Bau Najis Bikin Ragu

Hal yang populer diketahui dalam bab najis adalah pembagiannya kepada 3 sub; mukhaffafah, mutawassitah dan mughallazah. Pembagian ini didasarkkan menurut cara mensucikannya. Acapkali contoh yang diberikan adalah najis-najis yang dapat diidentifikasi secara indrawi (‘ainiyyah) maupun perkiraan (hukmiyyah). Sedangkan aspek najis lain jarang disorot dalam penjelasan kitab-kitab fikih dasar, salah satunya bau dari hasil pembakaran benda najis.

Secara umum terdapat 2 term dalam mendefinisikan hal yang sekilas hampir mirip ini, yakni dukhān (hasil pembakaran benda najis dengan api/asap) dan buhūr (hasil penguapan benda najis). Ketika asap atau uap ini mengenai badan atau pakaian, maka terdapat perincian hukum tersendiri. Jika asap tersebut mengenai baju yang basah maka dihukumi najis, akan tetapi jika bajunya kering maka tidak dihukumi najis karena di-ma’fu (dengan syarat najisnya sedikit,di luar kesengajaan dan bukan hasil pembakaran najis mughalladzah). Dari keterangan ini dapat dipahami bahwa baju yang basah/lembab menjadi najis seketika apabila terkena asap pembakaran benda najis dan memiliki atsar (bau sangit).

قَوْلُهُ دُخَانُ النَّجَاسَةِ) وَكَذَا دُخَانُ الْمُتَنَجَّسِ كَحَطَبٍ تَنَجَّسَ بِبَوْلٍ قَالَ شَيْخُنَا: وَبِهِ يُعْلَمُ مَا عَمَّتْ بِهِ الْبَلْوَى فِي الشِّتَاءِ شَوْبَرِيٌّ، وَهَذَا مُكَرَّرٌ مَعَ قَوْلِهِ فِي أَوَّلِ الطَّهَارَةِ وَمِنْ دُخَانٍ نَجَسٍ إلَّا أَنْ يُقَالَ أَتَى بِهِ تَوْطِئَةً لِقَوْلِهِ وَكَذَا بُخَارُهَا إلَخْ.

(قَوْلُهُ يُعْفَى عَنْ قَلِيلِهِ) مَا لَمْ تَكُنْ هُنَاكَ رُطُوبَةٌ وَإِلَّا فَلَا يُعْفَى عَنْهُ لِتَنْزِيلِهِمْ الدُّخَانَ مَنْزِلَةَ الْعَيْنِ، فَلَوْ زَالَ الرِّيحُ الْكَثِيرُ مِنْ الثَّوْبِ وَلَمْ تَكُنْ رُطُوبَةٌ جَازَتْ الصَّلَاةُ فِي ذَلِكَ الثَّوْبِ، ح ل

“(Asap Najis) dan juga asap dari benda yang terkena najis, seperti kayu bakar yang terkontaminasi dengan air seni. Dikatakan oleh Syekh kami: Dengan ini, diketahui apa yang umum terjadi di musim dingin. Ini diulang dalam pernyataannya tentang thaharah, dan dari asap najis, kecuali jika dikatakan bahwa hal ini digunakan sebagai pengantar untuk pernyataannya, dan juga uapnya, dan seterusnya. (Di-ma’funya najis yang sedikit) selama tidak ada basah/lembap. Jika ada kelembapan, maka tidak ma’fu, karena mereka menyamakan asap dengan zat najis. Jika sebagian besar dari bau hilang dan tidak ada kelembapan, maka shalat dalam pakaian itu diperbolehkan.” (Hasyiyah Al-Bujairami ‘ala Syarh al-Minhaj, juz 1, hal. 102).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *