni di komplek makam keluarga Dongkelan, sesuai wasiat K.H. Dalhar Munawwir beliau ditempatkan di sebelah barat istri tercintanya, Nyai Hj. Rr. Siti Makmunah.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: almunawwir.com, el tasrih Komplek L

Picture by instagram @nurussalamkrapyak

Kisah Humor: Juki Yang Cerdik

Juki adalah anak yang cukup cerdas dan bertanggung jawab meski baru berusia lima tahun dan masih duduk di bangku TK. Suatu hari Juki disuruh pergi belanja, seperti biasa ibunya selalu memberi uang pas setiap kali menyuruhnya belanja. Maka sambil menggenggam uang receh, Juki berlari-lari kecil ke warung terdekat.

“Tumbas…gulo sekilo” teriak Supri depan warung

“Oalah, Juki toh!” jawab Ibu penjaga warung

Namun oleh Ibu penjaga warung, gula tersebut bukannya diberikan langsung malah dibuka kembali dan isinya dikurangi dengan jumlah yang cukup lumayan.

Baca: Opini Tentang Perempuan

“Iki Juk gulone” Ibu penjaga warung memberikan gulanya

“Tapi Bu, kok timbangane dikurangi?” protes Juki spontan sambil menerima gulanya

“Yo, ben awakmu gampang leh nggowo”

Juki pun dengan cepat menyisihkan beberapa lembar uang recehnya.

“Niki Bu artone” kata Juki seraya menaruh uang pembayaran di atas toples

“Loh, tapi kok duite mbok kurangi Juk?” tanya Ibu penjaga warung

“Yo ben gampang leh ngitung Bu” jawab Juki enteng

Mendengar ini si ibu cuma bisa tersenyum kecut

“Hmm…cah iki podo wae karo mbokne!” jawab Ibu penjaga warung kesal

Oleh: Tim Redaksi

Picture by i.ytimg.com

Kyai Muhammad Tanwir Abdul Jalil Dan Ketawadhuannya

Kyai Muhammad Tanwir Abdul Jalil adalah sosok kyai yang sangat tawadhu. Sikap tawadhu beliau cukup masyhur dimasyarakat sekitar Krapyak, salah satu kebiasan yang mencerminkan ke tawadhu-an beliau adalah ketika hendak ke Masjid Al Munawwwir Krapyak, dari pintu gerbang beliau sudah menuntun sepedanya, tidak pernah beliau berani mengendari sampai masuk ke area Masjid. Hal serupa juga di ungkapkan oleh putra beliau yaitu Gus Hafidz ketika menceritakan sikap tawadhu beliau. “Bapak tidak pernah merasa lebih bisa dari siapapun bahkan dari santrinya sendiri” ungkap Gus Hafidz Tanwir ketika di wawancarai kru el-tasriih.

Tawadhu juga menjadi alasan beliau memperistri cucu KH. M. Munawwir yaitu Ibu Nyai Siti Rohmah binti Asyaithibi. Saking tawadhu-nya selain masalah hukum, beliau  selalu mengalah kepada istrinya, mengalah di sini bukan berarti kalah akan tetapi karena beliau memandang Ibu Nyai Siti Rohmah bukan hanya sebagai istri melainkan juga sebagai putri dari gurunya.

Baca: Amalan Satus Tembus

Saat mengajar al-Quran di PP. Al-Munawwir Komplek L, metode yang beliau terapkan sama seperti metode yang pernah beliau dapatkan dari gurunya. Ketika bacaan santri salah beliau langsung menuntun dan memebenarkanya, seperti yang di ungkapkan santri yang pernah mengaji kepada beliau yaitu Akhmad Haris yang mengungkapkan:

“Simbol kalau sudah boleh naik ke surat berikutnya adalah telunjuk beliau ketika beliau sudah mengangkat jari telunjuk berarti santri sudah boleh melanjutkan ke surat berikutnya tetapi kalau belum, santri harus kembali mengulanginya kembali”. ucap Kang Haris

Dokumentasi foto oleh M. Mudzakir Putra ke-6 beliau

Kang Haris juga menambahkan beliau adalah sosok yang sangat sabar dalam mengajar, telaten dan juga istiqomah. Mbah Yai Tanwir sering sekali lebih dulu hadir di sebelum para santrinya datang. Beliau memiliki kebiasaan yang selalu dilakukan yaitu nderes Sambil berjalan di sekeliling Pondok sebelum mengajar. Pesan yang selau di ingat oleh Akhmad Haris sebagai salah satu santrinya adalah “Urip kuwe kudu Sing Sabar Yo” karena ungkapan Ini adalah pesan terakhir beliau ketika menjelang wafat.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: El Tasrih Komplek L

Opini Tentang Perempuan

Dalam sejarah dunia tercatat bahwa semasa terjadi perang salib pemikiran barat adalah yang paling dikenal. Akan tetapi kekuatan pemikiran barat ini di timur tengah justru banyak yang diadaptasi dari pemikiran Islam. Di tengah lautan pertarungan pemikiran ini juga berpengaruh di Indonesia, buktinya di era pra-milinium abad ke-21 saat ini telah lahir  pemikir-pemikir handal, dengan teori dan temuan yang tidak diragukan lagi. Produk pemikiran yang dihasilkan seperti  kemajuan teknologi dan teori-teori  ilmiah, diantaranya: teori gravitasi, teori ekonomi, teori kesenjangan sosial, teori psikologi dan sebagainya. Melihat fenomena keilmuan ini penulis mencontoh para pemikir, dengan mencoba mempertanyakan kembali teori “psikologi perempuan” dari sudut pandang objektifitas sosial. Dan hasilnya adalah sebagai berikut :

  1. Perempuan mempunyai otak lebih kecil dari pada laki-laki. Penjelasannya yaitu bahwa perempuan lebih cenderung mengedepankan perasaan dari pada logikanya untuk mencari solusi masalah yang tengah di hadapi. Faktanya  perempuan  lebih lama memendam tekanan dan lebih cenderung terkena depresi. Itu dapat dilihat pada wanita usia remaja dan dewasa, yang sedang tumbuh mencari pasangan (puber).
  2. Perempuan lebih cenderung menjawab “ya” dari pada “tidak”. Hal ini karena kebiasaan perempuan yang lebih mengedepankan perasaan dari pada pemikirannya. Contohnya sering kita jumpai adalah apabila seorang perempuan dilamar oleh seorang pria, perempuan akan terdiam dan mengalami kegalauan  untuk memberikan jawaban.

Baca: Amalan Satus Tembus

Dalam kasus seperti ini, setidaknya ada tiga jawaban yang akan di berikan dengan makna dan tujuan yang bervariasi :

  1. Menolak, dalam hal ini perempuan sebenarnya tidak sungguh-sungguh menolak karena telah dijelaskan diatas perempuan lebih mengedepankan perasaan dari pada logika, jadi jawabannya mau atau menerima. Tetapi dengan catatan durasi waktu yang masih mengambang.
  2. Teridiam, jawaban kategori ini, seorang perempuan enggan melontarkan kata-kata atau kalimat dikarenakan mempunyai dua maksud lain, yang pertama: alasanya karena perempuan malu akan menjawab walaupun sebenarnya  perempuan tersebut suka. Dan yang kedua: perempuan terdiam karena dia enggan disebut perempuan gampangan.
  3. “Ya”, saat perempuan memberikan jawaban yang terakhir ini karena perempuan  sudah menunggu dengan perasaan yang sudah tidak dibendung lagi bahwa dia suka dengan perempuan tersebut.

Itulah analisis yang penulis lakukan dengan mencoba melihat fenomena sosial perempuan usia remaja atau dewasa tanggung. Ketidaksepahaman dalam pemikiran ini mungkin akan  menimbulkan pro dan kontra oleh sebab itu  harapan penulis  wacana ini dapat menjadi khazanah keilmuan yang kita kritisi kembali.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: El Tasrih Komplek L

Picture by static.mediajurnal.com

Amalan Satus Tembus

Suatu hari Kyai Ahmad Dalhar Watu Congol, Magelang kedatangan seorang tamu Tionghoa. Sang tamu bercerita bahwa perusahaannya bangkrut dan ia harus menanggung hutang yang sangat banyak. Sang tamu minta kepada Mbah Dalhar supaya diberi amalan yang bisa mendatangkan rejeki dan bisa melunasi hutang-hutangnya yang banyak. Tanpa banyak kata Mbah Dalhar memberi ijazah supaya sang tamu mengamalkan wirid dengan membaca fatihah dan shalawat.

“Woconen fatihah satus, shalawat satus. Bendino!” perintah Mbah Dalhar

Tanpa banyak komentar sang tamu kemudian mohon pamit dan pulang. Setahun kemudian setelah persitiwa tersebut Mbah Dalhar kedatangan tamu yang membawa oleh-oleh yang sangat banyak, mulai dari makanan sampai barang-barang berharga. Mbah Dalhar pun bingung kenapa ada tamu yang membawa pemberian begitu banyak, kemudian sang tamu pun menjelaskan bahwa berkat menjalankan amalan Mbah Dalhar ia mendapatkan jalan keluar untuk melunasi hutang-hutangnya dan perusahaannya bisa bangkit kembali.

Baca: Kisah Humor: Secarik Kertas Untuk Imam Jum’at

Kemudian Mbah Dalhar bertanya:

“Loh, kamu islam apa bukan?” tanya Mbah Dalhar

“Bukan Mbah” jawab sang tamu

“Lalu kamu mengamalkan apa?” tanya Mbah Dalhar

“Ya itu mbah, amalan yang dari panjenengan itu” jawab sang tamu semangat

“Amalan yang mana?” Mbah Dalhar kebingungan

“Panjenengan kan nyuruh saya untuk membaca fatihah satus, shalawat satus. Ya itu yang saya baca sebanyak-banyaknya Mbah” jawab sang tamu

Mbah Dalhar pun tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawaban tersebut.

Oleh: Tim Redaksi

Picture by clipartart.com

Refleksi Haul Ke-82 Al Maghfurlah KH. M Moenawwir #3

KH. M. Moenawwir selalu memilih awal waktu untuk menunaikan shalat, lengkap dengan shalat sunnah rawatibnya. Shalat witir beliau tunaikan 11 raka’at dengan hafalan al-Qur’an sebagai bacaannya. Begitu juga dalam mudawamah beliau terhadap shalat isyroq (setelah terbit Matahari) sholat dhuha dan shalat tahajjud.

Beliau mewiridkan al-Qur’an tiap ba’da ashar dan ba’da shubuh. Walau sudah hafal seringkali beliau tetap menggunakan mushaf. Bahkan kemana pun beliau bepergian, baik berjalan kaki maupun berkendara wirid al-Qur’an tetap terjaga. Beliau mengkhatamkan al-Qur’an sekali setiap satu minggu, yakni pada hari Kamis sore. Demikianlah beliau mewiridkan al-Qur’an semenjak berusia 15 tahun.

Baca: Refleksi Haul Ke-82 Al Maghfurlah KH. M Moenawwir #2

Waktu siang beliau lewatkan dengan mengajarkan al-Qur’an dan di waktu senggang beliau masuk ke dalam kamar khusus (dahulu terletak di sebelah utara masjid) untuk bertawajjuh kepad Allah Swt. Sedangkan di malam hari beliau istirahat secara bergilir di antara istri-istri dengan demikian adilnya.

Beliau memiliki 5 orang istri, adapun istri kelima dinikahi setelah wafatnya istri pertama, yakni:

  1. Nyai R.A. Mursyidah (Kraton Yogyakarta)
  2. Nyai Hj. Sukis (Wates Yogyakarta)
  3. Nyai Salimah (Wonokromo Yogyakarta)
  4. Nyai Rumiyah (Jombang – Jawa Timur)
  5. Nyai Khodijah (Kanggotan – Yogyakarta)

Begitulah KH. M. Moenawwir hidup beserta keluarga di tengah ketenangan, kerukunan, istiqomah dan wibawa dengan berkah al-Qur’anul Kariim. Orang hafal al-Qur’an (Hafidz) yang beliau akui adalah orang yang bertaqwa kepada Allah, dan shalat tarawih dengan hafalan al-Qur’an sebagai bacaannya. Begitu besar pengagungan beliau terhadap al-Qur’an, sampai-sampai undangan Haflah Khotmil Qur’an hanya beliau sampaikan kepada mereka yang jika memegang mushaf al-Qur’an selalu dalam keadaan suci dari Hadats.

Pernah terjadi seorang santri asal Kotagede dengan sengaja memegang Mushaf al-Qur’an dalam keadaan hadats. Setelah diusut oleh KH. M. Moenawwir, akhirnya santri tersebut mengakuinya atas pengakuannya si santri dita’zir, kemudian dikeluarkan dari Pesantren dalam keadaan sudah menghapalkan al-Qur’an 23,5 juz. Setiap setengah bulan sekali beliau memotong rambut, juga tak pernah diketahui membuka tutup kepala, selalu tertutup baik itu dengan kopyah, sorban, maupun keduanya. Menggunting kuku selalu beliau lakukan setiap hari Jum’at.

Pakaian beliau sederhana namun sempurna untuk melakukan ibadah, rapi dan bersetrika. Jubah, sarung, sorban, kopyah dan tasbih selalu tersedia. Pakaian dinas Kraton Yogyakarta selalu beliau kenakan ketika menghadiri acara-acara resmi Kraton. Untuk bepergian, beliau sering mengenakan baju jas hitam, sorban, dan sarung. Beliau tidak suka makan sampai kenyang, terlebih lagi di bulan Ramadhan, yakni cukup dengan satu cawan nasi ketan untuk sekali makan. Jika ada pemberian bantuan dari orang, beliau pergunakan sesuai dengan tujuan pemberinya, jika ada kelebihan, maka akan dikembalikan lagi kepada pemberinya. Walau beliau termasuk dalam abdi dalem Kraton, namun beliau tidak suka mendengarkan pementasan Gong Barzanji. Sebagai hiburan, beliau senang sekali mendengarkan lantunan Sholawat-sholawat, Burdah dan tentunya Tilawatil Qur’an.

Baca: Mbah Munawwir Sekatenan

Para santri beliau perintahkan untuk berziarah di Pemakaman Dongkelan setiap Kamis sore. Setiap berziarah beliau membaca Surah Yasin dan Tahlil. Apabila terjadi suatu peristiwa yang menyangkut ummat pada umumnya, beliau mengumpulkan semua santri untuk bersama-sama tawajjuh dan memanjatkan do’a kehadirat Allah, biasanya dengan membaca Sholawat Nariyyah 4444 kali atau Surat Yasin 41 kali. Selain mengasuh santri, beliau tak lantas meninggalkan tugas sebagai kepala rumah tangga. Setiap ba’da Shubuh beliau mengajar Al-Qur’an kepada segenap keluarga dan pembantu rumah tangga. Nafkah dari beliau baik untuk istri-istri maupun anak-anak, selalu cukup menurut kebutuhan masing-masing. Suasana keluarga senantiasa tenang, tenteram, rukun, dan tidak sembarang orang keluar-masuk rumah selain atas ijin dan perkenan dari beliau.

Hampir-hampir beliau tak pernah marah kepada santrinya, selain dalam hal yang mengharuskannya. Pernah suatu waktu beliau tiduran di muka kamar santri, tiba-tiba bantal yang beliau pakai diambil secara tiba-tiba oleh seorang santri, sampai terdengar suara kepala beliau mengenai lantai. Lantas beliau memanggil santri yang mengambil bantal tadi seraya berkata; “Nak… saya pinjam bantalmu, karena bantal yang saya pakai baru saja diambil oleh seorang santri.” Seringkali beliau memberikan sangu kepada santri yang mohon ijin pulang ke kampung halamannya, dan sangat memperhatikan kehidupan santri-santrinya. Para santri pun dianjurkan untuk bertamasya ke luar pesantren, biasanya sekali setiap setengah bulan sebagai pelepas penat.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Buku “Manaqibus Syaikh: K.H.M. Moenauwir Almarhum: Pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta”

Refleksi Haul Ke-82 Al Maghfurlah KH. M Moenawwir #2

Sepulang dari Makkah pada tahun 1909 M, beliau lantas mendakwahkan al-Qur’an di sekitar kediaman beliau di Kauman tepatnya di sebuah langgar kecil milik beliau, tempat tersebut sekarang sudah menjadi gedung Nasyiatul ‘Aisyiyyah Yogyakarta. Lantas pindah ke Gading, tinggal bersama kakak beliau KH. Mudzakkir. Namun karena berbagai sebab, juga atas saran dari KH. Sa’id (Pengasuh Pesantren Gedongan, Cirebon) pada tahun 1910 M beliau pun hijrah ke Krapyak setelah selesainya pembangunan tempat tinggal dan komplek pesantren di sana, di tanah milik Bapak Jopanggung yang kemudian dibeli dengan uang amal dari Haji Ali.

Pada 15 November 1910 Pesantren Krapyak mulai ditempati untuk mengajar al-Qur’an. Dilanjutkan dengan pembangunan Masjid atas prakarsa KH. Abdul Jalil. Konon KH. Abdul Jalil dalam memilih tempat untuk pembangunan masjid, adalah dengan menggariskan tongkatnya di atas tanah sehingga membentuk batas-batas wilayah yang akan dibangun masjid. Dengan Kehendak Allah, wilayah yang dilingkupi garis itu tidak ditumbuhi rumput.

KH. M. Moenawwir selalu mengerahkan segenap santri untuk melakukan amaliyah membaca Surah Yasin tiap selesai pembangunan berlangsung. Pembangunan terus berlanjut secara bertahap, mulai dari masjid, akses jalan, dan gedung komplek santri hingga tahun 1930 M. Di Pesantren Krapyak inilah beliau memulai berkonsentrasi dalam pengajaran al-Qur’an. Para santri sangat menghormati beliau, bukan karena takut, melainkan karena Haibah, wibawa beliau.

Baca: Refleksi Haul Ke-82 Al Maghfurlah KH. M Moenawwir #1

Pengajian pokok yang diasuh langsung oleh KH. M. Moenawwir adalah Kitab Suci al-Qur’an, yakni terbagi atas 2 bagian; Bin-Nadzor (membaca) dan Bil-Ghoib (menghafal). Santri bermula dari Surah al-Fatihah, lantas lafadz tahiyyat sampai dengan Shalawat Aali Sayyidina Muhammad, kemudian Surah an-Nas sampai Surah an-Naba’, baru kemudian Surah al-Fatihah diteruskan ke Surah al-Baqoroh sampai khatam Surah an-Nas. Selain itu, pengajian kitab-kitab juga digelar sebagai penyempurna. Suatu hari pada tahun 1910 seorang santri dari Purworejo yang dianggap mampu oleh beliau diperintahkan “Ajarkanlah ilmu Fiqh kepada santri-santri di hari Jum’at, biarlah mereka mengenal air.”

Begitu seterusnya berkembang, baik kitab Fiqh maupun Tafsir, makin menonjol disamping pengajian al-Qur’an yang utama. Beliau mengajar secara sistem Musyafahah, yakni sorogan setiap santri langsung membaca di hadapan beliau, jika ada kesalahan beliau langsung membetulkannya. Adab dalam pengajian al-Qur’an sangat beliau tekankan kepada para santri. Berbagai aturan dan ta’ziran beliau berlakukan terhadap para santri. Untuk santri yang telah khatam, maka dipanjatkanlah do’a untuknya langsung oleh KH. M. Moenawwir, lantas diberikanlah baginya sebuah Ijazah yang intinya berisi pengakuan Ilmu dari guru kepada muridnya serta Tarottubur-Ruwat (urutan riwayat) atau sanad dari Sang Guru sampai kepada Rasulullah saw. secara lengkap.

Baca: Mbah Munawwir Sekatenan

Banyak di antara murid-murid beliau yang juga meneruskan perjuangan di kampung masing-masing, berupa mendakwahkan Islam pada umumnya, dan pengajaran al-Qur’an pada khususnya. Misal:

  1. K.H. Arwani Amin (Kudus)
  2. K.H. Badawi (Kaliwungu – Semarang)
  3. Kyai Zuhdi (Nganjuk – Kertosono)
  4. K.H. Umar (Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan – Solo)
  5. Kyai Umar (Kempek – Cirebon)
  6. K.H. Noor (Tegalarum – Kertosono)
  7. K.H. Muntaha (Pesantren Al-Asy’ariyyah, Kalibeber – Wonosobo)
  8. K.H. Murtadho (Buntet – Cirebon)
  9. Kyai Ma’shum (Gedongan – Cirebon)
  10. K.H. Abu Amar (Kroya)
  11. K.H. Suhaimi (Pesantren Tamrinus Shibyan, Benda – Bumiayu)
  12. Kyai Syathibi (Kyangkong – Kutoarjo)
  13. K.H. Anshor (Pepedan – Bumiayu)
  14. K.H. Hasbullah (Wonokromo – Yogyakarta)
  15. Kyai Muhyiddin (Jejeran – Yogyakarta)
  16. Haji Mahfudz (Purworejo)

Untuk para Mutakhorrijiin (alumni) beliau senantiasa menjalin hubungan dan bimbingan, bahkan berupa kunjungan ke tempat masing-masing.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Buku “Manaqibus Syaikh: K.H.M. Moenauwir Almarhum: Pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta”

Refleksi Haul Ke-82 Al Maghfurlah KH. M Moenawwir #1

Dahulu ada seorang ulama pejuang, KH. Hasan Bashori namanya, atau yang lebih dikenal dengan nama Kyai Hasan Besari ajudan Pangeran Diponegoro. Beliau sangat ingin menghapalkan Kitab Suci al-Qur’an namun terasa berat setelah mencobanya berkali-kali. Akhirnya beliau melakukan riyadhoh dan bermujahadah, hingga suatu saat Allah Swt mengilhamkan bahwa apa yang dicita-citakan itu baru akan dikaruniakan kepada keturunannya.

Begitu pula putra beliau KH. Abdoellah Rosjad, selama 9 tahun riyadhoh menghapalkan al-Qur’an, ketika berada di Tanah Suci Makkah beliau mendapat ilham bahwa yang akan dianugerahi hapal al-Qur’an adalah anak-cucunya. KH. Abdoellah Rosjad dikaruniai 11 orang anak dari 4 orang istri, salah satunya adalah KH. M. Moenawwir yang merupakan buah pernikahan beliau dengan Nyai Khodijah (Bantul).

Guru pertama beliau (KH. M. Moenawwir) adalah ayah beliau sendiri. Sebagai targhib (penyemangat) nderes al-Qur’an, sang ayah memberikan hadiah sebesar Rp 2,50 jika dalam tempo satu minggu dapat mengkhatamkannya sekali. Ternyata hal ini terlaksana dengan baik, bahkan terus berlangsung sekalipun hadiah tak diberikan lagi.

Baca: Dua Murid KH M Munawwir Beda Nasib Bertemu Nasab

KH. M. Moenawwir tidak hanya belajar qiro’at (bacaan) dan menghafal al-Qur’an saja, tetapi juga ilmu-ilmu lain yang beliau timba dari ulama-ulama di masa itu, di antaranya:

1. K.H. Abdullah (Kanggotan – Bantul)

2. K.H. Cholil (Bangkalan – Madura)

3. K.H. Sholih (Darat – Semarang)

4. K.H. Abdurrahman (Watucongol – Magelang)

Setelah itu, pada tahun 1888 M beliau melanjutkan pengajian al-Qur’an serta pengembaraan menimba ilmu ke Haramain (Dua Tanah Suci) baik di Makkah Al-Mukarromah maupun di Madinah Al-Munawwaroh. Adapun Guru-guru beliau antara lain:

  1. Syaikh Abdullah Sanqoro
  2. Syaikh Syarbini
  3. Syaikh Mukri
  4. Syaikh Ibrohim Huzaimi
  5. Syaikh Manshur
  6. Syaikh Abdus Syakur
  7. Syaikh Mushthofa
  8. Syaikh Yusuf Hajar (Guru beliau dalam Qiro’ah Sab’ah)

Pernah dalam suatu perjalanan dari Makkah ke Madinah tepatnya di Rabigh, beliau berjumpa dengan orang tua yang tidak beliau kenal. Pak Tua mengajak berjabat tangan, lantas beliau minta didoakan agar menjadi seorang Hafidz al-Quran sejati. Lalu Pak Tua menjawab “Insyaa-Allah.” Menurut KH. Arwani Amin (Kudus) orang tua itu adalah Nabiyullah Khidhr a.s.

KH. M. Moenawwir ahli dalam Qiro’ah Sab’ah (7 bacaan Al-Quran). Dan salah satunya adalah Qiro’ah Imam ‘Ashim riwayat Imam Hafsh, berikut inilah sanad Qiro’ah Imam ‘Ashim riwayat Hafsh KH. M. Moenawwir sampai kepada Nabi Muhammad saw, yakni dari:

  1. Syaikh Abdulkarim bin Umar Al-Badri Ad-Dimyathi, dari
  2. Syaikh Isma’il, dari
  3. Syaikh Ahmad Ar-Rosyidi, dari
  4. Syaikh Mushthofa bin Abdurrahman Al-Azmiri, dari
  5. Syaikh Hijaziy, dari
  6. Syaikh Ali bin Sulaiman Al-Manshuriy, dari
  7. Syaikh Sulthon Al-Muzahiy, dari
  8. Syaikh Saifuddin bin ‘Athoillah Al-Fadholiy, dari
  9. Syaikh Tahazah Al-Yamani, dari
  10. Syaikh Namruddin At-Thoblawiy, dari
  11. Syaikh Zakariyya Al-Anshori, dari
  12. Syaikh Ahmad Al-Asyuthi, dari
  13. Syaikh Muhammad Ibnul Jazariy, dari
  14. Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Kholiq Al-Mishri As-Syafi’i, dari
  15. Al-Imam Abi al-Hasan bin As-Syuja’ bin Salim bin Ali bin Musa Al-‘Abbasi Al-Mishri, dari
  16. Al-Imam Abi Qosim As-Syathibi, dari
  17. Al-Imam Abi al-Hasan bin Huzail, dari
  18. Ibnu Dawud Sulaiman bin Najjah, dari
  19. Al-Hafidz Abi ‘Amr Ad-Daniy, dari
  20. Abi al-Hasan At-Thohir, dari
  21. Syaikh Abi al-‘Abbas Al-Asynawiy, dari
  22. ‘Ubaid ibnu as-Shobbagh, dari
  23. Al-Imam Hafsh, dari
  24. Al-Imam ‘Ashim, dari
  25. Abdurrahman As-Salma, dari
  26. Saadaatina Utsman bin ‘Affan, ‘Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, ‘Ali bin Abi Tholib, dari
  27. Rasulullah, Muhammad saw. dari Robbil ‘Aalamiin Allah swt., dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s.

Baca: Mbah Munawwir Sekatenan

Beliau menekuni al-Qur’an dengan riyadhoh, yakni sekali khatam dalam 7 hari 7 malam selama 3 tahun, lalu sekali khatam dalam 3 hari 3 malam selama 3 tahun, lalu sekali khatam dalam sehari semalam selama 3 tahun, dan terakhir adalah Riyadhoh membaca al-Qur’an selama 40 hari tanpa henti hingga mulut beliau berdarah karenanya. Setelah 21 tahun menimba ilmu di Tanah Suci, beliau pun kembali ke kediaman beliau di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1909 M.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Buku “Manaqibus Syaikh: K.H.M. Moenauwir Almarhum: Pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta”