Kisah Humor: Secarik Kertas Untuk Imam Jum’at

Mentari sudah semakin condong keatas, tampak menyusutkan bayangan hitam yang melekat di tanah negeri  yang katanya subur ini. Suara bising motor yang lalu lalang di jalanan utama  semakin membahana dan beragam, dari suara kenalpot yang sopan hingga yang ugal-ugalan yang membuat gaduh telinga.

Ditengah keramaian jalan raya yang sudah layak dihuni spesies ikan wader, Supri dengan seragam lengkap ala Kyai  mengayuh sepedanya  dengan amat sabar dan santai. Disela kinerja kaki yang terus setia mematuhi tuannya mengayuh pedal sepeda yang reot, bibirnya terus komat-kamit mengumandangkan mantra Tuhan yang Maha Suci. Tak mau kalah, kedua bola matanya terus saja jeli mondar-mandir mengitari setiap sudut mata. Di bola hitam matanya yang seperti cermin itu sering tampak gambar wanita-wanita seksi yang ikut meramaikan hawa panas di jum’at siang itu.

Baca: Mbah Munawwir Sekatenan

100 meter dari jarak boby mengayuh sepedanya, tampak ada kerumunan orang-orang yang sering menutup mulut dan hidungnya menggunakan tangan dan sesekali kepalanya digeleng-gelengkan. Supri penasaran ingin menjumpai kerumunan itu.

tidak apa-apa, masih ada 15 menit lagi” gumam Supri sambil melihat jam yang melilit pergelangan tangannya

Supri memarkir sepedanya di pohon mangga yang ada tanda silang merah di tengahnya.

“Permisi mbah, ini rame-rame emang ada apa?” tanya Supri pada sosok pria tua yang turus raut wajahnya seingga tampak lucu dipandang

“Tabrak lari mas, tuh lihat korbannya sampe tangan dan kakinya pisah” jawab pria tua

Mendengar jawaban yang amat mengejutkan itu, Supri tak sabar ingin melihat korban itu. Setelah melihatnya, bukannya kaget, malahan raut wajahnya  dimonyongkan.

“Wong tua gendeng, orang lagi sengsara malah di guyonin” gumam Supri sambil jengkel. Karena sifat sudrun-nya, dia nggak mau kalah dikerjain oleh pria tua itu. Dia kembali pada pria tua itu, lalu mulai beraksi.

“Sampean bener mbah, tangan dan kakinya pisah. Tapi kok orangnya ada di belakang sampean” teriak Supri dengan muka yang dibuat bingung

Sontak pria tua itu lari ketakutan akibat ulah Supri itu. Supri puas dan tawa membahana dari mulutnya. Supri teringat korban tabrak lari tadi lalu kembali mengampirinya. Dia heran orang sebanyak ini  hanya khusyuk menonton tubuh korban yang terkulai di rerumputan yang berlumuran darah. Supri kembali melihat jamnya, sambil memikirkan  dilema yang melanda otaknya.

 Dia berpikir keras untuk memilih satu diantara dua pilihan. Pertama, dia terus mengayuh sepedanya ke masjid, sementara mengabaikan korban tabrak lari itu terus terkapar karena tidak ada yang mau membawanya ke rumah sakit yang jaraknya paling 1 km dari TKP. Kedua, dia menyelamatkan korban itu tapi dia harus meninggalkan sholat Jum’at. Naluri kemanusiaannya mulai muncul, dan akhirnya ia memilih pilihan pertama. Tapi akal sudrun-nya mulai berputar kencang. Dan akhirnya dia meminta secarik kertas dan mulai meuliskan sesuatu.

Buat apa itu mas” tanya seorang ibu berjilbab loreng macan

Kertas ini buat dikasihkan pada Imam Jum’at” jawab Supri singkat sambil nyengir kuda

“ Wah, baik banget sampean. Kertas ini pasti permintaan untuk mendoakan sikorban” jawab ibu itu bangga

“Ah sudahlah bu. Tolong cepat bawakan kertas ini pada Imam, dan jangan buka lipatan kertas ini, apalagi membacanya” perintah Supri ke Ibu berjilbab loreng macan

Baca: Komplek Q Memperingati Haul KH. A. Warson Munawwir Ke-8

Ibu itupun mengikuti perintah Supri dan segera kemasjid menyerahkan kertas itu pada Imam. Sang Imam tampak serius membaca tulisan dalam kertas yang dikirim Supri itu. Sejenak kemudian, Imam itu menutup mata dan…perut gendutnya mulai bergoyang berirama lalu mulutnya menganga dan tawa renyah membahana dari dasar perutnya yang super buncit.

Walah Supri…Supri, dasar bocah sinting. Hahahahaha…”  teriak Imam yang tak bisa menahan tawa geli yang dibuat Supri. Sementara jamaah saling berpandangan kebingungan.

Ternyata isi tulisan dalam kertas itu adalah “Surat Ijin Tidak Mengikuti Sholat Jum’at” bahkan formatnya sama persis dengan surat ijin tidak masuk sekolah.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: El Tasrih Komplek L

Picture by santrinow.com

Komplek Q Memperingati Haul KH. A. Warson Munawwir Ke-8

Pada hari Kamis 21 Januari 2021 M/ 09 Jumadil Akhir 1442 H (malam ini) Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek Q memperingati Haul KH. Ahmad Warson Munawwir yang ke-8, namun pelaksanaan Haul kali ini diselenggarakan secara tertutup untuk umum. Panitia Haul pun menghimbau untuk para alumni dan santri yang berada di luar pondok untuk tidak hadir dalam Majlis Haul tersebut, dikarenakan acara Majlis Haul kali ini akan disiarkan langsung melalui chanel Youtube Almunawwir Komplek Q.

Adapun rangkaian acara Haul KH. A. Warson Munawwir yang ke-8 ini dimulai dari tanggal 17 Januari 2021 dengan agenda kegiatan Muqoddaman dan Istighosah, dilanjut pada tanggal 18 Januari 2021 dengan agenda kegiatan Sima’an al-Qur’an kemudian pada tanggal 19 Januari 2021 dilaksanakan Ro’an Akbar oleh seluruh santri Komplek Q.

Keterangan foto: KH. Ahmad Warson Munawwir ketika masih muda aktif di GEMUIS

Puncak acara Haul KH. A. Warson yang ke-8 yakni pada hari Kamis, 21 Januari 2021 M dengan agenda kegiatan Wisuda XXI Madrasah Salafiyyah III dimulai pukul 18.30-19.30 Wib, kemudian dilanjutkan Penampilan Santri MTPA dimulai pukul 19.30-20.00 Wib, agenda selanjutnya yakni Khotmil Qur’an yang akan dimulai pada pukul 20.00-21.00 Wib. Kemudian dilanjut acara inti Haul yang ke-8 al-Maghfurlah KH. A. Warson Munawwir pada pukul 21.00- selesai yang bertempat di Halaman Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek Q.

Baca: Menjelang Haul Sang Maestro Kamus Al Munawwir

Meskipun Haul kali ini hanya bisa dilakukan secara virtual melaui chanel Youtube Almunawwir Komplek Q, para alumni dan santri masih bisa hormat Haul bersama keluarga tercinta di rumah ataupun komplek masing-masing. Dengan adanya Haul virtual ini diharapkan tidak merubah rasa mahabbah kita semua kepada almaghfurlah KH. A. Warson Munawwir, karena pada dasarnya yang berubah hanyalah keadaannya saja tidak dengan rasa cinta dan kasih sayang kita terhadap al-Maghfurlah KH. A. Warson Munawwir. Ini merupakan ujian rasa mahabbah kita semua terhadap Sang Maestro Kamus Al Munawwir, karena biasanya setiap tahun para alumni dan santri menjadikan momen haul sebagai ajang reuni dan mengenang masa-masa ketika masih berada di Pondok Pesantren khususnya bagi santri Komplek Q.

Mudah-mudahan kita semua selalu diberi kesehatan dan keselamatan di tengah pandemi saat ini. Dan tak lupa kita semua senantiasa selalu memohon perlindungan kepada Allah Swt, agar kiranya pandemi ini cepat berlalu dan bisa melakukan semua kegiatan dengan normal kembali.

Rabbi fanfa’naa bibarkatihi wa ihdinaa al-husnaa bihurmatihi.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: almunawwirkomplekq.com

Picture by almunawwirkomplekq.com

Kisah Ibu Nyai Sukis Dan Jangan

Ibunda almaghfurlah KH. Ahmad Warson Munawwir dan KH. Zainal Abidin yakni Ibu Nyai Hj. Khodijah atau biasa dipanggil dengan Bu Nyai Sukis. Bu Nyai Sukis satu rumah dengan Mbah KH. Ali Maksum (menantu) dan anak-anak beliau, yakni Gus Bik (KH. Atabik Ali), Mbak Ifah, Mbak Genuk, Gus Jis (KH. Jirjis Ali). Gus Kelik (almarhum) dan Mbak Ida belum lahir waktu itu.

Pada saat zaman Mbah Munawwir masih sugeng santri masih terbilang sedikit, bahasa yang dipakai sehari-hari masih bahasa Jawa, sebab santri-santri kebanyakan dari Jawa Tengah dan sedikit dari Jawa Timur dan Jawa Barat. Sangat jauh berbeda ketika zaman Mbah Ali memegang kendali, santri-santri dari Jakarta membludak, terutama dari Klender (Jakarta Timur).

Bersamaan dengan perkembangan pondok dan santri-santri yang memakai bahasa Indonesia mulai banyak, otomatis Bu Nyai Sukis sering mendengar bahasa Indonesia dari Bu Nyai Hasyimah (istri Mbah Ali). Lama-lama berani memakai bahasa Indonesia meskipun dengan kosakata terbatas.

Baca: Menjelang Haul Sang Maestro Kamus Al Munawwir

Suatu hari ada tamu keluarga dari Jakarta, begitu pagi saat sarapan hidangan sudah di hadapan para tamu, Bu Nyai Sukis ditinggal Bu Nyai Hasyimah mengambil sendok ke dapur. Saat itulah Bu Nyai Sukis yang ambil peran mempersilakan tamu.

“Ayo makan, ayo makan.” Bu Nyai Sukis mempersilahkan

Tamu pun paham, mulailah mereka ambil nasi dan lauk. Ketika tamu mau mengambil sayur, Bu Nyai Sukis mempersilahkan tamu.

“Ya, ini jangan, ini juga jangan.” Bu Nyai Sukis mempersilahkan

Tamu pun merasa bingung.

“Mau ambil sayur kok tidak boleh?” ucap tamu dalam hati

Akhirnya diurungkan untuk mengambil sayur, cukup makan dengan tempe dan tanpa sayur.

Ketika Bu Nyai Hasyimah datang dan mempersilakan mengambil sayur, tamu pun baru paham bahwa ‘jangan’ itu bahasa Jawa dari sayur. Tetapi karena sudah terlanjur malu, tamu pun membatalkan mengambil sayur tersebut.

“Ambil tempek lagi aje dah.” ucap tamu

Anaknya yang menjadi santri menegur

“Bu, di sini ‘tempe’ nggak pake ‘k’!” sang anak menegur

“Iye, iye, tempek ‘kan?” sang ibu menyahut

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: almunawwir.com

Picture by almunawwir.com

Dua Murid KH M Munawwir Beda Nasib Bertemu Nasab

KH M Munawwir adalah guru besar Alquran nusantara, tidak diragukan lagi karena hampir di setiap sanad al-Qur’an di Indonesia banyak guru-gurunya yang melewati beliau. KH. M. Munawwir mempunyai banyak murid yang tersebar di penjuru tanah air, diantaranya:

  1. K.H. Arwani Amin (Kudus)
  2. K.H. Badawi (Kaliwungu – Semarang)
  3. Kyai Zuhdi (Nganjuk – Kertosono)
  4. K.H. Umar (Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan – Solo)
  5. Kyai Umar (Kempek – Cirebon)
  6. K.H. Noor (Tegalarum – Kertosono)
  7. K.H. Muntaha (Pesantren Al-Asy’ariyyah, Kalibeber – Wonosobo)
  8. K.H. Murtadho (Buntet – Cirebon)
  9. Kyai Ma’shum (Gedongan – Cirebon)
  10. K.H. Abu Amar (Kroya)
  11. K.H. Suhaimi (Pesantren Tamrinus Shibyan, Benda – Bumiayu)
  12. Kyai Syathibi (Kyangkong – Kutoarjo)
  13. K.H. Anshor (Pepedan – Bumiayu)
  14. K.H. Hasbullah (Wonokromo – Yogyakarta)
  15. Kyai Muhyiddin (Jejeran – Yogyakarta)
  16. Haji Mahfudz (Purworejo)

Dan ada dua santri yang sama-sama murid beliau yang kami tahu dan akhirnya bertemu nasab menjadi bagian dari keluarga beliau.

Pertama, Kiai Hasbulloh adalah murid KH M Munawwir berasal dari Jejeran-Bantul. Dikisahkan sewaktu Mbah Hasbulloh sowan kepada Kiai Munawwir setelah khatam mengaji sambil membawa se-tundun pisang untuk tasyakuran.

Lalu beliau matur, “niki kagem Yai, panjenengan ngersakke nopo maleh.” (ini untuk Pak Yai, kira-kira Pak Yai menghendaki apalagi)

Kiai Munawwir berkata, “iku sing mbuk ajak sopo ng sampingmu?” (itu yang kamu ajak disampingmu siapa ?)

Mbah Hasbulloh menjawab, “niki putri kulo.” (ini putri saya)

Kemudian Kiai Munawwir menyahut, “yo wis aku pengen anakmu wae.” (yaudah, aku pengen putrimu saja)

Begitu ta’dzimnya seorang murid kepada guru, tanpa berpikir panjang akhirnya dinikahkanlah sang puteri dengan sang guru, walaupun selisih umur yang sangat jauh, sehingga jadilah beliau sebagai murid sekaligus mertua.

Sang putri yang dimaksud adalah Ny. Khodijah yakni istri kelima sekaligus terakhir Kiai Munawwir, dari beliaulah melahirkan Ny. Walidah Munawwir (istri KH Nawawi Abd Aziz, PP An Nur, Ngrukem-Bantul), KH Ahmad Munawwir (Komplek L-Krapyak), Ny. Zuhriyyah Munawwir (istri KH Mubassyir Mundzir, PP Maunah Sari-Kediri) 

Murid Kiai Munawwir kedua yang akhirnya menjadi bagian dari keluarga beliau adalah Mbah Ma’shum bin Siroj. Beliau berasal dari Gedongan Cirebon. Hubungan beliau dengan Kiai Munawwir sudah sangat dekat dimulai dari kakek, yakni Kiai Sa’id. Kiai Sa’id merupakan muassis awal Pesantren Gedongan, beliau menjadi penghubung antara Kiai Munawwir dengan seseorang yang mewaqafkan tanah untuk berdirinya pesantren dan akhirnya pindah di Krapyak yang sebelumnya berada di Kauman Yogyakarta.

Baca: Menjelang Haul Sang Maestro Kamus Al Munawwir

Mbah Ma’shum adalah putra pertama dari delapan bersaudara, beliau tercatat sebagai pengasuh Pesantren Gedongan periode ke empat menggantikan ayahnya, Kiai Siroj bin Sa’id, diantara adiknya adalah Kiai Aqil (PP KHAS Kempek-Cirebon, ayah dari KH Said Aqil Siroj).

Mbah Ma’shum terkenal pandai mengarang syair dengan bahasa Arab, sehingga mempunyai karangan kitab Nailurroja Madzhumah Safinatinnaja. Kitab ini telah disyarahi oleh KH Sahal Mahfudzh Kajen-Pati dengan judul kitab Faidl Al-Hija.

Suatu hari Mbah Ma’shum berkesempatan mengunjungi Pesantren Krapyak bersama dengan keluarganya, termasuk dalam rombongan tersebut adalah putrinya yang berusia 18 tahun. Di sana beliau dan rombongan diterima oleh Kiai Ali Maksum, menantu yang ikut mengasuh Pesantren Krapyak setelah Kiai Munawwir wafat pada tahun 1942.

Dari pertemuan tersebut terkejutlah sang putri mendengar dhawuh dari ayahnya, ia mengira datang ke Krapyak untuk mondok, melihat usianya yang terbilang muda dan sebelumnya masih menjadi santri di Pesantren Arjowinangun-Cirebon, ternyata ia akan dinikahkan dengan putra Kiai Munawwir.

Sang putri tersebut bernama Ny. Shofiyyah (18-an tahun) dan menikah dengan KH Ahmad Munawwir (40an tahun), muassis komplek L (salah satu asrama di PP Al-Munawwir). Dari pernikahan tersebut, maka Mbah Ma’shum adalah murid juga menjadi besannya Kiai Munawwir.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: www.almunawwir.com

Dikisahkan oleh: Ust Rosyid Yusuf Alumni Komplek L