Lebih Utama Mana Membaca Al-Qur’an Sambil Melihat Mushaf atau Sambil Dihafal?

Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Muslim yang senantiasa dilantunkan setiap waktu. Sepanjang harinya; pagi dan malam lantunan Al-Qur’an terus berdengung di setiap mulut yang basah. Mereka yang membacanya sambil merenungi makna Al-Qur’an akan mendapatkan pahala yang berlimpah, sedang mereka yang sulit membaca dan memahami Al-Qur’an tetap akan mendapatkan pahala pula.

Nah, dalam menggapai limpahan pahala Al-Qur’an di setiap hurufnya, umat Muslim tatkala hendak membaca Al-Qur’an, ia akan membacanya dalam dua bentuk metode: 1) Membaca Al-Qur’an bin-Nadzri (dengan melihat mushaf); 2) Membaca Al-Qur’an bil-Hifdzi (dengan dihafal).

Bilamana ada sebuah pertanyaan yang diajukan, metode mana yang lebih utama membaca Al-Qur’an bin-Nadzri ataukah membaca Al-Qur’an bil-Hifdzi?

Dalam hal ini beberapa ulama telah membahas persoalan tersebut, salah satunya yang tertuang dalam kitab al-Itqan karya Imam Suyuthi’. Beliau menyebutkan bahwa para mufassir telah membaginya ke dalam tiga pendapat:

Pendapat Pertama, membaca Al-Qur’an dengan melihat mushaf (bin-Nadzri) itu lebih utama. Pendapat ini hendak menegaskan bahwa membaca Al-Qur’an sambil melihat mushaf adalah gabungan dari dua nilai ibadah. Pertama, nilai ibadah dari membaca Al-Qur’an; Kedua, nilai ibadah sambil memegang dan melihat mushaf.

قِرَاءَةُ اْلقُرْآنِ فِيْ اْلمُصْحَفِ أَفْضَلُ مِنَ اْلقِرَاءَةِ مِنْ حِفْظِهِ (وَفِيْ اْلمَجْمُوْعِ : لِأَنَّهَا تَجْمَع ُاْلقِرَاءَةُ وَالنَّظَرُ فِيْ اْلمُصْحَفِ وَهُوَ عِبَادَةٌ اُخْرَى، كَذَا قَالَهُ اْلقَاضِيْ وَاْلغَزَالِيْ وَغَيْرِهِ مِنْ اَصْحَابِنَا، وَنَصَّ عَلَيْهِ جَمَاعَاتٌ مِنَ السَّلَفِ، وَلَمْ أَرَ فِيْهِ خِلَافًا) هَكَذَا قَالَهُ أَصْحَابُنَا وَهُوَ مَشْهُوْرٌ عَنِ السَّلَفِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ.

“Membaca Al-Qur’an seraya melihat mushaf lebih utama dibanding membaca Al-Qur’an sambil dihafalnya (dalam al-Majmu’ dijelaskan karena menggabungkan membaca dan melihat adalah ibadah lain, begitulah yang dikatakan Al-Qadhi’, Al-Ghazali, dan lainnya dari golongan kita. Serta telah di nash oleh mayoritas ulama salaf, dan saya Imam Nawawi tidak melihat adanya perselisihan) inilah yang dikatakan golongan kita, dan pendapat yang paling masyhur dari kalangan ulama Salaf ra.” (Al-Nawawi, Al-Adzkar, Dar Al-Minhaj, hal. 198).

Selanjutnya Imam Suyuthi’ menambahkan bahwa landasan pendapat pertama berdasarkan redaksi hadis yang dikemukakan oleh al-Thabari dalam al-Kabir no. 601dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 2218, yaitu hadis marfu’ yang diriwayatkan oleh Awus al-Tsiqafi:

قِرَاءَةُ الرَّجُلِ فِي غَيرِ المُصْحَفِ أَلْفَ دَرَجَةٍ، وَقِرَائَتُهُ فِي اْلمُصْحَفِ تُضَاعَفُ أَلْفَيْ دَرَجَةٍ.

“Bacaan seseorang di luar mushaf Al-Qur’an (sambil dihafal) akan memperoleh seribu derajat, sedang bacaan seseorang sambil melihat mushaf akan dilipatkan menjadi dua ribu derajat” (Al-Suyuthi, Al-Itqan, Al-Risalah,  hal. 229).

Diriwayatkan pula kebanyakan Sahabat, dulu mereka membaca Al-Qur’an sambil melihat mushaf, dan mereka enggan keluar rumah seharian sedang mereka belum membaca mushaf sama sekali.

Pendapat Kedua, membaca Al-Qur’an dengan dihafal (bil-Hifdzi) itu lebih utama. Pendapat ini diikuti oleh Abu Muhammad ‘Izzuddin bin Abdissalam. Tendensi dari argument kedua ini adalah aspek Tadabbur-nya (penghayatan makna Al-Qur’an). Sebagaimana maksud Tadabbur dalam firman Allah, yaitu (لِيَتَدَبَّرُوْا آيَاتِهِ) agar mereka menghayati ayat-ayat-Nya.

Ketentuan ini memandang aspek personalitas seseorang, yakni ia sudah terbiasa membaca Al-Qur’an sambil dihafal, dan justru jika ia membaca sambil melihat mushaf akan mengurangi tingkat penghayatan terhadap Al-Qur’an. Maka membaca Al-Qur’an sambil dihafal lebih diprioritaskan (utama). (Al-Zarkasyi, Al-Burhan, Dar al-Turats, Juz 1, no. 463).

Pendapat Ketiga, adalah kelanjutan dari pertimbangan Imam Nawawi pada pendapat pertama, artinya Imam Nawawi tidak menganggap mutlak terkait membaca Al-Qur’an bin-Nadzri itu lebih utama.

“Andaikan qari’ (pembaca Al-Qur’an) sambil dihafal mushaf itu mampu membuat dirinya menghayati dan memahami isi kandungan Al-Qur’an itu lebih memahami Al-Qur’an dari sekedar membaca mushaf, maka membaca Al-Qur’an sambil dihafal lebih utama. Berbeda jikalau seseorang membaca Al-Qur’an baik bin-Nadzri atau bil-Hifdzi ternyata tingkat ketenangan dan penghayatan terhadap isi kandungan Al-Qur’an itu relatif seimbang, maka skala prioritasnya adalah pendapat yang mengatakan membaca Al-Qur’an sambil melihat mushaf jauh lebih utama. Inilah pendapat yang dikehendaki ulama Salaf”. (Al-Nawawi, Al-Adzkar, Dar Al-Minhaj, hal. 198).

            Melihat pemaparan ketiga pandangan di atas, tentunya kita memiliki pandangan pribadi terkait persoalan mana yang lebih utama membaca Al-Qur’an bin-Nadzri atau bil-Hifdzi. Sebab bagaimanapun juga tipikal seseorang beraneka ragam. Ada yang membaca Al-Qur’an bin-Nadzri lebih menghayati daripada bil-Hifdzi, ada pula yang membaca Al-Qur’an bil-Hifdzi justru lebih menghayati daripada bin-Nadzri.

            Jadi substansi yang diambil adalah bagaimana seseorang tersebut mampu membaca Al-Qur’an seraya memahami dan menghayati isi kandungannya baik dengan metode bin-Nadzri ataupun bil-Hifdzi, maka itulah yang jauh lebih baik baginya. Namun perlu menjadi catatan pula adalah seseorang tidak sepatutnya mengabaikan metode yang ia tidak kuasai, hingga ia mengklaim bahwa metode yang dikuasainya adalah metode yang lebih utama. Wallahu a’lam.

Oleh: Irfan Fauzi

Tulisan ini telah dipublish di media jabar.nu.or.id dan telah diedit oleh Tim Redaksi

Picture by itjen.kemenag.go.id

Waliyullah Gemar Zina Dan Mabuk

Cerita ini diambil dari buku harian Sultan Murad IV Sultan Turki Utsmani, memerintah sekitar Sep 1623 – Feb 1640. Di dalam buku hariannya itu diceritakan bahwa suatu malam sang Sultan Murad merasa sangat gelisah dan resah, ia ingin tahu apa penyebabnya. Maka ia pun memanggil kepala pengawalnya dan mengatakan bahwa ia akan pergi keluar dari istana dengan menyamar sebagai rakyat biasa. Sesuatu yang memang biasa beliau lakukan.


Sultan Murad berkata: “Mari kita keluar, kita blusukan melihat keadaan rakyatku”.


Mereka pun pergi, udara saat itu sangat panas. Tiba- tiba, mereka menemukan seorang laki-laki tergeletak di atas tanah. Maka Disentuh lelaki itu dan dibangunkan oleh Sultan Murad, ternyata lelaki itu telah wafat. Orang-orang yang lewat di sekitarnya tidak ada yang peduli dengan Keadaan mayat lelaki tersebut. Maka Sultan Murad yang saat itu menyamar sebagai rakyat biasa, Memanggil mereka yang saat itu lewat.

Baca: Musibah, Muhasabah, dan Mahabbah

Kemudian mereka bertanya kepada sultan: “Ada apa? Apa yang kau inginkan?”.


Sultan menjawab: “Mengapa orang ini wafat tapi tidak ada satu pun diantara kalian yang mengurus dan membawa kerumahnya? Siapa dia? Dan dimana keluarganya?”


Mereka berkata: “Orang ini Zindiq, pelaku maksiat, dia selalu minum khamar (mabuk-mabukan) dan selalu berzina  dengan pelacur”.

Sultan menjawab: “Tapi . . bukankah ia juga Umat Rasulullah Muhammad SAW? Ayo angkat dia, kita bawa ke rumahnya”.

Maka Mereka mereka pun membawa jenazah laki-laki itu ke rumahnya. Ketika sampai di rumahnya, saat istri lelaki tersebut mengetahui suaminya telah wafat, ia pun sedih dan menangis. Tapi orang-orang langsung pada pergi semua, hanya sang Sultan dan kepala pengawalnya yang masih tinggal dirumah lelaki itu. Kemudian Sang Sultan bertanya kepada istri laki-laki itu:


“Aku mendengar dari orang-orang disini, mereka berkata bahwa suamimu itu dikenal suka melakukan kemaksiatan ini dan itu, hingga mereka tidak peduli akan kematiannya, benarkah kabar itu”.?

Maka Sang istri menjawab: “Awalnya aku menduga seperti itu tuan. Suamiku setiap malam keluar rumah pergi ke toko minuman keras (khamar), kemudian membeli sesuai kemampuannya. Ia bawa khamar itu ke rumah, kemudian membuangnya ke dalam toilet, sambil berkata: “Alhamdulillah Aku telah meringankan dosa kaum muslimin”.


Suamiku juga selalu pergi ke tempat pelacuran, memberi mereka uang dan berkata kepada Sipelacur:

“Malam ini merupakan jatah waktuku, jadi tutup pintumu sampai pagi, jangan kau terima tamu lain!”.

Kemudian ia pulang ke rumah, dan berkata kepadaku:


“Alhamdulillah, malam ini aku telah meringankan dosa pemuda-pemuda Islam”.

Tapi, orang-orang yang melihatnya mengira bahwa ia selalu minum-minuman keras (khamar) dan melakukan perzinahan. Dan berita ini pun menyebar di masyarakat. Sampai akhirnya suatu kali aku pernah berkata kepada suamiku:

“Kalau nanti kamu mati, maka tidak akan ada kaum muslimin yang akan memandikan jenazahmu, dan tidak ada yang akan mensholatimu, tidak ada pula yang akan menguburkanmu”.


Ia hanya tertawa, dan menjawab: “Janganlah takut wahai istriku, jika aku mati, aku akan disholati oleh Sultannya kaum muslimin, oleh para Ulama dan para Auliya Allah”.


Maka, Sultan Murad pun menangis, dan berkata: “Benar apa yang dikatakannya, Demi Allah, akulah Sultan Murad Itu, dan besok pagi kita akan memandikan suamimu, mensholatinya dan menguburkannya bersama-sama masyarakat dan para ulama”.


Akhirnya jenazah laki-laki itu besoknya dihadiri oleh Sultan Murad, dan para ulama, para syeikh dan juga seluruh warga masyarakat.

Baca: Merasa Lebih Mulia Dari Anjing?


Terkadang kita suka menilai orang dari apa yang kita lihat dan kita dengar dari omongan orang orang. Andai saja kita mengetahui apa yang tersembunyi di dalam hati seseorang, niscaya pasti kita akan menjaga lisan kita dari membicarakan orang lain.”

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: Buku harian Sultan Murad IV 

Picture by reportasependidikan.com

Musibah, Muhasabah, dan Mahabbah

Tak ada manusia yang tak membutuhkan rasa aman. Namun dalam realitas kehidupan, kesulitan, musibah, atau kondisi tak aman mustahil dihindari. Manusia memang hidup dalam serba-dua kemungkinan: siang dan malam, sehat dan sakit, hidup dan mati, aman dan taka man, dan sebagainya. 

Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan, ayat tersebut bermakna bahwa pencipta segala yang berpasangan adalah satu, yakni Allah, maka sembahlah Allah (Syekh Jalaluddin, h. 377). Artinya, di balik keberpasangan setiap kondisi tersebut ada Dzat Tunggal yang perlu disadari. Allah subhanahu wata’ala adalah satu-satunya tempat bergantung, kembali, dan berserah diri.   Bersamaan dengan datangnya tahun baru, Indonesia mengalami berbagai musibah, mulai dari angin besar, banjir, tanah longsor, kecelakaan, dan lainnya. Yang perlu disikapi dari musibah ini adalah mengembalikan semuanya kepada Yang Maha Memiliki, Allah subahanhu wata’ala.

Baca: Tingkatan Orang Yang Berpuasa

Bumi, langit, dan seisinya adalah milik Allah maka Allah berhak mau menjadikannya seperti apa. Bahkan seandainya seluruhnya diluluhlantakkan manusia tidak akan bisa berbuat apa-apa. Namun demikian, manusia juga harus bermuhasabah (introspeksi), apakah musibah yang ia terima merupakan bentuk ujian, peringatan, atau yang lain. Sehingga, manusia lebih berhati-hati dalam menjaga amanah alam ini.

Imam Jalaludin dalam Tafsir Jalalain menjelaskan lafal بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ (karena perbuatan tangan manusia) dengan arti مِنَ الْمَعَاصِى, yang berarti “karena maksiat”.   Artinya bahwa kerusakan di bumi ataupun di langit timbul karena ulah manusia, persisnya sebab kemaksiatan yang mereka lakukan. Kemaksiatan di sini tentu bukan hanya berbentuk pelanggaran atas norma “halal-haram” yang biasa kita dengar, seperti minuman keras, berjudi, zina, atau sejenisnya. Selain berkenaan dengan urusan privat, kemaksiatan juga bisa berupa dosa yang berkaitan dengan masyarakat dan lingkungan. Segala bentuk perbuatan merusak alam adalah kemaksiatan.

Karena dengan merusak alam secara tidak langsung telah mengurangi keseimbangan alam, sehingga akan menyebabkan masalah pada hari ini dan masa-masa yang akan datang.   Tanah longsor terjadi bisa jadi sebab adanya penebangan pohon secara brutal. Banjir dating karena dipicu perilaku buang sampah sembarangan, sungai-sungai menyempit karena bangunan pemukiman, area resapan air berkurang drastis akibat kian meluasnya aspal dan beton, dan lain sebagainya.

Segala musibah yang menimpa menjadi alat untuk berdzikir dan muhasabah diri, sehingga manusia dapat mengambil sisi positif terutama dalam meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah subhanahu wata’ala. Bukan sebaliknya: saling menghujat, saling menyalahkan antarsesama, rakyat dengan pemerintahnya, atasan dengan bawahannya, dan sebagainya. Namun benar-benar menjadikan musibah sebagai pembenahan terhadap diri dan lingkungan agar tercipta kehidupan yang lebih baik, aman, dan tenteram.  

Sebagaimana kisah Rabiah Al-Adawiyah yang selama hidupnya mengalami kesulitan demi kesulitan, dengan dasar iman maka diraihlah ahwal hubb atau kecintaan kepada Allah yang tiada tara. Hal ini membuktikan bahwa di setiap musibah atau kesulitan ada kebaikan yang Allah selipkan di dalamnya. Hanya orang-orang yang sadar dan sabarlah yang akan meraih kebaikan tersebut. Dengan bahasa lain, musibah pun bisa memicu mahabbah (rasa cinta).   Selain dari kebaikan-kebaikan yang bersifat relatif, kesabaran dalam menerima musibah adalah cara Allah menghapuskan dosa-dosa.

Yang ditekankan dalam konteks musibah adalah kesabaran menghadapinya. Memang, di kalangan ulama berbeda pendapat apakah kesabaran atau musibah itu sendiri yang menyebabkan terhapusnya dosa-dosa.   Menurut Syekh Izuddin bin Salam sebagaimana dijelaskan dalam kitab Irsyadul Ibad, sesungguhnya musibah yang menimpa orang mukmin tidak mengandung pahala, sebab musibah bukanlah atas usahanya. Akan tetapi, pahala itu terletak pada kesabaran atas musibah tersebut. Namun, dijelaskan berikutnya bahwa musibah adalah pelebur dosa sekalipun orang mukmin yang ditimpanya tidak sabar, sebab tidak ada syarat bagi pelebur dosa untuk diusahakan oleh seorang mukmin.  

Baca: Empat Tingkatan Manusia

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa apa pun bentuknya musibah adalah sebuah cobaan dari Allah untuk makhluknya yang di dalamnya mengandung maksud dan tujuan baik bagi yang menerimanya. Tinggal bagaimana menyikapinya: sabar atau justru ingkar.   Dengan demikian, musibah adalah sarana untuk mengingat sang pemberi musibah, upaya untuk meningkatkan kualitas keimanan, yang pada akhirnya menumbuhkan rasa cinta yang mendalam kepada Allah setelah merasakan kenikmatan di balik musibah yang menimpanya. Mahasuci Allah yang senantiasa memberikan yang terbaik untuk makhluk-Nya.   Semoga kita semua senantiasa dijadikan orang-orang yang mampu menyikapi segala musibah sebagai sarana peningkatan iman dan takwa. Sehingga hilangnya musibah berbekas kebahagiaan baik untuk dunia maupun akhirat.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: nu.or.id

Empat Tingkatan Manusia

Imam al Ghazali atau bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i adalah ulama produktif. Tidak kurang 228 kitab telah ditulisnya, meliputi berbagai disiplin ilmu; tasawuf, fikih, teologi, logika, hingga filsafat.

Hingga beliau mendapat predikat Sang Hujjatul Islam (kemampuan daya ingat yang kuat dan bijak dalam berhujjah). Beliau ulama yang sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah, yang merupakan pusat kebesaran Islam pada zamannya.

Baca: Lima Harapan Pegiat Ramadhan

Menurut Imam Al-Ghazali manusia menjadi empat (4) golongan:

 الرجال أربعة، رجل يدري ويدري أنه يدري فذلك عالم فاتبعوه، ورجل يدري ولا يدري أنه يدري فذلك نائم فأيقظوه، ورجل لا يدري ويدري انهلا يدري فذلك مسترشد فأرشدوه، ورجل لا يدري ولا يدري أنه لا يدري فذلك جاهل فارفضوه

Pertama, Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri, ‘seseorang yang berilmu, dan dia mengerti kalau dirinya berilmu.’

Orang ini bisa disebut ‘alim (berilmu). Golongan ini boleh dikuti. Apalagi bagi orang awam yang masih memerlukan pengetahuan, maka sudah selayaknya orang awam duduk bersama dengannya bakal menjadi pengobat hati.

Golongan ini adalah manusia yang paling baik. Manusia yang memiliki kemapanan ilmu, dan dia memahami kalau dirinya itu berilmu, maka ia akan menggunakan ilmunya. Ia berusaha semaksimal mungkin agar ilmunya benar-benar bermanfaat bagi dirinya, orang sekitarnya, dan bahkan bagi seluruh umat manusia. Golongan ini adalah manusia unggul. Manusia yang sukses dunia dan akhirat.

Golongan ini menyadari dirinya mengetahui dan mengamalkan ilmu pengetahuannya. Misalnya orang berilmu itu tahu bahwa “Islam” itu serumpun dengan “salm” yang berarti damai. Kemudian, dia berupaya untuk bersikap santun, merangkul semua pihak, dan menebarkan kasih kepada para penghuni bumi. Ketika dimusuhi dan dimaki pun, orang berilmu tersebut memaafkan pihak yang memusuhi dan memakinya. Orang berilmu semacam itulah yang termasuk ulama yang layak diikuti.

Kedua, Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri, ‘seseorang yang berilmu, tapi dia tidak memahami kalau dirinya mengetahui.’

Golongan ini diumpamakan orang yang tengah tertidur. Manusia yang memiliki ilmu dan kecakapan, tapi dia tidak pernah menyadari kalau dirinya memiliki ilmu dan kecakapan. Golongan ini sering di jumpai di sekeliling pergaulan manusia. Adakalanya ditemukan golongan yang sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa, tapi ia tidak memahami kalau memiliki potensi. Karena keberadaan dia seakan tak berguna, selama dia belum bangun manusia ini sukses di dunia tapi rugi di akhirat.

Golongan kedua ini bukan termasuk manusia ideal. Manusia kedua itu sebenarnya berilmu. Tapi dia tidak benar-benar menerapkan ilmunya dengan baik. Misalnya dia tahu bahwa “Allahu Akbar” berarti Allah Maha Besar. Seyogyanya dia sadar bahwa hanya Allah yang Maha Besar. Mengucapkan kalimat takbir “Allahu Akbar” selain Allah itu kecil. Sebagaimana pada saat shalat, sepatutnya pengucap  “Allahu Akbar” mengucapkan kata-kata baik, bertindak tertib, penuh kerendah hati (sebagaimana tercermin dalam rukuk dan sujud), berhati teduh, berpikiran jernih dan menebar damai. Mengeratkan hubungan dengan Allah (sebagaimana tampak pada gerakan dan ucapan salm di akhir shalat).

Ketiga, Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri, Seseorang yang tidak mengetahui (tidak berilmu), tapi dia memahami alias sadar diri kalau dirinya tidak berilmu.’

Golongan ini masih tergolong manusia baik. Sebab, manusia yang bisa menyadari kekurangannnya. Ia bisa mengintropeksi dirinya dan bisa menempatkan dirinya di tempat yang sepantasnya. Karena dia tahu dirinya tidak berilmu, maka dia belajar.

Dengan belajar itu, sangat diharapkan suatu saat dia bisa berilmu dan tahu kalau dirinya berilmu. Manusia seperti ini sengsara di dunia tapi bahagia di akhirat.

Golongan ketiga ini, adalah manusia yang memang tidak tahu. Namun, dia menyadari bahwa dirinya tidak tahu, sehingga dia selalu belajar dan siap bertanya kepada siapapun yang layak untuk ditanya tentang ilmu dan informasi. Hasilnya, manusia yang tak berilmu semacam ini lambat laun menjadi manusia yang berilmu. Seumpama manusia berilmu bertemu dengan orang golongan ketiga ini, sepatutnya orang berilmu itu berkenan mengajarinya, karena orang golongan ketiga ini adalah pembelajar yang perlu diajari untuk perbaikan masa kini dan masa depan.

Baca: Merasa Lebih Mulia Dari Anjing?

Keempat, Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri, ‘seseorang yang Tidak memahami (tidak berilmu), dan dia paham kalau dirinya tak berilmu.’

Golongan keempat adalah manusia paling buruk. Dia adalah orang bodoh, tapi tidak menyadari kebodohannya. Seharusnya orang bodoh belajar pada orang yang ‘Alim. Tapi orang bodoh yang tidak menyadari dirinya bodoh adalah orang yang enggan belajar. Dia merasa puas dengan kondisi dirinya. Cenderung menolak untuk diajari, bahkan sering berlagak tahu, meski aslinya cuma tidak paham atau tak tahu. Golongan semacam itu adalah manusia bodoh yang tidak bisa diubah dan berubah menjadi baik.

Golongan ini tergolong manusia yang paling buruk. Manusia yang selalu merasa mengerti, selalu merasa tahu, selalu merasa memiliki ilmu, padahal ia tidak tahu apa-apa.

Golongan seperti ini susah disadarkan, kalau diingatkan ia akan membantah sebab ia merasa tahu atau merasa lebih tahu. Paling susah dicari kebaikannya. Golongan seperti ini dinilai tidak sukses di dunia, juga merugi di akhirat.

Untuk itu mari kita intropeksi diri masing-masing. Masuk golongan manakah kita berada?

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: laduni.id

Picture by bincangsyariah.com

Tingkatan Orang Yang Berpuasa

Tiga Tingkatan Orang Berpuasa Menurut Imam Ghazali. Menurut Imam Ghozali r.a, Tingkatan orang berpuasa ada 3, yaitu;

Pertama, Puasanya Orang Awam

“Puasa umum adalah menahan perut dan kemaluan dari menunaikan syahwat.”

Maksudnya, puasa umum atau puasa orang-orang awam adalah “sekedar” mengerjakan puasa menurut tata cara yang diatur dalam hukum syariat. Seseorang makan sahur dan berniat untuk puasa pada hari itu, lalu menahan diri dari makan, minum dan melakukan hubungan badan dengan suami atau istrinya sejak dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari. Jika hal itu telah dikerjakan, maka secara hukum syariat ia telah melaksanakan kewajiban puasa Ramadhan. Puasanya telah sah secara dzahir dari segi ilmu fikih.

Baca: Lima Harapan Pegiat Ramadhan

Kedua yaitu, puasanya orang yang khusus

“Puasa khusus adalah menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan seluruh anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa.”

Tingkatan puasa ini lebih tinggi dari tingkatan puasa sebelumnya. Selain menahan diri dari makan, minum dan melakukan hubungan suami istri, tingkatan ini menuntut orang yang berpuasa untuk menahan seluruh anggota badannya dari dosa-dosa, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Tingkatan ini menuntut baik dzahir maupun batin untuk senantiasa berhati-hati dan waspada.

Ia akan menahan matanya dari melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan menahan telinganya dari mendengarkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan menahan lisannya dari mengucapkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan menahan tangannya dari melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan menahan kakinya dari melangkah menuju hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan seluruh anggota badannya yang lain ia jaga agar tidak terjatuh dalam tindakan maksiat.Tingkatan puasa ini adalah tingkatan orang-orang shalih.

Ketiga, Puasanya orang yang sangat khusus

“Puasa sangat khusus adalah berpuasanya hati dari keinginan-keinginan yang rendah dan pikiran-pikiran duniawi serta menahan hati dari segala tujuan selain Allah secara totalitas.”

Tingkatan ini adalah tingkatan puasa yang paling tinggi, sehingga paling berat dan paling sulit dicapai. Selain menahan diri dari makan, minum dan berhubungan, serta menahan seluruh anggota badan dari perbuatan maksiat, tingkatan ini menuntut hati dan pikiran orang yang puasa untuk selalu fokus pada akhirat, memikirkan hal-hal yang mulia dan memurnikan semua tujuan untuk Allah semata.

Puasanya hati dan pikiran, itulah hakekat dari puasa sangat khusus. Puasanya hati dan pikiran dianggap batal ketika ia memikirkan hal-hal selain Allah, hari akhirat dan berfikir tentang (keinginan-keinginan) dunia, kecuali perkara dunia yang membantu urusan akhirat. Inilah puasa para nabi, shiddiqin dan muqarrabin. (Imam Abu Hamid al-Ghozali, Ihya’ Ulumiddin, 1/234)

Betapa banyak orang berpuasa namun balasan dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga semata. Dan betapa banyak orang melakukan shalat malam (tarawih dan witir) namun balasannya dari shalatnya hanyalah begadang menahan kantuk semata.

Baca: Keutamaan Shalat Berjamaah Shaf Paling Belakang

Demikian penjelasan Tiga Tingkatan Orang Berpuasa Menurut Imam Ghazali.  Semoga kita tidak termasuk dalam golongan yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam diatas, Aamiin ya Rabbal ‘Aalamiin.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: bangkitmedia.com

Picture by darunnajah.com

Lima Harapan Pegiat Ramadhan

Apa sebenarnya cita-cita dan harapan seorang muslim yang giat di bulan Ramadhan? Jawabannya tergambar dalam doa yang sering dipanjatkannya di sepanjang malam bulan Ramadhan. Tentu saja doa-doa itu banyak sekali. Penulis membatasi pada “Doa Kamilin” saja yang biasa dibaca usai Shalat Tarawih. 

Nama “Kamilin” diambil dari salah satu kalimat awal dalam doa tersebut. Doa itu lumayan panjang hingga satu halaman. Ada sekitar 24 permintaan dan harapan yang dipanjatkan dalam doa tersebut. Kita hanya mengambil 5 kalimat doa saja untuk diuraikan secara singkat dan padat. 

Dalam kitab Mutiara Ramadhan yang disusun oleh Abuya KH Abdurrahman Nawi, doa tersebut berbunyi: 

اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا بِالْإِيْمَانِ كَامِلِيْنَ وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ وَلِلصَّلَاةِ حَافِظِيْنَ وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ. 

Artinya: “Ya Allah, jadikalah kami golongan yang sempurna dengan (di dalam) iman, yang mampu menunaikan berbagai kewajiban, memelihara shalat, melaksanakan zakat dan hanya mencari (ridha) di sisi Engkau.” Hadlirin yang berbahagia, Ada 5 (lima) harapan dan cita-cita dalam doa tersebut. 

Harapan pertama yaitu kesempurnaan iman (اَلْكَامِلِيْنَ بِالْإِيْمَانِ). Bagaimanakah kesempurnaan itu didapat. Baginda RasulullahSaw bersabda:

 اَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ 

Artinya: Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah yang berlaku baik kepada istrinya. (HR Turmudzi) Dalam kitab Mauidhatul Mu’minin karya Syekh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi dikatakan bahwa empat pokok akhlak yang mulia adalah: keberanian, keadilan, kebijaksanaan, dan menjaga kehormatan. 

Harapan kedua, yaitu dapat menunaikan segala kewajiban (وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ) . Maknanya, mampu bertakwa kepada Allah, menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi larangannya. Kemampuan itu dinamakan taufiq yang diciptakan Allah. Apa itu taufiq? Dalam kitab Syarah An-Nawâwi alâ Muslim I/73, taufiq adalah   خَلْقُ قُدْرَةِ الطَّاعَةِ Artinya: “Diciptakannya kemampuan untuk taat kepada Allah.  Berdasarkan QS al-Baqarah ayat 183, kemampuan itu dapat diraih dengan berpuasa di bulan Ramadhan. Allah menjanjikan kita dapat bertakwa dengan ungkapan “la’allakum tattaqun” yang artinya, pasti kalian menjadi orang yang bertakwa jika kalian melaksanakan kewajiban puasa di bulana Ramadhan. 

Baca: Syekh Abdul Qadir Al-Jailani: Orang Yang Berpengaruh di Sekitar Kita

Harapan ketiga, yaitu shalat yang terpelihara (وَلِلصَّلاَةِ حَافِظِيْنَ). Bagaimanakah caranya agar shalat kita terpelihara?. Pertama-tama harus kita pahami bahwa Allah tidak hanya memerintahkan shalat tapi memelihara dan menegakkan shalat.  Allah SWT berfirman:   

أَقِمِ الصّلَاةَ لِذِكْرِيْ 

Artinya: “Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku (Allah).” 

(QS Thaha: 14) 

حَافِظٌوْا عَلىَ الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وقُوْمُوْا للهِ قَانِتِيْنَ  

Artinya: “Peliharalah shalat 5 waktu dan shalat wustha (Ashar). Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (QS al-Baqarah: 238) 

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّيْنَ. اَلَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَ. اَلَّذِيْنَ هُمْ يُرَاؤُوْنَ وَيَمْنَعُوْنَ اْلمَاعُوْنَ 

Artinya: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”

(QS al-Ma‘un: 4-6) Kita tidak diperintahkan shalat saja. Tapi menegakkan, mendirikan, dan memelihara shalat kita. Shalat kita harus lurus, tegak, dan terpelihara. Niatnya lurus. Caranya lurus. Hatinya khusyu’. Maka hasilnya pun juga insyaallah lurus dan benar. Yaitu tercegah dari perbuatan keji dan mungkar.   

Harapan keempat, menjadi golongan penunai zakat (وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ).  Harapan ini adalah harapan yang sangat penting diwujudkan bagi pegiat Ramadhan. Sebab zakat tidak hanya zakat mal saja. Tapi juga zakat fitrah. Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan pada saat bulan Ramadhan. Rasulullah bersabda:  

 فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةٌ لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ 

Artinya: “Rasulullah mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih orang yang berpuasa dari ucapan yang tidak berfaidah dan jelek.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah) 

Baca: Hisab Dunia Meringankan Hisab Akhirat

Harapan kelima, mencari tempat yang mulia dan keridhaan di sisi Allah (وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ).  Harapan ini menjadi harapan penyempurna bagi seluruh harapan pegiat Ramadhan. Artinya, semua amal ibadah kita harus ditujukan semata-mata hanya karena mengharap ridha Allah (ikhlas).  Al-Imam Al-Haddad berkata dalam kitabnya an-Nashâ’ihud Dîniyyah:  

مَعْنىَ الْإِخْلاَصِ أَنْ يَكُوْنَ قَصْدُ اْلإِنْسَانِ فِيْ جَمِيْعِ طَاعَاتِهِ وَأَعْمَالِهِ مُجَرَّدَ التَّقَرُّبِ إِلىَ اللهِ تَعَالىَ وَإِرَادَةِ قُرْبِهِ وَرِضَاهُ, دُوْنَ غَرْضٍ أَخَرَ مِنْمُرَاءَاةِ النَّاسِ وَطَلَبِ مَحْمَدَةٍ مِنْهُمْ أَوْ طَمَعٍ  

“Pengertian ikhlas adalah seseorang di dalam seluruh ketaatan dan perbuatannya ditujukan semata-mata karena berusaha mendekat kepada Allah dan menginginkan kedekatan dan keridhaannya. Tidak ada maksud yang lain seperti ingin pamer, dipuji atau mengharap sesuatu dari makhluk (tamak).” 

Semoga Allah mengabulkan semua harapan dan doa tersebut. Amîn ya rabbal ‘alamin.

Oleh: Tim Redaksi

Sumber: islam.nu.or.id

Picture by indonesiainside.id

Merasa Lebih Mulia Dari Anjing?

Siapa yang tak kenal Abu Yazid al-Busthami. Beliau adalah seorang Syekh atau pemimpin kaum Sufi. Namun siapa sangka beliau pernah mendapat ilmu yang sangat berharga dari seekor anjing di tepi jalan.

Kisah Abu Yazid al-Busthomi dan seekor anjing adalah satu dari banyak kisah hikmah yang menyadarkan kita tentang hakikat penyucian hati. Abu Yazid merupakan seorang ulama Sufi abad ketiga Hijriyah berkebangsaan Persia. Beliau lahir Tahun 188 H (804 M) bernama kecil Tayfur.

Saat remaja Abu Yazid telah mendalami al-Qur’an dan Hadis Nabi, kemudian mempelajari ilmu fiqih Madzhab Hanafi sebelum akhirnya menempuh jalan Tasawuf. Sebagai Sufi, maqom (kedudukan) makrifat beliau tidak diragukan lagi. Pernah terbesit di hatinya untuk memohon kepada Allah Ta’ala agar diberikan sifat ketidakpeduliaan terhadap makanan dan perempuan, kemudian hatinya berkata:

“Pantaskah aku meminta kepada Allah sesuatu yang tidak pernah diminta oleh Rasulullah SAW?”

Bahkan karena ketinggian ilmunya, beliau menghukum dirinya sendiri jika melanggar.

Baca: Kisah Juraij Dan Seorang Pelacur

Suatu hari Abu Yazid seperti yang biasa beliau lakukan, di malam yang hening itu Abu Yazid mengadakan pengembaraan seorang diri. Di tengah perjalanan, beliau mendapati seekor anjing berjalan ke arahnya dengan tanpa hirau. Ketika anjing ini sudah begitu dekat, dengan spontan Abu Yazid mengangkat gamisnya, khawatir bajunya tersentuh anjing yang najis tersebut.

Tak seperti anjing pada umumnya, mendapati respon sang Sufi ini ia menghentikan langkahnya sembari menatap dalam-dalam pada Abu Yazid. Yang lebih mengejutkan, binatang ini dianugerahi kemampuan untuk berkata-kata. Dengan masih menatap sang Sufi, anjing ini berbicara: 

“Tubuhku kering dan tidak akan menyebabkan najis padamu. Kalau pun engkau merasa terkena najis, engkau cukup membasuh 7 kali dengan air dan tanah, maka najis di tubuhmu itu akan hilang. Tapi jika engkau mengangkat jubahmu kerana menganggap dirimu lebih mulia, lalu menganggapku anjing yang hina, maka najis yang menempel di hatimu itu tidak akan bersih walaupun engkau membasuhnya dengan 7 samudera lautan”.

Mendengar itu, Abu Yazid tersentak dan meminta maaf kepada anjing tersebut. Sebagai tanda permohonan maafnya yang tulus, Abu Yazid lantas mengajak anjing itu untuk bersahabat dan jalan bersama. Namun anjing itu menolaknya.

“Engkau tidak patut berjalan denganku. Karena mereka yang memuliakanmu akan mencemooh dan melempari aku dengan batu. Aku tidak tahu mengapa mereka menganggapku hina, padahal aku berserah diri pada Sang Pencipta wujud ini. Lihatlah aku tidak menyimpan dan membawa sebuah tulang pun, sedangkan engkau masih menyimpan sekarung gandum,” kata anjing itu pergi meninggalkan Abu Yazid.

Abu Yazid hanya bisa terdiam sembari merenung. Tak terasa air mata menitik, dan dari lubuk hati terdalam ia berkata:

“Ya Allah, untuk berjalan dengan seekor anjing ciptaan-Mu pun aku tak pantas. Lalu bagaimana aku merasa pantas berjalan dengan-Mu? Ampunilah aku wahai Tuhanku,  dan sucikan najis yang ada dalam hatiku”.

Baca: Kisah Seorang Wali : Doa Yang Sia-sia Karena Seorang Istri

Abu Yazid wafat pada tahun 261 Hijriyah (875 Masehi), ada yang menyebut tahun 264 Hijriyah (878 M). Makam beliau terletak di pusat Kota Bistami (Bashtom) yang banyak diziarahi oleh umat Islam. Sebuah kubah didirikan di atas makamnya atas perintah Sultan Mongol bernama Muhammad Khudabanda, seorang sultan yang berguru kepada Syeikh Syaraf al-Din (keturunan Abu Yazid), pada tahun 713 H (1313 M)

Makam ulama besar sufi abad ketiga Hijriyah, Abu Yazid al-Busthomi, di Kota Bashtom Iran. Foto oleh belajarbahasa.github.io

Oleh: Tim Redaksi

Picture by jernih.co

Keutamaan Shalat Berjamaah Shaf Paling Belakang

Kanjeng Nabi Muhammad SAW banyak menjelaskan tentang pentingnya shalat di shaf paling depan, juga fadhilah-fadhilah shaf paling depan. Karena hal tersebut untuk menambah keyakinan dan memacu semangat seorang hamba dalam berlomba-lomba melakukan kebajikan. Apabila seorang hamba mengetahui keutamaan shalat di shaf paling depan pasti mereka rela untuk berebut undian mendapatkannya. Tapi ada seorang sahabat yang memilih berada di bagian shaf paling belakang padahal ia bisa saja menempati shaf paling depan, ia pun mengerti seberapa besar keutamaan dan pahala yang terkandung di dalamnya.

Suatu ketika sahabat Sa’id bin Amir hendak melaksanakan shalat berjamaah, namun terlebih dahulu menemui Abi Darda’ untuk berangkat bersama-sama. Setelah iqomat dikumandangkan para sahabat mulai berebut shaf dibagian paling depan, namun Abi Darda’ tidak bergerak sama sekali justru malah melangkahkan kakinya ke belakang di bagian shaf paling akhir. Melihat hal tersebut Sa’id Bin Amir terkejut dan ketika shalat sudah selesai dilaksanakan sahabat Sa’id Bin Amir memberanikan diri untuk bertanya kepada Abi Darda’.

Baca: Definisi Makan al-Shalat (Tempat Shalat)

“Bukankah engkau sudah mengetahui akan shaf yang paling utama adalah shaf yang pertama wahai Abu Darda’?” tanya sahabat Sa’id

“Ya, saya mengetahuinya. Akan tetapi perlu kamu ketahui bahwa umat ini adalah umat yang paling dikasihi dan lebih dilihat oleh Allah dari pada umat-umat yang lain. Ketika shalat Allah akan melihatnya dan akan mengampuni orang itu beserta orang-orang yang berada di belakangnya dan alasan saya berada di shaf paling belakang karena saya berharap Allah mengampuni dosa saya lantaran orang-orang yang berada di depan saya.”

Yang perlu menjadi catatan bahwasanya ada beberapa catatan yang sangat mendasar mengenai motif perbuatan sahabat ketika menempati shaf paling akhir dengan fenomena yang sering terjadi dengan kita yakni dengan sengaja menempati shaf paling belakang. Pertama terkait niat, para sahabat mempunyai niat yang baik dan berdasar. Mereka tidak asal-asalan ketika melakukan hal tersebut, berbeda dengan sebagian dari kita yang sengaja memilih shaf paling belakang dengan tujuan supaya bisa langsung dengan mudah pergi ketika meninggalkan masjid ketika shalat selesai. Yang kedua yaitu meskipun menempati shaf akhir para sahabat telah datang di tempat jamaah jauh sebelum iqomat dikumandangkan, berbeda dengan kita yang kebanyakan (tidak semuanya) malah baru datang ketika shalat sudah berjalan bahkan ada yang menunggu hingga lafadz Amin dikumandangkan oleh jamaah.

Baca: Anggota Sujud Dalam Shalat

Dapat disimpulkan bahwa telat ketika shalat jamaah tanpa adanya udzur syar’i merupakan tindakan yang kurang pantas karena sudah hilang kesempatan mendapatkan fadhilah ataupun keutamaan menempati shaf bagian pertama yang sangat dianjurkan oleh Kanjeng Nabi. Namun apabila terpaksa harus terlambat ketika shalat berjamaah dan harus menempati shaf bagian belakang karena udzur syar’i maka alangkah baiknya jika meniru niat para sahabat. Paling tidak dengan niat baik kita bisa mendapatkan fadhilah dan pahala yang besar dengan keterbatasan kita. Abu Nashr Bisyr bin al-Harits al-Hafi mengatakan bahwasanya “Yang Dikehendaki dalam shalat adalah dekatnya hati bukan dekatnya jasad”.

Oleh: Taufik Ilham

Picture by kalem.id

Lima Hal Yang Akan Dihadapi Di Akhirat

Pada saat pengajianKitab Minhajul Abidin (9/12) yang diampu oleh pengasuh Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek L yakni K.H Muhammad Munawwar Ahmad menjelaskan tentang “Mengingat Janji Dan Ancaman-Nya Pada Hari Pembalasan” yang dimaksud dengan janji disini ialah janji pahala dan balasan yang baik, janji ini diberikan kepada orang-orang yang berjalan diatas kebenaran. Dalam konteks ini akan dijelaskan secara singkat lima hal yang akan dihadapi seorang hamba di akhirat kelak, yaitu:

1. Kematian

            Terkait dengan kematian ada sebuah kisah yang menceritakan seorang murid Fudhail bin ‘Iyadh yang sedang mengalami sakaratul maut lalu Fudhail menjenguknya dan duduk di sisi kepalanya dengan membacakan surah Yasin.

Tapi si murid berkata, “Wahai Ustadz, jangan membcaca itu.”

Fudhail pun terdiam lalu mentalqinkan kepadanya kalimat laa ilaaha illallaah.

Namun muridnya itu berkata, “Aku tidak akan mengucapkannya, sebab aku berlepas diri darinya.”

Akhirnya si murid mati dalam keadaan su’ul khatimah, meskipun dia murid Fudhail seorang ulama besar yang dikenal sangat zuhud.

Sepulangnya ke rumah Fudhail menangisi kejadian selama 40 hari dan selama waktu itu dia tidak keluar dari kamarnya, kemudian dalam tidurnya Fudhail bermimpi melihat muridnya itu sedang diseret ke Neraka Jahanam. Kemudian Fudhail bertanya, “Apa sebabnya Allah mencabut makrifat dari hatimu, padahal engkau sebelumnya muridku yang  paling pandai?”

Muridnya pun menjawab, “Itu karena 3 hal. Pertama, karena aku suka mengadu domba (namimah). Kedua, karena aku dengki (hasad) pada sahabat-sahabatku. Ketiga, aku pernah sakit dan saat itu aku pergi ke seorang tabib untuk mengobati penyakitku itu dan ia menyuruhku minum satu mangkuk khamar secara rutin. kalau tidak maka penyakitku itu tak akan sembuh. Lalu aku pun meminum sesuai anjurannya.”

Baca : Sebagian Tanda Dari Kematian

2. Alam Kubur

Adapun tentang alam kubur dan keadaan setelah mati maka ingatlah sebuah cerita yang mana salah satunya dituturkan oleh seorang saleh, yang bermimpi dengan Sufyan ats-Tsauri, setelah ulama besar itu meninggal dunia.

Dalam mimpinya orang saleh itu bertanya kepada Sufyan, “Bagaimana keadaanmu, wahai Abu Abdullah?”

Tapi Sufyan berpaling darinya, lalu berkata, “Ini bukan masanya lagi memanggil dengan nama panggilan itu (maksudnya panggil ‘Abu’-Ed).”

Aku pun meralat pertanyaanku, “Bagaimana keadaanmu wahai Sufyan?”

Sufyan ats-Tsauri menjawab dalam bait syair berikut ini.

Aku melihat kepada Rabbku dengan mataku, maka Dia berfirman kepadaku:

Bersenang-senanglah dengan keridhaan-Ku terhadapmu wahai Abu Sa’id.

Engkau bangun ketika malam telah gelap,

Dengan air mata kerinduan dan hati yang engkau mau,

Dan kunjungi Aku karena aku tidak jauh darimu.”

3. Hari Kiamat

Ketika seseorang dikeluarkan dari kuburnya tiba-tiba ia mendapati kendaraan buraq berada di atas kuburannya dan dibagian atas buraq itu terdapat mahkota dan sejumlah perhiasaan. Lalu ia memakai perhiasan itu dan menaiki buraq menuju surga yang penuh kenikmatan, karena kemuliaannya ia tidak dibiarkan berjalan kaki menuju surga. Sedangkan yang lainnya ketika dikeluarkan dari kuburnya ia mendapati para malaikat Zabaniah, rantai dan belenggu yang disediakan untuk mereka. Para malaikat tidak membiarkan orang celaka itu berjalan kaki ke neraka namun diseret dari atas ubun-ubunnya ke neraka yang menyeramkan.

4. Surga dan Neraka

Adapun tentang surga dan neraka maka renungkanlah tentang keduanya pada dua ayat Kitabullah (al-insaan:21-22) dan (al-Mu’minuun: 107-108). Dalam sebuah riwayat diungkapkan bahwa pada waktu itu para penghuni neraka menjadi anjing-anjing yang menyalak-nyalak di dalam neraka.

Yahya bin Mu’adz ar-Razi berkata,

“Kita tidak tahu mana yang lebih besar di antara dua musibah ini: terlepasnya surga dari tangan kita atau dimasukannya ke dalam neraka. Adapun surga kita tidak tahan untuk segera memasukinya. Sedangkan api neraka kita tidak tahan jika harus mendekat (apalagi dimasukkan) ke dalamnya.”

Seseorang menerangkan kepada Imam Hasan al-Bashri, bahwa orang yang terakhir keluar dari api neraka adalah seorang lelaki bernama Hunad. Dia telah disiksa selama seribu tahun. Saat keluar dari neraka berseru, “Ya Hannan, ya Mannan ( Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Memberi Karunia).”

Hasan kemudian menangis dan mengatakan, “Semoga saja aku menjadi seperti Hunad itu.”

Orang-orang pun heran mendengar ucapan Hasan itu, tapi ia segera membalasnya, “Celaka kalian! Bukankah ia akan keluar pada suatu hari?”

5. Risiko Tercabutnya Iman

Dari semua perkara yang telah dijelaskan sebelumnya itu akhirnya akan kembali kepada satu poin penting yakni “Resiko tercabutnya dari karunia iman.” Iman merupakan poin yang bisa mematahkan punggung dan membuat muka menjadi pucat, menghancurkan hati, menghentikan detak jantung, yang mengalirkan air mata darah dari para hamba. Inilah akhir yang paling ditakuti oleh orang yang takut yang ditangisi oleh mata orang-orang yang menangis.

Baca : Sebuah Kisah Habib Quraisy Bin Qosim Cirebon

Beberapa wali Allah menjelaskan bahwa kesedihan itu ada tiga macam:

  1. Sedih terhadap ibadah yang dia lakukan apakah akan diterima atau tidak oleh Allah
  2. Sedih terhadap dosa yang ia lakukan apakah akan diampuni atau tidak.
  3. Sedih memikirkan kalau iman makrifat dicabut darinya.

Sementara itu, orang-orang yang mukhlis berkata:

“Pada hakikatnya semua kesedihan itu satu, yaitu sedih memikirkan resiko tercabutnya iman atau makrifat. Sedang semua bentuk kesedihan lainnya, rasa cemas dan kekhawatiran tidak signifikan dibanding dengan kehilangan iman.”

Oleh : Tim Redaksi

Sumber: Kitab Minhajul Abidin

Picture by syahida.com

Kisah Supri Sebelum Boyong

Sebelum Supri di izinkan boyong, Kyai memberinya satu ujian untuk membuktikan bahwa Supri benar-benar sudah matang ilmunya dan siap menghadapi kehidupan diluar Pesantren.

“Sebelum kamu pulang, dalam tiga hari ini coba tolong kamu carikan seorang ataupun makhluk yang lebih hina dan buruk darimu.” pinta sang Kyai

“Tiga hari itu terlalu lama Yai, hari ini aku bisa menemukan banyak orang atau makhluk yang lebih buruk daripada saya.” jawab Supri dengan percaya diri

Sang Kyai tersenyum seraya mempersilahkan muridnya membawa seorang ataupun makhluk itu kehadapannya. Supri keluar dari ruangan Yai dengan semangat.

”Hmm…ujian yang sangat gampang!” mbatin Supri

Hari itu juga, Supri berjalan menyusuri jalanan ibu kota. Di tengah jalan, Supri menemukan seorang pemabuk berat. Menurut pemilik warung yang dijumpainya orang tersebut selalu mabuk-mabukan setiap hari. Pikiran Supri sedikit tenang, dalam hatinya berkata :

“Nah ini…pasti dia orang yang lebih buruk dariku, setiap hari dia habiskan hanya untuk mabuk-mabukan, sementara aku selalu rajin beribadah.” ujar Supri dengan bangga

Dalam perjalanan pulang Supri kembali berpikir :

“Sepertinya si pemabuk itu belum tentu lebih buruk dariku, sekarang dia mabuk-mabukan tapi siapa yang tahu di akhir hayatnya Allah justru mendatangkan hidayah hingga dia bisa Husnul Khotimah, sedangkan aku yang sekarang rajin beribadah kalau diakhir hayatku Allah justru menghendaki Suúl Khotimah, bagaimana?”

“Hmm… berarti pemabuk itu belum tentu lebih jelek dariku.” Supri bimbang

Supri kemudian kembali melanjutkan perjalanannya mencari orang atau makhluk yang lebih buruk darinya. Di tengah perjalanan Supri menemukan seekor anjing yang menjijikkan karena selain bulunya kusut dan bau, anjing tersebut juga menderita kudisan.

“Akhirnya ketemu juga makhluk yang lebih jelek dariku, anjing tidak hanya haram, tapi juga kudisan dan menjijikkan.” teriak Supri dengan girang

Dengan menggunakan karung beras, Supri membungkus anjing tersebut hendak dibawa ke Pesantren, namun ditengah perjalanan pulang tiba-tiba Supri kembali berpikir :

“Anjing ini memang buruk rupa dan kudisan, namun benarkah dia lebih buruk dariku?”

“Kalau anjing ini mati maka dia tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukannya di dunia, sedangkan aku harus memper-tanggungjawabkan semua perbuatan selama di dunia dan bisa jadi aku akan masuk ke neraka.” Supri mbatin lagi

Akhirnya Supri menyadari bahwa dirinya belum tentu lebih baik dari anjing tersebut.

Hari semakin sore Supri masih mencoba kembali mencari orang atau makluk yang lebih jelek darinya. Namun hingga malam tiba Supri tak juga menemukannya. Lama sekali Supri berpikir, hingga akhirnya Supri memutuskan untuk pulang ke Pesantren dan menemui sang Kyai.

“Bagaimana? Apakah kamu sudah menemukannya?” tanya sang Kyai.

“Sudah, Yai,” jawab Supri tertunduk.

“Ternyata diantara orang atau makluk yang menurut saya sangat buruk, saya tetap paling buruk dari mereka,” jawab Supri lirih

Mendengar jawaban sang murid, Kyai tersenyum lega.

Kemudian Kyai berkata kepada Supri :

“Selama kita hidup di dunia jangan pernah bersikap sombong dan merasa lebih baik atau mulia dari orang ataupun makhluk lain. Kita tidak pernah tahu bagaimana akhir hidup yang akan kita jalani. Bisa jadi sekarang kita baik dan mulia, tapi diakhir hayat justru menjadi makhluk yang seburuk-buruknya. Bisa jadi pula sekarang kita beriman, tapi di akhir hayat setan berhasil memalingkan wajah kita hingga melupakan-Nya.”

Oleh : Tim Redaksi

Picture by rumahtahfidzrahmatplg.com