Biografi Ibu Nyai Zuhriyyah #1

Ndreso ben lanyah Qurane” (Dereslah supaya lancar hafalan qur’an nya). Kalimat yang populer dari Ibu Nyai Zuhriyyah di kalangan santri Pondok Pesantren Ma’unah sari Kediri. Nok Huri panggilan kecilnya Bu Nyai Zuhri ini merupakan salah satu putri KH. M. Munawwir Bin Abdullah Rosyad pendiri Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak, dari hasil pernikahan dengan istri ke-lima yakni dengan Ibu Nyai Khodijah. Nok Huri merupakan saudara kandung dengan KH. Ahmad Munawwir dan Nyai Hj. Walidah Nawawi Ngerukem An Nur Bantul. Bu Nyai Zuhri lahir pada hari Rabu tanggal 2 Jumadi Tsani 1358 H atau 19 Juli 1939 M.

Nok Huri mengaji quran di bawah bimbingan kakaknya yakni KH. Abdul Qodir Munawwir, ketika beliau berusia 3 tahun sejak sang ayah wafat. Kemudian setelah beranjak dewasa beliau melanjutkan nyantri di Pondok Pesantren Yanbu’ul Quran di Kudus di bawah bimbingan KH. Arwani Amin sampai hafalan al-Qur’annya khatam. Setelah boyong dari Kudus beliau membantu ibunya mengurus  Rubatut Tahfidz (sekarang bernama Komplek L) bersama KH. Ahmad Munawwir.

Baca: Kisah Kiai Zainal Dengan Santri Baru

Bu Nyai Zuhri senaniasa selalu istiqomah menjaga hafalan al-Qur’annya dengan nderes, bahkan ketika ada tamu pun yang berkunjung hanya untuk berbincang dengannya, beliau hanya menemui sebentar guna menunaikan kewajiban menerima tamu. Kemudian beliau meminta izin untuk ke belakang dan berlama-lama, sehingga sang tamu segera pulang dengan sendirinya. Kemudian setelah itu beliau melanjutkan deresannya.

Bu Nyai Zuhri mengalami penyakit yang misterius, yakni ketika melafadzkan lafadz Allah dalam al-Qur’an beliau mengalami kejang bahkan sampai pingsan. Kejadian ini terjadi tidak hanya satu atau dua kali saja, melainkan bisa berkali-kali karena memang terdapat banyak sekali lafadz Allah di dalam al-Qur’an. Menurut KH. Munawwar Ahmad (pengasuh Komplek L) Bu Nyai Zuhri merupakan hamba-Nya yang telah sampai pada tingkatan Iman. Hal ini sesuai dalam al-Qur’an surah al-Anfal ayat 2:

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَٰنًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah bergetarlah hati mereka dan bila dibacakan ayat-ayat Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal”.

Bu Nyai Zuhri sangat menjaga sikapnya ketika berhadapan dengan lawan jenis, ketika berpapasan di jalan dengan lawan jenis Bu Nyai Zuhri akan berpura-pura cacat atau seperti pura-pura juling. Hal itu beliau lakukan supaya tidak menimbulkan syahwat diantara lawan jenis. Menginjak usia 35 tahun Bu Nyai Zuhri belum juga menikah bahkan banyak yang hendak mengkhitbah beliau tetapi selalu beliau tolak.

Di lain pihak KH. M. Mubasyir Mundzir yang merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Ma’unah Sari Kediri yang terkenal dengan kewaliannya sejak masih muda juga belum kunjung menikah, padahal usia beliau pada saat itu sudah 55 tahun, usia yang sudah tidak muda lagi. Kyai Mundzir disarankan oleh seseorang untuk melamar Bu Nyai Zuhri, padahal saat itu beliau belum mengenali Bu Nyai Zuhri sama sekali. Akhirnya KH. Mundzir meminta Gus Thoha (KH. Thoha Yasin) yang notabene merupakan salah satu murid juga keponakan beliau untuk melihat dari mata kebatinan Gus Thoha, Gus Thoha mengisyaratkan Bu Nyai Zuhri sebagai seekor burung merpati putih yang berparuhkan emas. Burung merpati yang senantiasa menyanyikan ayat-ayat al-Qur’an.

Baca: Biografi KH Dalhar Munawwir

Kyai Mundzir dan Bu Nyai Zuhri belum pernah bertemu sebelumnya, akan tetapi bila sudah jodoh tidak akan pergi kemana dan pula tidak akan tertukar. Akhirnya pada hari Jum’at (akhir bulan Juni 1973) berlangsunglah pernikahan KH. M. Mubasyir Mundzir dengan Ibu Nyai Zuhriyyah binti KH. Munawwir dengan suasana sederhana. Uang sebesar Rp. 10.000 sebagai mahar dilaksanaknlah pernikahan antara keduanya di Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek L. Dimana yang bertindak selaku wali adalah KH. Ahmad Munawwir, adapun yang mengakadkan adalah KH. Ali Maksum, sedangkan sebagai saksinya adalah Bapak Syal’an dan Gus Thoha. Gus Thoha pun yang bertindak sebagai pembaca doa.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: El Tasrih Komplek L

Picture by jaringansantri.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *