Aforisme Ibnu Atho’illah As-Sakandari Untuk Para Hamilul Qur’an

Mengenal Ibnu Atho’illah As-Sakandari Rakhimahullah (W:709 H), tidak berlebihan apabila itu tentang sebuah masterpiece-nya yang mengumpulkan hikmah- hikmah tasawuf. Adalah al-Hikam oleh sementara kalangan thariqah pengikut Imam Abul Hasan Asy-Syadzili dijadikan sebagai pegangan dalam menempuh jalan menuju yang dicita-citakan, ma’rifatullah, Juga tidak kalah populernya karangan-karangan beliau seperti kitab Lathaiful Minan, kitab Tajul ‘Arusy, ‘Unwanu al-Taufik dan lain sebagainya. Meskipun Ibnu Athoillah sendiri notabene merupakan santri cucu dari pendiri thariqah Syadziliyah, yaitu Syaikh Abul Abbas al-Mursyi (W: 686 H) sedang Syaikh Abbul Abbas al-Mursyi santri al-Imam Abul Hasan As-Syadzili (W: 656 H), namun di sisi lain, Ibnu Athoillah juga berguru kepada Syaikh Yaqut al-Arsyi (W:707 H) yang sama-sama murid dari Syaikh Abul Abbas al-Mursyi. Rakhimahumullahu ta’ala.

Pada tulisan ini saya tidak sedang membahas keempat tokoh sufi besar di atas, tulisan ini tentang bagaimana sebaiknya para hamilul quran, Orang-orang yang waktu dan kesempatannya hanya untuk berinteraksi dengan Alquran, belajar kembali dari sebagian aforisme (kalam hikmah) Ibnu Atho’illah. Meskipun hal tersebut juga tidak lepas dari bagaimana Alquran maupun hadis secara beriringan mengungkapkan keutamaan para “penggawa Kalamullah” di satu sisi dan memberi warning tentang bahaya melalaikan Alquran di sisi yang lain.

Pelajaran pertama ialah hikmah yang paling awal yang ditulis oleh Ibnu Atho’illah.

مِنْ عَلَامَةِ الْإِعْتِمَادِ عَلى العَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلَلِ:

Diantara tanda bahwa seorang itu bersandar diri kepada kekuatan amal usahanya ialah kurangnya pengharapan (putus asa) terhadap rahmat anugerah Allah ketika ia mengalami kesalahan atau kegagalan.

            Sebenarnya hikmah ini tentang motivasi seseorang agar jangan pernah berputus asa. Dia harus berusaha sekuat tenaga serta melewati setiap jenjang agar sampai pada tujuannya. Kalau di dunia sufi, jenjang tersebut berupa syari’at, thariqoh hingga puncaknya ialah haqiqat. Kemudian apabila sudah sampai pada satu titik puncak, jangan pula merasa sedikitpun bahwa hasil tersebut merupakan murni usaha jerih payahnya seorang diri, melainkan semuanya atas kemurahan, fadl (anugerah) dari Tuhan yang maha segalanya.

Baca: Pro Kontra Lintas Mazhab Dalam Basmalah

            Begitu juga bagi teman-teman yang sedang meniti jalan menghafal Alquran, semuanya harus berawal dari belajar Alquran dari tingkat paling dasar, belajar ilmu tajwid, makharijul huruf dan sifat-sifat huruf, belajar membaca dan disetorkan oleh ahlinya, setelah itu barulah mulai untuk menghafal setiap ayat, setiap halaman dan tetap agar disetorkan kepada ahlinya. Dan dari hikmah tersebut kita belajar, apabila ia sudah mampu mengkhatamkan dengan menghafal dan dengan lisensi yang ketat, setidaknya tidak berhenti di situ, ini masih di gerbang awal, masih akan melangkah, ia juga harus memahami setiap ayat melalui tafsir, mempelajari hadis-hadis Nabi sebagai penjelas, belajar fikih, memahami ilmu-ilmu perangkat lainnya yang berhubungan dengan Alquran, hingga ia sampai pada tujuan yang haqiqi dari setiap ayat dalam Alquran.

Apabila telah melakukan tahapan demi tahapan tersebut, sadarilah bahwa itu semua merupakan fadl, anugrah yang luar biasa dari Allah. Sehingga dari situ kita tidak merasa sok alim, paling dekat dengan Allah, paling-paling yang lain, merasa bahwa dirinya sudah dianggap ahlul quran, sudah dianggap “keluarga” Allah. Semua harus dikembalikan kepada Allah, bukan malah menganggap bahwa usahanya murni dari diri sendiri, tidak ada campur tangan lainnya. Hikmah tersebut juga mengajarkan kepada penghafal Alquran dan semuanya tanpa terkecuali tentang “the ethics humility”, etika untuk merasa rendah hati bahwa selama ini yang diusahakan ialah atas pertolongan Allah, sehingga apabila dalam perjalanan mengahafal quran tersebut terdapat faktor yang menghambat tidak membuat kita patah semangat, patah hati, pesimis hingga menganggap bahwa semua usahanya sia-sia.

Pertanyaannya ialah lantas bagaimana dengan orang yang sudah berusaha mati-matian untuk mencapai tujuan hamilul quran, namun karena satu dua hal lantas ia mengurungkan himma tersebut. Dalam hal ini Ibnu Athaillah pun menawarkan satu hikmah lagi yang begitu luar biasa.

سَوَابِقُ الهِمَمِ لَا تَخْرِقُ أَسْوَارَ الْأَقْدَارِ   

Kehendak kuat yang telah kamu tetapkan lebih dulu tidak akan bisa menembus tirai-tirai takdir.

Memahami secara mendalam tentang takdir memang akan menguras banyak energi pikiran. Bahwa semua usaha keras manusia, bekerja agar sukses, belajar rajin agar pintar, istiqamah menghafal Alquran agar cepat hatam, tidak akan bisa mengubah takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Bahasa sederhananya, sekeras apapun keinginan seseorang untuk memindahkan batu dari satu tempat ke tempat lainnya, dan semua kesempatan sudah di depan mata, namun ada takdir yang berkata lain bahwa batu tersebut sama sekali tidak berpindah, maka kemampuan keras tersebut akan sia-sia, padahal hal tersebut nampak sepele. Bagaimana kemudian ada orang yang berjuang, selalu konsisten menghafal ayat per ayat, setiap hari, waktunya pun ia habiskan hanya untuk menghafal Alquran, bertahun-tahun ia berjuang dijalan konsisten, hingga pada satu titik ia mengakui bahwa takdir ternyata tidak berkehendak, apalah daya.

Namun, ini bukanlah bahasa untuk berputus asa. Sejenak memang narasi tersebut tampak seolah-olah bersifat fatalistis, menyerah kepada takdir, ketetapan Tuhan yang sudah ada. Hal tersebut tidak sepenuhnya dianggap kesalahan, karena pada dasarnya percaya dengan takdir bukan suatu alasan untuk menafikan pentingnya dimensi usaha manusia yang hubungannya dengan kausalitas, sebab akibat. Sebagai seorang yang beriman setidaknya kewajibanya hanya berusaha yang kuat untuk menghafal Alquran, adapun hasilnya tidak ada yang mengerti sebelumnya kecuali Allah sendiri, dan sekali lagi tugas manusia hanya menjemput hasil tersebut. Laiknya orang berkata “belum perang kok sudah menyerah, bagaimana itu dianggap pemenang.”. Sederhanannya begitu.

Baca: Gitu Kok Ngaku Cinta al-Qur’an?

Dalam istilah agamnya, ada takdir mubram dan takdir muallaq. Bahasa mudahnya, taqdir muallaq itu masih bisa untuk diusahakan, seseorang yang istiqamah nderes, sering muraja’ah, selalu memperhatikan hal-hal yang menyebabkan seseorang menjadi cepat hafal dan menghindari hal yang menjadikan seorang mudah lupa, maka dalam kapasitas takdir muallaq ini, kelak ia akan menemui kesuksesan, yaitu berhasil menghafal Alquran.  Akan tetapi, sekali lagi, usaha tersebut tidak akan bisa melanggar takdir mubram yang sudah dikehendaki oleh Allah yang sebelumnya tidak kita ketahui dan tidak bisa diganggu gugat. Wallahual’lam bishowab.

Lantas bagaimana Ibnu Athoillah melalui aforismenya menyikapi orang-orang pilihan yang telah dianugrahi Alquran dengan fadl-nya Allah subhanahuwata’ala. Sudah sampai pada tujuan yang dikehendaki, yaitu menghafal Alquran. Bagaimana agar ia selalu merasa tenang dengan Alquran, merasa bahagia dengan Alquran, merasa ada yang kurang apabila sehari tanpa memuraja’ah Alquran. Dan biasanya awal-awal orang pada fase ini sering sekali menunda-nunda kesempatan waktu yang ada. Merasa sudah punya mentahan mutiara. Namun, karena nggampangake, tidak lantas diolah menjadi mutiara yang lebih indah lagi, sehingga daya pakai dan harga jualnya pun tinggi. Dalam satu kesempatan Ibnu Athoillah secara implisit menyinggung hal tersebut.

اِحَالَتُكَ الأَعْمَالَ عَلى وُجُوْدِ الفَرَاغِ مِنْ رُعُوْنَاتِ النُّفُوْسِ.

Kebiasaanmu menunda pekerjaan hingga kamu mempunyai waktu longgar untuk melakukannya (di waktu lain) adalah bagian dari kotoran jiwa.

Hal tersebut tentu berimbas pada apa yang diistilahkan dengan last minuter orang yang gemar menggantungkan pekerjaannya di menit-menit terkahir. Orang ini hanya nderes, muraja’ah Alquran-nya di waktu-waktu yang menurutnya perlu. Dampak terburuknya pun selalu terburu-buru serta tidak optimal di setiap ayat-ayatnya.

Baca: KH. Said Aqil Siradj: Indonesia Lebih Toleran dari Eropa

Dan apabila ia sudah dianugrahi mampu istiqamah, konsisten, terus-menerus di setiap waktunya, setiap harinya untuk selalu berinteraksi dengan Alquran, menikmati setiap hurufnya. Maka dalam hal ini perlu adanya perawatan yang super ekstra, agar olahan mutiara tersebut tetap mutiara yang bersih, elok dipandang dan tetap menjadi perhiasan indah bagi pemiliknya. Dalam artian setiap amal ibadah harus disertai keikhlasan agar kualitas amal tersebut tidak sia-sia, hal ini sejurus dengan aforisme Ibnu Athoillah

الأَعْمَالُ صُوَرٌ قَائِمَةٌ وَأَرْوَاحُهَا وُجُوْد سِرِّ الإِخْلاَصِ فِيْهَا     

Amal-amalmu (membaca Alquran, muroja’ah dll) adalah bentuk luaran jasadnya saja. Sedang rohnya ialah adanya sir keikhlasan didalam sana.

Akhirul kalam, sebagai penutup, teringat satu hadis dalam kitab al-Tibyan fi Adabi Hamalatil Quran hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Sahabat Abi Said al-Khudri Radliyallahuanhu. Rasulullah bersabda:

يَقُوْلُ الرَّبُّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالى: مَنْ شَغَلَهُ القُرْانُ وَذِكْرِيْ عَنْ مَسْأَلَتِيْ, أَعْطَيْتُهُ أَفْضَلَ مَا أُعْطِي السَّائِلِيْنَ. وَفَضْلُ كَلَامِ اللهِ سبحانه وتعالى عَلى سَائِرِ الكَلَامِ كَفَضْلِ اللهِ تعالى عَلى سَائِرِ خَلْقِهِ.

“Allah berfirman: Barangsiapa yang sibuk membaca Alquran dan berdzikir kepada-Ku, sampai tidak sempat meminta kepada-Ku (kata Allah), maka Aku akan memberikan kepadanya sebaik-baik apa yang kuberikan kepada orang-orang yang meminta. Sedang keutamaan firman Allah Subhanahu wata’ala diantara kalam-kalam lainnya seperti keutamaan Allah atas seluruh makhluknya.”

Oleh: Muhammad Iskandar Romadhoni

Picture by turospustaka.com

Refleksi Haul ke-32 Almaghfurlah KH. Ali Maksum #3

Rais ‘Amm, Madzhab Politik & Pemikiran

Tepat pada tanggal 30 Agustus hingga 2 September 1981 dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama yang diselenggarakan oleh organisasi keislaman NU di Kaliurang Yogyakarta, memutuskan beberapa hal penting yang kaitannya dengan pergantian pimpinan tertinggi organisasi (Rais ‘Amm) setelah wafatnya Rais ‘Amm sebelumnya, KH. Bisri Syansuri (Pendiri Pesantren Denanyar). Dalam Munas tersebut menghasilkan beberapa poin, diantaranya memilih KH. Ali Maksum sebagai Rais ‘Amm ke 4 Nahdlatuth Ulama. Pada awalnya Kyai Ali menolak untuk dijadikan Rais ‘Amm, penolakan tersebut bukanlah tanpa alasan, karena menurut beliau Rais ‘Amm merupakan tanggung jawab yang hubungannya dengan umat baik di dunia hingga akhirat. Akan tetapi, karena pertimbangan lain serta adanya sebagian peserta Munas yang menjemput Kyai Ali di Krapyak, maka tanggung jawab tersebut tidak bisa dielakkan lagi meskipun Kyai Ali sendiri harus muwun (jawa: menangis) ketika di baiat di hadapan ribuan peserta Munas.

Dalam kepemimpinan Kyai Ali, NU mengeluarkan beberapa keputusan-keputusan penting dalam sejarah, diantaranya menerima asas Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam berorganisasi dan bernegara. Selain itu, melalui Muktamar NU ke-27 di Situbondo, menetapkan bahwa NU harus kembali ke Khittah 1926, artinya secara resmi NU melepaskan diri dari hal-hal yang kaitan formal dengan segala organisasi politik serta memberi hak kepada warga NU untuk mengartikulasikan aspirasi politiknya melalui partai politik yang diinginkan secara bebas, bermartabat dan bertanggung jawab.

Keterangan Foto (ki-ka): KH. Mahrus Ali (Lirboyo), KH As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), KH Ali Maksum (Krapyak)

Selain berjuang di organisasi para ulama’, Kyai Ali juga sosok yang aktif dalam perhelatan politik dan masuk dalam anggota Partai NU. Berbagai langkah nyata yang dilakukan oleh Kyai Ali diantaranya ialah mendukung Partai NU untuk keluar dari barisan Masyumi, dan berusaha keras untuk mengenalkan NU kepada masyarakat pedesaan khususnya di kalangan muslimin yang masih bersifat tradisionalis dengan cara melakukan ceramah pengajian saat momentum hari besar keagamaan.

Terkait pemikiran Kyai Ali, beliau dikenal sebagai sosok yang moderat. Salah satu ungkapan yang dilontarkan oleh Kyai Ali ialah bahwa pintu ijtihad akan tetap terbuka dan bisa dilakukan oleh siapapun, tentunya dengan koridor atau persyaratan yang telah berlaku. Pernyataan tersebut dianggap berani karena bertentangan dengan arus besar pemikiran ummat saat itu yang sebagian besar masih terbelenggu oleh fanatic madzhab serta taklid buta. Pada dasarnya pernyataan tersebut bukanlah tanpa alasan, hal ini beliau sampaikan di tengah kegelisaan intelektualnya. Dari kegelisaan tersebut Kyai Ali menginginkan bahwa NU dan umat Islam lainnya sudah waktunya melakukan pembaharuan, dan hal tersebut harus dimulai dari para tokohnya yang berkompeten.

Sumber:

1) KH. Ali Maksum Ulama, Pesantren dan NU. Ahmad Athoillah (2019).

2) Jejak Sang Pionir Kamus al-Munawwir: KH. A. warson Munawwir. Khalimatun Nisa, Fahma Amirotulhaq, dkk. (2020)

3) Biografi 5 Rais ‘Amm Nahdlatuth Ulama. Badrun Alaina dan Humaidy Abdussami (1995)

4) Antologi NU Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah. Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan (2007)

Refleksi Haul ke-32 Almaghfurlah KH. Ali Maksum #2

Improvisasi Sistem Madrasah Tremas, Pernikahan & Belajar di Tanah Haram

Oleh karena kecerdasan yang Kyai Ali miliki, dan kepercayaan yang diberikan KH. Dimyathi oleh beliau, bersama Gus Hamid Dimyathi, Kyai Ali melakukan improvisasi besar terhadap sistem pendidikan di pesantren Tremas.  Merubah sistem dari pendidikan klasik ke sistem madrasah modern, selain itu kitab baru seperti Qira’atus Rasyidah yang terdapat gambar-gambar hewan seperti anjing, diikutsertakan sebagai salah satu buku ajar di madrasah, yang sebelumnya belum pernah terpikirkan bahkan tidak diperbolehkan.

Kurang lebih delapan tahun Kyai Ali belajar di pesantren Tremas, tibalah waktunya untuk kembali ke Lasem, membantu dan meneruskan perjuangan pesantren Lasem milik keluarga, yang sebelumnya telah dikembangbesarkan oleh Ayah beliau KH. Maksum.  Adapun madrasah yang beliau rintis beserta sistem pembaharuan yang diterapkan, tapuk kepemimpinannya diserahkan kepada Kyai Hamid Dimyathi sebagai direktur dan Mukti Ali sebagai wakil direktur.

Setelah kepulangan dari Pesantren Tremas dan tiga tahun membantu pesantren ayahnya di Lasem, tepatnya pada tahun 1938, Kyai Ali menikah dengan Nyai Hasyimah putri KH. M. Munawwir asal Yogyakarta. Tidak lama berselang, seorang bernama H. Djunaid asal Kauman Yogyakarta, melalui ayahnya Kyai Maksum, memberi tawaran untuk berangkat ibadah haji secara gratis kepada Kyai Ali. Mendengar hal tersebut, KH. Munawwir sebagai mertuanya berpendapat, sebaiknya tawaran tersebut ditolak atau ditunda pada waktu lain. Namun, bagi ayahnya, tawaran tersebut sebaiknya diterima karena kesempatan langka. Kemudian, setelah melakukan sholat Istikharah, Kyai Ali memutuskan untuk mengambil tawaran tersebut, serta harus rela meninggalkan istri dan pondok Pesantren Lasem yang belum lama beliau kembangkan.

KH Ali Maksum dalam sebuah acara

Kyai Ali berada di Makkah selama dua tahun dan selama itu juga beliau menunaikan ibadah haji sebanyak dua kali. Selama dua tahun pula Kyai Ali belajar kitab Luma’ karya Syekh Abul Hassan al-Asy’ari (tokoh pendiri madzhab teologi Asy’ariyah) kepada Sayid  Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani. Kyai Ali juga belajar kitab Shahīh al-Bukhōri kepada Syekh Umar Hamdan. Setelah dua tahun menghabiskan waktu untuk melaksanakan ibadah Haji dan memperdalam ilmu, Kyai Ali kembali ke Lasem untuk meneruskan perjuangan mengembangkan pesantren yang dulu sempat ditinggal ke Makkah, bersama Istrinya, Nyai Hasyimah binti KH. Munawwir.

Perpindahan ke Krapyak, Menjadi Dosen di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta & Anggotan Penerjemah Alquran

Setelah wafatnya KH. Munawwir pada tahun 1942 terdapat kekosongan pimpinan di internal Pesantren Krapyak, putra beliau paling tua KH. Abdulloh Affandi masih sangat muda untuk diamanahi sebagai pengganti Ayah beliu, sedang adik KH. Afandi, KH. Abdul Qodir Munawwir pada saat itu masih berusia remaja. Adapun putra putri Kyai Munawwir lainnya saat itu masih berusia anak-anak. Maka, untuk mengatasi kekosongan tersebut diadakanlah rapat keluarga yang memutuskan, pertama kepemimpinan pondok pesantren tetap diamanahkan kepada putra putri dan menantu KH. Munawwir. Kedua, mengirim utusan, yakni KH. Abdurrahman (Adik Kyai Munawwir), ke Lasem guna menghadap ke KH. Maksum dengan maksud memboyong Kyai Ali ke Krapyak untuk membantu keluarga mengelola pondok pesantren peninggalan mertua beliau.

Semenjak saat itu, KH. Abdulloh Afandi Munawwir, KH. Abdul Qodir Munawwir dan KH. Ali Maksum mulai bersama-sama membangun kembali pesantren dengan beberapa pembagian tugas. KH. Abdulloh Afandi sendiri disamping sebagai pimpinan umum, beliau juga menangani hubungan pesantren dengan pihak luar. KH. Abdul Qodir mendapatkan bagian pengajian Tahfidz dan urusan-urusan dalam pesantren. Sedangkan KH. Ali Maksum mendapat bagian penanggung jawab pengajian-pengajian kitab kuning.

Langkah pertama kali yang dilakukan Kyai Ali di Pesantren Krapyak ialah menutup sementara pondok pesantren untuk memfokuskan diri pada kaderisasi. Pada awalnya Kyai Ali hanya mengajar beberapa putra, cucu dan menantu KH. Munawwir serta beberapa warga sekitar. Murid-murid pertama kali Kyai Ali di Krapyak diantaranya ialah KH. Abdul Qodir (putra Kyai Munawwir/Komplek RQ dan MH), KH. Mufid Mas’ud  (menantu/Pndiri Pesantren Pandanaran), KH. Nawawi Abdul Aziz (menantu/Pendiri Pesantren An-Nur Ngrukem), KH. Dalhar Munawwir (putra/Komplek Nurussalam), KH. Zainal Abdidin Munawwir (putra/Komplek AB dan R), KH. Ahmad Munawwir (putra/Komplek L), KH. Ahmad Warson Munawwir (putra/Komplek Q), Wardan Joned, Zuhdi Dahlan dan Abdul Hamid.

Pada periode selanjutnya, yakni setelah wafatnya KH. Abdul Qodir Munawwir pada 2 februari 1961 dan wafatnya KH. Abdulloh Affandi pada 1 Januari 1968, KH. Ali Maksum menjadi pengasuh utama dalam kepengurusan Pesantren Krapyak, pada periode ini juga program pengajian kitab dapat berjalan seimbang dengan pengajian Alqur’an.  Kyai Ali dalam mengembangkan pesantren dibantu oleh beberapa putra maupun menantu yang dulu menjadi murid pertama beliau. Untuk pengajian Alquran putra dibantu oleh KH. Ahmad Munawwir, KH. Nawawi Abdul Aziz, KH. Mufid Mas’ud dan KH. Zaini Munawwir. Sedangkan pengajian Alquran putri dibantu oleh KH. Mufid Mas’ud, KH. Dalhar Munawwir, Nyai Hj. Hasyimah Ali Maksum, Nyai Hj. Jaoharoh Mufid, Nyai Badriyah Munawwir dan Nyai Jumalah Munawwir. Untuk pengajian kitab Kyai Ali dibantu oleh KH. Zainal Abidin Munawwir, KH. Warson Munawwir dan beberapa santri senior. Selain itu, Kyai Ali juga mendirikan beberapa Madrasah sebagai tambahan untuk menampung para santri yang terus bertambah jumlahnya.

Dalam beberapa keterangan juga menyebutkan bahwa KH. Ali Maksum selain sebagai guru pengajar di Pesantren Krapyak, pada sekitaran tahun 1960, beliau juga termasuk dosen di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mengampuh mata kuliah qiro’atul kutub pada jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Aktivitas ilmiah Kyai Ali  lainnya ialah sebagai anggota penerjemah Alquran Departemen Agama Republik Indonesia.

Sumber:

1) KH. Ali Maksum Ulama, Pesantren dan NU. Ahmad Athoillah (2019).

2) Jejak Sang Pionir Kamus al-Munawwir: KH. A. warson Munawwir. Khalimatun Nisa, Fahma Amirotulhaq, dkk. (2020)

3) Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Pengurus Pusat PP. AlMunawwir (2001).

Refleksi Haul ke-32 Almaghfurlah KH. Ali Maksum #1

Garis Keturunan Dan Orang Tua

Secara genealogis, KH. Ali Maksum mewarisi jalur ulama besar dari pesisir utara pulau jawa, tepatnya di daerah Lasem Jawatengah. Dari pihak ayah, Kyai Ali bin KH. Maksum bersambung dengan Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri): KH. Ali bin Maksum bin Ahmad bin Abdul Karim bin Zaid bin Syaikh Jarum (Ajrumi) bin Sayid Muzaed bin Sunan Senongko bin Sultan Mahmud Minangkabau bin Alif Khalifatullah fil Alam bin Syaikh Abdurrahim Minangkabau bin Syaikh Abdurrahman Minangkabau bin Radeng Ainul Yaqin Sunan Giri.

Tentang KH. Maksum Ahmad (abah KH. Ali Maksum), beliau merupakan salah seorang ulama kaliber di masanya yang turut mendirikan organisasi NU bersama KH. Hasyim Asy’ari dan para ulama lainnya. Kyai Maksum Lahir di desa Soditan Lasem pd sekitaran tahun 1870 M. Dalam sebuah keterangan Kyai Maksum pd waktu kecilnya bernama Muhammadun. Berbeda dengan abah beliau, kyai Ahmad yg masih ada garis keturunan dengan Sunan Giri, informasi tentang ibunda Kyai Maksum yang bernama ibunyai Qasimah tdk banyak diketahui. Ada yg mengatakan bahwa Ibunda Kyai Maksum wafat pada usia muda. Oleh sebab itulah Kyai Maksum ketika balita pernah menuusu  kepada Ibunyai Zainab Zaid Soditan dan jg pernah menyusu kepada Ibundanya KH. Muhammad Shidiq Jember, Ibunyai Aminah.

Diantara guru-guru Kyai Maksum ialah Kyai Nawawi di daerah Melonggo Jepara, Kyai Abdullah Kajen, Kyai Abdussalam Kajen, Kyai Siraj Kajen, Kyai Maksum Damaran Kudus, KH. Kholil Bangkalan dan masih banyak lagi. Setelah menyelesaikan pengembaraan studi agamanya, Kyai Maksum menikah dengan Nyai Muslihatun binti KH. Musthofa, namun sampai istri beliau meninggal dunia belum di karuniai keturunan. Untul kedua kalinya KH. Maksum menikah dg Nyai Nuriyati binti KH. Zainuddin dlm pernikahan ini Kyai Maksum dan ibunyai Nuriyati dikaruniai beberapa putra dan putri: 1) Muhammad Ali (KH. Ali Maksum). 2) Nyai Fatimah. 3) Ahmad Syakir. 10) Nyai Azizah. Jumlah putra putri KH. Maksum ialah 13.

Kelahiran & Perjalanan Intelektual

Nama lengkap KH. Ali Maksum di masa kecilnya ialah Muhammad Ali, sedang nama Maksum pada nama belakang beliau dinisbatkan kepada ayahnya, KH. Maksum Ahmad. Terkait tanggal persis kelahiran KH. Ali Maksum terdapat beberapa perbedaan, diantaranya ada yang menyebutkan bahwa Kyai Ali lahir pada tanggal 2 Maret 1915. Keterangan lain menyebutkan 15 Maret 1915, dan ada juga yang mengatakan bahwa Kyai Ali lahir pada tahun 1916. Adapun lokasi tempat kelahirannya terletak di Dusun Sumurkepel, Desa Sumbergirang, Lasem Jawa Tengah di rumah ibunya, Ibunyai Nuriyati Maksum. Perkembangan kepribadian Kyai Ali tidak lepas dari bagaimana pendidikan agama yang beliau peroleh sejak kecil melalui didikan dan pengaruh keluarganya dalam lingkungan pesantren.

Keterangan Foto: KH Ali Maksum di kediaman

Pendidikan pertama kali yang diperoleh Kyai Ali ialah dari ayahnya sendiri. Meskipun Kyai Maksum sosok kyai yang memiliki banyak santri, tidak lantas meninggalkan kewajibannya sebagai ayah untuk memberikan pelajaran-pelajaran dasar tentang keagamaan kepada Kyai Ali yang saat itu masih berumur 10 tahun. Pelajaran agama seperti mengenalkan huruf-huruf Alquran, pelajaran dasar ilmu fikih, dan ilmu-ilmu lainnya. Pendidikan selanjutnya Kyai Ali masuk pesantren dan belajar agama kepada KH. Amir Idris di Pekalongan yang masih ada ikatan keluarga. Kepada KH. Amir, Kyai Ali mendalami dasar-dasar ilmu balaghah.

Pada tahun 1927 atau bertepatan dengan Kyai Ali yang berusia 12 tahun, sehabis pulang dari Pekalongan, Kyai Ali melanjutkan pengembaraan ilmiahnya ke Pesantren Tremas Pacitan Jawa Timur. Pesantren Tremas saat itu merupakan salah satu pusat kajian ilmu agama berbasis kitab kuning di tanah Jawa. Pertama kali di pesantren, Kyai Ali menerapkan apa yang menjadi tradisi di pesantren tersebut istilahnya naun, yaitu santri tidak pulang kampung sampai tiga tahun lamanya. Dan banyak yang mempercayai apabila santri yang selama tiga tahun pertama sejak kedatangannya di Tremas tidak pernah pulang kampung, bisa dipastikan yang bersangkutan akan sukses menyerap ilmu dan kelak akan menjadi seorang yang alim. Diantara guru-guru Kyai Ali saat di Tremas yang paling mempengaruhi dan berkesan ialah KH. Dimyathi, KH. Masyhud, dan Sayid Hasan Ba’abud.

Kyai Ali dikenal sebagai santri yang tekun dalam belajar, diantara banyaknya fan ilmu, yang paling diminati beliau adalah ilmu tafsir Alquran dan ilmu bahasa Arab, oleh karena kegemarannya dengan bahasa Arab, kelak mengantarkan beliau sebagai salah satu pakar tafsir dan bahasa Arab terkemuka di Indonesia sehingga banyak yang menjuluki beliau sebagai munjid berjalan. Oleh krena banyaknya bacaan Kyai Ali diberbagai fan ilmu, sehingga ada beberapa kitab yang menurut Kyai Dimyathi dilarang untuk dikonsumsi oleh santri pada umumnya selain Kyai Ali, seperti kitab Al-Manar karya Rasyid Ridha, Tafsir Maraghi, Fatawa Ibnu Taimiyah, dalam hal ini Kyai Ali dianggap sudah paham betul dasar-dasar agama yang luas dibanding santri lainnya. Dari beberapa bacaan karya “kaum pembaharu” tersebutlah yang kelak mempengaruhi cara berfikir Kyai Ali yang maju dan moderat.

Sumber:

1) 99 Kiai Kharismatik Indonesia Riwayat, Perjuangan, Doa dan Hizib: KH. Aziz Masyhuri (2017).

2) KH. Ali Maksum Ulama Pesantren dan NU: Ahmad Athoillah (2019).